Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah korupsi seakan menjadi masalah pelik yang tidak kunjung terselesaikan
di Indonesia yang akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama
dalam media massa baik lokal maupun nasional.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur
pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan
pembangunan pada umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir
tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-
pembuktian yang nyata. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar
hukum yang pasti.
Korupsi sudah berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma
sampai abad pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak
terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di Amerika Serikat sendiri yang sudah
begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang
primitif yang ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang efektif,
korupsi relatif jarang terjadi.
Menanggapi keterangan itulah, saya merasa tertarik untuk mengangkat topik
tentang korupsi ini melalui makalah yang berjudul “Masalah Korupsi di Indonesia dan
Cara Mengatasinya”.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah korupsi itu ?
2. Apa penyebab terjadinya korupsi ?
3. Apa masalah yang ditimbulkan korupsi ?
4. Bagaimana cara menanggulangi korupsi ?
BAB II PEMBAHASAN

1
2.1 Pengertian Korupsi
Begitu banyak pengertian korupsi yang berbeda antara ahli yang satu dengan
yang lain, yang jika dilihat dari struktur bahasa dan cara penyampaiannya berbeda,
tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Korupsi dalam bahasa latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Secara harfiah,
korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:
a. perbuatan melawan hukum,
b. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
c. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
d. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya
adalah
a. memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
b. penggelapan dalam jabatan,
c. pemerasan dalam jabatan,
d. ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
e. menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah rentan terhadap korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah

2
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, yaitu pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk ringan atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak
terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu
tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah
urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber
kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal
(misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang
dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan
pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970)
menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang
yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi.
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima
atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/
kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga
dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang
paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas
pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham
keuangan pribadi dengan masyarakat.

3
2.1 Penyebab Korupsi
Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur melanggar
hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, memperkaya
pribadi atau diri sendiri.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah
kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tak ada sama sekali. Semua kondisi terpuruk ini tentu merupakan
hasil dari penyesuaian terhadap kondisi di lingkungan si pelaku korupsi.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi adalah sebagai berikut.
a. Konsentrasi kekuasan pada pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab
langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
demokratik.
b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
f. Lemahnya ketertiban hukum.
g. Lemahnya profesi hukum.
h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
j. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan
perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
k. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau
"sumbangan kampanye".
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah
sebagai berikut:

4
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
administrasi yang lamban dan sebagainya.
2. Warisan pemerintahan kolonial.
3. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak
ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.

2.1 Dampak Korupsi


Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah:
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman
modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer,
menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas
administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak


efisienan, ketidakadilan, ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah, pemborosan sumber-
sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing,
ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat
korupsi adalah sebagai berikut:

5
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap
perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi
hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

2.1.1 Dampak Negatif Korupsi dalam Beberapa Aspek


2.3.1.1 Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia
politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum
dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan
kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan
korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan
masyarakat. Secara umum, korupsi mengikis kemampuan institusi dari pemerintah,
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan
toleransi.

2.3.1.2 Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi

6
meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen
dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena
penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos
(niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan
bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru
dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga
mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari
persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak
efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih
banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan
bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas
pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap
anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah
korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman
modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri
(maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki
rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang
sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih
memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban
hukum, dan lain-lain. Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan
politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset
pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para
pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari
ekspropriasi di masa depan.

7
2.3.1.3 Kesejahteraan Umum Negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun
merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya
mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan
besar kepada kampanye pemilu mereka.

2.4 Upaya Penanggulangan Korupsi


Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang
masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi
korupsi sebagai berikut:
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan
dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang
saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan
penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan
untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? Dengan jalan
meningkatkan ancaman.

8
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi
dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi
organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu
pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan
dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan
yang semula dikategorikan ke dalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan
korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah
membantu ke arah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam
pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman
kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi
yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang
menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas,
pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan
kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus
dinaikkan dan kedudukan social ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan
pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-
pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-
pejabat harus ditindak pula.

Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut:


1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan
nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.

9
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran
administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab
etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.

10
BAB III SIMPULAN DAN SARAN

Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-
sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. Merangkai kata untuk
perubahan memang mudah, namun melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan
terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan
merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya
pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama
menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah
tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “yang sakit kepala, kok yang diobati tangan“.
Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh
menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk
mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit
kotor korupsi di Indonesia.
Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan
(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos
kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau
perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji),
menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan
pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya
kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara
para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan
hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan
herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.

11
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Faishal. (2008). Kejahatan yang Sempurna. Reformasi Hukum Turut


Menentukan Pembaruan Hukum Indonesia, (Online),
(http://www.reformasihukum.org, diakses 1 Februari 2011).
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung.
Penerbit Sinar Baru.
Revida, Erika. (2003). KORUPSI DI INDONESIA: MASALAH DAN SOLUSINYA.
USU Digital Library, (Online), (http://www.usu.ac.id, diakses 1 Februari 2011).
Pangemanan, David. (2009). Makalah Korupsi di Indonesia. Artikel, (Online),
(http://www.blogger.com, diakses 1 Februari 2011).
_____. (2010). Korupsi. Wikipedia Bahasa Indonesia Ensiklopedia Bebas, (Online),
(http://www.wikipedia.com, diakses 1 Februari 2011).

12

Anda mungkin juga menyukai