Anda di halaman 1dari 2

Tata Laksana

Malaria
Tata Laksana Malaria Terkini

Saat ini kasus malaria meningkat di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Bahkan
kasus malaria di Indonesia pun mulai menyebar sampai ke Jawa dan Bali akibat
mobilisasi penduduk Indonesia bagian Timur.
Situasi tersebut diperburuk dengan adanya krisis ekonomi dan meningkatnya kasus
malaria multiresistan. Disebutkan bahwa parasit Plasmodium telah resistan terhadap
klorokuin dan sulfadoksin pirimetamin sehingga dibutuhkan tata laksana malaria baru.

Pembahasan mengenai tata laksana malaria terkini dipaparkan secara jelas oleh dr. Paul
Harijanto, SpPD-KPTI dalam simposium 9th Jakarta Antimicrobial Update (JADE)
2008. Pada kesempatan tersebut beliau memaparkan pedoman tata laksana malaria terkini
yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2006, yaitu penggunaan terapi kombinasi dengan
artemisinin (Artemisinin base Combination Therapy, ACT). Terdapat empat macam ACT
yang direkomendasikan, yaitu artesunat dan meflokuin, artemeter-lumefantrin, artesunat
dan amodiakuin, serta artesunat dan sulfadoksin- pirimetamin. Namun, yang ada di
Indonesia saat ini hanyalah kombinasi artesunat dan meflokuin serta artemeter dan
lumefantrin.

Beberapa studi pun dilakukan untuk melihat efektivitas ACT tersebut. Studi di Thailand
dilakukan terhadap 490 pasien malaria falsiparum tanpa komplikasi. Sampel secara acak
diberikan artemeter-lumefantrin (n=245) serta artesunat dan meflokuin (n=245),
kemudian dipantau selama 42 hari. Selama pemantauan ternyata semua pasien
memberikan respons klinis dan parasitologi yang cepat. Hasilnya pun didapatkan angka
kesembuhan yang tinggi pada hari ke-42 untuk kedua macam ACT tersebut. Keduanya
juga ditoleransi sangat baik tanpa menimbulkan efek samping yang serius.

Studi lain di Papua membandingkan efektivitas antara dihidroartemisinin-piperakuin


dengan artesunat dan amodiakuin pada malaria falsiparum dan vivax. Ternyata
dihidroartemisinin-piperakuin lebih efektif dan ditoleransi lebih baik dibandingkan
kombinasi artesunat dan amodiakuin. Selain itu didapatkan angka kegagalan menurunkan
jumlah parasit pada hari ke-42 sebesar 45% untuk kombinasi artesunat dan amodiakuin
serta 13% untuk dihidroartemisinin-piperakuin.

Pada simposium tersebut, Paul mengatakan bahwa artemisinin dapat digunakan oleh
orang hamil tanpa efek samping yang mengkhawatirkan. Selain itu, pemberian artemisinin
tidak perlu penyesuaian dosis. Bahkan derivat artemisinin juga efektif diberikan pada
kasus malaria berat. Dosis artesunat untuk malaria berat adalah 2,4 mg/kgBB yang
diberikan setiap dua belas jam selama tujuh hari. Pemberian obat anti malaria untuk
malaria berat sebaiknya secara parenteral atau dalam bentuk supositoria.

Walaupun belum ada laporan kasus kegagalan pengobatan dengan artemisinin, tetapi
penelitian untuk menemukan ACT yang paling efektif masih perlu dilakukan. Selain itu
perlu ditekankan bahwa penggunaan ACT harus disiplin untuk mencegah terjadinya
resistansi terhadap artemisinin.

Selain menjelaskan tentang ACT, Paul pun mengungkapkan bahwa tata laksana malaria
didasarkan pada diagnosis mikroskopik dan harus dipantau selama 28-42 hari karena obat
anti malaria memiliki waktu paruh yang panjang. Hal lain yang juga perlu diperhatikan
adalah pentingnya pemberian obat anti malaria dosis awal sebelum merujuk pasien
malaria.

Anda mungkin juga menyukai