ABSTRAK
Letusan Gunungapi Merapi 2010 menghasilkan awan panas yang berbeda dengan awan panas yang biasa
terjadi di Merapi. Awan panas yang menjadi ciri khas G. Merapi adalah awan panas guguran yang mengikuti proses
pembentukan dan penghancuran kubah lava yang bersifat sektoral menuju lereng tertentu. Letusan 2010 tidak
membentuk kubah terlebih dahulu, fase utama berupa letusan yang menghancurkan sumbat lava dan menghasilkan
awan panas letusan tipe St. Vincent menuju ke segala arah. Dampak letusan sangat besar, zona sejauh 8,5 km
menuju ke Lereng Selatan hangus total terbakar awan panas dengan konsentrasi endapan awan panas di Kali Gendol
mencapai 15 km. Dibandingkan letusan 2006, zona letusan di Lereng Selatan berbeda secara nyata karena pengaruh
setting morfologi dalam meredam laju awan panas boleh dikatakan tidak berlaku lagi. Terbukanya kawah
menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”, dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan
lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak.
Mitigasi yang tepat adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona
terdampak.
Kata Kunci: awan panas guguran, awan panas letusan, dampak letusan, setting morfologi, mitigasi
1. LATAR BELAKANG
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007).
Risiko bencana terbentang sepanjang waktu melalui konsentrasi orang dan aktivitas ekonomi di
daerah yang terpapar bahaya seperti gempabumi, siklon tropis, banjir, kekeringan, dan tanah
longsor (ISDR, 2007).
Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan masuk dalam negara
dengan penghasilan menengah, serta terletak di daerah pertemuan 3 lempeng aktif dan daerah
tropis, Indonesia termasuk daerah yang memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi. Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
Setiap tahun baik bencana geologi, bencana atmosfer, bencana biologi, dan bencana
sosial selalu terjadi di Indonesia. Data historis bencana (EM-DAT: The OFDA/CRED
International Disaster Database) selama 1 abad (1907-2006), mencatat 3 bencana yang paling
sering terjadi (45 - 105 kali) yaitu banjir, gempabumi dan gunung meletus. Tiga besar bencana
yang paling mematikan (8000 – 165.708 jiwa) yaitu tsunami, gempabumi, dan letusan
gunungapi.
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai gunungapi aktif terbanyak di dunia,
yaitu lebih dari 30% dari gunung aktif dunia ada di Indonesia. Sepanjang pertemuan lempeng
lebih dari 190 gunungapi berbaris seperti mutiara di atas sebuah kalung (like pearls on a
necklace). Barisan gunungapi sepanjang kurang lebih 7.000 km tersebut membentuk sabuk
memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara pada satu rangkaian dan menerus ke
arah utara sampai Laut Banda dan bagian utara Pulau Sulawesi (Effendi, dkk, 2004; Mawardi,
2006).
Dalam rekaman sejarah gunungapi di dunia, tercatat 2 letusan besar terjadi di Indonesia,
yaitu Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Letusan terbesar dalam sejarah manusia adalah
letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1815. Debunya tersebar di seluruh muka bumi dan pada
tahun 1816 menyebabkan penurunan temperatur rerata bumi 1 derajat. Tahun 1816, sejak itu
dikenal sebagai tahun tanpa musim panas di belahan bumi utara. Gunungapi Krakatau yang
Salah satu gunungapi yang paling sering meletus adalah Gunungapi Merapi. Gunungapi
tersebut boleh dikatakan selalu aktif sejak tahun 1900 sampai dengan sekarang, terjadi 24 kali
erupsi dengan periode diam atau istirahat yang pendek (rata-rata tidak lebih dari 3,5 tahun).
Sebagai pembanding G. Kelud di Jawa Timur mempunyai siklus letusan 15 tahun sekali (Voight,
et al, 2000). G. Merapi mempunyai tipe letusan khusus yang berbeda dengan tipe yang lainnya
yang sudah banyak dikenal (seperti tipe Vulcanian, tipe Peleean, dan tipe St Vincent) yaitu tipe
letusan dengan ciri khas awan panas guguran atau sering disebut Tipe Merapi (Voight, et al,
2000). Penduduk di sekitar lereng G. Merapi menyebut awan panas sebagai “wedhus gembel”
karena gerakannya ketika menuruni lereng seperti gerombolan wedus gembel yang sedang
`berlari` menuruni lereng. Berbeda dengan tipe awan panas vulcanian yang penyebaran awan
panasnya lebih luas, arah gerakan awan panas Tipe Merapi memusat ke satu arah, sehingga
daerah bahaya awan panas Tipe Merapi bersifat sektoral untuk lereng yang dituju.
Bahaya gunungapi dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Smith, 1996.,
Stieltjes and Wagner, 1999, Wright, et al. 1992, Crandell, 1984). Bahaya primer atau bahaya
langsung, didasarkan pada dampak langsung dari hasil-hasil erupsi, meliputi aliran lava (lava
flows), aliran piroklastik (pyroclastic flow), bahan jatuhan (free-fall deposits) dan gas. Bahaya
sekunder atau bahaya tidak langsung didasarkan pada akibat sekunder dari erupsi, meliputi lahar,
gerakan massa (slumps, slides, subsidence, block falls, debris avalanche), tsunami dan hujan
asam. Baik bahaya primer maupun sekunder saat ini terjadi mengiringi erupsi Merapi 2010
khususnya aliran piroklastik atau sering disebut awan panas atau wedhus gembel; bahan jatuhan
seperti abu, pasir, dan kerikil, khusus abu diberitakan sudah menjangkau jarak ratusan km (Kota
Bogor), bahkan mengganggu aktivitas penerbangan; Bahaya sekunder berupa lahar saat ini
mencemaskan warga di bantaran Kali Code di Kota Yogyakarta. Tulisan ini lebih fokus kepada
bahaya primer yang paling banyak menimbulkan dampak bencana, khususnya korban jiwa yaitu
aliran piroklastik atau awan panas.
Awan panas khususnya di G. Merapi dibedakan menjadi awan panas guguran, awan
panas letusan dan awan panas letusan terarah (Voight, et al, 2000). Awan panas yang sering
disebut sebagai wedus gembel yang masuk dalam kategori Tipe Merapi, hanya merupakan salah
satu bentuk awan panas yang ada, tetapi awan panas tipe inilah yang paling sering terjadi, lihat
Tabel 1 dan Gambar 1-C. Awan panas 2010 menurut pendapat penulis ciri-cirinya lebih dekat
dengan awan panas letusan yang sering diidentifikasi sebagai awan panas tipe St. Vincent. Awan
panas ini terbentuk karena runtuhnya material vulkanik yang tererupsi secara vetikal, lihat Tabel
1, Gambar 1-B. Sementara awan panas letusan terarah menurut penulis juga pernah terjadi di
Merapi yaitu saat letusan tahun 1930 yang menghasilkan awan panas terjauh abad 20 yaitu 13
km, lihat Tabel 1 dan Gambar 1-A, tetapi rekor ini dipecahkan awan panas 2010.
Dampak letusan sangat terkait dengan bukaan kawah di puncak, dan efektif tidaknya
morfologi pelindung dan besar-kcilnya letusan. Berdasarkan hasil interpretasi citra sebelum
erupsi (SPOT-5 tanggal 1 Mei 2006) dan citra setelah erupsi (ALOS-PALSAR September 2006)
tampak bahwa terjadi perubahan morfologi di sekitar puncak G. Merapi (Gambar 2). Perubahan
tersebut meliputi adalah runtuhnya Geger Boyo pada lereng Selatan dan semakin lebarnya
perimeter hulu sungai K. Gendol (LAPAN, 2006). Berdasarkan pengukuran, terjadi perubahan
ukuran lebar hulu K. Gendol dari sebelum erupsi sekitar 50 – 75 meter menjadi sekitar 150 –250
Tabel 1. Klasifikasi Istilah yang Sering Digunakan untuk Menamakan Awan Panas
Gambar 2. Morfologi puncak G. Merapi berubah, Garis merah putus-putrus merupakan igir-igir
gunung. Lingkaran kuning merupakan hulu K. Gendol dan bekas rubuhan Geger
Boyo (LAPAN, 2006, dengan tambahan informasi foto)
Pertanyaannya mengapa morfologi pelindug efektif meredam awan panas 2006 tetapi
tidak untuk awan panas 2010? Lalu bagaimana dampak awan panas 2010 dibanding awan panas
2006 terhadap lereng selatan dan apa implikasinya terhadap mitigasi bencana?
2. TUJUAN
1. Mengungkap perbedaan letusan Gunung Merapi tahun 2010 dan letusan 2006 yang
menghasilkan tipe awan panas yang berbeda.
2. Mengetahui dampak letusan yang berbeda dan implikasinya terhadap mitigasi bencana.
3. BAHASAN
Letusan 2010 berbeda dengan letusan sebelumnya tahun 2006. Berdasarkan volume
tephra yang dikeluarkan lebih dari 150 juta m3 dan tinggi kolom letusan > 10 km, maka letusan
2010 mengacu Indeks Letusan Gunungapi (Volcanic Explosivity Index) (Newhall, et al, 1982)
Letusan 2010 memiliki kemiripan dengan Letusan Tipe C-nya Hartmann (1935).
Hartmann membagi tiap erupsi di G. Merapi menjadi 3 fase yaitu fase awal atau keadaan
sebelum erupsi, fase utama yaitu aktivitas utama dan fase akhir. Ketiga fase tersebut merupakan
satu siklus aktivitas letusan Merapi. Berdasarkan apa yang terjadi pada fase awal, utama dan
akhir, Hartmann membedakan kronologi letusan menjadi empat bagian, lihat Gambar 5.
Ketiga, kronologi C. Kronologi C mirip dengan kronologi B, hanya saja pada awalnya
tidak terdapat kubah lava tetapi sumbat lava yang menutup kawah Merapi. Oleh adanya sumbat
lava tersebut, fase utama berupa letusan Tipe Vulkanian dengan awanpanas lebih besar (Tipe St.
Vincent). Fase akhir dari kronologi letusan yaitu berupa pembentukan kubah lava baru.
Keempat, kronologi D. Fase awal berupa letusan vertikal kecil. Fase utama berupa pembentukan
sumbat lava yang kemudian diikuti dengan fase akhir berupa letusan vertikal yang cukup
signifikan. Pada letusan D ini, karena sumbat lava cukup besar, letusan cukup dahsyat yang
menghasilkan awanpanas besar dan asap letusan tinggi.
Menurut penulis letusan 2010 memiliki karakteristik yang sangat mirip dengan kronologi
C di atas. Letusan kali ini berbeda dengan letusan 2006 yang membentuk dan menghancurkan
kubah lava 2006 yang mirip kronologi A. Fase awal letusan 2010 dimulai adanya sumbat lava di
puncak yang merupakan sisa kubah lava 2006 yang tidak longsor menjadi awan panas tipe
merapi. Fase utama diawali saat letusan 26 Oktober yang menghasilkan awan panas letusan yang
menerjang kampung Mbah Maridjan. Fase ini terus berlanjut dan menghasilkan letusan besar
pada tanggal 3 dan 4 yang menghasilkan awan panas sejauh 15 km menerjang Dusun
Argomulyo. Fase ini masih berlanjut sampai sekarang. Berdasarkan skenario C Hartmann ini,
eruspsi 2010 akan diakhiri dengan pembentukan kubah lava 2010, tetapi waktunya sulit
diperkirakan.
Dampak letusan 2006 terekam pada citra ALOS-PALSAR bulan September 2006. Dari
citra tersebut dapat diketahui persebaran material piroklastik, guguran lava pijar dan awan panas.
Pada citra, tampak berwarna putih cerah di sekitar puncak. Dilihat dari polanya mengarah ke
selatan, tenggara dan baratdaya. Kontrol morfologi tampak jelas di sini, khususnya yang
mengarah ke Kali Gendol, Awan panas tidak tersebar merata tetapi dominan masuk lembah kali
tersebut, lihat Gambar 6. Awan panas mengubur wisata Kaliadem termasuk Bunker, seperti
sudah dijelaskan di pendahuluan, lihat kembali Gambar 3.
Gambar 7. Sebaran Awan Panas 2010 di Lereng Selatan (Sumber, Rovicky, 2010)
Dampak letusan 2010 sangat besar dilihat dari luasan daerah yang terdampak, zona 8,5
km dari puncak hancur total tersapu awan panas, selanjutnya distribusi awan panas memusat di
kanan kiri Sungai Gendol sejauh 15 km dari puncak, lihat Gambar 3 di bawah. Bila
dibandingkan dengan dampak awan panas 2006 khusus di lereng Selatan, awan panas 2006
Letusan Gunungapi Merapi yang menghasilkan awan panas tidak identik dengan
bencana. Selama abad 20, dari 23 letusan, kurang dari sepertiga letasan (27,9%) yang
menimbulkan bencana. Letusan memiliki magnitude kecil (VEI = 2) (Yusup, Y, dkk., 2008).
Sampai dengan letusan 2006, hujan abu atau kerikil, awan panas kecil (< 4 km) dan sedang (4-7
km) yang mengakibatkan dampak langsung kerusakan lahan, infrastruktur wisata, jembatan,
jaringan pipa air minum, dan dampak tidak langsung seperti mengungsi, matinya perekonomian
selama beberapa waktu, tidak mengakibatkan penduduk jera tinggal di KRB. Terbukti tawaran
pemerintah untuk relokasi ke daerah bawahnya (luar KRB) pun ditolak penduduk, apalagi
program transmigrasi antar daerah. Dengan demikian kebanyakan letusan masih dalam batas
toleransi penduduk atau risiko yang ditimbulkannya masih dapat diterima (acceptable risk) dan
masyarakat di Lereng Selatan memilih hidup bersama risiko bencana (living with disaster risk).
Akan tetapi letusan besar 2010 dengan dampak yang sangat besar, menghancurkan
puluhan dusun secara total sampai radius 8,5 km, perlu dipertimbangkan secara lebih bijaksana,
mengingat terbukanya kawah menghadap ke Selatan, tidak efektifnya “morfologi pelindung”,
dan meningkatnya magnitud erupsi menjadikan lereng Selatan berisiko sangat tinggi seandainya
dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pada zona terdampak. Penduduk di Lereng Selatan perlu
bercermin dari saudaranya di lereng Barat Daya yang terkena dampak letusan 1961. Saat itu
rumah dari jarak 5 s/d 10 km hancur tersapu awan panas (warna putih), tetapi saat ini
permukiman mereka sudah menyesuaikan jarak maksimal awan panas 1961 (warna pink), lihat
Gambar 8.
4. KESIMPULAN
Letusan 2010 menghasilkan awan panas yang lebih berbahaya dibanding letusan 2006,
control morfologi sudah tidak efektif lagi, dan bukaan kawah ke Selatan semakin lebar, serta
memberi dampak yang sangat besar terhadap lereng selatan, sehingga mitigasi yang cocok
adalah mengurangi kerentanan penduduk dengan cara merelokasi permukiman di luar zona
terdampak.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, 1949. The Geology of Indonesia, vol. IA, General Geology of Indonesia and
Adjacent Archipelagos, Govt. Printing Office, The Hague.
Crandell, P. R. 1984. Source Book for Volcanic Hazards Zonation. United Nations
Education Scentific and Culture Organization.