Anda di halaman 1dari 7

Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010

BIMBINGAN BERHARI RAYA IDUL FITHRI

Oleh Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro


 
MENGAPA DINAMAKAN ‘ID? Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu
yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.
 
Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan dengan berbuka, setelah kita
berpuasa dan membayar zakat fithri. Dan dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf
dan menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti ini terdapat kesenangan
dan kebahagiaan.
 
As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id,
merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya. Pada
masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut. Beliau bersabda, ’Aku datang dan kalian
mempunyai dua hari, yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang
lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri’.” [Dr. Abdullah Ath Thayyar, Ahkam Al ‘Idain
Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, hlm. 9].
 
HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI ‘ID.
Ada beberapa amalan yang disunnahkan bagi kita pada hari yang berbahagia ini, diantaranya:
 
1. Mandi.
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul,
maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja,
maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat. Nafi’
menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma mandi sebelum berangkat ke
tanah lapang. [Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’, 1/177].
 
Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki
menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi. [Irwa’ul Ghalil, 2/104].
 
2. Berhias Sebelum Berangkat Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai
minyak wangi dan bersiwak.
 
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
 
‫م َرا َء‬ َ ‫م ا ْل ِع ْي ِد ُب ْر َد ًة‬
ْ ‫ح‬ ُ َ‫م يَ ْلب‬
َ ‫س يَ ْو‬ َ َّ‫سل‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ِ‫ل هللا‬
ُ ‫صل َّى‬ ُ ‫َكانَ َر‬
ُ ‫س ْو‬
 
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah".
[Ash Shahihah, 1.279].
 
Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka menganggap sunnah memakai
minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al Mughni, 3/258].
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk
dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang
mengenakan burdah (kain selimut warna merah)." [Zaadul Ma’ad, 1/426].
 

Page 1
Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010
Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah,
atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak
menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.
 
3. Makan Sebelum Shalat ‘Idul Fithri.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
 
‫ رواه البخاري‬.ٍ‫م َرات‬ َ َ‫ل ت‬ َ ‫ح َّتى يَ ْأ ُك‬َ ‫ط ِر‬ْ ‫م ا ْل ِف‬
َ ‫ْدو يَ ْو‬ ُ ‫م اَل يَغ‬ َ َّ ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ ‫ول الل‬ُ ‫س‬ ُ ‫َكانَ َر‬
 
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, sehingga Beliau
makan beberapa kurma". [HR Al Bukhari].
 
Dan dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
 
َ ‫س ْي‬
.ِ‫كتِه‬ ِ َ‫ِن ن‬ ُ ‫ َفيَ ْأك‬ ‫ع‬
ْ ‫ُل م‬ َ ‫ج‬ِ ‫ح َّتى يَ ْر‬َ ‫ُل‬ُ ‫ح ِر اَل يَ ْأك‬ ْ ‫م ال َّن‬ َ ‫م َو يَ ْو‬ َ ‫ط َع‬ ْ َ‫ح َّتى ي‬ َ ‫ط ِر‬ ْ ‫م ا ْل ِف‬َ ‫ج يَ ْو‬ ُ ‫خ ُر‬ َ َّ ‫سل‬
ْ َ‫م اَل ي‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ُّ ‫َكانَ ال َّن ِب‬
َ ‫ي‬
‫رواه الترمذي وابن ماجه‬
 
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan.
Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari
daging kurbannya".[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau
tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari daging kurbannya." [Zaadul
Ma’ad, 1/426].
 
4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika berangkat menuju shalat
‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah lapang. 
 
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: 
 
‫ رواه البخاري‬.‫يق‬ َ ‫ف الط َِّر‬ َ َ‫خال‬ َ ‫م إِذَا َكانَ يَ ْو ُم عِي ٍد‬ َ َّ ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫َكانَ ال َّنب‬
 
"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau mengambil jalan yang berbeda ketika
berangkat dan pulang". [HR Al Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan
kaki, dan beliau menyelisihi jalan; (yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain".
[Zaadul Ma’ad, 1/432].
 
Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari ‘Id. Tidak disunnahkan untuk
amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah, sebagaimana disebutkan Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus
Sabil 1/151. Atau dalam masalah amal shalih yang lain, Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitab
Riyadhush Shalihin, bab disunnahkannya pergi ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang,
mengiringi jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya memperbanyak
tempat-tempat ibadahnya.
 
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak bisa diqiaskan. Terlebih lagi amalan-
amalan tersebut ada pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa
Beliau mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai satu kaidah yang
penting bagi thalibul ilmi, segala sesuatu yang ada sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

Page 2
Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010
sallam dan Beliau tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu Utsaimin
berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan, mengambil jalan yang berbeda, khusus
pada dua shalat ‘Id saja, sebagaimana yang zhahir dari perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam Zaadul
Mustaqni’- karena ia tidak menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id.
Hal ini menunjukkan, bahwa dia memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan yang berbeda,
kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].
 
5. Bertakbir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
 
185 -‫شك ُُرونَ البقرة‬ ْ َ‫ُم ت‬ْ ‫ُم َولَ َعلَّك‬ َ ‫هللا َعلَى َما‬
ْ ‫ه َداك‬ َ ‫ملُوا ا ْل ِع َّد َة َول ُِتك َِِّب•” ُروا‬ِ ‫َول ُِت ْك‬
 
"Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang telah dikaruniakan
Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur". [Al Baqarah:185].
 
Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika memungkinkan. Dan jika tidak
mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan.
Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id. Demikian menurut pendapat yang benar,
diantara pendapat Ahlul Ilmi. Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika
mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah menuju tanah
lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain, 24].
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Takbir pada hari Idul Fithri dimulai ketika
terlihatnya hilal, dan berakhir dengan selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian)
menurut pendapat yang benar". [Majmu’ Fatawa, 24/220, 221].
 
Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah datang satu riwayat yang shahih dari
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertakbir pada hari hari tasyriq dengan genap (dua kali)
mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih, akan tetapi
disebutkan di lafadz yang lain dengan tiga kali.
 
‫م ُد‬ َ ‫ َوهللِ ا ْل‬,‫هللا أَ ْكبَ ُر‬
ْ ‫ح‬ َ
ُ ,‫هللا أ ْكبَ ُر‬
َ
ُ , ‫ ال َ إِلَ َه إِال َّ هللا‬,‫هللا أ ْكبَ ُر‬ُ ,‫هللا أ ْكبَ ُر‬
َ َ
ُ , ‫هللا أ ْكبَ ُر‬  ُ
 
Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok orang untuk melafadzkan dengan
satu suara, atau satu orang memberi komando kemudian diikuti sekelompok orang tersebut. Karena,
amalan seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf. Yang sunnah, setiap orang bertakbir sendiri-sendiri.
Seperti ini pula pada setiap dzikir, atau ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu.
[Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 30].
 
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: "Patut untuk diberi peringatan pada saat sekarang ini, bahwa
mengeraskan suara ketika bertakbir tidak disyari’atkan secara berjama’ah dengan satu suara,
sebagaimana yang dikerjakan oleh sebagian orang. Demikian pula pada setiap dzikir yang dibaca dengan
keras atau tidak, maka tidak disyari’atkan untuk berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah
ini" [Silsilah Al Ahadits Shahihah, 1/121].
 
HUKUM SHALAT ID.
Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya. Dari Ummu ‘Athiyyah
Radhiyallahu 'anha, ia berkata:
 
‫صلَّى‬َ ‫ن ُم‬ َ ‫ض أَنْ يَ ْع َت ِز ْل‬ َ َّ‫حي‬ ُ ‫ور َوأَ َم َر ا ْل‬
ِ ‫خ ُد‬ُ ‫ِق َو َذ َواتِ ا ْل‬
َ ‫ن ا ْل َع َوات‬ِ ‫ج فِي ا ْلعِي َد ْي‬ َ ‫خ ِر‬ ْ ‫ أَنْ ُن‬-‫م‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى الل َُّه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َّ ‫تَ ْعنِي ال َّن ِب‬- ‫أَ َم َرنَا‬
َ ‫ي‬
‫ متفق عليه‬.‫ِين‬ َ ‫م‬ ‫ل‬
ِ ‫س‬ْ ُ‫م‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬
 

Page 3
Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010
"Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq (wanita berusia muda)
dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat)
kaum muslimin". [Muttafaqun ‘alaih].
 
Dahulu, Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa menjaga untuk mengerjakan shalat ‘Id. Ini
merupakan dalil wajibnya shalat ‘Id. Dan karena shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, jika
‘Id jatuh pada hari Jum’at. Sesuatu yang bukan wajib, tidak mungkin akan menggugurkan satu kewajiban
yang lain. Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyah, Syaikh Al Albani, 1/380.
 
Pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, merupakan madzhab Abu Hanifah dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Begitu pula pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dia mengatakan di dalam Majmu’Fatawa (23/161), sebagai berikut: “Oleh karena itu, kami merajihkan
bahwa hukum shalat ‘Id adalah wajib ‘ain. Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib, adalah
perkataan yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ‘Id termasuk syi’ar Islam yang terbesar. Kaum
muslimin yang berkumpul pada hari ini, lebih banyak daripada hari Jum’at. Demikian pula disyari’atkan
pada hari itu untuk bertakbir. Adapun pendapat yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah, tidak
tepat”.
 
WAKTU SHALAT ‘IDUL FITHRI.
Sebagian besar Ahlul Ilmi berpendapat, bahwa waktu shalat ‘Id adalah setelah terbitnya matahari
setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari. Yakni waktu Dhuha.
 
Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan
menunaikan zakat fithri.
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Idul
Fithri dan menyegerakan shalat ‘idul Adh-ha. Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, seorang
sahabat yang sangat berpegang kepada Sunnah. Dia tidak keluar hingga terbit matahari”. [Zaadul Ma’ad,
1/427].
 
TEMPAT MENDIRIKAN SHALAT ‘ID.
Disunnahkan mengerjakan shalat ‘Id di mushalla. Yaitu tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin,
kecuali jika ada udzur. Misalnya, seperti: hujan, angin yang kencang dan lainnya, maka boleh dikerjakan
di masjid.
 
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Mengerjakan shalat ‘Id di tanah lapang adalah sunnah, karena
dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya. Demikian
pula khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Mereka telah sepakat di setiap
zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang ketika shalat ‘Id”. [Al Mughni, 3/260].
 
TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAH SEBELUM SHALAT ‘ID.
Dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhuma, keduanya berkata:
 
‫رواه البخاري ومسلم‬.‫حى‬ َ ‫ض‬ْ َ ‫م األ‬ ْ ‫م ا ْل ِف‬
َ ‫ط ِر َوال َ يَ ْو‬ َ ‫ِّن يَ ْو‬
ُ ”•‫ُن ُي َؤِذ‬
ْ ‫م يَك‬ ْ َ‫ل‬
 
"Tidak pernah adzan pada hari ‘Idul Fithri dan hari ‘Idul Adh-ha". [HR Al Bukhari dan Muslim]
 
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
 
‫ رواه مسلم‬.‫ة‬ ٍ ‫ن بِ َغ ْي ِر أَذ‬
ٍ ‫َان َواَل إِقَا َم‬ ِ ‫ن غَ ْي َر َم َّر ٍة َواَل َم َّرتَ ْي‬ ِ ‫م ا ْلعِي َد ْي‬
َ َّ ‫سل‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ ‫سولِ الل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫ع َر‬ ُ ‫صلَّ ْي‬
َ ‫ت َم‬ َ
 

Page 4
Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010
"Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada dua hari raya, sekali atau dua kali,
tanpa adzan dan tanpa iqamat". [HR Muslim].
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tanah
lapang, Beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat ataupun ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang
sunnah, untuk tidak dikerjakan semua itu”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].
 
SHIFAT SHALAT ‘ID.
Shalat ‘Id, dikerjakan dua raka’at, bertakbir di dalam dua raka’at tersebut 12 kali takbir, 7 pada raka’at
yang pertama setelah takbiratul ihram dan sebelum qira’ah, dan 5 takbir pada raka’at yang kedua
sebelum qira’ah.
 
‫سا‬
ً ‫م‬ َ ‫س ْبعًا فِي اأْل ُولَى َو‬
ْ ‫خ‬ َ ‫ن‬ ِ ‫م كَبَّ َر فِي ا ْلعِي َد ْي‬ َ َّ ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى الل َُّه َعلَ ْي‬َ ‫ه‬ ِ َّ ‫ل الل‬ َ ‫سو‬ ُ ‫ِد ِه أَنَّ َر‬”•ِّ ‫ج‬
َ ‫ن‬ ْ ‫ه َع‬ ِ ‫ن أَبِي‬ ْ ‫ف َع‬ٍ ‫ن َع ْو‬ِ ‫م ِرو ْب‬
ْ ‫عن َع‬
‫ رواه ابن ماجه‬.ِ‫خ َرة‬ ِ ‫فِي اآْل‬
 
"Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertakbir pada dua shalat ‘Id tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua".
[HR Ibnu Majah].
 
ْ َ‫س َوى تَ ْك ِبي َرت‬
‫ رواه‬.ِ‫ي ال ُّركُوع‬ ِ ‫سا‬ ً ‫م‬ْ ‫خ‬َ ‫س ْبعًا َو‬َ ‫حى‬ َ ‫ض‬ْ َ ‫ط ِر َواأْل‬ ْ ‫م كَبَّ َر فِي ا ْل ِف‬ َ َّ ‫سل‬
َ ‫ه َو‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ ‫ل الل‬َ ‫سو‬ُ ‫ِش َة أَنَّ َر‬
َ ‫ن َعائ‬ ْ ‫َع‬
‫أبو داود و ابن ماجه‬
 
"Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fithri dan
shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali dan lima kali, selain dua takbir ruku". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat
Irwa’ul Ghalil, 639].
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau memulai shalat ‘Id sebelum berkhutbah. Beliau shalat dua
raka’at. Bertakbir pada raka’at yang pertama, tujuh kali takbir yang beruntun setelah takbir iftitah. Beliau
diam sejenak antara dua takbir. Tidak diketahui dzikir tertentu antara takbir-takbir ini. Akan tetapi (ada)
disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu memuji Allah, menyanjungNya dan mengucapkan
shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (diantara dua takbir tersebut), sebagaimana
disebutkan oleh Al Khallal. Dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma merupakan seorang sahabat yang
sangat tamassuk (berpegang teguh) dengan Sunnah. Beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali
takbir. Dan setelah menyempurnakan takbirnya, Nabi memulai qira’ah. Beliau membaca Al Fatihah,
kemudian membaca surat Qaaf pada salah satu raka’at. Pada raka’at yang lain, membaca surat Al
Qamar. Terkadang membaca surat Al A’laa dan surat Al Ghasyiyah. Telah sah dari Beliau dua hal ini, dan
tidak sah riwayat yang menyatakan selainnya. 
 
Ketika selesai membaca, Beliau bertakbir dan ruku’. Kemudian, apabila telah menyempurnakan raka’at
yang pertama, Beliau bangkit dari sujud dan bertakbir lima kali secara beruntun. Setelah itu Beliau
membaca. Maka takbir merupakan pembuka di dalam dua raka’at, kemudian membaca, dan setelah itu
ruku’”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].
 
APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH ‘ID?
Tidak disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah ‘Id. Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhuma:
 
َ ‫ِل ق َْبلَ َها َوال َ بَ ْع َد‬ ْ َ‫ن ل‬ ْ ‫م ا ْل ِف‬ َ َّ ‫سل‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬ ًّ َ ‫ي‬ َّ ‫أَنَّ ال َّن ِب‬
‫ رواه البخاري‬.‫ها‬ ”•ِّ ‫ص‬َ ‫م ُي‬ ِ ‫ط ِر َر ْك َع َت ْي‬ َ ‫صل َّى يَ ْو‬ َ ‫م‬ َ ‫ه َو‬ ُ ‫صًل•”ى‬
 
"Sesungguhnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, tidak shalat sebelumnya
atau sesudahnya" [HR Al Bukhari].
 

Page 5
Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sama sekali tidak ada satu shalat sunnah saat sebelum atau
sesudah ‘Id”. Kemudian dia ditanya: “Bagaimana dengan orang yang ingin shalat pada waktu itu?” Dia
menjawab: “Saya khawatir akan diikuti oleh orang yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”. [Al Mughni,
Ibnu Qudamah 3/283].
 
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Kesimpulannya, pada shalat ‘Id tidak ada shalat sunnah
sebelum atau sesudahnya, berbeda dari orang yang mengqiyaskan dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat
sunnah muthlaqah tidak ada dalil khusus yang melarangnya, kecuali jika dikerjakan pada waktu yang
makruh seperti pada hari yang lain". [Fath-hul Bari, 2/476].
 
Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka diperintahkan shalat dua raka’at
tahiyyatul masjid. Wallahu a’lam.
 
APABILA SESEORANG TERTINGGAL DARI SHALAT ‘ID, APAKAH PERLU MENGQADHA?
Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan di dalam Asy Syarhul Mumti’ 5/208:
"Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak diqadha. Orang yang tertinggal atau luput dari shalat
‘Id, tidak disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena hal ini tidak pernah ada dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dan karena shalat ‘Id merupakan shalat yang dikerjakan dengan berkumpul secara khusus.
Oleh sebab itu tidak disyari’atkan, kecuali dengan cara seperti itu".
 
Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: "Shalat Jum’at juga tidak diqadha. Tetapi, bagi
orang yang tertinggal, (ia) mengganti shalat Jum’at dengan shalat fardhu pada waktu itu. Yaitu Dhuhur.
Pada shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka tidak diqadha, karena pada waktu itu tidak terdapat
shalat fardhu ataupun shalat sunnah".
 
KHUTBAH ‘IDUL FITHRI.
Dalam Shahihain dan yang lainnya disebutkan:
 
ُ‫ص ِرف‬َ ‫م يَ ْن‬َّ ُ‫صاَل ُة ث‬
َّ ‫ه ال‬ِ ِ‫ي ٍء يَ ْب َد ُأ ب‬ ْ ‫ش‬ َ ‫ل‬ ُ ‫صل َّى فَأَ َّو‬ َ ‫م‬ُ ‫حى إِلَى ا ْل‬ ْ َ ‫ط ِر َواأْل‬
َ ‫ض‬ ْ ‫م ا ْل ِف‬
َ ‫ج يَ ْو‬ُ ‫خ ُر‬
ْ َ‫م ي‬ َ َّ ‫سل‬
َ ‫ه َو‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬َ ‫ه‬ ِ َّ ‫ول الل‬ُ ‫س‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫رواه البخاري و مسلم‬. ‫م‬ ْ ‫ه‬ ْ
ُ ‫م َويَأ ُم ُر‬ْ ‫ِيه‬
ِ ‫م َو ُيوص‬ ْ ‫م َفيَ ِعظ ُُه‬ ُ ‫ُوس َعلَى‬
ْ ‫ص ُفوف ِِه‬ ٌ ‫جل‬ ُ ‫اس‬ ُ ‫ل ال َّناسِ َوال َّن‬ َ ِ‫وم ُمقَاب‬ ُ ‫َفيَ ُق‬
 
"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.
Pertama kali yang Beliau kerjakan ialah shalat, kemudian berpaling dan berdiri menghadap sahabat, dan
mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan
memerintahkan mereka". [HR Al Bukhari dan Muslim].
 
Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya. Dibolehkan untuk
meninggalkan tanah lapang seusai shalat. Tidak sebagaimana khutbah Jum’ah, yang wajib bagi kita
untuk menghadirinya.
 
Di dalam hadits Abdullah bin As Sa’id Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
 
‫ة‬
ِ َ‫طب‬ْ ‫خ‬ ُ ‫ِس لِ ْل‬ َ ‫جل‬ ْ َ‫ب أَنْ ي‬ َّ ‫ح‬ َ َ‫ن أ‬ ْ ‫م‬َ ‫ُب َف‬ ُ ‫خط‬ َ ‫صاَل َة قَا‬
ْ َ‫ل إِنَّا ن‬ َّ ‫ما َقضَى ال‬ َّ َ‫م ا ْلعِي َد َفل‬َ َّ ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫صل َّى الل َُّه َعلَ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ ‫سولِ الل‬ ُ ‫ع َر‬ َ ‫ت َم‬ُ ‫ش ِه ْد‬
َ
‫ب‬ْ ‫ه‬ َ ْ‫ب َف ْليَذ‬ َ ‫ه‬ َ
َ ْ‫ب أنْ يَذ‬ َّ ‫ح‬ َ َ‫ن أ‬ ْ ‫ِس َو َم‬ ْ ‫جل‬ ْ َ‫ َف ْلي‬ 
 
"Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai, Beliau berkata:
“Kami sekarang berkhutbah. Barangsiapa yang mau mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa
yang mau, silahkan pergi". [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil
3/96]
 
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan
shalat, Beliau berpaling dan berdiri di hadapan para sahabat, sedangkan mereka duduk di barisan

Page 6
Bimbingan Berhari Raya Idul Fitri 2010
mereka. Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan dan melarang mereka. Beliau
membuka khuthbah-khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak pernah diriwayatkan -dalam satu haditspun-
bahwasanya Beliau membuka dua khutbah pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dengan bertakbir. Dan
diberikan rukhshah bagi orang yang menghadiri ‘Id untuk mendengarkan khutbah atau pergi". [Zaadul
Ma’ad, 1/429].
 
APABILA HARI ‘ID BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT.
Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah
menghadiri ‘Id menjadi gugur. Tetapi bagi penguasa, sebaiknya memerintahkan agar didirikan shalat
Jum’at, supaya dihadiri oleh orang yang tidak menyaksikan ‘Id atau bagi yang ingin menghadiri Jum’at
dari kalangan orang-orang yang telah shalat ‘Id. Dan sebagai pengganti Jum’at bagi orang yang tidak
shalat Jum’at, adalah shalat Dhuhur. Tetapi yang lebih baik, ialah menghadiri keduanya. [Lihat Ahkamul
‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 18; Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah, Syaikh Abdullah Al Fauzan, hlm. 107].
 
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata:
 
‫ رواه أبو داود و ابن ماجه‬. َ‫ِم ُعون‬
”•ِّ ‫ج‬
َ ‫ة َوإِنَّا ُم‬
ِ ‫م َع‬
ُ ‫ج‬ ْ ‫ج َزأَ ُه م‬
ُ ‫ِن ا ْل‬ ْ َ‫شا َء أ‬
َ ‫ن‬ َ ‫هذَا عِي َدانِ َف‬
ْ ‫م‬ َ ‫ُم‬
ْ ‫ع فِي يَ ْو ِمك‬
َ ‫م‬
َ ‫اج َت‬
ْ ‫ق َْد‬ 
 
"Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau, maka shalat ‘Id telah mencukupi
dari Jum’at. Akan tetapi, kami mengerjakan shalat Jum’at". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah]
 
MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI ‘ID.
Syaikhul Islam ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari ‘Id. Beliau menjawab:
 
“Mengucapkan selamat pada hari ‘Id; apabila seseorang bertemu saudaranya, kemudian dia berkata ‫تقبل‬
‫( هللا منا ومنكم‬semoga Allah menerima amal kebaikan dari kami dan dari kalian), atau ‫أعاده هللا عليك‬
(semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda), atau semisalnya, dalam hal seperti ini telah
diriwayatkan dari sekelompok diantara para sahabat, bahwa mereka dahulu mengerjakannya. Dan
diperperbolehkan oleh Imam Ahmad dan selainnya. Imam Ahmad berkata,’Saya tidak memulai seseorang
dengan ucapan selamat ‘Id. Namun, jika seseorang menyampaikan ucapan selamat kepadaku, aku akan
menjawanya, karena menjawab tahiyyah hukumnya wajib. Adapun memulai ucapan selamat ‘Id bukan
merupakan sunnah yang diperintahkan, dan tidak termasuk sesuatu yang dilarang. Barangsiapa yang
mengerjakannya, maka ada contohnya. Dan bagi orang yang tidak mengerjakannya, ada contohnya
juga". [Majmu’ Fatawa, 24/253, lihat juga Al Mughni, 3/294].Wallahu a’lamu bish shawab.
 
Diselesaikan pada 15 Rajab 1425, bertepatan 30 Agustus 2004.
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Page 7

Anda mungkin juga menyukai