Anda di halaman 1dari 15

SINUSITIS

I. PENDAHULUAN
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus ethmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Semua sinus
dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia. Sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.
(1,2)
Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Sinusitis adalah penyakit peradangan pada lapisan mukosa dari sinus
paranasalis. Lapisan mukosa dari sinus paranasalis merupakan lanjutan dari
mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasalis merupakan bagian dari sistem
pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat
menyerang hidung dan sinus paranasalis. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan
proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus
dianggap sebagai satu kesatuan.(2,3,4)
Penyakit sinusitis merupakan penyakit yang cukup banyak diderita oleh
masyarakat. Tidak jarang pasien datang ke dokter dengan keluhan klinis yang
khas yang mengarah pada dugaan adanya sinusitis, antara lain pilek-pilek kronik,
hidung tersumbat, nyeri kepala kronik, nyeri kepala satu sisi, nafas berbau dan
sebagainya.(2,3)
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat
prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit rinosinusitis ini. Sinusitis bila mengenai beberapa sinus disebut

1
multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.(1,4)
Fungsi dari sinus paranasalis diantaranya berperan dalam artikulasi saat
seseorang berbicara melalui resonansi suara, berperan dalam penyesuaian udara
pernafasan (menghangatkan atau mendinginkan udara pernafasan) sesuai dengan
suhu tubuh, mengeluarkan sekret mukus yang berperan dalam mempertahankan
kelembaban dari rongga hidung, memelihara suhu dalam otak. Selain itu ada
beberapa yang mengatakan bahwa bentuk dari sinus paranasalis melindungi otak
dari trauma tumpul pada daerah frontal.(4,5)

II. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI


Pada orang dewasa kasus sinusitis paranasalis paling sering ditemukan baik
itu sinusitis akut maupun kronik. Insiden terjadinya sinusitis meningkat seiring
dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus respiratorius
lainnya. Kira-kira terjadi pada 35 juta orang setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki karena mereka
lebih sering kontak dengan anak kecil. Angka perbandingannya yaitu 20 %
perempuan : 11,5 % laki-laki. Sinusitis lebih sering diderita oleh anak-anak dan
dewasa muda akibat rentannya usia ini dengan infeksi Rhinovirus. Infeksi virus
Rhinoviral sering terjadi di musim gugur dan musim semi.(5)

III. ETIOLOGI
Diketahui bahwa berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional
dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian juga mukosa sinus dalam suhu
yang lebih rendah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar dan
penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan sebagai etiologi sinusitis.
Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan misalnya dingin, panas, kelembaban
atau kekeringan demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat
merupakan faktor predisposisi infeksi.(2)
Faktor predisposisi lokal berupa infeksi pada gigi, benda asing, polip,
deviasi septal cavum nasi dan tumor dapat menyebabkan obstruksi ostial yang
berhubungan dengan terjadinya sinusitis.(2,6)

2
Agen penyebab dari sinusitis antara lain sebagai berikut :
a. Virus, sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran
nafas atas, infeksi virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring
juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinyu
dengan mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu
dicurigai dapat meluas ke sinus. Agen virus yang biasanya menyebabkan
sinusitis antara lain : Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan
adenovirus.(2,7,8)
b. Bakteri, organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan
penyebab otitis media. Yang sering ditemukan antara lain :
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Branhamella
catarralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes. Penyebab dari sinusitis kronik hampir sama dengan bakteri
penyebab sinusitis akut. Namun karena sinusitis kronik berhubungan
dengan drainase yang kurang adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung bersifat
opportunistik, dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob
(Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bacteriodes dan Veillonella).
(2,8,9)

c. Jamur, antara lain aspergillus, mucormycosis dan fungus.(10)

IV. ANATOMI
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral
rongga hidung. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam tulang wajah yaitu
sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis.(1,2)

3
Gambar 1. Anatomi sinus paranasalis (dikutip dari kepustakaan no. 6)

a. Sinus Maksilaris
Sinus ini merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Berbentuk piramid.
Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosessus alveolaris dan palatum.
b. Sinus Frontalis
Sinus frontalis terletak di os frontal, terbagi dua kanan dan kiri yang
biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh
sekat yang terletak di garis tengah. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi
sinus berlekuk-lekuk. Dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontalis mudah menyebar ke
daerah ini.
c. Sinus Ethmoidalis
Sinus ethmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang
terletak diantara konka media dan dinding medial orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis dibagi menjadi sinus ethmoidalis
anterior dan posterior. Sinus ethmoidalis anterior bermuara di meatus medius dan
sinus ethmoidalis posterior bermuara di meatus superior.

4
d. Sinus Sphenoidalis
Sinus sphenoidalis terletak dalam os sphenoid di belakang sinus ethmoidalis
posterior. Sinus sphenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersphenoid. Batas-batanya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri
median dan kelenjar hipofise, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi), dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons.

V. PATOFISIOLOGI
Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi
sinus dapat dibagi menjadi 2 yaitu : lapisan viscous superficial dan lapisan serous
profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri.
Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan.(3,6,7)
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium
sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi
silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang
baik pada sinus.(3,6,7)
Beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya disfungsi silia adalah
udara dingin yang dapat menghalangi perkembangan epitel siliaris,sehingga
menyebabkan gangguan pergerakan silia dan akhirnya menyebabkan retensi
cairan mukosa. Udara kering dapat mengeringkan lapisan mukosa sinus, yang
dapat menyebabkan berkurangnya sekresi. Jika terdapat suatu massa di saluran
pernafasan dan sinus, seperti polip, benda asing, tumor, dan pembengkakan
mukosa oleh karena rhinitis, dapat menghalangi ostium dan menyebabkan
tertahannya sekresi dan kemudian menimbulkan retensi mukus yang berujung
pada timbulnya infeksi.(3,6,7)

5
Sinusitis kronik merupakan peradangan pada sinus paranasalis menetap
hingga 12 minggu. Proses peradangan yang menetap tersebut dipengaruhi oleh
(9,11)
beberapa hal berikut :
a. Infeksi persisten
b. Alergi dan gangguan sistem imun
c. Faktor intrinsik dan saluran nafas atas (misalnya deformitas)
d. Kolonisasi dari fungsi yang merangsang inflamasi oleh eosinofil
e. Gangguan metabolik
Sinusitis dapat diklasifikasikan dalam 2 cara yaitu berdasarkan waktu
terjadinya (akut, subakut, kronik) dan jenis atau tipe inflamasinya (infectious atau
noninfectious). Sinusitis akut biasanya ditemukan kurang dari 30 hari, sinusitis
subakut terjdi dalam kurun waktu 1-3 bulan sedangkan sinusitis kronik lebih dari
3 bulan. Sinusitis biasanya disebabkan oleh bakteri sedangkan noninfektius
sinusitis disebabkan oleh bahan iritan dan alergi. Sinusitis subakut kronik
biasanya terjadi sebagai akibat dari pengobatan yang tidak sempurna dari sinusitis
akut.(4)
Berdasarkan lokasinya, dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala khasnya :
a. Sinusitis maksilaris – dapat menyebabkan nyeri atau tekanan pada
area maksilaris (pipi), misalnya sakit gigi atau sakit kepala.
b. Sinusitis frontalis – dapat menyebabkan nyeri atau tekanan pada
sinus frontalis (di atas kedua mata) dan sakit kepala.
c. Sinusitis ethmoidalis – dapat menyebabkan nyeri tekan diantara
kedua mata dan sakit kepala.
d. Sinusitis sphenoidalis – dapat menyebabkan nyeri tekan di
belakang mata, juga sering mengarah ke daerah verteks.
Teori terbaru tentang sinusitis mengnyatakan bahwa penyakit ini sering
menjadi bagian dalam penyakit-penyakit sistem respirasi ("one airway" theory)
dan sering berhubungan dengan penyakit asma. Semua bentuk sinusitis dapat
menyebabkan atau menjadi bagian dari infeksi saluran napas pada umumnya
sehingga dapat berhubungan dengan gejala-gejala infeksi saluran napas lainnya
misalnya batuk.(12)

6
VI. DIAGNOSIS
Gejala Klinik
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala
yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti
aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih
(referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk iritatif nonproduktif juga seringkali ada.(2,13,14)
Gejala sinusitis ethmoidalis berupa malaise ringan sampai berat, nyeri kepala
dan nyeri tekan diantara kedua mata dan diatas jembatan hidung, drainase dan
sumbatan hidung. Tampak mukosa dari nasal mengalami edema dan hiperemis
serta adanya mukus purulen. Seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita.(2,13)
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersamaan dengan infeksi sinus
ethmoidalis anterior. Penyakit ini terutama ditemukan pada dewasa, dan selain
dapat ditemukan tanda-tanda infeksi yang umum, terdapat nyeri kepala yang khas.
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh.(2,15)
Sinusitis sphenoidalis biasanya menjadi bagian dari pansinusitis, oleh karena
itu gejalanya tidak khas karena menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.
Gejala yang khas dari sinusitis antara lain berupa nyeri kepala yang mengarah ke
vertex kranium. Nyeri juga biasanya dirasakan di daerah retroorbital,
parietooksipital dan di daerah frontal.(2,13)

VII. GAMBARAN RADIOLOGI


1. Foto polos
Pemeriksaan foto polos adalah pemeriksaan paling baik dan paling utama
untuk mengevaluasi sinus paranasal. Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi
sinus paranasalis terdiri atas berbagai macam posisi, namun yang paling sering
dipakai adalah foto kepala posisi waters.(3)

7
Posisi standar yang biasanya digunakan dalam pemeriksaan radiologi dengan
tujuan mengevaluasi sinus paranasalis antara lain sebagai berikut :
A. Foto kepala posisi Occipito-Mental atau posisi Waters
Foto waters dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap
film, garis orbitomeatus membentuk sudut 45o dengan film. Arah sinar
cahaya horizontal dengan sentrasi pada tulang occipital, 3 cmn diatas
tonjolan occipital eksterna. Pada foto waters, secara ideal piramid tulang
petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris, sehingga kedua
sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Apabila foto dilakukan
pada keadaan mulut terbuka, akan dapat menilai dinding posterior sinus
sfenoid dan nasofaring dengan baik.(3,13)
B. Foto kepala posisi Occipito-frontal atau posisi Caldwell
Foto ini dilakukan dengan kepala menghadap ke film dimana garis
orbitomeatal tegak lurus dengan film. Arah datangnya sinar horizontal
dengan sentrasi pada nasion. Posisi ini sangat baik untuk menilai sinus
frontal dan sinus ethmoid.(3,13)
C. Foto kepala posisi lateral
Foto ini dilakukan dengan posisi kepala terletak sebelah lateral
atau dalam hal ini bidang sagital kepala terletak paralel dengan film
dengan sentrasi pada daerah kantus mata, sehingga dinding posterior dan
dasar sinus maksila berhimpit satu sama lain. Posisi ini sangat baik
dalam menilai sinus sphenoid dan frontal serta ruang nasofaring.(3,13)
Adapun gambaran radiologi sinusitis yang dapat dinilai dari ketiga
posisi foto polos di atas antara lain :
a. Penebalan mukosa
b. Air fluid level (kadang-kadang)
c. Perselubungan homogen atau tidak homogen
d. Penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik)
D. Foto Kepala Posisi Submentoverteks
Posisi ini diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala
pasien menengadah sehingga garis infraorbitomeatal sejajar dengan film.
Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella tursika

8
kea rah verteks. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding
posterior sinus maksilaris.(3,13)
E. Foto Kepala Posisi Rhese
Posisi rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior
sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain.(3,13)
F. Foto Kepala Posisi Towne
Posisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara
30o-60o ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm
diatas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi
ini paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris,
fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zigomatikus
posterior.(3,13)
Pada sinusitis, mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang paling
sering adalah sinus maksilaris, tetapi pada sinusitis kronik tampak juga gambaran
penebalan dinding sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan jaringan
parut yang menebal.(2,9,13)

Gambar 2. (1) Foto kepala sinusitis maksillaris posisi waters


(2) Tampak adanya perselubungan disertai gambaran air fluid level pada daerah sinus maksillaris
kanan (dikutip dari kepustakaan no. 14)

2. CT-Scan

9
Pemeriksaan CT Scan sekarang merupakan gold standard pemeriksaan yang
sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis
dengan baik masing-masing sinus, tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk
jaringan lunak. Potongan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang
dilakukan untuk mengevaluasi sinus paranasalis.(4,11)
CT Scan merupakan pemeriksaan yang sensitif dibandingkan dengan
pemeriksaan foto polos kepala, khususnya pada sinus sphenoidalis dan
ethmoidalis. Kira-kira 50 % pada kasus sinusitis sphenoidalis pada foto polos
tidak tampak kelainan atau normal, tetapi apabila diperiksa dengan CT Scan
tampak kelainan pada mukosa sinus berupa penebalan mukosa.(2,6,11)

Gambar 3. (a) CT Scan potongan coronal memperlihatkan gambaran perselubungan pada sinus

maksilaris kanan dan deviasi septum nasi. (b) CT Scan memperlihatkan gambaran perselubungan
pada kedua sinus maksillaris, tampak pula deviasi septum nasi ke kiri.
(dikutip dari kepustakaan no.14)

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari sinusitis paranasalis yaitu :
1. Fibrosa kistik
Pada gambaran CT Scan, lebih dari 90% pasien CF juga terdapat gambaran
seperti sinusitis kronik yaitu tampak gambaran perselubungan dan displacement
dari dinding lateral cavum nasal pada meatus medius. Tampak pula
pembengkakan pada dinding lateral cavum nasi dengan penumpukan mukus pada
sinus maksilaris.(6)
2. Polip Nasi

10
Pada gambaran CT scan tampak pembesaran/penebalan dinding nasal lateral,
polip antral-choanal juga dapat memberikan gambaran perselubungan pada sinus
maksillaris dengan lesi yang menonjol ke atas dari antrum maksilaris ke choanae.
(6)

IX. PENATALAKSANAAN
Kebanyakan kasus ini dapat ditangani dengan obat-obatan saja. Tetapi pada
keadaan dimana obat-obatan tidak efektif lagi, terapi pembedahan mungkin
diperlukan khususnya pada sinusitis maksilaris kronik.

1. Terapi Konservatif
Sinusitis akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti
amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin ditambah sulfonamide, dengan alternatif
lain berupa amoksisilin/kluvalamat, sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprim plus
sulfonamide. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat, dan tetes
hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama
beberapa hari pertama infeksi namun kemudian harus dihentikan. Kompres air
hangat pada wajah, dan analgetika seperti aspirin, dan asetaminofen berguna
untuk meringankan gejala.(3,9,14,15)
Pasien biasanya menunjukkan tanda-tanda perbaikan dalam waktu dua hari,
dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari. Kegagalan
penyembuhan dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme tidak
peka lagi terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokasi
infeksi. Pada kasus demikian ostium sinus sedemikian edematous sehingga
drainase sinus terhambat dan terbentuk suatu abses sejati. Bila demikian, terdapat
.(3,9,14,15)
suatu indikasi irigasi antrum segera.

2. Terapi Pembedahan
a. Pembedahan Radikal
Bila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal, yaitu
mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang
terkena.(10,14)

11
b. Pembedahan Non Radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional
(BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks
ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga
ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.
Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. (10,14,15)

X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering ditimbulkan antara lain sebagai berikut : (5)
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut
sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis,
ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan
mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke
lateral. Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
3. Komplikasi Intra Kranial
Salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut. Iinfeksi
dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari
sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien
hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.

12
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
Abses otak, setelah sistem vena, mukoperiosteum juga dapat sinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala
sistemik berupa malaise, demam dan menggigil(4,13,15)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Rhinore, infeksi hidung dan sinus. Dalam:


Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehataan telinga hidung tenggorok kepala
dan leher. Jakarta: FK-UI; 2007. Hal. 145-9.

13
2. Ekadayu I. Hidung, anatomi dan fisiologi terapan dan penyakit sinus
paranasalis. Dalam: Adam GL. BOIES buku ajar penyakit THT. Jakarta:
EGC; 1997. Hal. 173-88, 240-57.

3. Rachman MD. Sinus paranasalis dan mastoid. Dalam: Ekayuda I.


Radiologi diagnostic. Jakarta: FK-UI; 2005. Hal. 431-9.

4. Hueston WJ. Sinusitis. In: Hueston’s. Respiratory disorder. USA: Mc


Graw-Hill; 2002. P. 83-102

5. Padang S. Etiologi, patofisiologi dan tatalaksana sinusitis. 2009.


Dokterdai. [Cited 2009 Desember 30]. Available from:
http://www.dokterdai.blogspot.com.

6. Ramanan RV. Sinusitis. 2007. Emedicine. [Cited 2009 Desember 30].


Available from: http://www.emedicine.com.

7. Shiel WC. Sinus infection. 2006. Mendicinet. [Cited 2009 Desember 30].
Available from: http://www.medicinet.com

8. Sobol SE. Sinusitis, acute, medical treatment. 2008. Emedicine. [Cited


2009 Desember 30]. Available from: http://www.emedicine.com.

9. Brown SM. Sinusitis, chronic, medical treatment. 2008. Emedicine. [Cited


2009 Desember 30]. Available from: http://www.emedicine.com.

10. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Disorder of the upper
respiratory airways. In: Murray, Nadel’s. Text book of respiratory
medicine. 4th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. P. 1277-86.

11. Walles J. Sinusitis. 2009. Wikipedia. [Cited 2009 Desember 30]. Available
from: http://www.wikipedia.com.

12. Salamon FN. Sinuses. In: Lalwani’s. Current diagnosis & treatment in
otolaryngology-head & neck surgery. New York: Mc Graw Hill; 2004. P.
285-92.

13. Lee KJ. The nose and paranasal sinuses. In: Lee’s. Essential
otolaryngology head and neck surgery. USA: Mc Graw Hill; 2003. P. 682-
702.

14. Sobol SE. Sinusitis, maxillary, acute, surgical treatment. 2009. Emedicine.
[Cited 2009 Desember 30]. Available from: http://www.emedicine.com.

14
15. Lee D. Sinusitis, frontal, acute, surgical treatment. 2009. Emedicine.
[Cited 2009 Desember 30]. Available from: http://www.emedicine.com.

15

Anda mungkin juga menyukai