Anda di halaman 1dari 15

AWAN PANAS LETUSAN TIPE ST.

VINCENT 2010 DAN


DAMPAKNYA BAGI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI

Oleh: Yasin Yusup1


1
Prodi Pendidikan Geografi FKIP UNS, Mahasiswa Program Doktor Perencanaan Wilayah Kota ITB, Email:
yyfgeo@gmail.com

ABSTRAK

Letusan Gunungapi Merapi 2010 menghasilkan awan panas yang berbeda dengan awan panas yang biasa
terjadi di Merapi. Awan panas yang menjadi ciri khas G. Merapi adalah awan panas guguran yang mengikuti proses
pembentukan dan penghancuran kubah lava yang bersifat sektoral menuju lereng tertentu. Letusan 2010 tidak
membentuk kubah terlebih dahulu, fase utama berupa letusan yang menghancurkan sumbat lava dan menghasilkan
awan panas letusan tipe St. Vincent menuju ke segala arah. Dampak letusan sangat besar, zona sejauh 8,5 km
menuju ke Lereng Selatan hangus total terbakar awan panas dengan konsentrasi endapan awan panas di Kali Gendol
mencapai 15 km. Dibandingkan letusan 2006, zona letusan di Lereng Selatan berbeda secara nyata karena pengaruh
setting morfologi dalam meredam laju awan panas boleh dikatakan tidak berlaku lagi. Terbukanya kawah
menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”, dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan
lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak.
Mitigasi yang tepat adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona
terdampak.
Kata Kunci: awan panas guguran, awan panas letusan, dampak letusan, setting morfologi, mitigasi

1. LATAR BELAKANG

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007).
Risiko bencana terbentang sepanjang waktu melalui konsentrasi orang dan aktivitas ekonomi di
daerah yang terpapar bahaya seperti gempabumi, siklon tropis, banjir, kekeringan, dan tanah
longsor (ISDR, 2007).

Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan masuk dalam negara
dengan penghasilan menengah, serta terletak di daerah pertemuan 3 lempeng aktif dan daerah
tropis, Indonesia termasuk daerah yang memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi. Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan

[Type text] Page 1


demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam,
faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan
tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu
pertimbangan diundangkannya UU penanggulangan bencana (UU No. 24 Tahun 2007).

Setiap tahun baik bencana geologi, bencana atmosfer, bencana biologi, dan bencana
sosial selalu terjadi di Indonesia. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED
International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling
sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana
yang paling mematikan (8000 – 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan
gunungapi.

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai gunungapi aktif terbanyak di dunia,
yaitu lebih dari 30% dari gunung aktif dunia ada di Indonesia. Sepanjang pertemuan lempeng
lebih dari 190 gunungapi berbaris seperti mutiara di atas sebuah kalung (like pearls on a
necklace). Barisan gunungapi sepanjang kurang lebih 7.000 km tersebut membentuk sabuk
memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara pada satu rangkaian dan menerus ke
arah utara sampai Laut Banda dan bagian utara Pulau Sulawesi (Effendi, dkk, 2004; Mawardi,
2006).

Gunungapi aktif di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan sejarah


letusannya, yaitu tipe A (79 buah), adalah gunungapi yang pernah meletus sejak tahun 1600, tipe
B (29 buah) adalah yang diketahui pernah meletus sebelum tahun 1600 dan tipe C (21 buah)
adalah lapangan solfatara dan fumarola (Bemmelen, 1949; Kusumadinata 1979; Pratomo, 2006).
Kawasan gunung api di Indonesia merupakan daerah pertanian yang subur dan selalu padat
penduduk sejak zaman dahulu, walaupun tidak lepas dari ancaman bencana letusan. Saat ini
lebih dari 10 persen penduduk Indonesia bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi.

Dalam rekaman sejarah gunungapi di dunia, tercatat 2 letusan besar terjadi di Indonesia,
yaitu Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Letusan terbesar dalam sejarah manusia adalah
letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1815. Debunya tersebar di seluruh muka bumi dan pada
tahun 1816 menyebabkan penurunan temperatur rerata bumi 1 derajat. Tahun 1816, sejak itu
dikenal sebagai tahun tanpa musim panas di belahan bumi utara. Gunungapi Krakatau yang

[Type text] Page 2


meletus pada bulan Agustus 1883, memiliki dampak yang terkenal di seluruh dunia. Awan
debunya melintasi dunia beberapa kali dan kejadian tersebut memicu tsunami yang mampu
mendorong kapal-kapal perang ratusan meter ke daratan. (Davidson & Da Silva, 2000; Pratomo
& Abdurachman, 2004; Mawardi, 2006).

Salah satu gunungapi yang paling sering meletus adalah Gunungapi Merapi. Gunungapi
tersebut boleh dikatakan selalu aktif sejak tahun 1900 sampai dengan sekarang, terjadi 24 kali
erupsi dengan periode diam atau istirahat yang pendek (rata-rata tidak lebih dari 3,5 tahun).
Sebagai pembanding G. Kelud di Jawa Timur mempunyai siklus letusan 15 tahun sekali (Voight,
et al, 2000). G. Merapi mempunyai tipe letusan khusus yang berbeda dengan tipe yang lainnya
yang sudah banyak dikenal (seperti tipe Vulcanian, tipe Peleean, dan tipe St Vincent) yaitu tipe
letusan dengan ciri khas awan panas guguran atau sering disebut Tipe Merapi (Voight, et al,
2000). Penduduk di sekitar lereng G. Merapi menyebut awan panas sebagai “wedhus gembel”
karena gerakannya ketika menuruni lereng seperti gerombolan wedus gembel yang sedang
`berlari` menuruni lereng. Berbeda dengan tipe awan panas vulcanian yang penyebaran awan
panasnya lebih luas, arah gerakan awan panas Tipe Merapi memusat ke satu arah, sehingga
daerah bahaya awan panas Tipe Merapi bersifat sektoral untuk lereng yang dituju.

Bahaya gunungapi dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Smith, 1996.,
Stieltjes and Wagner, 1999, Wright, et al. 1992, Crandell, 1984). Bahaya primer atau bahaya
langsung, didasarkan pada dampak langsung dari hasil-hasil erupsi, meliputi aliran lava (lava
flows), aliran piroklastik (pyroclastic flow), bahan jatuhan (free-fall deposits) dan gas. Bahaya
sekunder atau bahaya tidak langsung didasarkan pada akibat sekunder dari erupsi, meliputi lahar,
gerakan massa (slumps, slides, subsidence, block falls, debris avalanche), tsunami dan hujan
asam. Baik bahaya primer maupun sekunder saat ini terjadi mengiringi erupsi Merapi 2010
khususnya aliran piroklastik atau sering disebut awan panas atau wedhus gembel; bahan jatuhan
seperti  abu, pasir, dan kerikil, khusus abu  diberitakan sudah menjangkau jarak ratusan km (Kota
Bogor), bahkan mengganggu aktivitas penerbangan; Bahaya sekunder berupa lahar saat ini
mencemaskan warga di bantaran Kali Code di Kota Yogyakarta. Tulisan ini lebih fokus kepada
bahaya primer yang paling banyak menimbulkan dampak bencana, khususnya korban jiwa yaitu
aliran piroklastik atau awan panas.

[Type text] Page 3


Piroklastika merupakan bahan hamburan yang langsung berasal dari magma. Istilah itu
berasal dari kata pyro (bahasa yunani) yang berarti api dan clast yang berarti kepingan, butiran,
fragmen atau pecahan. Dengan demikian piroklastika berarti kepingan yang berapi, membara
atau berpendar pada saat dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan bumi melalui kawah
gunungapi. Awan panas merupakan salah satu bentuk aliran piroklastik, berupa aliran suspensi
dari batu, kerikil, abu, pasir, dalam suatu masa gas vulkanik panas yang keluar dari gunungapi
dan mengalir turun mengikuti lerengnya. Kecepatan aliran dapat mencapai lebih dari 100 km per
jam dengan jarak jangkau dapat mencapai puluhan kilometer (Ratdomopurbo dan Andreastuti,
2000). Dari kejauhan, awan tersebut seperti awan bergulung-gulung menuruni lereng gunungapi,
yang pada waktu malam aliran tersebut nampak membara. Benturan antar batu-batu atau material
yang besar di dalam awan panas itu terlindungi oleh gas sehingga benturan teredam. Oleh karena
itu aliran awan panas sekalipun dalam bentuk turbulensi dalam perjalanannya tidak berisik
seperti longsoran material dingin (lahar).

Awan panas khususnya di G. Merapi dibedakan menjadi awan panas guguran, awan
panas letusan dan awan panas letusan terarah (Voight, et al, 2000). Awan panas yang sering
disebut sebagai wedus gembel yang masuk dalam kategori Tipe Merapi, hanya merupakan salah
satu bentuk awan panas yang ada, tetapi awan panas tipe inilah yang paling sering terjadi, lihat
Tabel 1 dan Gambar 1-C. Awan panas 2010 menurut pendapat penulis ciri-cirinya lebih dekat
dengan awan panas letusan yang sering diidentifikasi sebagai awan panas tipe St. Vincent. Awan
panas ini terbentuk karena runtuhnya material vulkanik yang tererupsi secara vetikal, lihat Tabel
1, Gambar 1-B. Sementara awan panas letusan terarah menurut penulis juga pernah terjadi di
Merapi yaitu saat letusan tahun 1930 yang menghasilkan awan panas terjauh abad 20 yaitu 13
km, lihat Tabel 1 dan Gambar 1-A, tetapi rekor ini dipecahkan awan panas 2010.

Dampak letusan sangat terkait dengan bukaan kawah di puncak, dan efektif tidaknya
morfologi pelindung dan besar-kcilnya letusan. Berdasarkan hasil interpretasi citra sebelum
erupsi (SPOT-5 tanggal 1 Mei 2006) dan citra setelah erupsi (ALOS-PALSAR September 2006)
tampak bahwa terjadi perubahan morfologi di sekitar puncak G. Merapi (Gambar 2). Perubahan
tersebut meliputi adalah runtuhnya Geger Boyo pada lereng Selatan dan semakin lebarnya
perimeter hulu sungai K. Gendol (LAPAN, 2006). Berdasarkan pengukuran, terjadi perubahan
ukuran lebar hulu K. Gendol dari sebelum erupsi sekitar 50 – 75 meter menjadi sekitar 150 –250

[Type text] Page 4


meter (BPPTK, 2006, dalam LAPAN, 2006). Kondisi demikian akan membuka jalan bagi
guguran lava pijar dan awan panas mengarah ke sungai tersebut, lihat Gambar 2.

Tabel 1. Klasifikasi Istilah yang Sering Digunakan untuk Menamakan Awan Panas

Lacroix, Escher,1933 and Voight, et al, Padanan kata Mekanisme


1930 Macdonald, 1972 2000 Indonesia Pembentukan
Nuee Merapi-type, Dome- Awan panas Runtuhnya kubah
ardentes glowing clouds collapse nuee guguran lava (dome collapse)
d`avalance ardentes
Fountain- Nuee ardentes St. Vincent- Awan panas Runtuhnya material
collapse d`explosions type glowing letusan vulkanik yang
nuee vulkaniennes clouds tererupsi secara
ardentes vertikal (collapse of
vertically erupted
debris fountain)
Directed- Nuee peelenes Glowing Awan panas Ledakan terarah
explosion d`explosion clouds by letusan terarah (directed blast)
nuee dirigee directed
ardentes blasts
Sumber : Voight, et al, 2000

[Type text] Page 5


Gambar 1. Tipe-Tipe Awan Panas (A) Tipe Pelee, (B) Tipe St. Vincent, (C)
Tipe Merapi (Macdonald, 1972) Ratdomopurbo, dkk, 2000

Gambar 2. Morfologi puncak G. Merapi berubah, Garis merah putus-putrus merupakan igir-igir
gunung. Lingkaran kuning merupakan hulu K. Gendol dan bekas rubuhan Geger
Boyo (LAPAN, 2006, dengan tambahan informasi foto)

Keberadaan morfologi pelindung bisa dilihat melaui transek/profil topografi. Dengan


metode transek, lebih mudah ditelusur bagaimana efektivitas bukit dalam membatasi ruang gerak
awan panas, tempat-tempat mana yang bisa menjadi limpahan awan panas, dan tempat mana
yang masih mampu menampung aliran awan panas. Dari hasil transek bisa dipahami mengapa
Dusun Kalitengah Lor, relatif lebih aman dibandingkan Dusun Pelemsari, dan Kaliadem, padahal
sama-sama berada di lereng paling atas G. Merapi, lihat Gambar 3.

[Type text] Page 6


Gambar 3. Transek/Profil topografi Dusun Pelemsari, Kaliadem, Kalitengah Lor dan
Wisata Kaliadem (Yusup, Y., 2009)
Sementara daya tampung Kali Gendol untuk kejadian letusan 2006, khususnya di wisata
Kaliadem sudah terlampaui, sampai awan panas melimpah dan mengubur infrastruktur wisata di
Kaliadem, termasuk mengubur Ruang Lindung Darurat (Rulinda) atau lebih dikenal dengan
nama “bunker”, dan melimpah ke Kali Opak. Bahkan bukit yang melindungi Kampung
Kinahejo, Dusun Pelemsari, dimana Mbah Maridjan tinggal, hampir terlampaui, sehingga Dusun
Pelemsari masuk kategori agak bahaya dan diberi simbol rumah warna kuning. Dusun Kaliadem
sendiri masih selamat dari luncuran awan panas 2006, karena lembah Kali Gendol di sebelah
timur dusun dan lembah Kali Opak di sebelah barat dusun masih mampu menampung luncuran
awan panas, tetapi awan panas 2010 yang mengiringi letusan eksplosif dengan magnitud yang
sangat besar untuk kategori G. Merapi (Skala Indeks Letusan 4) menghancurkannya dan
menewaskan Mbah Maridjan.

Pertanyaannya mengapa morfologi pelindug efektif meredam awan panas 2006 tetapi
tidak untuk awan panas 2010? Lalu bagaimana dampak awan panas 2010 dibanding awan panas
2006 terhadap lereng selatan dan apa implikasinya terhadap mitigasi bencana?

2. TUJUAN

Tulisan ini memiliki tujuan:

1. Mengungkap perbedaan letusan Gunung Merapi tahun 2010 dan letusan 2006 yang
menghasilkan tipe awan panas yang berbeda.
2. Mengetahui dampak letusan yang berbeda dan implikasinya terhadap mitigasi bencana.

3. BAHASAN

3.1. Tipe Awan Panas yang Berbeda

Letusan 2010 berbeda dengan letusan sebelumnya tahun 2006. Berdasarkan volume
tephra yang dikeluarkan lebih dari 150 juta m3 dan tinggi kolom letusan > 10 km, maka letusan
2010 mengacu Indeks Letusan Gunungapi (Volcanic Explosivity Index) (Newhall, et al, 1982)

[Type text] Page 7


memiliki magnitud skala 4, atau melampaui rekor letusan di abad 20 yang hanya memiliki
magnitud terbesar skala 3, lihat Gambar 4. Gambaran kualitatif untuk letusan 2010 adalah
letusan eksplosif besar, merusak dan masuk klasifikasi letusan Plinian yang menghasilkan awan
panas tipe St. Vincent seperti sudah diungkapkan di atas dan akan dikupas lebih mendalam di
bagian selanjutnya.

Gambar 4. Magnitud Letusan G. Merapi berdasarkan Indeks Letusan Gunungapi

Letusan 2010 memiliki kemiripan dengan Letusan Tipe C-nya Hartmann (1935).
Hartmann membagi tiap erupsi di G. Merapi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan
sebelum erupsi, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir. Ketiga fase tersebut merupakan
satu siklus aktivitas letusan Merapi. Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan
akhir, Hartmann membedakan kronologi letusan menjadi empat bagian, lihat Gambar 5.

[Type text] Page 8


Gambar 5. Kronologi Letusan Gunung Merapi menurut
Pertama, Hartmann
kronologi A. Siklus (1935)
diawali dalamsatu
dengan Andreastuti
letusan (2000)
kecil yang mengawali ekstrusi
lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava sampai kubah mencapai volume besar dan
kemudian pertumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang
berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar, kadang dengan awan panas kecil dapat
berlangsung lama (bulanan). Kedua, kronologi B. Pada awalnya telah ada kubah lava di puncak
Merapi. Fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian bersumber di kubah lava dan menghancurkan
kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan Tipe Vulkanian. Material kubah yang
hancur sebagian menjadi awanpanas yang menyertai letusan Tipe Vulkanian tersebut. Fase akhir
diisi dengan pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah yang hancur atau disamping
kubah.

Ketiga, kronologi C. Kronologi C mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya
tidak terdapat kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya sumbat
lava tersebut, fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian dengan awanpanas lebih besar (Tipe St.
Vincent). Fase akhir dari kronologi letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru.
Keempat, kronologi D. Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa pembentukan
sumbat lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa letusan vertikal yang cukup
signifikan. Pada letusan D ini, karena sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat yang
menghasilkan awanpanas besar dan asap letusan tinggi.

Menurut penulis letusan 2010 memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan kronologi
C di atas. Letusan kali ini berbeda dengan letusan 2006 yang membentuk dan menghancurkan
kubah lava 2006 yang mirip kronologi A. Fase awal letusan 2010 dimulai adanya sumbat lava di
puncak yang merupakan sisa kubah lava 2006 yang tidak longsor menjadi awan panas tipe
merapi. Fase utama diawali saat letusan 26 Oktober yang menghasilkan awan panas letusan yang
menerjang kampung Mbah Maridjan. Fase ini terus berlanjut dan menghasilkan letusan besar
pada tanggal 3 dan 4 yang menghasilkan awan panas sejauh 15 km menerjang Dusun
Argomulyo. Fase ini masih berlanjut sampai sekarang. Berdasarkan skenario C Hartmann ini,
eruspsi 2010 akan diakhiri dengan pembentukan kubah lava 2010, tetapi waktunya sulit
diperkirakan.

[Type text] Page 9


3.2. Dampak Letusan terhadap Lereng Selatan yang Berbeda

Dampak letusan 2006 terekam pada citra ALOS-PALSAR bulan September 2006. Dari
citra tersebut dapat diketahui persebaran material piroklastik, guguran lava pijar dan awan panas.
Pada citra, tampak berwarna putih cerah di sekitar puncak. Dilihat dari polanya mengarah ke
selatan, tenggara dan baratdaya. Kontrol morfologi tampak jelas di sini, khususnya yang
mengarah ke Kali Gendol, Awan panas tidak tersebar merata tetapi dominan masuk lembah kali
tersebut, lihat Gambar 6. Awan panas mengubur wisata Kaliadem termasuk Bunker, seperti
sudah dijelaskan di pendahuluan, lihat kembali Gambar 3.

Gambar 6. Sebaran Awan Panas Tahun 2006 (LAPAN, 2006)

[Type text] Page 10


Sementara dampak awan panas 2010 terekam citra satelit Terra NASA. Citra satelit –
warna-palsu (false-color satellite imagery) dari instrumen ASTER menunjukkan bukti aliran
piroklastik yang besar di sepanjang Sungai Gendol selatan Gunung Merapi. Endapan vulkanik
abu-abu (baik dari aliran piroklastik atau lahar) mengisi alur Kali Gendol. Di Sebelah Utara
Merapi Golf Course (warna merah muda) aliran piroklastik tersebar di seluruh lanskap,
menyebabkan kerusakan sangat parah. Sebagian besar pohon tersapu ke bawah dan tanah dilapisi
dengan abu dan batu (warna abu-abu gelap). Vegetasi sehat, yang tidak terpengaruh erupsi
berwarna merah cerah, lihat Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Awan Panas 2010 di Lereng Selatan (Sumber, Rovicky, 2010)

Dampak letusan 2010 sangat besar dilihat dari luasan daerah yang terdampak, zona 8,5
km dari puncak hancur total tersapu awan panas, selanjutnya distribusi awan panas memusat di
kanan kiri Sungai Gendol sejauh 15 km dari puncak, lihat Gambar 3 di bawah. Bila
dibandingkan dengan dampak awan panas 2006 khusus di lereng Selatan, awan panas 2006

[Type text] Page 11


masih relative terkontrol morfologi (Yusup, Y., 2009), tetapi untuk letusan awan panas 2010,
control morfologi relative tidak berlaku sampai jarak 8,5 km.

3.3. Implikasi Letusan 2010 terhadap Mitigasi Bencana

Letusan Gunungapi Merapi yang menghasilkan awan panas tidak identik dengan
bencana. Selama abad 20, dari 23 letusan, kurang dari sepertiga letasan (27,9%) yang
menimbulkan bencana. Letusan memiliki magnitude kecil (VEI = 2) (Yusup, Y, dkk., 2008).
Sampai dengan letusan 2006, hujan abu atau kerikil, awan panas kecil (< 4 km) dan sedang (4-7
km) yang mengakibatkan dampak langsung kerusakan lahan, infrastruktur wisata, jembatan,
jaringan pipa air minum, dan dampak tidak langsung seperti mengungsi, matinya perekonomian
selama beberapa waktu, tidak mengakibatkan penduduk jera tinggal di KRB. Terbukti tawaran
pemerintah untuk relokasi ke daerah bawahnya (luar KRB) pun ditolak penduduk, apalagi
program transmigrasi antar daerah. Dengan demikian kebanyakan letusan masih dalam batas
toleransi penduduk atau risiko yang ditimbulkannya masih dapat diterima (acceptable risk) dan
masyarakat di Lereng Selatan memilih hidup bersama risiko bencana (living with disaster risk).

Akan tetapi letusan besar 2010 dengan dampak yang sangat besar, menghancurkan
puluhan dusun secara total sampai radius 8,5 km, perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana,
mengingat terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”,
dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya
dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Penduduk di Lereng Selatan perlu
bercermin dari saudaranya di lereng Barat Daya yang terkena dampak letusan 1961. Saat itu
rumah dari jarak 5 s/d 10 km hancur tersapu awan panas (warna putih), tetapi saat ini
permukiman mereka sudah menyesuaikan jarak maksimal awan panas 1961 (warna pink), lihat
Gambar 8.

[Type text] Page 12


Gambar 8. Peta Sebaran Awan Panas Tahun 1961 yang mengarah ke Barat Daya dan
adaptasi kampung penduduk (Yusup, Y., 2006)

4. KESIMPULAN

Letusan 2010 menghasilkan awan panas yang lebih berbahaya dibanding letusan 2006,
control morfologi sudah tidak efektif lagi, dan bukaan kawah ke Selatan semakin lebar, serta
memberi dampak yang sangat besar terhadap lereng selatan, sehingga mitigasi yang cocok
adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona
terdampak.

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, 1949. The Geology of Indonesia, vol. IA, General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagos, Govt. Printing Office, The Hague.
Crandell, P. R. 1984. Source Book for Volcanic Hazards Zonation. United Nations
Education Scentific and Culture Organization.

[Type text] Page 13


Davidson, J. and Da Silva, S., 2000. Composite volcanoes. In: Sigurdsson, H. (ed) Encyclopedia
of Volcanoes. Academic Press.

Effendi, Nasution, Djarwoto, Murdohardono, Kertapati, Hermawan, Hidajat, Sutawidjaja, Jäger,


Manhart, Ranke, Rehmann, Dalimin, Sugalang, Weiland, 2004. Mitigation of Geohazards
in Indonesia, Status report on the project “Civil-society and inter-municipal cooperation
for better urban services. Jakarta.
EM-DAT: The OFDA/CRED International Disaster Database, Université catholique de
Louvain - Brussels – Belgium [cited 10 November 2009]. Available from http://em-
dat.net/
ISDR, 2007. Disaster Risk Reduction: 2007 Global Review. Global Platform for Disaster
Reduction. UN.
Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunung api Indonesia. Dit. Vulk., Bandung.
Mawardi, 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009,Kerjasama
antara Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana.
Jakarta.
Pratomo, I. and Abdurachman, K., 2004. Characteristics of the Indonesian active volcanoes and
their hazards. Mineral & Energi, 2, no. 4, h. 56-60.
Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000. Karakteristik Gunung Merapi. Direktorat
Vulkanologi.
Smith, K., 1996. Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster. Second
Edition, Routledge, London and New York.
Stieltjes, L and Wagner, J.J., 1999. Volcanic Hazards. Comprehensive Risk Assessment for
Natural Hazards, WMO.
UU No. 24 Tahun 2007. UU Tentang Penanggulangan Bencana.
Voight, B., Constantine, E.K., Siswowidjoyo, S., Torley, R., 2000. Historical Eruptions of
Merapi Vocano, Central Java, Indonesia,1768-1998.Journal of Volcanology and
Geothermal Research Volume 100 (2000), Elsevier, Amsterdam, hal. 69-138.
Wright, T.L., 1992. Living with Volcanoes. The U.S. Geological Survey's Volcano Hazards
Program, United States Government Printing Office,Washington.
Yusup, Y., 2006. Studi Sensitivitas Penduduk terhadap Bahaya Awan Panas di Kawasan Rawan
Bencana II dan III Gunungapi Merapi, Tesis, Fakultas Geografi, Sekolah Pascasarjana
Ugm, Yogyakarta.
Yusup, Y., 2009. Analisis Risiko Kampung Mbah Maridjan terhadap Bahaya Awan Panas
Gunungapi Merapi Berbasis 3D Analysis, Makalah, Simposium Sains Geoinformasi I,
Puspics, Fakultas Geografi.

[Type text] Page 14


Yusup, Y., Sugiyanto, Hadi, P., 2008. Model Mitigasi Bencana Awan Panas dengan Pendekatan
Sensitivitas terhadap Bahaya Lingkungan, Laporan Hibah Bersaing, Dirjen Dikti,
Diknas, 2008

Rovicky, 2010. Foto Satelit Guguran Lava diambil 15 November2010,


http://rovicky.wordpress.com/2010/11/16/foto-satelit-guguran-lava-diambil-15-nov-2010/

[Type text] Page 15

Anda mungkin juga menyukai