Anda di halaman 1dari 3

Kalau Pengadilan Agama Bisa, Mengapa yang Lain Tidak?

Sumber : Hukum Online

Sistim pembuktian dalam hukum acara perdata sudah ketinggalan zaman. Mau tidak mau
harus mengakomodir perkembangan teknologi. Tapi RUU Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata terkesan masih malu-malu mengakui?

Ketika Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE)  disahkan tak sedikit perdebatan muncul. Ada yang gagap menghadapi kemungkinan
problematika hukum yang timbul jika sistim elektronik dibawa ke ranah hukum. Kontroversi
atas penerapan Undang-Undang ini menemukan momen ketika Prita Mulyasari, seorang
pasien, mempersoalkan layanan rumah sakit melalui email.

Perdebatan demi perdebatan menghiasi ruang sidang jika sudah tiba pada pembuktian
secara elektronik. Kita lantas mendengar pandangan pengacara Antasari Azhar yang tegas-
tegas menolak alat bukti elektronik diterapkan dalam kasus pembunuhan. Dalam kasus
terorisme, pencucian uang, perbankan, dan korupsi, bukti elektronik bisa saja diterima
karena Undang-Undang yang menaunginya jelas mengakomodir. Tapi bagaimana dalam
hukum acara perdata? Inilah yang coba dibahas Efa Laela Fakhriah dalam bukunya Bukti
Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.

Hukum acara perdata yang berlaku selama ini, yakni HIR dan RBg, menganut prinsip bahwa
hakim terikat pada alat bukti yang sah. Artinya, hakim hanya boleh mengambil keputusan
berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan dalam Undang-Undang. Kondisi ini dalam
praktik menyulitkan proses penyelesaian sengketa, khususnya berkaitan dengan transaksi
e-commerce (hal. 11).

Faktanya, model transaksi dengan menggunakan jalur elektronik sudah lazim digunakan
orang. Pemesanan barang seperti baju, sepatu, dan buku melalui email sudah jamak. Tak
ada pertemuan fisik antara pembeli dan penjual. Calon pembeli juga tak bisa memastikan
langsung apakah ada cacat tersembunyi dalam barang atau tidak. Nyatanya, transaksi bisa
berjalan. Transaksi perbankan melalui ATM atau e-banking bukan sesuatu yang baru bagi
masyarakat, khususnya di perkotaan. Di sidang-sidang Mahkamah Konstitusi, penggunaan
telekonferensi untuk mendengar keterangan saksi atau ahli sudah jamak dilakukan.

Dalam hukum positif Indonesia, hukum pembuktian memang telah mengalami perubahan,
baik beban pembuktian maupun alat-alat bukti. Sayangnya, perubahan itu dilakukan secara
parsial sehingga berpotensi tumpang tindih dan inkonsisten. Perkembangan dan perubahan
sistim pembuktian banyak didorong oleh kasus-kasus yang masuk ke meja hijau. Demikian
pula yang terjadi dalam hukum acara perdata. Walhasil, validitas pembuktian secara
elektronik dalam ranah perdata sangat tergantung pada hakim. Kekuatan pembuktiannya
menjadi bebas (hal. 204).

Hampir dua puluh tahun sebelum UU ITE tersebut lahir, Pengadilan Agama Jakarta Selatan
sebenarnya sudah membuat sebuah ‘terobosan’ berkaitan dengan pengakuan alat bukti
elektronik. Lewat putusan No. 1751/P/1989 tertanggal 18 Mei 1990, hakim Pengadilan
Agama Jaksel memutuskan surat/akta perkawinan yang ijab kabulnya dilakukan dengan
menggunakan media elektronik adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum (hal. 10).

Kalau Pengadilan Agama sudah merespon perkembangan itu dua puluh tahun lalu, mengapa
yang lain tidak? Begitu pula yang ada di pikiran pemerintah. Pada 2006 silam pemerintah
sudah membentuk tim yang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Alat Bukti
Elektronik. Penulis buku ini adalah salah seorang anggota tim tersebut.

RUU Hukum Acara Perdata yang terus disempurnakan di Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia juga sudah berusaha mengakomodir perkembangan itu. Jika HIR/RBg
menggunakan pembuktian tertutup, RUU Hukum Acara Perdata berencana mengatur
pembuktian secara terbuka (hal. 196). Hal itu dapat dilihat dari rumusan pasal 83 RUU:
“Pembuktian dapat dilakukan dengan semua alat bukti, kecuali Undang-Undang
menentukan lain”.

Menurut Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah, MH, Penulis buku "Bukti Elektronik dalam Sistem
Pembuktian Perdata" , RUU masih belum tegas mengatur atau menyebutkan pembuktian
dengan menggunakan bukti elektronik. Pengakuan itu terkesan malu-malu karena hanya
“tersirat saja. Kalau demikian, kata penulis, harapan agar hukum acara perdata
mengakomodir perkembangan sistim pembuktian elektronik belum dapat dipenuhi.

Bandingkan dengan Belanda, asal muasal HIR/Rbg. Negeri Kincir Angin itu sudah punya
Dutch Electronic Signature Act (DESA) sejak 2001. Bahkan Burgerlijk Wetboek (BW)
Belanda sudah mengatur secara jelas elektronich vermogensrechtelijk rechtsverkeer, alias
lalu lintas hukum harta kekayaan secara elektronik (hal. 150).

Penulis buku, seorang dosen Universitas Padjadjaran Bandung, berada dalam kelompok
yang menginginkan agar hukum acara perdata segera mengakomodir perkembangan alat
bukti elektronik. Apalagi dalam praktik, pada umumnya hakim sudah menerima kok.

 
Jadi? Kita perlu membaca argumentasi yang dibangun penulis dalam buku yang berasal dari
disertasi doktor ini. Jika sudah membaca secara lengkap, kita akan bisa menentukan sikap.
Dan ketika membaca buku itu pula, kita akan menemukan beberapa kesalahan yang
mengganggu. Kalau tak punya waktu membaca secara utuh, pada bagian belakang buku
indeks yang cukup membantu.

Anda mungkin juga menyukai