Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Para praktikan/mahasiswa sebelum melaksanakan praktikum harus mengerti
bagaimana proses terjadinya hujan, pengukuran hujan dan menghitung curah hujan di tiap
daerah. Dengan demikian perlunya pemaparan teori mengenai proses terjadinya hujan
dan sistem pengukuran curah hujan.
Hujan adalah unsur iklim yang sangat berubah-ubah dari tahun ke tahun. Angin,
kelembapan, penguapan dan sinar matahari adalah beberapa faktor pendukung terjadinya
hujan. Negara Indonesia merupakan suatu daerah kepulauan yang curah hujannya
termasuk yang tertinggi di seluruh dunia (Rismunandi, 1984). Curah hujan daerah satu
dengan daerah yang lainnya berbeda – beda tergantung dari kondisi lingkungannya.
Selain itu untuk mendapatkan data curah hujan yang dapat mewakili daerah
tangkapan air tersebut diperlukan alat penakar hujan dalam jumlah yang cukup. Dengan
semakin banyaknya alat – alat penakar hujan yang dipasang di lapangan diharapkan dapat
diketahui besarnya presipitasi rata – rata yang akan menunjukan besarnya presipitasi
yang terjadi didaerah tersebut.
Hasil pengukuran data hujan dari masing – masing alat pengukuran hujan adalah
merupakan data hujan suatu titik (point rainfall). Padahal untuk kepentingan analisis yang
diperlukan adalah data hujan suatu wilayah (areal rainfall). Untuk mmenghitung curah
hujan pada suatu daerah dapat dilakukan degan beberapa metode, diantaranya yang sering
dipakai yaitu metode rata –rata hitung (Arithmetic mean), Thiessen, Isohyet.
b. Tujuan
Tujun dari penulisan makalah ini adalah :
1) Mengetahui proses terjadinya hujan secara siklus hidrogi.
2) Mengetahui variasi dan interpestasi hujan
3) Mengetahui pengukuran curah hujan
4) Memahami cara menghitung curah hujan di daerah dengan berbagai
metode
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Terjadinya Hujan

Hujan/presipitasi adalah peristiwa turunnya air dari langit ke bumi. Proses


terjadinya hujan biasa dikatakan daur hidrologi. Daur hidrologi, sering juga dipakai
istilah Water Cycle atau Siklus Air. Suatu sirkulasi air yang meliputi gerakan mulai dari
laut ke atmosfer, dari atmosfer ke tanah, dan kembali ke laut lagi atau dengan arti lain
Siklus hidrologi merupakan rangkaian proses berpindahnya air permukan bumi dari suatu
tempat ke tempat lainnya hingga kembali ke tempat asalnya.

Air naik ke udara dari permukaan laut atau dari daratan melalui evaporasi. Air di
atmosfer dalam bentuk uap air atau awan bergerak dalam massa yang besar di atas benua
dan dipanaskan oleh radiasi tanah. Panas membuat uap air lebih naik lagi sehingga cukup
tinggi/dingin untuk terjadi kondensasi. Uap air berubah jadi embun dan seterusnya jadi
hujan/presipitasi atau salju. Curahan (precipitation) turun ke bawah, ke daratan atau
langsung ke laut. Air yang tiba di daratan kemudian mengalir di atas permukaan sebagai
sungai, terus kembali ke laut. Air yang tiba di daratan kemudain mengalir di atas
permukaan sebagai sungai, terus kembali ke laut melengkapi siklus air.

Dalam perjalanannya dari atmosfer ke luar air mengalami banyak interupsi


Sebagian dari air hujan yang turun dari awan menguap sebelum tiba di permukaan bumi,
sebagian lagi jatuh di atas daun tumbuh-tumbuhan (intercception) dan menguap dari
permukaan daun-daun. Air yang tiba di tanah dapat mengalir terus ke laut, namun ada
juga yang meresap dulu ke dalam tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan
sebagai air tanah. Sebagian dari air tanah dihisap oleh tumbuh-tumbuhan melalui daun-
daunan lalu menguapkan airnya ke udara (transpiration). Air yang mengalir di atas
permukaan menuju sungai kemungkinan tertahan di kolam, selokan dan sebagainya
(surface detention), ada juga yang sementara tersimpan di danau, tetapi kemudian
menguap atau sebaliknya sebagian air mengalir di atas permukaan tanah melalui parit,
sungai, hingga menuju ke laut ( surface run off ), sebagian lagi infiltrasi ke dasar danau-
danau dan bergabung di dalam tanah sebagi air tanah yang pada akhirnya ke luar sebagi
mata air.

Siklus hidrologi/proses terjadinya hujan dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu :

a. Siklus Pendek : Air laut menguap kemudian melalui proses kondensasi


berubah menjadi butir-butir air yang halus atau awan dan selanjutnya hujan
langsung jatuh ke laut dan akan kembali berulang.

b. Siklus Sedang : Air laut menguap lalu dibawa oleh angin menuju daratan
dan melalui proses kondensasi berubah menjadi awan lalu jatuh sebagai hujan
di daratan dan selanjutnya meresap ke dalam tanah lalu kembali ke laut
melalui sungai-sungai atau saluran-saluran air.
c. Siklus Panjang : Air laut menguap, setelah menjadi awan melelui proses
kondensasi, lalu terbawa oleh angin ke tempat yang lebih tinggi di daratan dan
terjadilah hujan salju atau es di pegunungan-pegunungan yang tinggi.
Bongkah-bongkah es mengendap di puncak gunung dan karena gaya beratnya
meluncur ke tempat yang lebih rendah, mencair terbentuk gletser lalu
mengalir melalui sungai-sungai kembali ke laut.

Siklus hidrologi digambarkan secara lengkap


Unsur-unsur utama dalam siklus hidrologi :

 Evaporasi ( penguapan dari badan air secara langsung)


 Transpirasi (penguapan air yang terkandung dalam tumbuhan)
 Respirasi ( pengupan air dari tubuh hewan dan manusia)
 Evapotranspirasi ( perpaduan evaporasi dan transpirasi )
 Kondensasi (proses perubahan wujud uap air menjadi titik-
titikair sebagai hasil pendinginan)
 Presipitasi (segala bentuk curahan atau hujan dari atmosfer ke
bumi yang meliputi hujan air, hujan es, hujan salju)
 Infiltrasi (air yang jatuh ke permukaan tanah dan meresap
kedalam tanah)
 Perkolasi (air yang meresap terus sampai ke kedalaman tertentu
hingga mencapai air tanah atau Groundwater)
 Run off ( air yang mengalir di atas permukaan tanah melalui
parit, sungai, hingga menuju ke laut)

B. Variasi dan Interpestasi Hujan/Presipitasi


 Variasi Hujan

Curah hujan mempunyai variabilitas yang besar dalam ruang dan waktu.
Berdasarkan skala ruang, variabilitasnya Sangat dipengaruhi oleh letak geografi (letak
terhadap lautan dan benua), topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak
lintang. Keragaman curah hujan terjadi juga secara lokal di statu tempat, yang disebabkan
oleh adanya perbedaan kondisi topografi seperti adanya bukit, gunung atau pegunungan
yang menyebabkan penyebaran hujan yang tidak merata. Berdasarkan skala waktu,
keragaman/variasi curah hujan dibagi menjadi tipe harian, musiman (bulanan), dan
tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi oleh faktor lokal (topografi, tipe
vegetasi, drainase, kelembaban, warna tanah, albedo, dan lain-lain). Variasi bulanan atau
musiman dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, arah aliran
udara di atas permukaan bumi, variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan variasi
tahunan dipengaruhi oleh perilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dan lain-lain
(Ruminta(1989), dalam Erwin, M(2001)).

Berdasarkan terjadinya, hujan dibedakan menjadi (http://kadarsah.wordpress.com/ ):

• Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik disertai
dengan angin berputar.
• Hujan zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar ekuator, akibat
pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian
angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpalan awan di sekitar ekuator
yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.
• Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air
yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara
menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar
pegunungan.
• Hujan frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin bertemu
dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu
disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di
bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan
frontal.
• Hujan muson, yaitu hujan yang terjadi karena Angin Musim (Angin Muson).
Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu
tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia,
secara teoritis hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di
kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus.
 Interpretasi Hujan

Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh
beberapa fenomena, antara lain sistem monsoon Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-
Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa
sirkulasi karena pnegaruh local (Mcbride, 2002). Variabilitas curah hujan di Indonesia
sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian “chaotic” dari variabilitas monsoon
(Ferranti (1997), dalam Aldrian (2003). Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical
Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi-tahunan di
Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan
dengan variasi curah hujan antar-tahunan di Indonesia.

Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis.
Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut
(http://klastik.wordpress.com/2006/12/03/pola-umum-curah-hujan-di-indonesia/ ) :

1. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak
daripada pantai sebelah timur.
2. Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian
timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang
dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah
Jawa Barat.
3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan
terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas
permukaan laut.
4. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba.
Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.
5. Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak DKAT.
6. Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti:
a. Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan
terbanyak pada bulan November.
b. Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada
bulan Desember.
c. Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.
7. Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim
hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang
mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak
pada kira-kira 120O Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di
Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini.

Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun
masih tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 – 3000 mm/tahun. Begitu pula antara
tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama.
Tjasyono (1999) menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim
utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh Aldrian
dan Susanto (2003) yang telah mengklasifikasi Iklim Indonesia sebagai berikut: Pola
curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola Monsoon, pola
ekuatorial dan pola lokal. Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat
unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah
hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah
(bisanya disebut musim kemarau).

Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan
musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan
dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret
dan Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola
hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada
tipe moonson. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar
mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan moonson terdapat di pulau Jawa,
Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola
hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
Sumber: Tjasyono 1999

C. Pengukuran Curah Hujan


Hujan adalah unsur iklim yang mempunyai variasi besar. Untuk data rekaman
yang pendek harus dicek apakah sudah cukup atau tidak dan syahdigunakan estimasi
yang akan datang. Terdapat beberapa metode untukmenentukan handal atau tidaknya data
hujan, misalnya untuk menentukan jumlahtahun pengamatan atau mengukur variasi
hujan. Untuk mengetes homogenitas data curah hujan digunakan beberapa cara yaitu

1. Plotting data adalah cara paling sederhana tetapi kurang terpercaya.


Analisis ini dengan membuat grafik curah hujan terhadap waktu. Dari bentuk
grafik akan terlihat apakah bentuk– bentuk pola hujan musiman reguler atau
tidak, apabila tidak,maka perlu diperbaiki.
2. Run test dapat digunakan untuk menentukan tingkat dan periode data
yang tidak homogen
3. Analisis kurva massa ganda, perubahan lokasi penakar hujan,
keterbukaan, dan cara pengamatan dapat menyebabkan suatu perubahan relatif
dalam penangkapan hujan. Analisis kurva massa ganda digunakan untuk
menguji konsistensi hasil pengukuran pada suatu stasiun dan membandingkan
hujan akumulasi tahunannya atau musimannya dengan stasiun lainnya atau
kumpulan stasiun yang mengelilinginya dan hujannya bersamaan dengan
topografi yang sama .

D. Metode-Metode Peritungan Curah Hujan d berbagai Daerah


Perhitungan Hujan wilayah dapat dilakukan dengan metode sebagai berikut
(Anonim, 2008) :
a. Cara rata-rata Aljabar
Hujan wilayah didapat dengan menjumlahkan curah hujan pada semua tempat
pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya tempat
pengukuran. Persamaan yang digunakan yaitu :
n

∑P i
Dimana :
P= i =1
P = hujan wilayah
n
Pi = hujan pada stasiun i
n = jumlah stasiun dalam suatu DAS
i = 1,2,3,...,n

Cara ini paling mudah, tetapi ketelitiannya sangat rendah, dan umumnya
digunkaan untuk daerah dengan variasi hujan yang kecil.

b. Cara Poligon Thiessen


Metode ini dapat dilakukan pada daerah yang mempunyai distribusi penakar
hujan yang tidak seragam ( non uniform ) dengan mempertimbangkan luas daerah
pengaruh dari masing– masing penakar. Pada cara ini, dianggap bahwa data curah hujan
dari suatu tempat pengamatan dapat dipakai untuk daerah pengaliran di sekitar tempat itu.
Cara Pengukuannya yaitu :
1. Stasiun penakar diplot pada sebuah peta.
2. Titik penakar hujan terluar saling dihubungkan.
3. Dari maing-masing stasiun terluar dihubungkan dengan stasiun yang
paling dekat.
4. Mencari titik tengah dari tiap garis pengubung antar stasiun, kemudian
menarik garis tegak lurus terhadap garis penghubung pada titik tengah
yang diperoleh.
5. Menentukan garis polygon, yaitu garis yang terbetuk dari langkah 4. Garis
Polgon merupakan batas wilayah yang dipengaruhi oleh penakar hujan.
6. Hitung luas daerah yang dibatasi oleh polygon dengan menggunakan
planimeter.
7. Curah hujan wilayah dihitung dengan persamaan :

∑A P 1 1
P= i =1
n
Dimana :
∑A i =1
i
P = hujan wilayah
Ai = luas areal poligon di titik i
Pi = curah hujan di stasiun penakar i
n = jumlah stasiun penakar
i = 1, 2, 3, ..., n

Cara ini lebih baik dibandingkan metode aljabar karena telah memasukkan faktor
daerah pengaruh stasiun hujan. Cara ini paling banyak digunakan dalam praktek, karena
mudah dan unsur subjektivitasnya kecil, meskipun masih mengandung kelemahan bahwa
faktor topografi tidak termasuk di dalamnya

c. Metode Isohyet (Garis Ketinggian Hujan yang Sama)


Peta isohyet digambar pada peta dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20
mm berdasarkan data curah hujan pada titik– titik pengamatan.
Caranya yaitu :
1. Menghubungkan masing-masing stasiun terdekat dengan garis lurus.
2. Garis isohyt dibuat dengan cara menginterpolasi garis penghubung antar
stasiun sesuai isohyt yang dibuat sehingga diperoleh titik-titik interpolasi yang
merupakan titik dengan ketinggian hujan tertentu.
3. Menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempuyai ketinggian hujan
yang sama.
4. Menghitung luas antara dua isohyt yang berurutan dengan planimter.
5. Menghitung tebal hujan rerata antara dua isohyt yang berurutan.
6. Menghitung curah hujan wilayah dengan persamaan :

∑A P 1 1
P= i =1
n

∑A i =1
i

Dimana :
P = hujan wilayah
Ai = luas areal antara 2 isohyet yang berurutan
Pi = curah hujan antara 2 isohyet yang berurutan
n = jumlah isohyet
i = 1, 2, 3, ..., n

Jika tiap pengamatan mencakup beberapa ratus km2 maka penggunaan petaskala
1:20000 sampai 1:500000 cukup memadai. Cara ini secara teoritis sangat baik karena
pengaruh topografi dapat tercakup di dalamnya, yaitu dalam penggambaran garis
isohyetnya. Akan tetapi cara ini hanya baik apabila dilakukanoleh analis yang telah
mengenal secara umum sifat- sifat hujan di daerah tersebut, sehingga interpretasi dalam
penggambaran dapat lebih baik. Subyektifitas dengan cara ini dapat menjadi sangat besar,
terutama sekali dalam penetapan isohyetnya.

Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter,
artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi
satu millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. (www.aphi-net.com)
Hujan merupakan bentuk endapan yang sering dijumpai, dan di Indonesiadi
maksud dengan endapan adalah curah hujan. Curah hujan dan suhu merupakan unsur
iklim yang sangat penting. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter. Jumlah
curah huajn 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1 mm, jika
air tersebut tidak meresap kedalam tanah atau menguap keatmosfer (Bayong, 1999).

DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/16025551/Agroklimat-4#open_download
http://the-koplax.blogspot.com/2009/03/blog-entry-siklus-hidrologi-hydrlologic.html

http://kadarsah.wordpress.com

http://klastik.wordpress.com/2006/12/03/pola-umum-curah-hujan-di-indonesia

http://www.dirgantara-lapan.or.id/moklim/edukasi0609pch.html

Anda mungkin juga menyukai