BUDI IRWAN
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sejarah
Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus
yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa
megakolon (Fonkalsrud,1997; Swenson dkk,1990). Namun baru 2 abad
kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran
klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon
kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang
pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi
kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah
diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini,
sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi
(Swenson dkk,1990).11 Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan
perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya
kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion
parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu
pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade
kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa
megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan peristaltik
II.5. Diagnosa
II.5.a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka
94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat
angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini,
yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia
2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson
dkk,1990). (Gambar 6)
(ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur,
maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau
tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam
beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. (Gambar 7)
II.5.b.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus
halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam
menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan
dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
(Kartono,1993).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,
yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces
kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung
(ii).Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar
prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal
melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding
posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal
yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end
to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu
dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
1.Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah
klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia;
2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik
transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan
secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan
memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua
klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik
beratkan pada fungsi hemostasis (Kartono,1993).
(iii).Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun
oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif
Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang
ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding
dkk,1997; Swenson dkk,1990).
(iv).Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan
1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis
(Swenson dkk,1990).
II.7. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari
setiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas
penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik
fungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson dkk,1990).
BAB III
METODOLOGI
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Tabel 2. Distribusi usia dan jenis kelamin pasien penyakit Hirschsprung yang
menjalani kolostomi. n = 96
Umur Laki-laki Perempuan Jumlah %
0 – 1 bulan 38 7 45 46,8
1 – 12 bln 21 3 24 25,0
1 – 5 thn 12 4 16 16,7
6 – 9 thn 5 1 6 6,3
10 – 14 thn 3 2 5 5,2
Jumlah 79 17 96 100,0
Tabel 3. Distribusi jenis kelamin dan usia saat menjalani tindakan bedah
definitif dan berdomisili di kota Medan sekitarnya. n = 24
Umur Laki-laki Perempuan Jumlah %
2 – 6 thn 12 1 13 54,2
7 – 12 thn 6 3 9 37,5
> 13 thn 1 1 2 8,3
Jumlah 19 5 24 100,0
IV.3 Komplikasi
Penelusuran komplikasi pasca tindakan bedah definitif pada penderita
Hirschsprung ini kami lakukan melalui 2 cara, yakni mencatat dari rekam
medik untuk sebagian besar kasus, sedangkan dari kasus yang kami lakukan
kunjungi melalui pengamatan langsung dan wawancara (24 kasus).Tabel 5
memperlihatkan daftar komplikasi pasca tindakan definitif tersebut.
1 – 2 kali 2 15 62,5
3 – 5 kali 1 8 33,3
Jumlah 24 100,0
Parameter kedua adalah menilai konsistensi feces, berupa padat, lunak atau
berbentuk cair saja. Konsistensi tinja yang dimaksud adalah konsistensi feces yang
paling sering dikeluarkan penderita sehari-harinya disaat penderita sehat. Jikalau
sulit menilai konsistensi mana yang sebenarnya dimaksud penderita atau
orangtuanya (misal : padat bercampur lunak),maka penulis memilih konsistensi yang
paling dominan atau yang paling tinggi skornya. Tabel 8 memperlihatkan distribusi
konsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan definitif. Tercatat bahwa
tidak satupun penderita mengalami konsistensi fecesnya selalu cair.
Padat 2 14 58,3
Lunak 1 10 41,7
Cair 0 0 0
Jumlah 24 100,0
Perasaan ingin buang air besar adalah salah satu fungsi dari sampling reflex
dimana kita mampu mengenali adanya isi rektum setelah propulsi massa feces ke
rektum dalam jumlah yang signifikans. Namun dengan sampling reflex pula kita
tidak perlu setiap saat melakukan defekasi, dimana terdapat refleks hambatan
rektoanal sehingga defekasi hanya terjadi 1-2 kali sehari. Fungsi sampling reflex
terdapat pada rektum sebagai reservoar feces. Kegagalan ‘membuat rektum baru’
baik secara anatomis maupun fisiologis akan mengakibatkan kegagalan refleks ini
dengan salah satu manifestasinya adalah tidak mengenal adanya rangsangan ingin
defekasi (‘kebelet’). Pada prosedur Duhamel modifikasi (Adang) ,membuat rektum
baru adalah salah satu hal yang krusial yakni dengan memotong septum memakai
klem lurus atau klem Ikeda. Jika septum tidak terpotong sempurna atau rektum
yang aganglionik tersisa cukup panjang, maka dapat menimbulkan stenosis,
hilangnya sensasi rektum dan defekasi tanpa disadari (kecipirit). Tabel 10
memperlihatkan distribusi sensasi rektum pada penderita penyakit Hirschsprung
pasca pull-through .
Tabel 10. Perasaan ingin buang air besar (‘kebelet’) pada penderita
Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-throgh.
Perasaan ingin defekasi Skor Jumlah %
Ada 2 15 62,5
Terus menerus 1 6 25,0
Tidak pernah ada 0 3 12,5
Jumlah 24 100,0
Tabel 14. Hubungan parameter fungsi anorektal dengan skor yang diperoleh.
Parameter Fungsi anorektal
Skor 2 Skor 1 Skor 0
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Frekwensi bab 15 62,5 8 33,3 1 4,2
Konsistensi tinja 14 58,3 10 41,7 0 0
Kecipirit 12 50,0 12 50,0 0 0
Sensasi rektum 15 62,5 6 25,0 3 12,5
Lama menahan bab 13 54,1 10 41,7 1 4,2
Mengenali tinja 14 58,3 9 37,5 1 4,2
Pemakaian pencahar 17 70,8 7 29,2 0 0
x2 = 11,886 df= 12 p = 0,4548
Tabel 15. Hubungan usia penderita saat operasi dengan Fungsi anorektal
Usia Fungsi Anorektal Total
(tahun) Normal Baik Sedang
Jlh % Jlh % Jlh % Jlh %
<4 2 8,3 6 25,0 0 0 8 33,3
4 – 8 3 8,3 6 25,0 2 8,3 11 45,8
>8 0 0 1 4,2 4 16,7 5 20,8
Jumlah 5 20,8 13 54,2 6 25,0 24 100,
x2 = 11,301 df= 4 p = 0,0234
BAB V
PEMBAHASAN
V.3. Komplikasi
Dari tabel 7 terlihat sejumlah komplikasi yang dijumpai pasca tindakan
bedah definitif pull-through, yakni kebocoran anastomose 3 kasus (4,4%),
obstruksi usus 2 kasus (2,9%), enterokolitis 4 kasus (7,5%), kecipirit 3 kasus
(4,4,%), dan kematian 1 kasus (1,4%).
Kebocoran anastomose merupakan komplikasi yang paling serius
pasca tindakan bedah definitif, yang dapat diikuti dengan terbentuknya abses
di rongga pelvik, peritonitis umum, sepsis dan kematian. Apabila anastomose
dilakukan secara langsung, maka insidens terjadinya kebocoran tinggi. Jikalau
dipakai anastomose tidak langsung, artinya anastomose ditunda 10 hingga 14
hari kemudian, seperti pada prosedur Duhamel modifikasi Adang, maka
dalam laporannya Kartono mendapatkan angka yang fantastik, yakni tanpa
satupun kebocoran anastomose pada 65 pasiennya (Kartono,1993).
Stenosis rekti merupakan masalah yang harus segera dikenali dan
diatasi pada penderita penyakit Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif.
Pada prosedur Duhamel modifikasi, stenosis disebabkan oleh pemotongan
septum yang tidak tuntas atau tidak adekuat. Oleh sebab itu,
penatalaksanaannya cukup berupa pemotongan ulang septum
(Kartono,1993).
Pada penelitian ini, dijumpai kejadian enterokolitis pasca tindakan
bedah definitif hanya pada 4 kasus (7,5%), jauh lebih rendah dari angka yang
diperoleh Swenson (12,5%), Kleinhaus (10%) maupun Kartono sendiri
(14,5%). Hal ini mungkin disebabkan oleh 2 hal : jumlah sampel penelitian
yang relatif kecil, atau adanya under reported mengingat sistem pencatatan
rekam medik yang masih kurang baik (Fujimoto dkk,1996).
BAB VI
KESIMPULAN
BAB VII
SARAN
KEPUSTAKAAN
Cilley RE, Statter MB, Hirschl RB,et al. Definitive treatment of Hirschsprung’s disease
in the newborn with a one stage procedure. Arch Dis Child 2001;84:212-7.
Corcassone M, Guys JM, Lacombe M,et al. Management of Hirschsprung’s disease:
Currative surgery before 3 months of age. J Pediatr Surg 1996;30:1132-4.
Engum SA, Petritets M, Rescorla FJ, et al. Familial Hirschsprung’s disease: 20 cases
in 12 kindreds. J Pediatr Surg 1996;26:1286-90.
Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors.
Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
Fujimoto T, Hata J, Yokoyama S,et al. A Study of the extracelluler matrix protein as
the migration pathway of neural crest cells in the gut: Analysis in human
embryo with special reference to the pathogenesis of Hirschsprung’s disease. J
Pediatr Surg 1996;30:1120-6.
Heij HA, Vries X, Bremer I,et al. Longterm anorectal function after Duhamel
operation for Hirschsprung’s disease. J Pediatr Surg 1995;25:430-2.
Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance after
surgery for Hirschsprung’s disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443-6.