Anda di halaman 1dari 22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Belajar Matematika
Terdapat bermacam-macam teori tentang pengertian belajar menurut
para ahli. Berikut diungkapkan beberapa definisi belajar.
Hilgard dan Bower mengemukakan (dalam Purwanto 2000: 84)
“Belajar berhubungan dengan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi
tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam
situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak bisa dijelaskan atau dasar
kecenderunagn respon pembawaan, kematangan, atau keadaan keadaan sesaat
seseoarang”

Menurut Hudojo (1998), seseorang dikatakan belajar bila bahwa di


dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan
perubahan tingkah laku. Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang
menampak, tetapi juga dapat bersifat potensial, yang tidak menampak pada
saat itu, tetapi akan nampak di lain kesempatan. Perubahan yang disebabkan
karena belajar itu bersifat relatif permanen, yang berarti perubahan itu akan
bertahan dalam waktu yang relatif lama, tetapi di pihak lain perubahan
tersebut tidak akan menetap terus menerus, hingga suatu waktu hal tersebut
dapat berubah lagi sebagai akibat belajar.
Sedangkan Morgan (dalam dalam Purwanto 2000: 84) mengemukakan
belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Dari definisi-definisi diatas, dapat dilihat bahwa aspek utama dalam
belajar adalah adanya perubahan yang disebabkan oleh pengalaman si
pebelajar itu sendiri. Pengalaman itu bisa didapat dari mencari, menirukan,
mencoba sesuatu sendiri, mendengarkan, dan mengikuti perintah.
Salah satu karakteristik matematika adalah keseluruhan objek
kajiannya abstrak dan melalui proses penalaran deduktif (Depdiknas, 2003:2).
Oleh karenanya untuk mempelajari matematika tentu diperlukan cara khusus
yang tidak sama dengan mempelajari mata pelajaran lain. Belajar matematika

8
9

pada hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-


struktur yang diatur menurut urutan logis (Sukahar, 2002:3). Selain itu, belajar
matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan saja. Belajar matematika
baru bermakna bila dimengerti karena pengertian merupakan aspek
fundamental dalam belajar matematika (Marpaung, 2001 :1). Bila siswa tidak
mengerti atau mempunyai pengertian yang lemah terhadap konsep
matematika, maka siswa tidak melihat keterkaitan konsep matematika,
sehingga akan mengalamai kesulitan dalam menerapkan konsep tersebut
(Suharta, 2001:2).
Matematika terdiri dari konsep-konsep dan unsur-unsur yang abstrak,
maka dalam proses pembelajaran, sebaiknya guru menggunakan pembelajaran
yang bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang lebih
mengutamakan terbentuknya suatu konsep daripada menghafal konsep yang
sudah jadi. Pembelajaran matematika hendaknya tidak hanya mentransfer
pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan guru bertindak sebagai fasilitator
siswa dalam belajar.
Jadi, agar pembelajaran matematika berjalan lancar, maka sebaiknya
materi dalam matematika tidak disajikan dalam bentuk tersusun final,
melainkan siswa hendaknya terlibat aktif dalam penemuan konsep-konsep
ataupun formula yang diinginkan.

B.Pendekatan Pembelajaran Matematika


Menurut Soedjadi (dalam Laily 2004:8), pendekatan dalam
pembelajaran matematika dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Pendekatan Materi (material approach) yaitu proses penyampaian
atau penyajian topik matematika tertentu dengan ,enggunakan
topik matematika yang lain
2. Pendekatan pembelajaran (teaching approach) yaitu proses
penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu untuk
mempermudah siswa dalam memahaminya
10

Treffers (dalam Grovemeijer 1994) mengklasifikasikan pendekatan


pembelajaran matematika ke dalam empat pendekatan, antara lain:
mechanistic, emphiristic, structuralistic, dan realistic. Dasar dari
pengklsifikasian yang dilakukan oleh Treffers tersebut adalah komponen
matematika horizontal dan matematika vertikal. Perbedaan keempat
pendekatan tersebut terletak pada seberapa jauh pendekatan pembelajaran
yang dimaksud menggunakan komponen matematisasi horizontal atau
matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal merujuk pada transfer
permasalahan nyata atau sehari-hari ke bentuk permasalahan matematika atau
menyatakan permasalahan nyata yang diungkapkan dengan bahasa sehari-hari
kedalam simbol. Contoh kegiatan yang dapat dikatagorikan ke dalam
matematisasi horizontal adalah membuat skema, merumuskan masalah,
menemukan hubungan, dan membuat model matematika dari permasalahan
sehari-hari. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi
dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Jadi matematika vertikal
bergerak dari dunia simbol ke simbol matematika lainnya. Contoh dari
matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus,
merumuskan konsep baru dan generalisasi. Perbedaan keempat pendekatan
pembelajaran matematika yang disebutkan sebelumnya dapat dilihat dalam
table berikut.
TABEL 1: Pendekatan Pembelajaran dalam Pendidikan Matematika
Pendekatan Komponen matematisasi
Pembelajaran Horizontal Vertical
Mechanistic - -
Emphiristic + -
Structuralistic - +
Realistic + +
Sumber: Trafers (dalam De Lange, 1987:101)
Dari tabel di atas dapat dlihat bahwa pada pendekatan Realistic, baik
matematisasi horizontal maupun vertikal digunakan dalam proses
pembelajaran. Sedangkan pendekatan Mechanistic merupakan kebalikan dari
pendekatan Realistic. Pada pendekatan ini, baik matematisasi horizontal
maupun vertical kurang digunakan. Pendekatan Emphiristic lebih menekankan
11

pada matematisasi horizontal, dan pendekatan Structuralistic lebih


menekankan pada matematisasi vertical.
C. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
Menurut Zulkardi (Dalam Suyuti 2009), PMRI adalah singkatan dari
pendidikan matematika realistik indonesia, diadaptasi dari Realistic
Mathematics Education (RME) yang dikembangkan oleh Freundenthal
Institute di Belanda sejak tahun 1971. Lebih jauh Siswono (2006)
menjelaskan bahwa PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)
merupakan salah satu inovasi pembelajaran matematika di Indonesia yang
didasarkan pada pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di
Belanda yang dinamakan “Realistics Mathematics Educations (RME)”.
Kemudian dikembangkan dengan situasi dan kondisi serta konteks di
Indonesia, maka ditambahkan kata “Indonesia” untuk memberi ciri yang
berbeda. Prinsip dan karakteristik dasar dari PMRI tetap sama mendasarkan
pada RME.
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah pendekatan pembelajaran
yang diadopsi dari pendekatan RME (Realistic Mathematics Education) yang
telah disesuaikan dengan kondisi kehidupan, konteks alam dan budaya
Indonesia. Pendekatan ini mengacu pada pendapat Fruendenthal (dalam
Gravmeijer, 1994) yang menyatakan bahwa matematika harus dikaitkan
dengan realita dan matematika merupakan aktifitas manusia.
Pendekatan RME sendiri merupakan pendidikan matematika yang
dikembangkan di Belanda sekitar 38 tahun yang lalu. Pendekatan ini
dikembangkan oleh Institute freudental. RME menggabungkan pandangan
tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan
bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal (dalam De Lange 1987:
98) berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif
matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan
siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan
kembali matematika dengan cara mereka sendiri.
12

Dua pandangan penting Hans Freudenthal adalah ‘mathematics must


be connected to reality and mathematics as human activity ’. Pertama,
matematika harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi
kehidupan sehari-hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai
aktivitas manusia, sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar
melakukan aktivitas semua topik dalam matematika. Menurut Fruedenthal
(Dalam De Lange 1987: 98) aktifitas pokok dalam pembelajaran matematika
meliputi: menemukan masalah, memecahkan masalah dan mengorganisir
materi yang dipelajari. Lebih lanjut Fruedenthal menejelaskan bahwa sesuatu
yang perlu diorganisir secara sistematis adalah ide-ide dan fakta-fakta
matematis. Kegiatan pengorganisasian masalah-masalah realita dan ide-ide
matematika disebut matematisasi
Beranjak dari proses matematisasi, De Lange menggambarkan model
skematis pembelajaran matematika realistik yang merupakan proses
pengembangan ide-ide dan konsep-konsep yang dimulai dengan dunia nyata
yang disebut matemata konseptual itu seperti pada gambar berikut:

Dunia Nyata

Matematika Matematika
dalam Aplikasi dalam Refleksi

Abstarksi dan
aplikasi

Gambar 1.1. Matematisasi konseptual De Lange


Gambar di atas menunjukkan bahwa proses belajar matematika
berawal dari dunia nyata. Secara intuisi siswa pertama-tama memiliki konsep-
konsep matematika melalui situasi dunia nyata, kemudian
mengabstarksikannya ke dalam bentuk matematika dan atau
mengidentifikasikan aspek-aspek matematika yang terkandung dalam situasi
13

dunia nyata tersebut. Dengan adanya interaksi antar siswa, siswa dengan guru,
serta kemampuan siswa menformalkan dan mengabstraksikan konsep-konsep
matematika akan melahirkan konsep matematika siswa, kemudian siswa dapat
mengaplikasikannya dalam masalah dan situasi yang berbeda dan akhirnya
dikembalikan ke dunia nyata.
Panhuizen mengungkapkan (dalam Yuwono, 2001: 3), RME adalah
pembelajaran matematika yang mengacu pada konstruktivisme sosial dan
dikhususkan pada pendidikan matematika. Dalam RME pembangunan suatu
konsep matematika dimulai dari siswa secara mandiri berupa kegiatan
eksplorasi sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi
mengembangkan pikirannya. Pengembangan konsep berawal dari intusisi
siswa menggunakan strateginya masing-masing untuk memperoleh suatu
konsep. Guru diharapkan tidak tergesa-gesa dalam menyampaikan
pemikirannya kepada siswa tentang hal yang dibahas.
Berdasarkan pemikiran tersebut, RME mempunyai ciri antara lain,
bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer,
1994), dan bahwa penemuan kembali ide dan konsep matematika tersebut
harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de
Lange, 1995). RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-
hal yang 'real' bagi siswa, menekankan keterampilan 'proses of doing
mathematics', berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman
sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya
menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara
individu maupun kelompok.
Karena PMRI mengacu pada RME, maka dapat dilihat bahwa PMRI
merupakan pendekatan yang menjadikan masalalah-masalah yang real bagi
siswa sebagai titik awal dalam pembelajarannya dan menekankan
keterampilan 'proses of doing mathematics', berdiskusi dan berkolaborasi,
berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan
sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan
14

masalah realistik (nyata) baik secara individu maupun kelompok. Pada


pendekatan ini peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau
evaluator sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan alasannya, melatih
nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain.

D. Prinsip dan Karakteristik PMRI


1. Prinsip PMRI
PMRI mengacu pada RME yang dikembangkan di Belanda, sehingga
prinsip-prinsip yang digunakan dalam PMRI sesuai dengan tiga prinsip
utama RME yang dikemukakan oleh Grovemeijer (1994: 90) yaitu:
a. Guided Reinvention Through Progressive Mathematizing
Menurut Gravemeijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para
siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama
dengan proses saat matematika ditemukan. Selain itu prinsip reinvention
dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam
hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur
penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan
masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur
penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari
tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika
secara formal (progressive mathematizing)
b. Didactical Phenomenology
Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian
topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika
realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam
aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii)
kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive
mathematizing.

c. Self Developed Model


15

Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat


mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk
mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk
menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal.
Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya.
Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model
tersebut menjadi suatu model sesuai penalaran matematika.

2. Karakteristik PMRI
Seperti halnya, prinsip PMRI yang mengacu pada tiga prinsip RME,
maka karakteristik PMRI juga mengacu pada karakteristik RME. Berikut
lima karakteristik PMRI:
a. Menggunakan masalah kontektual
Dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau
pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian
materi belajar yang kontekstual bagi siswa. Konteks adalah lingkungan
keseharian siswa yang nyata. Dalam matematika konteks tidak selalu
diartikan “konkret”, dapat juga sesuatu yang telah dipahami siswa
atau dapat dibayangkan siswa (Siswono, 2006 :5). Masalah kontekstual
yang digunakan selain berfungsi sebagai sumber matematisasi atau titik
awal proses belajar matematika juga berfungsi sebagai tempat
pengaplikasian pengetahuan yang telah diperoleh.
b. Menggunakan model
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik
yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self
developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut akan berubah menjadi
model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan
16

bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi


model matematika formal.
c. Menggunakan konstribusi siswa
Dalam PMRI, kintribusi siswa merupakan aspek penting dalam
pembelajaran. Artinya, PMRI benar-benar memberikan perhatian terhadap
ide-ide yang dikemukakan oleh siswa. Ide-ide pemecahan masalah
kontekstual yang dikemukakan oleh siswa merupakan sumber dalam
pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi
pengetahuan matematika formal.
d. Interaktifitas
Dalam pembelajaran PMRI proses belajar mengajar berlangsung
secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktifitas di
kelas. Disini guru yang pada awalnya menjadi satu-satunya pusat dan
sumber pengetahuan beralih menjadi seorang pembimbing. Guru harus
memilih kegiatan-kegiatan pembelajaran yang akan dijalankan secara
interaktif. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi,
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
siswa.
e. Menggunakan keterkaitan
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika merupakan hal
yang penting. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan
dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan
masalah. Selain itu pengintergasian tersebut juga akan mempermudah
siswa dalam pemecahan masalah dan waktu yang digunakan dalam
pembelajaran akan lebih efesien.

E.Desain Pembelajaran dalam PMRI


Menurut Asikin (2010) untuk mendesain suatu model pembelajaran
berdasarkan pendekatan realistik, model tersebut harus merepresentasikan
17

karakteristik PRMI baik pada tujuan, materi, metode dan evaluasi. Dengan
rambu-rambu sebagai berikut:
1. Tujuan
Tujuan haruslah mencakup ketiga level tujuan dalam RME yakni
lower level, middle level, and higher order level. Dua tujuan terakhir,
menekankan pada kemampuan berargumentasi, berkomunikasi dan
pembentukan sikap kritis.
2. Materi
Desain suatu ‘open material’ yang berangkat dari suatu situasi dalam
realitas, berangkat dari konteks yang berarti dalam kehidupan.
3. Aktivitas
Aktivitas siswa diatur sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya,
diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini siswa mempunyai
kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi dengan menggunakan
matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing.
4. Evaluasi
Materi evaluasi dibuat dalam bentuk ‘open question’ yang memancing
siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau
beragam jawaban (free productions). Tahapan pembelajaran yang
dilaksanakan di kelas, secara umum (menurut model dari Connected
Mathematics Project) terdiri dari tahap orientasi, tahap
eksplorasi/penelusuran,dan tahap penyimpulan. Pada tahap orientasi selain
disampaikan sasaran pembelajaran, pemberian masalah kontekstual yang
masih bersifat umum, diberikan pula masalah kontekstual yang sudah
mengarah ke sasaran pembelajaran. Sedangkan inti dari tahap eksplorasi
adalah aktivitas siswa yang dapat berupa: pemunculan gagasan atau
pembentukan model, pengkomunikasian gagasan atau model, pertukaran
gagasan/pembukaan situasi konflik, negosiasi. Pada tahap penyimpulan
diberikan rangkuman, yang dilanjutkan dengan pemberian pertanyaan
rangkuman (summary questions) dan pemberian tugas rumah
18

Adapun langkah-langkah pembelajaran Pendekatan Matematika


Realistic Indonesia Menurut Amin (dalam Suyanto 2005: 19) adalah sebagai
berikut:
1. Mengkondisikan untuk belajar
Seperti pada pembelajaran lainnya, langkah pertama dalam pendekatan
PMRI adalah guru mengkondisikan siswa untuk belajar. Pengkondisian
siswa untuk belajar bisa dilakukan dengan guru menyampaikan tujuan
pembelajaran, memotivasi siswa untuk belajar, melakukan apersepsi, dan
menyiapkan kelengkapan pembelajaran atau alat peraga yang akan
digunakan dalam pembelajaran.
2. Mengajukan masalah kontekstual
Dalam PMRI, pembelajaran selalu diawali dengan pengajuan masalah
kontekstual. Masalah kontekstual yang diajukan akan menjadi pemicu
penemuan (re-invention) matematika oleh siswa. Masalah kontekstual
yang diajukan hendaknya memiliki lebih dari satu cara penyelesaian.
Masalah yang memiliki lebih dari satu cara penyelesaian berpeluang
memunculkan berbagai strategi dalam penyelesaian masalah.
Pembentukan kelompok pada pendekatan PMRI sama dengan pada
pembelajaran kooperatif lainnya, yaitu secara hiterogen berdasarkan jenis
kelamin dan kemampuannya. Satu kelompok terdiri dari 4-5 orang.
3. Membimbing dalam penyelesaian masalah kontekstual
Dalam memahami masalah, ada kemungkinan siswa mengalami
kesulitan. Dalam hal ini, hendaknya guru membantu menjelaskan situasi
dan kondisi soal dengan member saran atau petunjuk seperlunya. Guru
hanya memberi penjelasan terhadap bagian-bagian yang sekiranya belum
dan sulit dipahami oleh siswa. Penjelasan diberikan kepada siswa agar
siswa memahami masalah yang diberikan. Selain itu hendaknya guru
meminta siswa mendeskripsikan masalah kontektual dengan bahasa
mereka sendiri.
19

4. Penyajian penyelesaian masalah


Pada tahap ini, guru meminta siswa untuk menyajikan ide-ide mereka
terkait penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan baik secara
individu atau secara kelompok dengan cara mereka sendiri. Sebaiknya cara
yang disajikan berbeda. Guru bisa memotivasi siswa dalam memecahkan
masalah dengan memberikan pertanyaan penuntun untuk mengarahkan
siswa pada penyelesaian masalah atau guru dapat memberikan saran.
Pada tahap ini, siswa didukung untuk menemukan kembali ide/konsep/
definisi dari soal matematika. Guru tidak diharapkan memberitahu
penyelesaian masalah. Sebaliknya jawaban yang diajukan digunakan
sebagai model untuk penyelesaian masalah.
5. Mendiskusikan penyelesaian masalah
Guru memberi waktu pada sisswa untuk membandingkan atau
mendiskusikan jawaban dari permasalahan secara berkelompok untuk
selanjutnya didiskusikan dan dibandingkan di depan kelas. Tahap ini
digunakan untuk melatih keberanian siswa dalam mengemukakan ide-ide
mereka. Selain itu, pada tahap ini akan tampak konstribusi siswa sebagai
upaya untuk mengaktifakan siswa melalui pengoptimalan interaksi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan sarana pembelajaran.
6. Negosiasi
Guru mengajak siswa untuk bernegoisasi. Berdasarkan hasil diskusi
kelompok dan diskusi kelas yang baru saja dilakukan, guru menganjurkan
siswa untuk mengambil keputusan tentang suatu konsep atau teorema atau
prinsip matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang telah
diberikan.

F. Keunggulan PMRI
Ditinjau dari karakteristik-karakteristiknya, PMRI memiliki kelebihan-
kelebihan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang lain. Berikut
beberapa kelebihan PMRI menurut Suwarsono (2001: 2)
20

1. PMRI memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa


tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari pada
khususnya dan tentang kegunaan matematika pada umumnya.
2. PMRI memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikontruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya oleh pakar dalam bidang
tersebut,
3. PMRI memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa cara penyelesaian suatu permasalahan tidak harus tunggal dan
seragam (antara siswa satu dan lainnya sama). Setiap siswa bisa
menggunakan cara mereka sendiri. Dari berbagai cara penyelesaian yang
diajukan oleh siswa, bisa dibandingkan sehingga diperoleh cara
penyelesaian yang paling tepat sesuai dengan tujuan dari penyelesaian soal
atau permasalahan tersebut,
4. PMRI memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa
bahwa dalam mempelajari matematika proses pembelajaran merupakan
hal yang utama.
5. PMRI memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang dianggap unggul antara lain pembelajaran
berdasarkan masalah, pendekatan konstruktivisme, dan pendekatan bebasis
lingkungan.

G. Proses Berpikir
Telah dibahas sebelumnya bahwa pendekatan pembelajaran PMRI
menggunakan masalah-masalah kontekstual (masalah-masalah yang real)
sebagai titik tolaknya. Dalam pendekatan ini, siswa dituntut untuk
memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri. Guru hanya
sebagai fasilitator saja. Ahmadi (2003: 166) mengungkapkan bahwa proses
pemecahan masalah merupan proses berpikir. Dari pendapat Ahmadi tersebut
bisa dilihat bahwa saat siswa sedang memecahkan masalah yang diberikan
dalam proses pembelajaran, maka saat itu sedang terjadi proses berpikir dalam
diri siswa.
Terdapat banyak pendapat mengenai definisi “berpikir”. Menurut
Solso(dalam Suharnan 2005: 280), berpikir adalah proses yang menghasilkan
representasi mental melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi
secara komplek antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi,
penalaran, imajinasi dan pemecahan masalah. Ruggiero (dalam Siswono 2009)
mengartikan berpikir sebagai suatu aktifitas mental untuk membantu
21

memecahkan suatu masalah, membuat keputusan atau memenuhi hasrat


keingintahuan. Pendapat ini menunjukan bahwa memecahkan masalah atau
membuat keputusan atau ingin memahami sesuatu termasuk aktifitas.
Sobur (2003:201) berpendapat bahwa berpikir adalah suatu kegiatan
mental yang melibatkan kerja otak. Lebih jauh lagi, Sobur mengungkapkan
bahwa berpikir juga berarti berjerih paya secara mental untuk memahami
sesuatu yang dialami atau mencarai jalan keluar dari persoalan yang sedang
dihadapi. Dari pendapat Sobur tersebut dapat kita lihat bahwa tujuan dalam
berpikir adalah untuk menemukan suatu pemahaman atau pengertian yang kita
inginkan. Beberapa kegiatan yang yang termuat dalam berpikir menurut Sobur
(2003:201) antara lain, meragukan dan memastikan, meracang, menhitung,
mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, membedakan,
menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan, kemungkinan yang ada,
membuat analisis dan sintesis, menalar atau menaik kesimpulan dari premis-
premis yang ada, menimbang dan memutuskan.
Bigot dkk (dalam Suryabrata, 2006:54) mengungkapkan bahwa
berpikir adalah meletakan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita
yaitu segala sesuatu yang kita miliki yang berupa pengertian dan dalam batas
tetentu juga termasuk tanggapan-tanggapan.
Ada ahli (dalam Sobur 2003: 203) berpendapat bahwa berpikir
merupakan ideasional. Pada pendapat ini dikemukakan dua fakta , yaitu:
1. Berpikir adalah aktifitas, jadi subjek yang berpikir aktif
2. Aktifitas bersifat ideasional, jadi bukan sensoris atau motoris, mskipun
berpikir dapat disertai kedua hal tersebut. Berpikir menggunakan
abstraksi-abstraksi atau “ideas”
Jadi dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir
adalah aktifitas mental untuk menghasilkan penemuan yang terarah pada
penemuan pemahaman yang diinginkan dengan melibatkan interaksi-interaksi
mental secara kompleks.
Suryabrata mengungkapkan bahwa berpikir adalah proses yang
dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Maksudnya,
22

berpikir merupakan suatu proses dinamis untuk mencari hubungan dari


potongan-potongan informasi dan tanggapan yang kita peroleh untuk
mendapat suatu pengertian tertentu. Jadi dari sini bisa kita ketahui bahwa
dalam berpikir terdapat suatu proses.
Suparni (2000) mendifinisikan proses berpikir adalah adalah langkah-
langkah yang digunakan seseorang pada saat menerima informasi, mengelola,
menyimpan, dan memanggil kembali informasi tersebut. Marpaung (dalam
Chasanah 2010: 14) mengatakan proses berpikir adalah proses yang dimulai
dari penemuan informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan,
penyimpanan dan memanggil kembali informasi itu dari ingatan siswa.
Sejalan dengan Marpaung, Maulana (2008: 22) berpendapat bahwa proses
berpikir adalah penerimaan informasi dimana informasi tersebut diolah untuk
dicari kesimpulannya, dan kesimpulan tersebut dapat dipanggil kembali dari
informasi yang bersangkutan jika diperlukan.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa proses
berpikir merupakan suatu proses dalam menerima, mengelola, memanggil
kembali dan menarik kesimpulan suatu informasi
Proses berpikir secara normal menurut Mayer (dalam Suharnan 2005:
281) akan meleati tiga komponen pokok sebagai berikut:
1. Berpikir adalah aktifitas kognitif yang terjadi dalam mental atau pikiran
seseorang. Tidak tampak tetapi dapat disimpulakan dari aktivitas yang
tampak.
2. Berpikir merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi
pengetahuan di dalam sistem kognitif. Pengetahuan yang tersimpan di
dalam ingatan digabungkan dengan informasi yang didapat sehingga
mengubah pengetahuan seseorang tentang situasi yang sedang dihadapi.
3. Aktivitas berpikir digunakan untuk menghasilkan suatu pemecahan
masalah.
Menurut Suryabrata (2006: 55-58) pada intinya terdapat tiga langkah
dalam suatu proses berpikir. Langkah tersebut antara lain:
1. Pembentukan pengertian
23

Pembentukan pengertian tepatnya disebut pengertian logis dibentuk


melalui tiga tingkatan sebagai berikut:
a. Menganalisis cirri-ciri dari sejumlah objek yang sejenis. Objek
tersebut kita perhatikan unsure-unsurnya satu demi satu.
b. Membanding-bandingkankan ciri-ciri tersebut untuk ditemukan ciri-
ciri mana yang sama, mana yang tidak sama, mana yang selalu ada dan
mana yang tidak selalu ada, mana yang hakiki dan mana yang tidak
hakiki.
c. Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak
hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki.
2. Pembentukan pendapat
Pembentukan pendapat adalah meletakan hubungan antara dua pendapat
atau lebih. Selanjtnya pendapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pendapat afirmatif atau positif, yaitu pendapat yang mengiakan dan
secara tegas menyatakan sesuatu
b. Pendapat negatif, yaitu pendapat yang menidakan dan secara tegas
menerangkan tidak adanya suatu sifat pada suatu hal.
c. Pendapat modalitas atau kebarangkalian, yaitu pendapat yang
menerangkan kebarangkalian, kemungkinan-kemungkinan suatu sifat
pada suatu hal.
3. Penarikan atau pembentukan kesimpulan
Kesimpulan adalah hasil perbuatan akal untuk membentuk pendapat baru
dari pendapat-pendapat yang sudah ada.
Ada tiga macam kesimpulan yaitu:
a. Kesimpulan induktif, yaitu keputusan yang diambil dari pendapat-
pendapat khusus menuju ke pendapat umum.
b. Kesimpulan deduktif, kesimpulan yang ditarik dari hal-hal umum ke
hal-hal khusus.
c. Kesimpulan analogis, yaitu keputusan yang diperoleh dengan jalan
membandingkan atau menyesuaikan dengan pendapat-pendapat khusus
yang telah ada.

Sejalan dengan Suryabrata, Sujanto (2006 :57) menjelaskan tentang


proses-proses yang dialami siswa saat siswa berpikir adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan pengertian, artinya dari suatu masalah pikiran kita
membuang ciri-ciri tambahan, sehingga yang tersisa hanyalah ciri-ciri
tipis (ciri-ciri yang harus ada) dalam masalah tersebut
2. Pembentukan pendapat, artinya pikiran kita menggabungkan atau
menceraikan beberapa pengertian yang menjadi ciri khas dari suatu
masalah.
3. Pembentukan keputusan, artinya pikiran kita menggabungkan pendapat-
pendapat tersebut.
4. Pembentukan kesimpulan, artinya pikiran kita menarik keputusan dari
keputusan yang lain.
24

Sedangkan Goldratt (dalam Taylor 2003) berpendapat bahwa proses


berpikir merupakan satu rangkaian tahapan untuk menentukan masalah (apa
yang harus diubah?), menentukan pemecahannya (apa yang selanjutnya
diubah?), dan bagaimana mengimplementasikan pemecahan masalah tersebut
(bagaimana cara mengubah?). Dari pendapat ini, dapat kita simpulkan bahwa
menurut Goldratt langkah-langkah dalam proses berpikir meliputi:
1. Menentukan masalah
Seperti yang diungkapkan Ahmadi bahwa proses berpikir adalah proses
pemecahan masalah, maka pada awal proses kita harus mengenali terlebih
dahulu masalah yang harus kita pecahkan.
2. Menentukan pemecahannya
Setelah menentukan masalah, kita menentukan pemecahan cara
pemecahan masalah tersebut.
3. Mengimplementasikan pemecahan masalah tersebut
Setelah, langkah pemecahan masalah telah kita tentukan, terakhir kita
tinggal mengaplikasikannya ke masalah.
Banyak ahli yang melakukan penelitian tentang proses berpikir, dan
mereka membedakan pembagian proses berpikir dalam penelitian mereka.
Marpaung (dalam Zuhri, 1998: 37) membedakan proses berpikir menjadi dua
dalam penelitiannya tentang proses berpikir seseoarang dalam mempelajari
suatu konsep. Dua proses berpikir tersebut antara lain:
1. Proses berpikir konseptual
Proses berpikir konseptual adalah proses berpikir yang mementingkan
pengertian atau konsep-konsep serta hubungannya dalam penggunaan
dalam pemecahan masalah.
2. Proses berpikir sekuensial
Proses berpikir sekuensial adalah proses berpikir yang cenderung
langsung menyelesaikan masalah tanpa banyak memberi perhatian
terhadap hubungan konsep-konsep dan dimulai dengan ide yang belum
jelas. Penyelesaian masalah dilakukan dengan cara sekuensial dengan
25

berorientasi pada tujuan, mencari sepotong penyelesaian antara yang


menjadi dasar tindakan selanjutnya untuk mencapai tujuan akhir.
Lebih jauh, Kaune (dalam Zuhri, 1998:37) menyatakan ciri-ciri
berpikir konseptual sebagai berikut:
a. Pada awal proses penyelesaian masalah, siswa mengungkapkan soal
yang telah mereka baca dengan menggunakan model matematika.
b. Siswa memecahkan soal secara perbagian. Lalu siswa mencoba
mencari hubungan antara tiap bagian atau mencari hubungan antara
suatu hubungan dengan konsep atau dengan soal lain yang pernah
dikerjakan.
c. Siswa cenderung mulai memecahkan soal jika mendapat ide yang
jelas. Jika penyelesaian sementara salah, maka soal diuraikan kembali
ke bentuk yang lebih sederahana.
Sedangkan untuk berpikir sekuensial, berikut ciri-cirinya:
a. Berorientasi pada tindakan.
b. Langkah penyelesaian dimulai meskipun ide yang jelas belum didapat.
c. Pada fase tertentu dari proses pemecahan soal, siswa membandingkan
hasil dengan tujuan, bila dirasa hasil kurang memuaskan, maka dia
akan kembali pada hasil sebelumnya, dan dari situ siswa memulai
kembali langkah pemecahan masalah.
d. Pengetahuan tidak disimpan dalam struktur yang jelas.
Zuhri (1988: 41-44) dalam penelitiannya tentang proses berpikir siswa
dalam menyelesaikan soal-soal perbandingan senili dan berbalik nilai
membagi proses berpikir menjadi tiga, antara lain:
1. Proses berpikir konseptual yaitu cara berpikir yang selalu memecahkan
suatu permasalahan menggunakan konsep yang dimiliki berdasarkan hasil
penilaiannya selama ini.
Cirri-ciri berpikir konseptual antara lain:
a. Memahami masalah.
1) Siswa mampu mengungkapkan dengan kata-kata
apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal.
26

2) Siswa mampu membuat hubungan antar variabel.


b. Menyusun rencana penyelesaian
c. Melaksanakan rencana penyelesaian
1) Siswa mulai melaksanakan rencana setelah
mendapat ide yang jelas, yaitu setiap langkah yang dibuatnya dapat
dijelaskan dengan jelas.
2) Siswa cenderung menyelesaiakn soal dengan
meggunkan konsep yang telah dimilikinya.
3) Jika terjadi kesalahan dalam proses penyelesaian
soal, maka proses dimulai dari awal sampai mendapat hasil yang
benar.
2. Proses berpikir semi konseptual, yaitu cara berpikir yang cenderung
menyelesaikan masalah dengan menggunakan suatu konsep, tetapi karena
kurangnya pemahaman akan konsep yang bersangkutan, maka cara
penyelesaiannya digabung dengan cara penyelesaian dengan menggunakan
intuisi.
Adapun cirri-ciri dari proses berpikir semi konseptual, antara lain:
a. Memahami masalah
1) Siswa mampu mengungkapkan dengan kata-kata
apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal.
2) Siswa mampu mebuat hubungan antar variabel.
b. Menyusun rencana penyelesaian
c. Melaksanakan rencana penyelesaian
Siswa menyelesaikan soal dengan menggunakan konsep-konsep, tetapi
sering gagal karena kurangnya pemahaman akan konsep tersebut.
3. Proses berpikir komputasional, yaitu cara berpikir yang pada umumnya
menyelesaikan suatu masalah tidak menggunakan konsep melainkan lebih
menggunakan intuisi. Akibatnya siswa cenderung melakukan kesalahan
dalam menyelesaikan masalah.
Ciri proses berpikir komputasional antara lain:
a. Siswa tidak memahami masalah
27

b. Menyusun rencana penyelesaian


c. Melaksanakan rencana penyelesaian
Dalam melaksanakan rencana penyelesaian, siswa cenderung memulai
langkah-langkah penyelesaian meskipun mereka belun memperoleh
ide yang jelas. Dengan kata lain, setiap langkah yang dibuatnya tidak
dapat dijelaskn dengan benar serta cenderung menyelesaikan soal-soal
terlepas dari konsep-konsep yang telah dimiliki. Jika terdapat
kesalahan penyelesaian, maka kesalahan tersebut tidak dapat
diperbaiki dengan benar
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka peneliti memutuskan
untuk menggunakan jenis-jenis proses berpikir yang diungkapkan Zuhri
(konseptual, semikonseptual, dan komputasional) sebagai acuan untuk
menganalisis proses berpikir siswa pada penerapan pendekatan pembelajaran
PMRI dalam materi himpunan
Berikut peneliti mengembangkan indikator-indikator yang dipakai
untuk mengidentifikasi proses berpikir konseptual, proses berpikir
semikonseptual, dan proses berpikir komputasional pada penerapan
pendekatan pembelajaran PMRI. Indikator-indikator tersebut diadaptasi dari
indikator-indikator yang dikembangkan oleh Chasanah (2010:51) untuk
mengidentifikasi proses berpikir konseptual, proses berpikir semikonseptual,
dan proses berpikir komputasioanal dalam menyelesaikan soal cerita pada
materi kubus dan balok
Table 2.1 Indikator proses berpikir pada penerapan PMRI
Proses berpikir konseptual Proses berpikir Proses berpikir
semikonseptual komputasional
Mampu mengungkapkan Kurang mampu Tidak mampu
dengan kalimat sendiri mengungkapkan mengungkapkan dengan
apa yang diketahui dalam dengan kalimat sendiri kalimat sendiri apa yang
masalah kontekstual yang apa yang diketahui diketahui dalam masalah
diajukan (K1.1) dalam masalah kontekstual yang
kontekstual yang diajukan (K.3.1)
diajukan (K.2.1)
Mampu mengungkapkan Kurang mampu Tidak mampu
apa yang ditanya dalam mengungkapkan apa mengungkapkan apa
28

masalah kontekstual yang yang ditanya dalam yang ditanya dalam


diajukan (K.1.s2) masalah kontekstual masalah kontekstual
yang diajukan (K.2.2) yang diajukan (K.3.2)
Dalam menjawab Dalam menjawab Dalam menjawab
cenderung menggunakan cenderung cenderung lepas dari
konsep yang telah menggunakan konsep konsep yang telah
dipelajari (K.1.3) yang telah dipelajari dipelajari (K.3.3)
walaupun tidak lengkap
(K.2.3)
Mampu menjelaskan Kurang mampu Tidak mampu
langkah-langkah menjelaskan langkah- menjelaskan langkah-
pemecahan masalah langkah pemecahan langkah pemecahan
(K.1.4) masalah (K.2.4) masalah (K.3.4)
(Chasanah: 2010)

H. Pertidaksamaan Linear
Untuk siswa kelas X SMK, pada bab pertidaksamaan linear ini, pokok
bahasannya hanya sekitar himpunan penyelesaian pertidaksamaan linear satu
variabel.
Bentuk umum pertidaksamaan linear satu variabel dinyatakan dengan:
ax + b (R) 0 ; a, b  bilangan real, dan (R) merupakan salah satu relasi
pertidaksamaan.
Menentukan himpunan penyelesaian pertidaksamaan linier hampir
sama dengan menyelesaikan persamaan linier satu variabel. Himpunan
penyelesaian pertidaksamaan biasanya juga dituliskan dalam bentuk interval
atau selang. Beberapa bentuk atau jenis interval disajikan sebagai berikut.
Notasi Jenis Pertidaksamaan Grafik
Interval
[a, b] Terutup a x b

(a, b) Terbuka axb

[a, b) Setengah a xb


a b
terbuka
(a, b] Setengah ax b
tertutup
[a, ) Setengah x≥a
29

terbuka
(, b) Terbuka x>b

Tanda • pada batas interval berarti batas tersebut termasuk dalam


interval. Sedangkan tanda o pada batas interval berarti batas tersebut tidak
termasuk dalam interval. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menyelesaikan pertidaksamaan adalah sebagai berikut.
1. Tanda pertidaksamaan tidak berubah arah jika pada ruas kiri dan kanan
ditambahkan atau dikurangkan dengan bilangan negatif atau bilangan
positif yang sama (sifat 1).
2. Tanda pertidaksamaan tidak berubah arah jika pada ruas kiri dan kanan
dikalikan atau dibagi dengan bilangan positif yang sama (sifat 2).
3. Tanda pertidaksamaan berubah arah atau dibalik jika pada ruas kiri dan
kanan dikalikan atau dibagi dengan bilangan negatif yang sama (sifat 3).

Anda mungkin juga menyukai