Anda di halaman 1dari 4

Antara Tradisi Ilmu Islam dan Barat

Kamis, 28 Mei 2009 04:51 publisher

Antara Tradisi Ilmu Islam dan Barat (Sebuah Tinjauan Historis)

Oleh : Ahmad Furqon Muntashir

Pendahuluan

Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu, baik itu peradaban kuno
maupun peradaban modern. Mengapa tradisi ilmu?, sebab manusia memiliki kemampuan untuk berfikir dan
rasa ingin mengetahui akan sesuatu di luar dirinya. Setiap manusia akan dihadapkan pada pertanyaan filosofis
yang menyangkut eksistensi dan realitas alam semesta termasuk diri manusia itu sendiri sebagai bagian dari
kosmologis. Pertanyaan itu adalah dari mana manusia berasal?, untuk apa manusia diciptakan?, dan akan
kemana manusia mengakhiri hidupnya?. Ketiga pertanyaan inilah kemudian memunculkan aliran-aliran filsafat
besar dunia yang mana satu dengan yang lainnya berusaha memberikan jawaban tentang Hakekat Manusia,
Alam Semesta dan Tuhan.

Dalam Islam ' Mengetahui tidak mustahil '. Dengan kata lain mengetahui menjadi mungkin. Karena itu, untuk
mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan itu menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Setiap manusia normal,
dengan segala potensi yang ada padanya, sesungguhnya dan pada hakekatnya dapat mengetahui (’ilm) dan
mengenal (ma’rifah). Tidak seperti yang diklaim oleh kaum sophis (as sufasta’iyah), relativis (al ’indiyah),
skeptis (al ’inadiyah), dan agnostis (al laadriyah), bahwa manusia tidak mampu mencapai suatu kebenaran
yang hakiki. Dalam hal ini Imam An Nasafi menjelaskan bahwa ’Haqaiqul asyyak tsabitah wal ’ilmu biha
mutahaqqiqah khilafan lissufastha’iyah’ Maksudnya, hakikat (quiditas/esensi) segala sesuatu itu tetap (dan
oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah (segalanya bisa diketahui dengan jelas), lihat (Hamid Fahmy
Zarkasyi,hal.27).

Tradisi Ilmu Islam

Adalah Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban
kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul. Tugas
baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang
amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru
dunia.

Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah
risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja yang
berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu
Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma
menjadi suatu negara (state) atau peradaban (civilization).

Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara
lain 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2) kemampuan
berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Ketiga
elemen tersebut telah mewujud di Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut Madinah sudah
bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah kebangkitan Peradaban Islam berawal dan
berkembang. (Makalah Hamid Fahmy Zarkasyi.hal 7)

Peradaban Islam di mulai dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai dari turunnya
wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar individu dan masyarakat senantiasa
didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam
sebuah aktifitas, baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana
oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.

Di lembaga pendidikan pertama inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar
mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada
wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi
spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan
bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Hasil dari kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi, seperti Abu
Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil
direkam oleh anggota sekolah ini. Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya dalam bentuk lain.

Tidak lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi
keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn
Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M),
Ja’far al Shadiq (w. 148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al
Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.

Islam adalah sebuah peradaban yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat, aspek jiwa dan aspek raga.
Ia bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik
inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang
agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan jahat harus
dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya.
Sebab ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabat Nabi seperti Abu
Bakar, Umar, ’Utsman, Ali (radhiyallahu ’anhum) dan lain-lain.

Tradisi keilmuan tersebut kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke abad dan mengalami
puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai pada abad ke-12 M. Pada saat itu telah
lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains dan teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’
Muslim (w. 780 M) yang namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina ’Bapak Kedokteran
Muslim’ yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina sebelum meninggal telah menulis kitab sejumlah
kurang lebih 276 karya. Karyanya yang sangat monumental al Qonun fi al Tibb telah diterjemahkan ke dalam
bahasa latin di Toledo, Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga telah dijadikan rujukan utama di universitas-
universitas Eropa sampai abad ke-17. (Diktat Matakuliah Adnin Armas)

Tradisi Ilmu Barat

Banyak ilmuwan merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban. Agama, kata
mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis,
menyebut peradaban Barat dengan sebutan”Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristen.
Samuel P. Huntington juga menulis bahwa agama adalah unsur utama karakter peradaban. Menurut
Christopher Dawson, semua agama besar dunia menjadi elemen utama dari peradaban besar. (Samuel P.
Huntington.Clash of Civilization and the Remaking of World Order. hal.47)

Abad pertengahan dimulai sejak abad II Masehi, yaitu sejak Kaisar Konstantin Agung masuk Kristen dan
menyatakannya sebagai agama resmi Imperium Romawi. Sejak masa ini, Eropa berada di bawah tekanan dan
penindasan yang dilakukan oleh penguasa gereja dan negara. Sejak masa ini pula, kebebasan dikekang dan
akal dibelenggu sehingga ilmu pengetahuan tidak memperoleh kemajuan.(Abu Ali Hasan an Nadwy.hal.239)

Keadaan Eropa pada abad pertengahan sungguh dalam kondisi yang terbelakang. Dr. Muhammad Sayyid Al
Wakil menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, ”Jika
matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang
disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC
umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa
tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada
bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa
menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah.( Muhammad Sayyid al
Wakil.hal.321)

Setelah adanya sentuhan dengan Dunia Islam melalui konflik-konflik bersenjata, seperti dalam Perang Salib,
maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia, Eropa mulai tertarik dengan Islam. Pada Perang Salib
orang-orang Kristen mendapati hal-hal yang baru di Levant dan teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh
karena itu, ketika terjadi gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan untuk mempelajari teknik-
teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan
orang-orang Muslim.( Haidar Bammate. hal.44-45)

Persentuhan Eropa dengan Peradaban Islam telah memberikan pengaruh luar biasa terhadapa kehidupan
mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan ummat Islam adalah semangat
untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa pada peradaban Islam
itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak
terpengaruh oleh peradaban Islam. ( Muhammad Qutb.hal.251)

Hamid Fahmi Zarkasyi menjelaskan dalam bukunya bahwa hakekat dari peradaban Barat Modern adalah
periode sejarah peradaban Barat yang persisnya terjadi saat kebangkitan masyarakat Barat dari abad
kegelapan kepada periode pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Periode ini didahului oleh
zaman yang disebut dengan Zaman Penterjemahan (Translation Age) khususnya penterjemahan karya-karya
Muslim dalam bidang sains (1050-1150) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Sebab itu, Eugene Myers
dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penterjemahan
karya-karya cendekiawan Muslim.( Hamid Fahmi Zarkasyi.hal.5)

Pada abad XV muncul gerakan renaissance, yaitu gerakan pencerahan atau diartikan sebagai gerakan
kelahiran kembali (rebirth) sebagai manusia yang serba baru. Pada abad pertengahan ini Barat telah berhasil
keluar dari Abad Kegelapan (Dark Ages) dan mengembangkan suatu pandangan hidup baru (new worldview)
yang mengantarkan mereka kepada abad pencerahan. Gerakan ini pada akhirnya menghancurkan otoritas
gereja. Setelah adanya perjanjian Westphalia Agreement pada tahun 1648 maka kekuasan dan otoritas paus
dalam hal ini gereja jatuh. Sehingga akhirnya kekuasaan diserahkan kepada negara masing-masing. Maka
lahirlah Nation State yang pada perjalanannya menjadi awal dari pemisahan negara dan agama yang
kemudian melahirkan sekularisme.(Hamid Fahmy Zarkasyi.hal.4)

Dari sinilah kemudian ilmu yang berkembang di Barat menjadi jauh dari nilai-nilai agama. Mereka mengatakan
bahwa ilmu bebas nilai (free value). Ilmu bersifat universal yang tidak ada kaitannya dengan persoalan
trancendent. Ilmu bisa dimiliki oleh siapa saja, di mana saja dan untuk apa saja, meskipun bertentangan
dengan nilai agama atau norma. Oleh karena itu, ilmu di Barat jauh dari moralitas. Ilmu di Barat hanya
berorientasi pada aspek fisik dan menafikan metafisik. Sebab sumber ilmu di Barat bertumpu pada panca
indera dan akal (rasio) semata.

Sebab itulah epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-
usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-
nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulkan oleh Al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai
kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri. Yang kemudian memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang
skeptis dan atheis seperti Rene Descartes (1596 – 1650), David Hume (1711 - 1776), Immanuel Kant (1724 -
1804), dan lain-lain. Menurut Kant, metafisika adalah hanya ilusi transenden belaka (a transcendental
illussion).(Adnin Armas.hal. vii-viii)

Kesimpulan

Secara historis, peradaban Islam dibangun di atas ilmu yang berbasiskan wahyu. Ilmu di dalam Islam
berdimensi Iman. Ilmu dalam pikiran menguatkan keyakinan yang menghujam di dalam hati. Tidak cukup
berhenti pada pikiran dan hati saja, tapi haruslah diwujudkan dalam bentuk perbuatan (amal). Sementara ilmu
di Barat berangkat dari ’meragukan segala sesuatu’(skeptic), bahkan merelatifkan segala sesuatunya ’All is
relative’. Jadi ilmu di Barat tidaklah menghasilkan sebuah kepastian apalagi sebuah keyakinan. Sebab, di Barat
ilmu hanya sebatas pada pengalaman inderawi (visible) dan dapat dijangkau oleh akal manusia (rasional),
diluar itu bukan dikatakan ilmu pengetahuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas nilai (free
value), bahkan syarat dengan nilai karena ilmu adalah by product dari suatu pandangan hidup suatu
peradaban atau bangsa.Wallahu A’lam bis Shawab.

Daftar Bacaan

1. Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam.(Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan
Kolonialis),Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS).Ponorogo,2008.

2. Al Wakil, Muhammad Sayyid. Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern.
Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1988.

3. Agraha Suhandi.. Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung :
Fakultas Sastra Unpad. 2002

4. An Nadwi, Abul Hasan Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta : Pustaka Jaya dan Penerbit
Djambatan.

5. Samuel P. Huntington, Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (New York : Touchtone
Books,1996).

6. Bernard Lewis, Islam and the West, (New York : Oxford Univeristy Press,1993)

7. Franz Rosental ‘The Muqaddimah : an Introduction to History’, editor N.J. Dawood. (London, Routledge &
Kegan Paul, 1978)
8. Armas, Adnin, Krisis Epistemologi Dan Islamisasi Ilmu.Gontor Darus Salam: CIOS, 2007.

9. Al Qardhawi, Yusuf. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar,2005.

10. Bammate, Haidar. Kontribusi Intelektual Muslim Terhadap Peradaban Dunia. Jakarta : Darul Falah. 2000.

11. Jurnal Islamia, Thn II No 5 April - Juni 2005

Anda mungkin juga menyukai