Anda di halaman 1dari 9

Corak tasawuf al-Gazali

Corak tasawuf al-Gazali lebih menekankan pada aspek pendidikan moralitas bagi para
pencari kebenaran.

A. Pendahuluan
Agama yang cocok untuk dunia modern adalah keberagamaan kaum sufi. Demikian
statement yang diungkapkan oleh Arnold di dalam bukunya The Corrupted Science,
Challenging the Myths of Modern Science. Menurutnya, keberagamaan kaum sufi dinilai
sangat humanis, inklusif, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan
hukum alam.

Secara sepintas, pernyataan tersebut sangat menarik dan impressive, karena selama ini
pemahaman yang berkembang di kalangan umat Islam secara umum dan kaum
pembaharu khususnya, bahwa kaum sufi adalah penyebab dari kemunduran umat Islam.
Kemudian muncul berbagai macam pertanyaan, benarkah pernyataan tersebut? Apa
bukti-bukti yang mendukungnya? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Terlepas dari
pergumulan di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang jelas dan perlu disikapi
bahwa ada gejala dan fenomena baru yaitu posisi kaum sufi di dunia modern semakin
penting.

Berbicara tentang kaum sufi, ada seorang figur yang besar dan berpengaruh di dunia
Islam, yaitu al-Gazali. Beliau telah memainkan peranan penting dalam meredam
ketegangan-ketegangan yang muncul pada saat beliau hidup, yaitu ketegangan intelektual
antara falsafah dan kalam, ketegangan politik dan religius antara sunni dan syi’i, dan
ketegangan spiritual antara sufi esoterik dan fuqaha eksoterik. Atas kemampuan yang
dimiliki oleh al-Gazali sudah sepantasnya umat Islam memberi gelar Hujjatul Islam.

Berkaitan dengan al-Gazali, pada makalah ini secara spesifik akan dikaji corak pemikian
tasawufnya. Kajian ini tentu saja hanya goresan kecil bila dibandingkan dengan
kebesaran dan keagungan Imam al-Gazali. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti
mengurangi kekhusyuan dan ketajaman kita dalam menganalisis pemikiran tasawuf al-
Gazali.

Kajian diawali dengan pembahasan tentang perjalanan spiritual al-Gazali. Pembahasan


ini dimaksudkan untuk dapat melihat secara utuh pemikiran tasawuf yang dikembangkan
oleh al-Gazali. Selanjutnya, secara berturut-turut akan dibahas tentang maqam-maqam
yang ditempuh oleh al-Gazali dan corak tasawufnya. Terakhir diisi dengan kesimpulan
dari tulisan ini.

B. Perjalanan Spiritual al-Gazali

Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali al-Tusi dilahirkan
pada tahun 450 H/1058 M di Tus, sebuah kota kecil di Khurasan.
Perkembangan spiritual al-Gazali diawali sejak kecil yaitu sejak ayahnya menitipkan al-
Gazali dan adiknya Ahmad kepada seorang sufi yang fakir. Setelah harta warisan yang
dititipkan kepada seorang sufi tersebut habis, al-Gazali dan adiknya diserahkan ke sebuah
madrasah di Tus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan.

Benih-benih spiritual al-Gazali ini kemudian mengalami perkembangan setelah ia dilanda


krisis kejiwaan. Krisis ini diakui oleh al-Gazali di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-
Dalal. Al-Gazali tidak puas dengan pengetahuan yang selama ini ia pegang. Ia ingin
mendapatkan pengetahuan yang meyakinkan seperti pengetahuan yang dicapai oleh
matematika--bahwa sepuluh lebih besar dari tiga--yang tak tergoyahkan lagi oleh
intimidasi apapun.

Krisis kejiwaan ini berlangsung selama dua bulan dalam perkembangan spiritual al-
Gazali, terutama dalam mencari sumber pengetahuan antara yang dharuri dan hissiyat.
Kemudian Allah menyembuhkan penyakitnya dan menembalikan diri al-Gazali dalam
keadaan sehat wal afiat. Allah telah memberi nur kepada al-Gazali, agar ia meyakini
pengetahuan dharuri sebagai dasar pengetahuan yang meyakinkan.

Dengan pengetahuan dharuri ini al-Gazali kemudian membahas tentang empat golongan
yang dianggapnya memiliki metode tersendiri dalam usaha memperoleh pengetahuan
mengenai hakekat segala sesuatu. Keempat golongan tersebut yaitu mutakallimin, para
filosof, bathiniyah, dan golongan sufi.

Keempat golongan tersebut oleh al-Gazali telah dibahas dan dikajinya secara mendalam.
Dia telah menulis beberapa buku yang membahas keempat golongan tersebut, di
antaranya: Ilm al-Jadal; Maqashid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, al-Mustaziri,
Hujjatul Haq wa Qawashim al-Bathiniyyah, dan al-Qisthas al-Mustaqim.

Menurut al-Gazali, tida dari keempat golongan tersebut yakni mutakalimin, bathiniyah,
dan pra filosof tidak dapat memuaskan jiwanya dalam mencari hakekat kebenaran.
Kemudian ia mencoba menggunakan metode yang dipakai oleh pada kaum sufi, yaitu
ilmu dan amal. Dari segi ilmu, al-Gazali merasa sudah memilikinya, karena sudah
dipelajarinya dan banyak karya sufi terdahulu sudah dibacanya. Sedangkan dari segi
amal, ia merasa belum melaksanakannya, karena ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi.

Kondisi demikian mengakibatkan dalam diri al-Gazali terjadi perang batin antara
keinginhan untuk hidup penuh dengan materi dan tuntutan jiwa untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan. Inilah yang kemudian menimbulkan krisis kejiwaan yang
kedua kali dan lebih parah dibandingkan dengan krisis yang pernah dialami sebelumnya.
Krisi ini berlangsung selama enam bulan, dan sampai berakibat fisiknya jatuh sakit.

Setelah sembuh, al-Gazali memilih untuk mengasingkan dirinya dari kehidupan yang
bersifat materi. Pengasingan diri al-Gazali berlangsung selama 11 tahun (Zulqaidah
488/November 1095 sampai dengan Zulqaidah 499/Juli 1106 M.). Selama pengasingan
ini al-Gazali menghasilkan beberapa karya, di antaranya: Ihya Ulumiddin, al-Risalah al-
Qudsiyyah fi Qawaid al-Aqaid, The Jewels of the Qur’an, dan Kimiya Sa’adat.

Kemudian al-Gazali oleh Fakhr al-Mulk diminta untuk mengajar kembali di Madrasah
Nizamiyah di Naisyapur. Al-Gazali memenuhi permintaan itu dan mengajar selama tiga
tahun. Pada tahun 503--504 H al-Gazali kembali ke rumahnya di Tus. Di sini dia
menghabiskan sisa hidupnya sebagai pengajar agama dan guru sufi. Tidak lama
kemudian (+ 1 tahun) al-Gazali wafat pada hari Minggu 14 Jumadissani 505 H/18
Desember 1111 M pada usia limapuluh tiga tahun.

C. Kondisi Sosial Politik dan Keagamaan pada Masa al-Gazali

Mengkaji pemikiran seseorang tidak terlepas dari latar belakang kehidupannya dan situasi
yang muncul pada saat pemikiran orang tersebut berkembang. Karena itu mengkaji al-
Gazali tanpa memperhitungkan sosial-politik dan keagamaan yang melingkari
pertumbuhan pemikiran tokoh ini dapat memberikan citra yang kurang utuh, sebab ia
adalah produk sejarah.

Kajian tentang latar belakang kehidupan al-Gazali sekilas telah dibahas pada bagian awal
makalah ini, khususnya tentang perjalanan spiritualnya. Kajian yang ingin penulis
uraikan lebih jauh menyangkut situasi yang muncul pada saat pemikiran tasawuf al-
Gazali berkembang.

Ada dua situasi yang berpengaruh dalam pemikiran tasawuf al-Gazali, yaitu: Pertama,
situasi sosial-politik yang berkembang saat itu. Kedua, situasi religius masyarakat.

1. Situasi Sosial-politik

Dari segi politik, tiga tahun sebelum al-Gazali lahir, Ibu Kota Abbasiyah Bagdad jatuh ke
tangan kekuasaan Turki Seljuq setelah lebih satu abad diperintah oleh amir-amir
Bawaihiyyah yang syi’ah. Dinasti Seljuq mencapai kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Alp Arslan (1063--1072) dan Sultan Malik Syah (1072--1092), dengan wazirnya
yang terkenal Nizam al-Mulk (1063--1092 M). Sesudah itu dinasti Seljuq mengalami
kemunduran, karena terjadinya perebutan tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam
negeri yang dilancarkan golongan Bathiniyah. Al-Gazali hidup dan berprestasi pada
kedua fase tersebut, baik pada masa kejayaan maupun masa kemundurannya.

Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa al-Gazali yang bersumber
dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya
pelbagai pengaruh kultural terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad
sebelumnya. Di antara unsur kultural yang paling berpengaruh pada masa al-Gazali ialah
filsafat, baik filsafat Yunani, maupun filsafat India dan Persia. Filsafat Yunani banyak
diserap oleh para teolog, filsafat India diadaptasi oleh kaum sufi, dan filsafat Persia
banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep imamah. Tetapi yang lebih penting
lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan pahamnya, masing-masing aliran
menggunakan filsafat (terutama logika) sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baik
yang menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama harus
mempelajari filsafat terlebih dahulu.

2. Situasi Religius Masyarakat

Dalam bidang keagamaan terutama bidang tasawuf, telah berkembang aliran ittihad, yang
menurut ulama syariat telah menyimpang dari ajaran tauhid yang digariskan Alquran.
Tokoh aliran ini adalah Abu Yazid al-Bustami (wafat 201 H/875 M) dan al-Hallaj (wafat
309 H/922 M). Munculnya ajaran ittihad ini mendapat perlawanan yang keras dari ulama
syariah, dan pertentangan ini mencpai puncaknya pada saat al-Hallaj dijatuhi hukuman
mati oleh ulama syariah.

Kemudian pada pertengahan abad ke-5 H--sebelum al-Gazali lahir--ada ulama yang
mencoba mendamaikan pertentangan antara ulama syariah dengan kaum sufi. Di
antaranya yaitu Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (wafat 465 H/1074 M). Dalam
risalahnya ia mengatakan “kullu syari’atin gairu mu’ayyadah bi al-haqiqahti fa gairu
maqbulin, wa kullu haqiqatin gairu muqayyadah bi al-syari’ati fa gairu mahshulin”.
Namun, usaha yang dilakukan oleh al-Qusyairi belum menunjukkan hasil yang
memuaskan.

Setelah al-Gazali lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat, situasi keberagamaannya


sangat memprihatinkan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa golongan
mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh unlamanya, yang dengan
sadar menanamkan fanatisme golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga
diperankan oleh pihak penguasa, setiap penguasa cenderung untuk berusaha menanamkan
pahamnya kepada rakyat dengan segala daya upaya, bahkan dengan cara kekerasan.

Hasan Hanafi lebih jauh menjelaskan tentang situasi keberagamaan pada masa al-Gazali,
yaitu:

a. Pluralisme kebenaran, pendekatan-pendekatan, metode-metode berfikir dan


kesimpulan-kesimpulan terdorong maju ke tingkat kesamaan antara dalil dan
tandingannya. Pluralisme menjadi skeptisisme, segala hal sebagian benar dan sebagian
salah.

b. Pemikiran menjadi sumber pengetahuan yang sejajar dengan wahyu dan bahkan
identik dengannya. Jika terjadi perbedaan antara teks dan bukti rasional, maka teks
ditafsirkan sesuai dengan pemikiran.

c. Lima rukun Islam ditransformasikan kepada bentuk-bentuk ritual murni tanpa makna,
gerakan-gerakan tanpa pikiran, artikulasi-artikulasi anggota tanpa peningkatan spiritual.

d. Dunia muslim pada waktu itu mencapai tingkat kemakmuran dan kejayaan yang
tertinggi, sehingga mereka hidup cenderung mewah dan cinta materi.

e. Dalam menghadapi ancaman-ancaman luar dan serbuan militer bangsa Mongol dan
kaum Salib, maka kembali kepada jiwa atau menutup diri merupakan suatu mekanisme
defensif melawan dunia luar.

D. Maqamat-maqamat dalam Tasawuf al-Gazali

Maqamat-maqamat yang diajarkan oleh al-Gazali terdapat di dalam kitabnya Ihya


Ulumuddin, khususnya juz IV. Di dalam bagian tersebut diuraikan secara berturut-turut
sebagai berikut: Kitab al-Taubah, Kitab al-Sabr wa al-Syukr, Kitab al-Khauf wa al-Raja,
Kitab al-Faqr wa al-Zuhd, Kitab Tauhid wa al-Tawakkal, Kitab al-Mahabbah wa al-
Syauq qa al-Uns wa al-Ridha, Kitab al-Niyyah wa al-Ikhlas wa al-Sidq, Kitab al-
Muqarabah wa al-Muhasabah, Kitab al-Tafakkur, dan Kitab Zikr al-Maut wa Ba’dah.

Maqamat-maqamat ini oleh penulis tidak diuraikan secara keseluruhan. Penulis hanya
menjelaskan beberapa point yang dianggap penting untuk memahami konsep tasawuf
yang diajarkan oleh al-Gazali, di antaranya: Konsep taubat, zuhud, tawakkal, dan
ma’rifah.

1. Taubat

Pemahaman tentang taubat, menurut al-Gazali mencakup tiga hal: Ilmu, sikap (hal), dan
tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahawa yang diakibatkan dosa
besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal, yang melahirkan tindakan
untuk bertaubat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji
pada diri seindiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.

2. Zuhud

Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan
hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Al-Gazali membagi tingkatan zuhud dari segi
tingkatan motivasi yang mendorongnya kepada tiga tingkatan:

a. Zuhud yang didorong oleh rasa takut terhadap api neraka dan yang semacamnya.
Zuhud dalam tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang pengecut.

b. Zuhud yang didorong oleh motif mencari kenikmatan hidup di akhirat. Zuhud dalam
tingkatan ini adalah zuhudnya orang-orang yang berpengharapan, yang hubungannya
dengan Allah diikat oleh ikatan pengharapan dan cinta, bukan ikatan takut.

c. Zuhud yang didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari memperhatikan apa
saja selain Allah dalam rangka membersihkan diri daripadanya dan menganggap remeh
terhadap apa yang selain Allah. Zuhud dalam tingkatan inilah yang merupakan sikap
zuhud para arifin.

3. Tawakal

Tawakal dalam tasawuf diartikan berserah diri kepada kehendak Tuhan seperti halnya
mayat di depan orang yang memandikannya. Tawakal dalam pengertian tasawuf adalah
suatu syarat mutlak sebagai tangga memutuskan segala ikatan dengan dunia secara total
dan final. Tanpa jiwa tawakal seperti itu, hati tidak akan terbebas dari belenggu.

Menurut al-Gazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan
Allah sebagai pencipta. Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun
demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih
kasih pada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya
dengan sepenuh hati.

4. Ma’rifah

Ma’rifah (gnosis) secara umum diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang diperoleh
melalui akal. Sedangkan menurut tasawuf, ma’rifah berarti mengetahui Allah Swt dari
dekat.

Bagi al-Gazali, ma’rifah bukan hanya diartikan melihat Tuhan, tetapi juga mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.

Ma’rifah pada Allah bukan merupakan ilmu yang dapat ditangkap dengan panca indera
dan akal pikiran, tetapi merupakan suatu pengalaman dan penghayatan yang bersifat
langsung. Alat yang digunakan untuk mendapatkan ma’rifah adalah qalbu. Menurut al-
Gazali, qalbu bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang
terdapat di dalamnya. Jelasnya, jika cermin qalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Adapun penyebab qalbu tidak bening adalah hawa
nafsu, maka untuk mendapatkan hati yang bening, seorang sufi harus berpaling dari hawa
nafsu.

Memperoleh ma’rifah merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak
seorang sufi memperoleh ma’rifah, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia
Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. Proses yang dilakukan oleh seorang sufi
untuk memperoleh ma’rifah yaitu dengan cara riyadhah dan mujahadah dalam beribadah.
Keterikatan am’rifah dengan amal (ibadah) inilah yang membedakan konsepsi ma’rifah
al-Gazali dengan konsepsi ma’rifah Abu Yazid al-Bustami, yang menganggap ketekunan
dalam ibadah sebagai pertanda tidak layaknya orang memperoleh ma’rifah dari Tuhan.

Selanjutnya, al-Gazali menjelaskan bahwa ma’rifah ini menimbulkan mahabbah


(mencintai Tuhan), dan mahabbah baginya bukan mahabbah sebagai yang diucapkan
Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang
berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia
yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan dan lain-lain.

Kadar mahabbadh seorang sufi ditentukan oleh kedalaman ma’rifah yang dimilikinya.
Semakin kuat ma’rifahnya, semakin kuat mahabbahnya. Menurut al-Gazali ma’rifah dan
mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi.

E. Tasawuf Sunni al-Gazali


Menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, ada dua corak tasawuf yang berkembang
di kalangan sufi, yaitu pertama, corak tasawuf sunni, di mana para pengikutnya memagari
tasawuf mereka dengan Alquran dan as-Sunnah serta mengaitkan keadaan dan tingkatan
rohaniah mereka dengan keduanya. Kedua, corak tasawuf semi-filosofis, di mana para
pengikutnya cenderung pada ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) serta bertolak dari
keadaan fana menuju pernyataan tentang terhadinya penyatuan ataupun hulul.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Simuh dengan menggunakan istilah yang
berbeda. Simuh menyatakan bahwa pada dua corak tasawuf yaitu union mistik dan
personal/transendentalis mistik. Union mistik yaitu suatu corak tasawuf yang memandang
manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali
dengan Tuhannya. Sedangkan personal/transendentalis mistik yaitu suatu corak tasawuf
yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada paham ini hubungan
manusia dengan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara makhluk dengan khalik

Dari dua corak tasawuf tersebut, menurut Abdul Qadir Mahmud, al-Gazali masuk pada
kelompok yang memiliki corak tasawuf sunni, bahkan di tangan al-Gazali lah tasawuf
sunni mencpai kematangannya.

Mahmud berpendapat, para pemimpin sunni pertama telah menunjukkan ketegaran


mereka menghadapi gelombang pengaruh gnostik barat dan timur, dengan berpegang
teguh pada spirit Islam, yang tidak mengingkari sufisme yang tumbuh dari tuntunan
Alquran, yang membawa syariat, juga yang menyuguhkan masalah-masalah metafisika.
Mereka mampu merumuskan sufisme yang islami dan mampu bertahan terhadap pelbagai
fitnah yang merongrong aqidah Islam di kalangan sufirme. Sufisme sunni akhirnya
beruntung mendapatkan seorang tokoh pembenteng dan pengawal bagi spirit metode
Islami yaitu al-Gazali, yang menempatkan syariat dan hakikat secara seimbang.

Di tangan al-Gazali tasawuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama
memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam.

Konsepsi al-Gazali yang mengkompromikan antara pengalaman sufisme dengan syariat


telah dijelaskan di dalam kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Karya besar ini
terdiri dari 4 jilid. Jilid pertama dan kedua berisi ajaran syariat dan aqidah disertai dasar-
dasar ayat-ayat suci Alquran serta hadis dan penafsirannya. Dibahas pula bagaimana
tingkat-tingkat pengamalan syariat yang sempurna lahir batin.

Pada jilid ketiga dan keempat, khusus membahas tasawuf dan tuntunan budi luhur bagi
kesempurnaan sebuah pengamalan syariat. Dimulai dengan membahas keajaiban hati
beserta nafsu-nafsu, amarah, lawwamah dan mutmainnah yang ketiganya saling berebut
untuk menguasai batin manusia. Kemudian dilanjutkan tantang ajaran jihad akbar untuk
memerangi dan menguasai nafsu amarah dan lawwamah, yakni ajaran tentang penyucian
hati yang dalam ajaran tasawuf diartikan memutuskan setiap persangkutan dengan dunia,
dan mengisi dengan sepenuh hati hanya bagi Tuhan semata. Kemudian dilanjutkan
tentang cara mengkonsentrasikan seluruh kesadaran untuk berzikir kepada Allah. Hasil
dari zikir adalah fana dan ma’rifat kepada Allah.

Dengan demikian, corak tasawuf al-Gazali lebih menekankan pada aspek pendidikan
moralitas bagi para pencari kebenaran.

F. Penutup

Al-Gazali sebagai seorang pemikir ulung dan seorang yang sangat berpengaruh di dunia
Islam telah banyak menghasilkan karya-karya besar bagi perkembangan ilmu. Karya-
karya al-Gazali telah banyak dikaji dan diteliti, baik oleh cendekiawan muslim maupun
non-muslim. Karya al-Gazali yang banyak mendapat perhatian besar adalah di bidang
tasawuf.

Tasawuf bagi al-Gazali bukan hanya dalam tataran teoritis, tetapi lebih jauh lagi sebagai
amaliah yang perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tasawuf yang ia kembangkan
bercorak tasawuf sunni, yakni tasawuf yang selalu merujuk kepada Alquran dan as-
Sunnah. Tasawuf ini bertandakan timbangan syariat. Ia bersikap moderat dan selalu
memagari tasawufnya dengan Alquran dan as-Sunnah dan selalu mengaitkan keadaan dan
tingkatan rohaniah penganutnya dengan keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Osman, Classification of Knowledge in Islam a Study in Islamic Philosophies of


Science, Terj. Bandung: Mizan, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994.
Gazali, Al-, Al-Munqiz min al-Dalal, Turki: Syirkah al-Ikhlas, 1990.
Gazali, Al-, Ihya Ulumuddin, Penang: Sulaiman Mar’i, t.t.
Hanafi, Hasan, Agama, Ideologi al-Gazali Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1991.
Hidayat, Komaruddin dan Nafis, Wahyuni, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat
Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995.
Jahja, H.M. Zurkani, Teologi al-Gazali Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Lewis, B. dkk. The Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1965.
Mahmud, Abdul Qadir, Al-Falsafah al-Sufiyyah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,
1967.
Nadwi, Abu al-Hasan Ali al-Husain al-, Rijal al-Fikr wa al-Dakwah fi al-Islam, Kuwait:
Dar al-Qalam, 1969.
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
__________, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UII. Press, 1986.
Qardhawi, Yusuf, Al-Imam al-Gazali baina Maadihihi wa Naaqidihi, terj. Surabaya:
Pustaka Prograsif, 1996.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Taftazani, Abu al-Wafa al-Ganimi Al-, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, terj. Bandung:
Pustaka, 1985.
Utsman, Al-, Abd. Al-Karim, Sirat al-Gazali, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.

Anda mungkin juga menyukai