Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TERLAMBAT MENYADARI
Karya : SHINTA AMELDIA IMAWAN
Aku tidak tahu dimana ini. Gelap. Sulit rasanya untukmembuka mata. Seperti tidak ada
tenaga. Hanya bau bius obat-obatan dan rasa sakit yang sangat yang bisa kurasakan. Sakit. Sakit
sekali rasanya di bagian kepala. Tidak bisa kujelaskan bagaimana rasa sakitnya. Pusing dan seluruh
badanku sakit. Tiba-tiba aku teringat. Seperti ada potongan-potongan gambar yang aku lihat.
Flashback.
***
September 1997
“akhirnya kita sampai sayang”. Mama berkata kepadaku sewaktu kami sampai di rumah
kami yang baru. Ya, aku baru saja pindah kelingkungan ini. Kami pindah ke sini karena beberapa
alasan. Salah satunya karena dekat dengan rumah sakit tempat aku harus menjalani terapi . aku
mengidap penyakit yang kata orang banyak sungguh mematikan. Apalagi di usiaku yang masih
sangat anak-anak. 9tahun.
“iya ma”. Jawabku. Sebenarnya aku tidak masalah tentang kepindahan ini. Karena di
lingkungan yang dulu aku tidak terlalu dekat dengan teman-teman sekolahku bahkan tetanggaku. Itu
dikarenakan kondisiku yang sering keluar-masuk rumah sakit.
“mudah-mudahan disini kamu bisa berbaur ya sayang”. Mama berkata sambil mengecup
pipiku.
“mamaaa!!”. Aku paling tidak suka kalo pipiku dicium mama. Mama hanya tersenyum
melihat tingkahku.
“ya sudah, ayo kita masuk sayang”. Mama berkata sambil menggandeng tanganku
“iya ma”. Jawabku sambil mengikutinya. Tapi di sudut mataku di seberang jalan rumahku
aku melihat seorang anak perempuan tersenyum manis kepadaku sambil melambaikan tangannya
kepadaku. Aku hanya bingung lalu membalas tersenyum padanya
***
Maret 2003
“randy!! Enggak kerasa ya kita bentar lagi ujian akhir. Bentar lagi SMA. Waaahh, enggak
sabar pake putih-abuabu”. Tara berkata padaku dengan riangnya. Sudah hampir 6 tahun aku
bersahabat dengannya. Dimulai dari seorang anak kecil yang tersenyum waktu itu. Hanya dia satu-
satunya orang yang bisa dekat denganku.
“iya Ra. enggak terasa yaa. Enggak terasa juga kita udah sahabatan 6 tahun”.jawabku sambil
tersenyum kepadanya.
“iya. Hmm,, nanti kamu mau masuk SMA mana Ran?”. Tara bertanya padaku.
“belum tahu juga Ran. Tapi aku maunya bareng kamu lagi. Kan aneh rasanya udah 6tahun
bareng kamu terus eh, tiba-tiba enggak bareng lagi”. Jawab Tara dengan nada sedih
“yaudah. Nanti kita bareng lagi. Jangan sedih gitu ya”. Aku berkata sambil tersenyum dan
mengacak-ngacak rambutnya.
Aku sudah lama memendam perasaan pada Tara. Sejak SD. Karena sewaktu itu hanya dia
yang bisa dekat denganku. Tapi aku tidak tahu perasaannya tentangku. Ingin rasanya mengatakan
apa isi perasaanku padanya tapi aku takut. Takut kalau dia menolak dan akhirnya mengubah
persahabatan kami. Takut juga kalau dia menerimanya, aku tidak bisa menjaganya sepenuhnya.
Dengan penyakitku ini , aku tahu hidupku tinggal sebentar lagi.
***
Oktober 1997
Sesampainya di rumah setelah dari rumah sakit, aku melihat anak perempuan yang sewaktu
itu tersenyum kepadaku di depan halaman rumahnya yang berhadapan dengan rumahku. Aku hanya
memperhatikannya dari teras rumahku, dan tiba-tiba dia berjalan kearah rumahku. Dan
mendatangiku dengan senyuman yang sangat lucu.
“hai! Nama kamu siapa?”. Anak perempuan itu bertanya padaku sambil tersenyum riang.
“Tara. Mulai sekarang kita sahabatan ya Randy?!”. Jawab Tara degan nada yang agak
memaksa.
Aku kaget dan hanya bisa tersenyum kepada anak pperempuan itu.
***
Semakin jelas potongan-potongan kejadian itu, semakin jelas pula sakit yang kurasakan di
otakku. Tapi semakin banyak kejadian-kejadian tentang Tara yang terlintas jelas di otakku.
***
September 2007
“Randy!! Rupanya kita 1fakultas. Aku senang banget. Aku kira kamu enggak mau masuk
fakultas kedokteran. Aku kira kamu mau masuk fakultas arsitektur. Soalnya kamu kan suka gambar”.
Tara berkata dengan riangnya ketika bertemu di kantor administrasi fakultas kami.
“iya ni Ra. Aku pengen aja masuk kedokteran”. Lanjutku sambil nyengir kepadanya.
Sejujurnya aku memang lebih ingin masuk fakultas arsitektur. Tapi karena aku ingin bersama Tara
jadinya aku mengikutinya.
“pengen aja?? Dasar kamu ni. Enak banget ngomongnya. Orang susah-susah buat masuk
fakultas kedokteran, eeehh, dia malah gampang banget masuknya. Emang kamu ya , pinternya
kebangetan. Hhaha “. Tara berkata dengan nada setengah heran dan setengah bingung.
“Hahaha. Enggak gitu juga ahh. Perasaan kamu aja tuh”. Kataku sambil merendahkan diri.
Salah satunya yang aku sukai dari Tara adalah sifatnya yang sangat periang. Mau
bagaimanapun kondisinya keadaannya pasti dia selalu ceria selalu ramah sama orang lain. Selalu
sopan. Sudah sepuluh tahun aku bersahabat dengannya tapi ada satu rahasia yang aku sembunyikan
darinya. Tentang penyakitku. Tentang alasanku yang terkadang enggak masuk akal ketika dia
memintaku untuk menemaninya mengerjakan tugas yang padahal sebenarnya aku harus terapy ke
rumah sakit. Terkadang tiba-tiba aku pucat dan mimisan dia langsung peduli dan langsung
merawatku.
***
April 2010
“randy, saya ingin mengatakan sesuatu yang serius. Tapi saya harap kamu harus kuat dan
tegar menerima ini semua”. Dokter berkata serius kepadaku. Wajahnya sangat sedih.
“ada apa dok? Saya tidak mengerti dokter ingin mengatakan apa”. Lanjutku dengan sangat
bingung.
“kamu di diagnosis hanya bertahan sampai 3bulan ini, karena kanker otak yang kamu derita
sudah stadium lanjut”. Dokter berkata sedih tapi penuh wibawa kepadaku.
“3 bulan dok? Ya TUHAN!!”. Aku agak syok mendengarnya. Apa yang harus aku lakukan
sekarang? Aku belum bisa membahagiakan orang tuaku. Belum menyatakan perasaanku kepada
Tara. 3bulan? Bearti juli? Itu pas aku wisuda. Ya Tuhan . aku hanya menyerahkan diri kepadaMu.
***
Juli 2010
Hari ini tepat hari aku wisuda. Aku sudah berpakain rapi mengenakan jas terbaikku dan aku
siap untuk melanjutkan hidup menjadi dokter yang sukses. Aku sudah janjian dengan Tara untuk
pergi bersama ke tempat wisuda kami. Ya kami akan menjadi dokter terbaik. Dan rencananya hari ini
aku akan mengatakan perasaanku kepada Tara.
Tapi sepertinya takdir akan menjemputku. Tiba-tiba sewaktu aku akan menjemput Tara di
rumahnya, aku mengalami pendarahan yang hebat dari hidung dan mulutku. Penglihatanku
berbayang. Dan aku sudah meihat Tara menggenakan kebaya yang sangat pas dan cantik di
tubuhnya, lalu semuanya gelap.
***
Seperti ada yang memanggil namaku. Pusing , sangat pusing. Seketika aku mencoba untuk
membuka mataku. Terlihat Tara memanggil-manggil namaku sambil menangis. Jangan. Wajah itu
jangan ternoda oleh tangisan yang sia-sia .
“Randy. Sadar ran. sadar dong!!. Tara enggak mau ngeliat randy kayak gini. Please ran. Tara
sayang ma randy. Randy bangun ya!!” tara berkata sambil menangis di sisiku dan memegangi
tanganku.
“Tara sayang, randy juga sayang banget ma Tara. Maaf ya Randy baru berani bilang sekarang
, soalnya sandy takut untuk mengakuinya. Maaf juga karena randy enggak pernah ngasih tau Tara
tentang semua ini , tentang perasaan randy dan tentang penyakit randy ini”. Lanjutku dengan sangat
pelan
“iya udah Tara maafin kok. Yang penting sekarang itu Randy harus bertahan. Randy harus
kuat. Kalo rendy sayang ma Tara, Randy harus kuat ya. Please!!”. Ucap tara sembari tetap menangis.
“ maaf sekali lagi ya Tara, Randy enggak bisa janji tentang itu. Randy ngerasa kalo waktunya
udah dekat. Dekat bangeet!! Maaf ya”. Aku berkata sambil meneteskan air mata.
“Randy enggak boleh ngomong gitu. Randy harus kuat. Yaa??”. Isak tangisan Tara semakin
kuat. Aku semakin tidak tega mendengarnya. Tapi aku harus apa?? Tuhan sudah memilihkan jalanku.
Aku hanya bisa berdoa dam memohon kepada Tuhan agar Dia dapat menjaga Tara.
“maaf”. Hanya itu kata yang terakhir aku ucapkan. Selanjutnya aku tidak tahu apa yang
terjadi. Aku tidak dapat merasakan apa-apa lagi. Gelap. Tenang dan damai.
***the end***