Anda di halaman 1dari 106

PEMERINTAH KABUPATEN BLORA

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA
NOMOR TAHUN 2010

TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BLORA
PEMERINTAH KABUPATEN BLORA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA


NOMOR TAHUN 2010
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BLORA
TAHUN 2010-2029

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI KABUPATEN BLORA

Menimbang: a. Bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Blora dengan


memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
pertahanan keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah
b. Bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah
dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi
investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan/atau dunia
usaha.
c. Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 78 ayat (4) huruf c Undang-
undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No.
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka perlu
membentuk peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Blora tahun
2010-2029.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksudkan dalam huruf a, b dan
c, perlu menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora dengan
peraturan daerah.

Mengingat:

-2-
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten
dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah ;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2924);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2831);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3274);
6. Undang-Undang Nomor 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3317) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1226);
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
8. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3427);
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3469);
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3470);
11. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3478);

-3-
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4722);
13. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3480);
14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4956);
15. Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1992 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
17. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3881);
18. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
19. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4169);
20. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4377);
21. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
22. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

-4-
23. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4433);
24. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844 );
25. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4444);
26. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4723);
27. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4723);
28. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4846);
29. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4851);
30. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3294);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3445);

-5-
33. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3373);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban,
serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2037);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3747);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan
Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Tahun
2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran
Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4385);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4489);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4624);

-6-
44. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4655);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang tentang Rencana Tata Ruang Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833);
48. Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4858);
49. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4925);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
51. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
52. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1991 tentang Penggunaan Tanah Bagi Kawasan
Industri;
53. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang
Nasional;
54. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
55. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern;
56. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 1998 tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/ Kota;

-7-
57. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang di Daerah;
58. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta
Masyarakat Dalam Proses Perencanaan tata Ruang di Daerah;
59. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi;
60. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis
Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan
Rencana Tata Ruang;
61. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan
Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor;
62. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan
Kawasan Perkotaan;
63. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan
dan Pemanfaatan RTHKP;
64. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi
Rencana Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
65. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
66. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah;
67. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000 tentang
Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst;
68. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 1457 K/20/MEM/2000 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi;
69. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan
hidup;
70. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327 Tahun 2002 tentang
Penetapan 6 (enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang;
71. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 21 tahun 2003, tentang Rencana Struktur Tata
Ruang Provinsi;
72. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah;

-8-
73. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 1 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Blora.

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BLORA
dan
BUPATI BLORA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH


KABUPATEN BLORA TAHUN 2010-2029

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian-pengertian
Pasal 1.
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Blora
2. Kepala Daerah adalah Bupati Blora
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Blora dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Blora yang selanjutnya disingkat DPRD
4. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
5. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
6. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana
yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi mayarakat secara hirarki memiliki
hubungan fungsional.
7. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
8. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.

-9-
9. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
10. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Pemerintah Daerah adalah Gubernur atau Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintah Daerah.
12. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
13. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
14. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
15. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat
diwujudkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan
rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
19. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
20. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora yang selanjutnya disingkat RTRW Kabupaten Blora
adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Blora
21. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
22. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada
tingkat wilayah.
23. Kawasan adalah kawasan dengan fungsi utama lindung dan budaya.
24. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
25. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

- 10 -
26. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
27. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman
dan sistem agrobisnis.
28. Kawasan pekotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
29. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan
keamanan Negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
30. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
31. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan.
32. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
melayani kegiatan skala propinsi atau beberapa kabupaten/kota.
33. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut dengan PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
34. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut dengan PPK adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
35. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut dengan PPL adalah pusat permukiman yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
36. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
37. Mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara stuktur atau fisik
melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

- 11 -
38. Masyarakat adalah perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi,
dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.
39. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
40. Badan koordinasi penataan ruang daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat
adhoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksaan undang-undang No 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang di Kabupaten Blora dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati
dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
41. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
42. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
43. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan
ruang.
44. Akses informasi rencana tata ruang dapat diakses pada web site resmi Kabupaten Blora yang
beralamat di www.pemkabblora.go.id

Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 2.
Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora mencakup :
a. Tujuan, kebijakan, dan strategi rencana ruang wilayah Kabupaten Blora
b. Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Blora
c. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten Blora
d. Penetapan kawasan strategis Kabupaten Blora
e. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Blora
f. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Blora
g. Hak, kewajiban, peran serta masyarakat dan kelembagaan

Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 3.

- 12 -
RTRW Kabupaten digunakan sebagai pedoman bagi :
a. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah.
b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan wilayah Kabupaten Blora
serta keserasian antar sektor.
c. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau masyarakat.
d. Penataan ruang wilayah Kabupaten Blora yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap
perizinan lokasi pembangunan.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Bagian Pertama
Asas
Pasal 4.
RTRW Kabupaten Blora sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 huruf a disusun berdasarkan :
a. Keterpaduan;
b. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan;
c. Keberlanjutan;
d. Keberdayagunan dan keberhasilgunaan;
e. Keterbukaan;
f. Kebersamaan dan kemitraan;
g. Perlindungan kepentingan umum;
h. Kepastian hukum dan keadilan; serta
i. Akuntabilitas
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 5.
Tujuan penaatan ruang wilayah Kabupaten Blora :
Untuk mewujudkan ruang wilayah kabupaten yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan dengan
“Menciptakan Kabupaten Blora yang harmonis antara lingkungan alami dan buatan, seimbang
dalam penggunaan sumberdaya alam dan buatan sumberdaya manusianya dan melindungi
dampak negatif pemanfaatan ruang pada tahun 2029”.
Pasal 6.
Penyusunan RTRW Kabupaten, sesuai dengan sasaran penataan ruang wilayah Kabupaten Blora, yaitu:
a. Terkendalinya pembangunan di wilayah kabupaten;

- 13 -
b. Terciptanya keserasian antara kawasan lindung dan kawasan budi daya;
c. Tersusunnya rencana dan keterpaduan program-program pembangunan;
d. Terkoordinasinya pembangunan antar wilayah dan antar sektor pembangunan;
e. Terwujudnya iklim usaha dan investasi yang kondusif;
f. Pembangunan dan rujukan bagi penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah dan
rencana pembangunan jangka menengah daerah;
g. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah daerah;
h. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan wilayah daerah serta
keserasian antar sektor;
i. Pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintahan daerah dan/atau masyarakat;
j. Pengawasan terhadap perijinan lokasi pembangunan;
k. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
l. Rujukan bagi penyusunan rencana penanggulangan bencana;
m. Penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Bagian Keempat
Kebijakan dan Strategi
Paragraf 1
Umum
Pasal 7.
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4
ditetapkan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah; dan
(2) Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. Kebijakan dan strategi penetapan struktur ruang wilayah;
b. Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang wilayah;
c. Kebijakan dan strategi pengembangan penetapan kawasan strategis.

- 14 -
Paragraf 2
Kebijakan dan Strategi Penetapan Struktur Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 8.
Kebijakan dan strategi penetapan struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat
(2) huruf a memuat :
a. Kebijakan dan strategi pengembangan sistem perdesaan;
b. Kebijakan dan strategi pengembangan sistem perkotaan;
c. Kebijakan dan strategi penetapan fungsi kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan;
d. Kebijakan dan strategi penetapan hierarki perkotaan; serta
e. Kebijakan dan strategi pengembangan sistem prasarana wilayah.

Pasal 9.
(1) Kebijakan pengembangan sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a meliputi :
a. Meningkatkan hubungan antara desa dan kota. Kebijakan tersebut digunakan untuk menciptakan
hubungan atau interaksi antara desa-kota atau rural–urban linkage;
b. Pengembangan kawasan terpadu Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) atau pusat
pengembangan desa (KTP2D) dengan memperhatikan karakter desa-desa sekitar yang
cenderung menyatu dengan desa pusatnya;
c. Meningkatkan aksesibilitas menuju kawasan perdesaan yang berperan sebagai pusat-pusat
pelayanan antar desa, pusat pelayanan masing-masing desa, dan pusat pelayanan antar dusun;
d. Meningkatkan keterkaitan antar pusat pelayanan desa dengan pusat pelayanan skala kecamatan
dan kawasan perkotaan terdekat;
e. Pemerataan sistem sarana dan prasarana. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mewujudkan
pemerataan pertumbuhan di seluruh wilayah.
(2) Strategi pengembangan sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a meliputi :
a. Mengembangkan kegiatan pertanian berorientasi pada agrobisnis;
b. Mengembangkan kegiatan yang mendukung pertanian seperti agroindustri, agrowisata dan
agropolitan, yang tidak mengganggu atau mengurangi kegiatan utama pertanian;
c. Mengembangkan keterkaitan sistem produksi pertanian dengan pusat konsumen yang potensial
melalui pembangunan/peningkatan jalan poros desa dan angkutan umum yang terjangkau dan
nyaman;
d. Menetapkan RTH minimal sebesar 70 % dari luas total wilayah perdesaan.

- 15 -
Pasal 10.
(1) Kebijakan pengembangan sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pasal 8 huruf b meliputi :
a. Diarahkan sebagai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi;
b. Mempertegas dan menetapkan kawasan Perkotaan Cepu sebagai Pusat Kegiatan Wilayah
(PKW);
c. Meningkatkan keterkaitan antar kota baik secara fungsional dengan pengembangan fungsi
pelayanan kota yang terintegrasi satu sama lain maupun secara spasial dengan meningkatkan
aksesibilitasnya terutama melalui pengembangan prasarana perhubungan;
d. Menetapkan RTH minimal sebesar 30 % dari luas total wilayah perkotaan.
(2) Strategi pengembangan sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b meliputi :
a. Intensifikasi lahan pada lahan dengan kepadatan penduduk atau kegiatan tinggi;
b. Ekstensifikasi pada kawasan cadangan pengembangan kawasan perkotaan dengan tidak
mengganggu kawasan dengan fungsi lindung;
c. Tetap memperhatikan agar kekompakan penggunaan lahan terjaga dan tidak menjadi homogen.

Pasal 11.
Kebijakan dan strategi penetapan fungsi kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, memuat :
a. Penetapan fungsi kawasan perdesaan, yang meliputi :
1) Pengembangan produk unggulan perdesaan;
2) Penetapan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan;
3) Pengembangan sistem agropolitan pada kawasan potensial;
4) Penyediaan komuditas pertanian dan peternakan;
5) Pusat produksi dan diversifikasi pertanian.
b. Penetapan kawasan perkotaan, yang meliputi :
1) Memberikan pelayanan sosial ekonomi sesuai potensi kawasan perkotaan dan peran yang
harus diemban dalam skala yang lebih luas;
2) Pengembangan kawasan perkotaan ibukota kecamatan;
3) Pemasaran komuditas pertanian dan peternakan;
4) Penyediaan jasa perdagangan, sosial dan ekonomi;
5) Pusat perdagangan, jasa dan transportasi.

- 16 -
Pasal 12.
Kebijakan dan strategi penetapan penetapan hierarki perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf d, memuat :
a. Bentuk jaringan yang dikembangkan berbentuk radial konsentrik dengan tujuan agar ada
penyebaran yang seimbang ke semua wilayah (sesuai dengan daya dukung alam dan
lingkungan);
b. Membentuk Hirarki kota-kota dalam wilayah Kabupaten Blora menjadi pusat dalam pembentukan
struktur tata ruang wilayah Kabupaten Blora.

Pasal 13.
(1) Kebijakan pengembangan sistem sarana dan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal
8 huruf e meliputi :
a. Peningkatan kegiatan ekonomi wilayah serta keterkaitan antar wilayah, antar kegiatan yang
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan;
b. Peningkatan interaksi kegiatan antar pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya dan antar
satuan wilayah pengembangan;
c. Pengembangan sarana dan prasarana wilayah yang menjangkau seluruh wilayah Kabupaten
Blora.
(2) Strategi pengembangan sistem sarana dan prasarana adalah:
a. Mengoptimalkan jalur arteri primer sebagai jalur utama untuk daerah yang belum terjangkau oleh
akses jalan besar;
b. Meningkatkan sistem jaringan transportasi yang dapat menghubungkan antara wilayah yang
relatif maju dengan wilayah yang relatif statis / belum berkembang;
c. Mendukung sistem informasi dan alur energi yang seimbang untuk mendukung kawasan-
kawasan potensial untuk pengembangan sektor-sektor unggulan dan strategis yang mungkin
dapat dikembangkan;
d. Menyediakan sarana pelayanan terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
secara merata di seluruh wilayah.

Paragraf 3
Kebijakan dan Strategi Penetapan Pola Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 14.
Kebijakan dan Strategi Penetapan Pola Ruang Wilayah Kabupaten, memuat :
(1) Kebijakan dan strategi pemantapan kawasan lindung;

- 17 -
(2) Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya.

Pasal 15.
Kebijakan dan strategi pemantapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
meliputi :
a. Mempertahankan keanekaragaman hayati, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam;
b. Pemulihan kawasan lindung yang telah digunakan sebagai kawasan budi daya;
c. Pemeliharaan kawasan lindung dengan regulasi peraturan yang tegas;
d. Menjaga kawasan lindung di kabupaten blora agar tidak beralih fungsi menjadi kawasan budi daya;
e. Mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal yang memililki nilai-nilai budaya dan sejarah
bangsa;
f. Menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
g. Melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang
ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya;
h. Melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/ komponen lain yang
dibuang ke dalamnya;
i. Mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung / tidak langsung menimbulkan
perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam
menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
j. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan
generasi masa kini dan generasi masa depan;
k. Mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya;
l. Mengembangkan kegiatan budi daya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan
bencana.

Pasal 16.
(1) Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), meliputi :
a. Perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budi daya;
b. Pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung lingkungan
hidup dan daya tampung lingkungan hidup.

- 18 -
(2) Strategi pengembangan kawasan budi daya untuk mewujudkan dan meningkatkan keterpaduan dan
keterkaitan antar kegiatan budi daya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a, meliputi:
a. Menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi untuk pemanfaatan sumber
daya alam di ruang darat dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk
mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah;
b. Mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta infrastruktur secara
sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan
wilayah sekitarnya;
c. Mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan,
sosial budaya, ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. Mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya pertanian untuk mewujudkan ketahanan
pangan daerah dan / nasional;
e. Mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya hutan produksi, perkebunan,peternakan
untuk mewujudkan nilai tambah daerah dan / nasional;
f. Mengembangkan dan melestarikan kawasan peruntukan industri untuk mewujudkan nilai tambah
dan meningkatkan perekonomian daerah dan / nasional;
g. Mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya lahan untuk meningkatkan kualitas
pemukiman.
(3) Strategi pengembangan kawasan budi daya untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya
agar tidak melampaui daya dukung lingkungan hidup dan daya tampung lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, meliputi :
a. Mengoptimalkan ruang bagi kegiatan budi daya sesuai daya dukung lingkungan hidup dan daya
tampung lingkungan hidup;
b. Mengembangkan secara selektif bangunan fisik di kawasan rawan bencana berdasarkan kajian
teknis untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana;
c. Mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya
bencana;
d. Mengembangkan kawasan perkotaan dengan kecenderungan pertumbuhan penduduk yang
tinggi dan / padat dengan pendekatan perencanaan kawasan perkotaan;
e. Mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari
luas kawasan perkotaan dan luas paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari luas kawasan
pedesaan;
f. Mengembangkan kawasan tanah non produktif untuk kegiatan pembangunan non pertanian guna
mempertahankan lahan pangan berkelajutan;

- 19 -
g. Membatasi alih fungsi lahan sawah melalui penataan perkembangan kawasan terbangun di
kawasan perkotaan dan perdesaan dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal
dan tidak sporadis untuk mempertahankan tingkat pelayanan infrastruktur dan sarana kawasan
perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya;
h. Mengembangkan kegiatan budi daya yang dapat mempertahankan kawasan dari dampak
bencana;
i. Mengembangkan kegiatan budi daya yang dapat menciptakan keadilan, kesejahteraan,
keharmonisan dan berkelanjutan;
j. Melakukan intensifikasi lahan pada lahan dengan kepadatan penduduk atau kegiatan tinggi dan
melakukan ekstensifikasi pada kawasan cadangan pengembangan kawasan budi daya yang
bercirikan perkotaan;
k. Mengembangkan kegiatan yang tidak mengganggu atau mengurangi kegiatan utama pertanian.
Kegiatan akan diarahkan pada kegiatan seperti agro industri, agrowisata dan sebagainya, perlu
ada pembatasan pengembangan lahan permukiman pada kawasan budaya bercirikan pedesaan.

Paragraf 5
Kebijakan dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten
Pasal 17.
(1) Kebijakan penetapan Kawasan Strategis, meliputi:
a. Pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan
dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati,
mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan
bentang alam,dan melestarikan warisan budaya daerah;
b. Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan pertahanan dan keamanan dalam kerangka
katahanan nasional;
c. Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian daerah
yang produktif, efisien, dan mampu bersaing;
d. Pemanfaatan sumber daya alam dan / teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
e. Pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa;
f. Pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antar
kawasan.
(2) Strategi pengembangan kawasan strategis untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem,

- 20 -
melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan
kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya daerah
sebagaimana disebutkan pada ayat 1 huruf a, meliputi :
a. Menetapkan kawasan strategis provinsi berfungsi lindung;
b. Mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi fungsi
lindung kawasan;
c. Membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis provinsi yang berpotensi mengurangi
fungsi lindung kawasan;
d. Membatasi pengembangan prasarana dan sarasa di dalam dan disekitar kawasan strategis
provinsi yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
e. Mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis provinsi yang
berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi
daya terbangun;
f. Merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang
berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis privinsi.
(3) Strategi Pengembangan Kawasan Strategis untuk pengembangan dan Peningkatan fungsi kawasan
pertahanan dan keamanan dalam rangka ketahanan nasional sebagaimana disebutkan pada ayat 1
huruf b, meliputi :
a. Menetapkan kawasan strategis provinsi dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan;
b. Mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif didalam dan di sekitar kawasan strategis
provinsi untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan;
c. Mengembangkan kawasan lindung dan/kawasan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan
strategis provinsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis provinsi dengan
kawasan budi daya terbangun.
(4) Strategis Pengembangan Kawasan strategis untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan
dalam pengembangan perekonomian daerah yang produktif, efisien dan mampu bersaing
sebagaimana disebutkan pada ayat 1 huruf c, meliputi :
a. Menetapkan kawasan strategis provinsi dengan fungsi pertumbuhan ekonomi;
b. Mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis
provinsi pengembangan ekonomi;
c. Mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya
unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah;
d. Menciptakan iklim investasi yang kondusif;

- 21 -
e. Mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan dan tampung
kawasan;
f. Mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup
dan efisiensi kawasan;
g. Mengintensifkan promosi peluang investasi;
h. Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi.
(5) Strategis Pengembangan Kawasan strategis untuk pemanfaatan sumber daya alam dan / teknologi
tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana disebutkan pada
ayat 1 huruf d, meliputi :
a. Mengembangkan kegiatan penunjang dan/kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya
dan/teknologi tinggi;
b. Meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/teknologi tinggi dengan
kegiatan penunjang dan/turunannya;
c. Mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/teknologi tinggi terhadap fungsi
lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat.
(6) Strategis Pengembangan Kawasan strategis untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya
bangsa sebagaimana disebutkan pada ayat 1 huruf e, meliputi :
a. Meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa
yang berbudi luhur;
b. Mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan
c. Melestarikan situs warisan budaya bangsa.
(7) Strategis Pengembangan Kawsan strategis untuk pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung
yang ditetapkan sebagai warisan dunia sebagaimana disebutkan pada ayat 1 huruf f, meliputi :
a. Melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya;
b. Meningkatkan kepariwisataan provinsi;
c. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d. Melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup.
(8) Strategis Pengembangan Kawasan Strategis untuk pengembangan kawasan tertinggal dalam rangka
mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antar kawasan, meliputi :
a. Memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan;
b. Membuka akses dan meningkatkan aksesbilitas antara kawasan tertinggal dan pusat
pertumbuhan wilayah;
c. Mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat;
d. Meningkatkan akses mesyarakat ke sumber pembiayaan;

- 22 -
e. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan
ekonomi.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 18.
Struktur ruang wilayah diwujudkan berdasarkan arahan pengembangan ruang meliputi :
(a) Sistem perdesaan;
(b) Sistem perkotaan;
(c) Sistem perwilayahan;
(d) Sistem jaringan prasarana wilayah.

. Bagian Ketiga
Sistem Perdesaan
Pasal 19.
(1) Sistem perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, dilakukan dengan membentuk
pusat pelayanan desa secara berhirarki.
(2) Sistem perdesaan disusun berdasarkan pelayanan perdesaan secara berhirarki, meliputi :
a. Pusat pelayanan antar desa
b. Pusat pelayanan setiap desa, serta
c. Pusat pelayanan pada setiap dusun atau kelompok permukiman.
(3) Pusat pelayanan perdesaan secara berhirarki memiliki hubungan dengan :
a. Pusat pelayanan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP/PPL);
b. Pusat pelayanan Ibukota Kecamatan (PKW/PKL/PKLP/PPK);
c. Pusat pelayanan perwilayahan (PKN/PKL/PKLP) Ibukota Kabupaten.
(1) Sistem pedesaan disusun berdasarkan PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan) dan terdapat 22 PPL di
Kabupaten Blora (terdapat pada penjelasan perda)

- 23 -
Bagian Keempat
Sistem Perkotaan
Pasal 20.
Sistem perkotaan sebagimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (b), terdiri dari :
a. PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) = Perkotaan Cepu
b. PKL (Pusat Kegiatan Lokal) = Perkotaan Blora
c. PKLP (Pusat Kegiatan Lokal Promosi) = Perkotaan Randublatung dan Kunduran
d. PPK (Pusat Pelayanan Kawasan) = Perkotaan Jepon, Ngawen, Kedungtuban,
Todanan, Banjarejo, Tunjungan, Japah, Bogorejo, Jiken, Sambong
e. Perkotaan Blora – Jepon
f. Perkotaan Cepu
g. Cepaka Kawasan Strategis Prioritas Cepu-Padangan-Kasiman (Cepaka)

Pasal 21.
Sistem Perwilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (c), meliputi:
(1) Berpusat di Kota Blora dengan wilayah pengaruh Kecamatan : Blora, Jepon, Bogorejo,Jiken,
Tunjungan dan Banjarejo, SWP I diarahkan untuk :
a. Pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan yang dipusatkan di Kota Blora;
b. Fungsi pertanian dan perkebunan rakyat di Kecamatan Jiken;
c. Fungsi kegiatan ekonomi perdagangan di Kecamatan Jepon;
d. Fungsi kegiatan industri di Kecamatan Tunjungan dan Bogorejo.
(2) Berpusat di Kota Cepu dengan wilayah pengaruh Kecamatan : Cepu, Kedungtuban, dan Sambong.
SWP II diarahkan untuk :
a. Fungsi perhubungan, pertambangan dan agrobisnis yang berpusat di Kota Cepu;
b. Fungsi perdagangan, industri dan pertanian yang berpusat di Kecamatan Kedungtuban dan
Sambong;
c. Fungsi penelitan, teknologi dan pendidikan yang berpusat di Kota Cepu.
(3) Berpusat di Kota Randublatung dengan wilayah pengaruh Kecamatan : Jati, Kradenan, dan
Randublatung.SWP III diarahkan untuk :
a. Fungsi perhubungan dan perdagangan di Kota Randublatung;
b. Fungsi perindustrian di Kecamatan Kradenan;
c. Fungsi pertanian irigasi dan tadah hujan di Kecamatan Kradenan dan Randublatung;
d. Fungsi pertanian lahan kering di Kecamatan Jati.

- 24 -
(4) bepusat di Kota Kunduran dengan wilayah pengaruh Kecamatan : Kunduran, Japah, Todanan dan
Ngawen. SWP IV diarahkan untuk :
a. Fungsi agrobisnis di Kecamatan Todanan, Japah, dan Kunduran;
b. Fungsi industri di Kecamatan Todanan dan Ngawen;
c. Fungsi pertanian di Kecamatan Ngawen dan Japah.

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Prasarana Wilayah
Pasal 22.
Sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf (d), meliputi :
a. Rencana sistem prasarana transportasi meliputi : jalan, kereta api, sungai dan udara;
b. Rencana sistem prasarana telekomunikasi;
c. Rencana sistem prasarana sumber daya air;
d. Rencana sistem jaringan prasarana energi dan kelistrikan;
e. Rencana sistem jaringan prasarana lingkungan; serta
f. Rencana ruang di dalam bumi.

Paragraf 1
Rencana Pengembangan Prasarana Transportasi Jalan
Pasal 23.
(1) Rencana pengembangan Sistem prasarana transpotasi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 huruf a, terdiri dari prasarana jalan umum yang dinyatakan dalam status dan fungsi jalan,
prasarana terminal penumpang jalan, serta angkutan massal perkotaan.
(2) Pengelompokan jalan berdasarkan status dapat dibagi menjadi jalan nasional, jalan provinsi, dan
jalan kabupaten/kota.
(3) Pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan dapat dibagi ke dalam dalan arteri, jalan kolektor,
dan jalan lokal.
(4) Pengelompokan jalan berdasarkan Sistem jaringan jalan terdiri dari Sistem jaringan jalan primer dan
sistem jaringan jalan sekunder.
(5) Rencana pengembangan prasarana jalan meliputi arahan pengembangan bagi jalan nasional jalan
tol, jalan nasional bukan jalan tol, jalan provinsi, dan jalan kabupaten.
(6) Pengembangan prasarana jalan meliputi pengembangan jalan baru dan pengembangan jalan yang
sudah ada.

- 25 -
Pasal 24.
(2) Rencana pengembangan jalan strategis nasional yang melintasi Rembang-Bulu-Blora-Cepu-
Padangan (Perbatasan Jawa Timur)
(3) Rencana pengembangan jalan lingkar yang menjadi jalan kolektor primer Bojonegoro-Cepu, di
Kecamatan Cepu. Rencana pembangunan jalan ini akan melintasi Desa Sumberpitu, Getas dan
Cabean.
(4) Jalan kolektor primer yang sudah dikembangkan di Kabupaten Blora meliputi :
a. Ruas Semarang – Purwodadi – Blora – Cepu – Bojonegoro – Surabaya. Ruas jalan ini disebut
sebagai lintas utara Blora, melalui Kecamatan Kunduran, Ngawen, Blora, Jepon, Jiken, Sambong
dan Cepu;
b. Ruas Semarang – Purwodadi – Wirosari – Cepu – Bojonegoro – Surabaya. Ruas jalan ini
disebut sebagai lintas selatan blora, melalui Kecamatan Jati, Randublatung, Kedungtuban, Cepu;
c. Ruas Semarang – Rembang – Blora – Cepu – Bojonegoro – Surabaya. Ruas jalan ini melalui
kecamatan Blora, Jepon, Jiken, Sambong dan Cepu;
d. Ruas Pati – Blora melalui Kecamatan Todanan – Japah – Ngawen – Blora.
(5) Rencana pengembangan jalan kolektor primer, meliputi ruas :
a. Jalan Cepu – Blora – Purwodadi – Semarang;
b. Jalan Lingkar Bojonegoro – Cepu;
c. Jalan Cepu – Kedungtuban – Randublatung – Jati - Wirosari – Purwodadi.
(6) Jalan lokal primer yang sudah dikembangkan meliputi 26 ruas jalan (terdapat pada penjelasan
perda)
(7) Rencana Pengembangan prasarana jembatan (sesuai dengan Rencana pengembangan jaringan
jalan Kawasan Strategis RATUBANGNEGORO) yang meliputi rencana :
a. Pembangunan jembatan yang menghubungkan Kelurahan Ngelo Kecamatan Cepu dengan Desa
Batokan, Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro;
b. Pembangunan jembatan Sumberpitu yang menghubungkan Desa Sumberpitu Kecamatan Cepu
Kabupaten Blora dengan Desa Sidorejo Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro;
c. Pembangunan jembatan Giyanti di Desa Giyanti Kecamatan Sambong dengan Kecamatan
Kasiman, Kabupaten Bojonegoro (Perbatasan Jateng-Jatim).
(8) Rencana pengembangan terminal penumpang, meliputi :
a. Kelas B, Lokasi Terminal di Blora sebagai Terminal angkutan jarak jauh (AKAP dan AKDP),
Terminal angkutan jarak sedang dan Terminal angkutan jarak dekat;
b. Kelas A, Lokasi Terminal di Cepu sebagai Terminal angkutan jarak jauh (AKAP dan AKDP),
Terminal angkutan jarak sedangdan terminal angkutan jarak dekat;

- 26 -
c. Kelas C, Lokasi Terminal di Kunduran sebagai Sub terminal angkutan jarak dekat;
d. Kelas C, Lokasi Terminal di Randublatung sebagai Sub terminal angkutan jarak dekat;
e. Kelas C, Lokasi Terminal di Ngawen sebagai Sub terminal angkutan jarak dekat;
f. Kelas C, Lokasi Terminal di Todanan sebagai Sub terminal angkutan jarak dekat;
g. Kelas C, Lokasi Terminal di Bogorejo sebagai Sub terminal angkutan jarak dekat.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Prasarana Transportasi Perkeretaapian
Pasal 25.
(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 huruf a meliputi arahan pengembangan jalur perkeretaapian, pengembangan prasarana
transportasi kereta api untuk keperluan penyelenggara perkeretaapian komuter, dry port, terminal
barang, serta konservasi rel mati;
(2) Rencana pengembangan perkeretaapian meliputi arahan pengembangan jalur kereta api ganda, dan
penataan jalur perkeretaapian yang melintasi Kota Cepu. Jalur Kereta Api yang beroperasi saat ini
adalah Jalur Surabaya sampai Jakarta (melewati Kota Cepu) dan seluruh perjalanan kereta api yang
melintasi kota Cepu tersebut berhenti di Stasiun Cepu, dan
(3) Rencana pengembangan perkereta-apian jalur Blora-Rembang

Paragraf 3
Rencana Pengembangan Prasarana Transportasi Sungai
Pasal 26.
(1) Rencana pengembangan transportasi air atau sungai sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf a
merupakan pengembangan transportasi sungai yang dikembangkan di Sungai Bangawan Solo yang
menghubungkan Kabupaten Blora dengan wilayah Jawa Timur;
(2) Lokasi pengembangan transportasi sungai tersebut antara lain:
a. Kelurahan Balun, Kecamatan Cepu dengan Desa Ngoken, Kecamatan Padangan Bojonegoro;
b. Dukuh Pilang Desa Nganjuk, Kecamatan Cepu dengan Kecamatan Ngraho, Nojonegoro;
c. Desa Sumber Pitu, Kecamatan Cepu dengan Desa Prangi, Kecamatan Ngraho, Bojonegoro;
d. Desa Jipang, Kecamatan Cepu dengan Kecamatan Ngraho, Bojonegoro;
e. Desa Panolan, Kecamatan Kedungtuban dengan Desa Sumber Arum, Kecamatan Ngraho,
Bojonegoro;
f. Desa Jimbung, Kecamatan Kedungtuban dengan Desa Mojorejo, Kecamatan Ngraho,
Bojonegoro;

- 27 -
g. Desa Nglungger, Kecamatan Kradenan dengan Kecamatan Ngraho, Bojonegoro.

Paragraf 4
Rencana Pengembangan Prasarana Transportasi Udara
Pasal 27.
(1) Prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf a meliputi Bandar udara
umum dan Bandar udara khusus.
(2) Prasarana transportasi udara yang sudah dikembangkan adalah bandar udara perintis di Desa
Ngloram Kecamatan Cepu
(3) Rencana penanganan dan pengelolaan kawasan Bandar udara, meliputi :
a. Upaya peningkatan kelas bandar udara;
b. Penyediaan fasilitas utama dan pendukung bandar udara.
(4) Rencana sarana pendukung dan radius pengamanan (KKOP)

Paragraf 5
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Telekomunikasi
Pasal 28.
(1) Sistem telematika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b adalah perangkat komunikasi dan
pertukaran informasi yang dikembangkan untuk tujuan-tujuan pengambilan keputusan di ranah
publik atau privat.
(2) Prasarana telekomunikasi yang dikembangkan meliputi :
a. Sistem kabel;
b. Sistem seluler;
c. Sistem satelit.
(3) Rencana pengembangan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terus
ditingkatkan perkembangannya hingga mencapai pelosok wilayah yang belum terjangkau sarana
prasarana telekomunikasi mendorong kualitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
(4) Rencana penyediaan infrastruktur telekomunikasi, berupa tower BTS (Base Transceiver Station)
secara bersama-sama. BTS yang ada di Kabupaten Blora masih berupa menara tunggal yang
digunakan oleh masing-masing satu operator. Rencana selanjutnya pembangunan BTS di
Kabupaten Blora diarahkan untuk :
a. BTS adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya beserta tower atau
menara yang digunakan dalam rangka bertelekomunikasi.

- 28 -
b. persebaran BTS perlu diatur dalam zona-zona dengan memperhatikan potensi ruang wilayah
yang tersedia serta kepadatan pemakaian jasa telekomunikasi dan disesuaikan dengan kaidah
penataan ruang wilayah, keamanan, ketertiban lingkungan, estetika, dan kebutuhan
telekomunikasi pada umumnya.
c. BTS sebaiknya didirikan sebagai menara bersama, dapat juga sebagai menara tunggal. Menara
bersama adalah BTS yang penggunaannya dapat dilakukan oleh lebih dari 1 operator,
sedangkan menara tunggal adalah BTS yang penggunaannya hanya dilakukan oleh 1 operator.
d. lokasi BTS berada pada jarak sekurang-kurangnya 50 m dari tepi jalan kolektor.
e. peletakkan BTS hanya di permukaan tanah dengan ketinggian maksimal 72 m.

Paragraf 6
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Pengairan
Pasal 29.
(1) Sistem prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c adalah
prasarana pengembangan pengairan untuk memenuhi berbagai kepentingan.
(2) Rencana pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan wilayah sungai.
(3) Pengembangan prasarana sumber daya air untuk air bersih diarahkan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumber air permukaan dan sumber air tanah.
(4) Pemenuhan kebutuhan akan air bersih dan irigasi dilakukan dengan peningkatan jaringan sampai ke
wilayah yang belum terjangkau, sedangkan irigasi dengan peningkatan saluran dari sistem setengah
teknis dan sederhana ditingkatkan menjadi irigasi teknis.
(5) Upaya penanganan untuk meningkatkan sumber daya air dan layanan fasilitas air bersih di
Kabupaten Blora seperti :
a. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air yang bersumber dari Waduk Greneng di Kecamatan
Tunjungan dengan kapasitas 2.299.870 m³ seluas 63 Ha.
b. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air yang bersumber dari Waduk Bentolo di Kecamatan
Todanan dengan debit kurang lebih 150 liter/detik yang lokasinya berada pada kawasan hutan
Perhutani.
c. Pemanfaatan Sungai Bengawan Solo sebagai sumber air baku dengan kapasitas debit kurang
lebih 200 liter/detik, dengan sasaran pelayanan, yaitu kecamatan : Cepu, Sambong, Jiken, dan
Jepon.
d. Pengambilan air baku sumur dalam dari wilayah Kecamatan Randublatung untuk melayani
Kecamatan Jati/Doplang dengan debit sebesar kurang lebih 25 liter/detik.

- 29 -
e. Pembangunan Waduk Randugunting Kecamatan Japah dan Waduk Karangnongko Kecamatan
Kradenan.
f. Pembangunan pelayanan air minum di Bogorejo
(6) Terdapat 28 rencana pengembangan embung di Kabupaten Blora (terdapat pada penjelasan perda)
(7) Pengembangan waduk dan embung serta pompanisasi terkait dengan pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan mempertimbangkan :
a. Daya dukung sumber daya air;
b. Kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat;
c. Kemampuan pembiayaan; serta
d. Kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.
(8) Area lahan beririgasi teknis harus dipertahankan agar tidak berubah fungsi menjadi peruntukan yang
lain, jika areal tersebut terpaksa harus berubah fungsi maka disediakan lahan areal baru yang
menggantikannya dengan luas minimal sama ditambah dengan biaya investasi yang telah
ditanamkan di lokasi tersebut.

Paragraf 6
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Sumberdaya Energi dan Kelistrikan
Pasal 30.
(1) Pengembangan sumberdaya energi dan kelistrikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 22 huruf d
dimaksudkan untuk menunjang penyediaan jaringan energi listrik dan pemenuhan energi lainnya;
(2) Pengembangan sumberdaya listrik sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di
Kabupaten Blora;
(3) Sumberdaya energi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 adalah sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi dan / energi baik secara langsung maupun dengan proses
konservasi atau transportasi;
(4) Pengembangan prasarana energi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dilakukan dilakukan
dengan membangun pipa BBM yang melewati Kabupaten Blora yaitu pipa BBM Teras-Pengapon
dan Cepu-Rembang-Pengapon Semarang dan pembangunan Pipa Gas Blora-Groboga-Demak-
Semarang.

- 30 -
Paragraf 7
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Lingkungan
Pasal 31.
(1) Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana lingkungan sebagaimana tertuang dalam Pasal
22 huruf e merupakan rencana pengelolaan prasarana yang digunakan lintas wilayah administratif.
(2) Pengembangan prasarana lingkungan, meliputi :
a. Mereduksi sumber timbunan sampah sejak awal, dengan rencana sebagai berikut :
1) Meminimalisasi pengunaan sumber sampah yang sukar di daur ulang secara alamiah;
2) Memanfaatkan ulang sampah (re-cycle) yang ada terutama yang memiliki nilai ekonomi;
3) Mengolah sampah organik menjadi kompos.
b. Optimalisasi tingkat penanganan sampah perkotaan, dengan strategi sebagai berikut :
1) Peningkatan prasarana pengolahan sampah;
2) Pengadaan TPA dan TPS Regional; serta
3) Pengelolaan sampah berkelanjutan.
c. Optimalisasi tingkat penanganan sampah perdesaan, dengan strategi sebagai berikut :
1) Sistem pengolahan sampah; dan
2) Pengolahan sampah mendukung pertanian.
d. Penetapan kawasan Ruang Terbuka Hijau, dengan strategi sebagai berikut :
1) Pengadaan taman dan hutan kota;
2) Penetapan luasan ruang terbuka hijau perkotaan minimum 30% dari luas area; serta
3) Pengembangan jenis ruang terbuka hijau dengan berbagai fungsinya.
e. Menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih, dengan strategi sebagai berikut :
1) Pemenuhan fasilitas septic tank per Kepala Keluarga di wilayah perkotaan;
2) Penanganan limbah rumah tangga dengan fasilitas sanitasi per Kepala Keluarga juga
sanitasi umum pada wilayah perdesaan; serta
3) Peningkatan sanitasi lingkungan untuk permukiman, produksi, jasa, dan kegiatan sosial
ekonomi lainnya;
4) Pembangunan dan peningkatan jalan lingkungan dan drainase lingkungan.

Paragraf 8
Rencana Ruang di Dalam Bumi
Pasal 32.
(1) Rencana ruang di dalam bumi berkaitan dengan eksploitasi mineral dan batubara yang menjadi salah
satu potensi andalan di Kabupaten Blora.

- 31 -
(2) Rencana penggunaan ruang untuk jaringan dan prasarana eksploitasi mineral meliputi :
a. Lapangan minyak dan gas bumi di Kabupaten Blora terdapat di Perkotaan Cepu, Blora,
Kecamatan Randublatung, Kedungtuban, Jati, Todanan (Lapangan Cempaka Emas), Sambong
(Lapangan Giyanti), Kedungtuban (Lapangan Bajo), Japah (Lapangan Diponegoro);
b. Lapangan gas baru di area Gundih di Kabupaten Blora yang meliputi lapangan Randublatung
(RBT), Kedungtuban (KTB), dan Kedunglusi (KDL);
c. Pembangunan Jaringan Gas Nasional yaitu pipa gas Sumber-Tambaklorok (PPGJ) dan pipa gas
Sumber-Gresik (Pertagas);
d. Pengelolaan sumur minyak tua di Kabupaten Blora.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 33.
Pola ruang wilayah menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan budi daya.

Bagian Kedua
Rencana Pelestarian Kawasan Lindung
Pasal 34.
Pola ruang untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33, yang meliputi :
a. Kawasan Hutan Lindung;
b. Kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. Kawasan perlindungan setempat;
d. Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan kawasan cagar budaya;
e. Kawasan rawan bencana alam;
f. Kawasan lindung geologi;
g. Kawasan lindung lainnya.

Pasal 35.
(1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksudkan pada pasal 34 huruf a memiliki pengaturan
sebagai berikut:
a. Hutan lindung yang telah ada berdasarkan peraturan atau perundangan yang berlaku tetap
dipertahankan.

- 32 -
b. Penggunaan lahan yang telah ada (pemukiman, sawah, tegalan, tanaman tahunan, dan lain-lain)
dalam kawasan ini perlu adanya pembatasan pendirian bangunan baru untuk pemukiman,
sehingga fungsi lindung yang diemban dapat dilaksanakan.
c. Penggunaan lahan yang akan mengurangi fungsi konservasi secara bertahap dialihkan fungsinya
sebagai kawasan lindung sesuai kemampuan dana yang ada.
d. penggunaan lahan baru tidak diperkenankan bila tidak menjamin fungsi lindung terhadap
hidrologis, kecuali jenis penggunaan yang sifatnya tidak bisa dialihkan (menara TV, jaringan
listrik, telepon, air minum, dll) hal tersebut tetap memperhatikan azas konservasi.
(2) Kawasan hutan lindung, terletak di : Kawasan hutan lindung di Kabupaten Blora telah ditentukan
oleh KPH Blora, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan, KPH Randublatung, dan KPH Ngawi
terbagi kedalam 2 jenis, yaitu : Hutan Lindung dengan luas 131,9 Ha yang terdapat di KPH Blora
dan Hutan Lindung Terbatas dengan luas 820,7 Ha yang terdapat di KPH Blora seluas (99,7 Ha),
KPH Cepu seluas (479,9 Ha), KPH Kebonharjo seluas (30 Ha), KPH Matingan seluas (114 Ha), dan
Randublatung seluas (97,1 Ha). Sehingga luas total Hutan Lindung dan Hutan Lindung Terbatas
adalah seluas 952,6 Ha.

Pasal 36.
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf b meliputi kawasan konservasi dan resapan air yang memiliki pengaturan antara lain:
a. di areal hutan produksi dengan pengelolaan yang baik;
b. di areal kebun/tegalan dikembangkan diversifikasi tanaman tahunan perkebunan dan tanaman
tahunan buah-buahan yang sesuai dan pencegahan erosi;
c. di areal lahan kritis diusahakan perkerasan dan penanaman tanaman tahunan perkebunan,
buah-buahan atau tanaman kayu-kayuan untuk bangunan/perkakas rumah tangga.
d. di areal permukiman diusahakan dengan cara :
1) Pemeliharaan teras sebaik mungkin;
2) Penanaman pohon buah-buahan, perkebunan maupun kayu-kayuan dipekarangannya;
3) Minimal tersedia sebagian lahan pekarangan untuk serapan air hujan.
(2) Kawasan resapan air tersebut yang memiliki total luas sebesar 14.296 Ha yang tersebar 13 di
kecamatan (terdapat pada penjelasan perda)

Pasal 37.
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c, meliputi :
a. Kawasan sempadan sungai;

- 33 -
b. Kawasan sekitar waduk/embung;
c. Kawasan sekitar mata air;
d. Kawasan sempadan sungai di kawasan permukiman;
e. Kawasan terbuka hijau kota.
(2) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terletak di :
a. Kawasan sekitar Sungai Lusi dan anak sungainya;
b. Kawasan sekitar Bengawan Solo dan anak sungainya.
(3) Kawasan sekitar waduk/embung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terletak di :
a. Waduk Tempuran di Kecamatan Blora, seluas kurang lebih 25 Ha;
b. Waduk Greneng di Kecamatan Tunjungan, seluas 45 Ha;
c. Waduk Bentolo;
d. Waduk lain yang dibangun setelah penetapan Pemda Provinsi Kab. Blora.
(4) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terletak di 30 mata air di
Kabupaten Blora (terdapat pada penjelasan perda)
(5) Kawasan sempadan sungai di kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
terletak di :
a. Kawasan sekitar Sungai Lusi;
b. Kawasan sekitar Sungai Grojogan;
c. Kawasan sekitar Sungai Bengawan Solo.
(6) Kawasan terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, ruang terbuka hijau di
Kabupaten Blora termasuk adalah Ruang Terbuka Hijau Turus Jalan, Ruang Terbuka Hijau milik
pihak Swasta dan Ruang Terbuka Hijau Sawah Lestari. Pengembangan penggunaan lahan saat ini
di beberapa wilayah yang ada di Jawa Tengah, temasuk dalam hal ini adalah Kabupaten Blora,
mulai mengarah pada upaya untuk mempertahankan lahan sawah yang saat ini sudah mulai banyak
berubah fungsi.
Pasal 38.
(1) Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan kawasan cagar budaya sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 34 huruf d, terdiri dari :
a. Kawasan Suaka Alam
b. Kawasan Pelestarian Alam
c. Cagar Budaya
(2) Pangaturan untuk kawasan seperti yang termaksud dalam ayat (1), kegiatan budi daya diarahkan
pada untuk dapat mendukung dan mengembangkan fungsi kawasan sebagai kawasan suaka alam
dan cagar budaya.

- 34 -
(3) Kawasan suaka alam di Kabupaten Blora terdapat di wilayah Kecamatan Randublatung seluas 25
Ha, Cagar Alam Bekutuk dengan luas 25,4 km² dan Cagar Alam Cabak I/II dengan luas 30 km²
(4) Kawasan pelestarian alam terdapat di Desa Doplang Kecamatan Jati dan di Desa Kalisari
Kecamatan Randublatung.
(5) Terdapat 73 cagar budaya di Kabupaten Blora (terdapat pada penjelasan perda)

Pasal 39.
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 34 huruf d, meliputi :
a. Taman hutan raya;
b. Taman hutan wisata alam; serta
c. Cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Di Kabupaten Blora, Taman Hutan Raya Dan Taman Hutan Wisata Alam, didefinisikan sebagai
kawasan pelestarian alam yang dilakukan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan
pariwisata, serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran.

Pasal 40.
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 34 huruf e, meliputi :
a. Rawan longsor;
b. Rawan banjir;
c. Kawasan rawan kekeringan.
(2) Kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Kecamatan Kedungtuban;
b. Kecamatan Cepu;
c. Kecamatan Sambong;
d. Kecamatan Jiken;
e. Kecamatan Japah;
f. Kecamatan Jepon;
g. Kecamatan Blora;
h. Kecamatan Todanan; dan
i. Kecamatan Bogorejo
j. upaya penanganan/pengelolaan kawasan rawan longsor, pengawasan dan pengendalian
pembangunan perumahan baru di kawasan rawan longsor. Kepadatan bangunan diarahkan
dengan kepadatan rendah, harus ada pembatasan kepadatan dan pertumbuhan fisik – aktivitas
kawasan, kepadatan diarahkan < 30 unit/Ha dengan luas lantai bangunan < 100 m2.

- 35 -
(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) huruf b, meliputi :
a. Kecamatan Cepu;
b. Kecamatan Kedungtuban;
c. Kecamatan Kradenan;
d. Kecamatan Sambong;
e. Kecamatan Jiken;
f. Kecamatan Randublatung;
g. Kecamatan Blora.
h. upaya penanganan/pengelolaan kawasan rawan banjir adalah dengan sedapat mungkin tidak
dipergunakan untuk permukiman, demikian pula kegiatan lain yang dapat merusak atau
mempengaruhi kelancaran sistem drainase, pada daerah rawan banjir ini perlu adanya
pemantapan kawasan lindung diantaranya dengan langkah reboisasi jenis tanaman khusus
(tanaman tahunan) dan pembuatan rumah panggung beserta jalur drainasenya.
(4) Kawasan Rawan kekeringan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 huruf (c),meliputi :
a. Kecamatan Jati; h. Kecamatan Jepon;
b. Kecamatan Randublatung; i. Kecamatan Blora;
c. Kecamatan Kedungtuban; j. Kecamatan Banjarejo;
d. Kecamatan Cepu; k. Kecamatan Tunjungan;
e. Kecamatan Sambong; l. Kecamatan Japah;
f. Kecamatan Jiken; m. Kecamatan Ngawen;
g. Kecamatan Bogorejo; n. Kecamatan Kunduran.
(5) kawasan yang paling ekstrim mengalami kekeringan menurut data tahun 2009/2010, meliputi :
a. Kecamatan Jati;
b. Kecamatan Banjarejo;
c. Kecamatan Tunjungan;
d. Kecamatan Sambong;
e. Kecamatan Jepon;
f. Kecamatan Ngawen.

Pasal 41.
(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f, terdiri dari :
a. Kawasan cagar alam geologi;
b. Kawasan rawan bencana alam geologi dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
air tanah.

- 36 -
(2) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
Sumur minyak dan gas bumi di wilayah Kabupaten Blora yang pertama kali di ketemukan oleh BPM
pada tahun 1890, jumlah sumur sejumlah 648 buah, 112 buah sumur diantaranya dapat
memproduksi minyak diantaranya sebanyak 16.550.790 m², sedangkan ladang gas bumi yang
berada di wilayah Cepu; berada di Balun dan ToboKawasan sekitar Bengawan Solo dan anak
sungainya.
(3) Kawasan rawan bencana alam geologi dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air
tanah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) huruf b, meliputi :
a. Kawasan lindung kars;
b. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
(4) Kawasan lindung kars yang dimaksud pada ayat 3 huruf a berada di :
a. Kecamatan g. Kecamatan
Todanan; Jepon;
b. Kecamatan h. Kecamatan
Japah; Jiken;
c. Kecamatan i. Kecamatan
Tunjungan; Sambong;
d. Kecamatan j. Kecamatan
Bogorejo; Cepu;
e. Kecamatan k. Kecamatan
Ngawen; Kedung tuban;
f. Kecamatan l. Kecamatan
Kunduran; Randublatung;
m. Kecamatan Jati.
(5) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah yang dimaksud pada ayat 3 huruf b
adalah : Kawasan tersebut adalah Cekungan Semarang-Demak dengan luas 1.839 km², Cekungan
Randublatung dengan luas 203 km², Cekungan Lasem dengan luas 378 km².

Pasal 42.
Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksudkan pasal 33 huruf g, terdiri dari : kawasan
perlindungan plasma nutfah.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budi daya

- 37 -
Pasal 43.
Pola ruang untuk kawasan budi daya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33, yaitu meliputi :
a. Kawasan peruntukan hutan produksi;
b. Kawasan hutan rakyat;
c. Kawasan peruntukan pertanian;
d. Kawasan peruntukan perkebunan;
e. Kawasan peruntukan perikanan;
f. Kawasan peruntukan pertambangan;
g. Kawasan peruntukan industri;
h. Kawasan peruntukan pariwisata;
i. Kawasan peruntukan permukiman
j. Kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 44.
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi yang dimaksud pada pasal 43 ayat a terdiri dari :
a. hutan produksi terbatas;
b. hutan produksi tetap;
c. hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) a, di Kabupaten Blora
memiliki luas total 55.325,7 Ha dengan rician pembagian untuk tiap KPH adalah sebagai berikut :
a. KPH Blora, seluas 7.303,4 Ha,
b. KPH Cepu, seluas 16.019 Ha,
c. KPH Kebonharjo, seluas 1.408,2 Ha,
d. KPH Mantingan, seluas 2.863,1 Ha,
e. KPH Randublatung, seluas 21.978,1 Ha, dan
f. KPH Ngawi, seluas 5.753,9 Ha.
(3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b, di Kabupaten
Blora memiliki luas total 55.325,7 Ha dengan rician pembagian untuk tiap KPH adalah sebagai
berikut :
a. KPH Blora, seluas 7.303,4 Ha,
b. KPH Cepu, seluas 16.019 Ha,
c. KPH Kebonharjo, seluas 1.408,2 Ha,
d. KPH Mantingan, seluas 2.863,1 Ha,
e. KPH Randublatung, seluas 21.978,1 Ha, dan

- 38 -
f. KPH Ngawi, seluas 5.753,9 Ha.
(4) Kawasan hutan yang dapat dikonversi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf c, di
Kabupaten Blora memilki luas 34.444,92 Ha dengan rincian pembagian untuk tiap KPH adalah
sebagai berikut :
a. KPH Blora, seluas 7.801,6 Ha,
b. KPH Cepu, seluas 11.038,1 Ha,
c. KPH Kebonharjo, seluas 729,52 Ha,
d. KPH Mantingan, seluas 2.856 Ha,
e. KPH Randublatung, seluas 9.440,8 Ha, dan
f. KPH Ngawi, seluas 2.578,9 Ha.

Pasal 45.
Kawasan hutan rakyat yang dapat dikonversi sebagaimana yang dimaksud pada pasal 43 huruf b, di
Kabupaten Blora memiliki luas 1.005 Hektar, yang terdistribusi di :
a. Kecamatan Jiken 75 Ha;
b. Kecamatan Bogorejo, seluas 200 Ha;
c. Kecamatan Jepon, seluas 125 Ha;
d. Kecamatan Blora, seluas 75 Ha;
e. Kecamatan Japah, seluas 40 Ha;
f. Kecamatan Ngawen, seluas 50 Ha;
g. Kecamatan Kunduran, seluas 30 Ha;
h. Kecamatan Todanan, seluas 410 Ha.

Pasal 46.
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c, meliputi: sawah,
tegalan (tanah ladang), kebun campur, perkebunan, pengembangan holtikultura, peternakan,
perikanan, serta kawasan lainnya.
(2) Kawasan peruntukan pertanian lahan sawah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
sebagai berikut :
a. Sawah beririgasi teknis yang ditetapkan sebagai kawasan lahan abadi pertanian pangan terletak
di Kecamatan : Randublatung, Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Blora, Ngawen, Kunduran dan
Todanan (sentra padi) dan Kecamatan : Japah dan Todanan (Sentra padi gogo)
b. Sawah beririgasi ½ teknis dan sederhana terletak di :
1) Sentra jagung adalah Kecamatan : Randublatung, Jepon, Blora, Kunduran dan Todanan;

- 39 -
2) Sentra kedelai adalah Kecamatan : Jati, Randublatung, Kradenan, Blora, Japah dan
Kunduran;
3) Sentra kacang tanah adalah Kecamatan : Kedungtuban, Cepu, Jepon, Blora, Japah dan
Todanan;
4) Sentra kacang hijau adalah Kecamatan : Kedungtuban, Cepu, Blora, Kunduran dan
Todanan;
5) Sentra kacang merah adalah Kecamatan : Randublatung, Sambong, Blora, Japah, dan
Kunduran;
6) Sentra ubi jalar adalah Kecamatan : Kedungtuban, Sambong, Blora dan Japah;.
7) Sentra ketela pohon adalah Kecamatan : Jati, Randublatung, Kradenan, Sambong, Blora,
dan Todanan;
8) Sentra cabai merah adalah Kecamatan : Randublatung, Kradenan, Sambong, Jepon, dan
Bogorejo;
9) Sentra bawang merah adalah Kecamatan : Kedungtuban, Jepon, Bogorejo, dan Todanan.

Pasal 47.
Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 huruf d terletak di :
a. Sentra tanaman tembakau berada di kecamatan Randublatung, Kedungtuban, Cepu, Banjarejo
dan Kradenan;
b. Sentra tanaman kapuk berada di kecamatan Jepon, Bogorejo, Blora, Tunjungan, Banjarejo,
Ngawen, Kunduran dan Todanan;
c. Sentra tanaman tebu berada di kecamatan Blora, Tunjungan, Randublatung, Banjarejo,
Kunduran, Sambong, Kedungtuban, Kradenan, Jati dan Jiken;
d. Sentra tanaman mete berada di kecamatan Todanan, Jepon, Bogorejo, dan Japah;
e. Sentra tanaman kapas berada di kecamatan Jati dan Banjarejo;
f. Sentra tanaman jarak pagar berada di kecamatan Japah, Tunjungan, Jepon, dan Banjarejo;
g. Sentra tanaman empon-empon berada di kecamatan Japah, Bogorejo, Banjarejo, Randublatung,
dan Jepon.

Pasal 48.
(1) Kawasan peruntukan perikanan dan peternakan yang dimaksud pada pasal 43 ayat e terdiri dari :
a. Kawasan peruntukan perikanan;
b. Kawasan peruntukan peternakan;

- 40 -
(2) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : perikanan tangkap,
perikanan budi daya air payau, dan perikanan budi daya air tawar yang terletak di :
a. Sentra lele adalah Kecamatan : Randublatung, Kedungtuban, Cepu, Blora, dan Todanan.
b. Sentra Nila adalah Kecamatan : Randublatung, Kedungtuban, Cepu, Blora, dan Todanan.
c. Sentra Tawes adalah Kecamatan : Randublatung, Kedungtuban, Cepu, Blora, dan Todanan.
(3) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Sentra ayam kampung adalah Kecamatan : Jati, Randublatung, Kradenan, Kedungtuban, Cepu,
Jiken, Jepon, Bogorejo, Blora, Tunjungan, Banjarejo, Ngawen, Japah, Kunduran dan Todanan.
b. Sentra ayam ras petelur adalah Kecamatan : Cepu, dan Blora.
c. Sentra ayam ras pedaging adalah Kecamatan : Cepu, Sambong, Jepon, dan Blora.
d. Sentra kambing adalah Kecamatan : Randublatung, Kradenan, Cepu, Jepon, Bogorejo, Blora,
Japah, Kunduran dan Todanan.
e. Sentra itik adalah Kecamatan : Randublatung, Kradenan, Cepu, Blora, Ngawen, Japah,
Kunduran dan Todanan.
f. Sentra sapi potong adalah Kecamatan : Randublatung, Jepon, Bogorejo, Blora, Tunjungan,
Banjarejo, Japah, Kunduran dan Todanan.
g. Sentra kerbau adalah Kecamatan : Randublatung, Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Japah,
Kunduran dan Todanan.
h. Sentra domba adalah Kecamatan : Jati, Randublatung, Kedungtuban, Cepu, dan Bogorejo.
i. Sentra angsa adalah Kecamatan : Jati, Jepon, Bogorejo, Banjarejo, dan Todanan.
j. Sentra kelinci adalah Kecamatan : Cepu, Sambong, Jiken, Jepon, Banjarejo, dan Kunduran.

Pasal 49.
Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat f meliputi :
pertambangan bahan galian golongan galian strategis, golongan bahan galian vital dan golongan bahan
galian yang tidak termasuk kedua golongan di atas. Jenis dan pertambangan bahan galian di Kabupaten
Blora adalah sebagai berikut :
1. Batu gamping, sebarannya meliputi Kecamatan :
a. Todanan, Desa : Sendang, Bicak, Wukirsari, Ngumbul, Todanan, Sambeng, Sonokulon,
Kedungwungu, Cokrowati, Dringo, Candi, Gondoriyo, Bedingin, Ledok, dan Kedungbacin.
b. Jiken, Desa : Jiworejo, Singonegoro, Jiken, Cabak, Nglobo, Janjang dan Bleboh.
c. Jepon, Desa : Tempellemahbang, Waru, Soko, Blungun dan Semanggi.
d. Japah, Desa : Kalinanas, Gaplokan, dan Ngiyono.
e. Tunjungan, Desa : Tunjungan, Kedungrejo, Nglangitan, dan Sitirejo.

- 41 -
f. Blora, Desa : Ngampel, dan Plantungan.
g. Bogorejo, Desa : Jurangjero, Gandu, Nglengkir, dan Tumpurejo.
h. Randublatung, Desa : Ngliron.
i. Kradenan, Desa : Mendenrejo, Getas, Megeri, dan Nginggil.

2. Pasir kuarsa, sebarannya meliputi Kecamatan :


a. Todanan, Desa : Kedungbacin, Kembang, dan Bedingin.
b. Japah, Desa : Kalinanas, Gaplokan, dan Ngiyono.
c. Tunjungan, Desa : Tunjungan, Nglangitan, dan Sitirejo.
d. Blora, Desa : Ngampel, dan Plantungan.
e. Jepon, Desa : Waru, Soko, dan Jatirejo
f. Bogorejo, Desa : Jurangjero, Nglengkir dan Gandu.
3. Phospat, sebarannya meliputi Kecamatan :
a. Todanan, Desa : Wukirsari, Ngumbul, Kedungwungu, dan Tinapan.
4. Ball clay, sebarannya meliputi Kecamatan :
a. Tunjungan, Desa : Nglangitan
b. Bogorejo, Desa : Nglengkir
c. Tunjungan, Desa : Nglangitan (Timur)
d. Bogorejo, Desa : Gandu
5. Gypsum, sebarannya meliputi Kecamatan :
a. Jati, desa : Pengkoljagong
b. Randulbatung, desa : Tanggel, Kutukan dan Kalisari
c. Sambong, desa : Brawonan dan Biting
6. Gas alam yang terdapat di Desa Semanggi Kecamatan Jepon

Pasal 50.
Penetapan kawasan peruntukan industri di Kabupaten Blora sebagaimana dimaksud dalam 43 ayat g,
bahwa kawasan peruntukan industri di Kabupaten Blora berdasarkan pada arahan yang diberikan pada
pendekatan Produksi dan Pemasaran dan berbagai pertimbangan-pertimbangan pada setiap potensi
pengembangn industri, dengan lokasi terdapat di Kecamatan Todanan, Jepon, Bogorejo, Ngawen, Cepu
dan Tunjungan.

Pasal 51.

- 42 -
(1) Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat h, meliputi :
a. Kawasan wisata alam;
b. Kawasan wisata buatan; dan
c. Kawasan wisata ziarah.
(2) Kawasan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terletak di :
a. Gunung Manggir (di perbukitan Manggir, desa Ngumbul, Kec. Todanan);
b. Waduk Bentolo (terletak di wilayah Kec. Todanan);
c. Waduk Tempuran (perbukitan di dusun Juwet, Desa Tempuran, Kecamatan Kota Blora);
d. Waduk Greneng (Desa Tunjungan, Kec. Tunjungan Kab. Blora.);
e. Goa Terawang (di Desa Kedungwungu Kecamatan Todanan Kabupaten Blora, berada di
kawasan hutan KPH Blora);
f. Kawasan wisata Kedungpupur Desa Ledok Kecamatan Sambong;
g. Loko Tour (paket perjalanan wisata di hutan jati wilayah KPH Cepu Kabupaten Blora);
h. Kawasan wisata Desa Gandu Kecamatan Bogorejo;
(3) Kawasan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terletak di :
a. Taman Budaya dan Seni Tirtonadi (Kota Blora, di Jalan Sudarman Blora. Pada tahun 60-an
dikenal dengan nama Kebun Binatang Tirtonadi);
b. Taman Sarbini (Kelurahan Tempelan Kota Blora);
c. Pemandian Sayuran (terletak di daerah perbukitan Desa Soko Kecamatan Jepon Kabupaten
Blora).
(4) Kawasan pariwisata ziarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terletak di :
a. Makam Bupati Blora Tempo Dulu (Desa Ngadipurwo Kecamatan Blora);
b. Makam K. H. Abdul Kohar (desa Ngampel Kecamatan Blora, Kabupaten Blora);
c. Makam Sunan Pojok (Kecamatan Blora);
d. Makam Janjang, makam Jati Kusumo dan makam Jati Swara (Desa Janjang, Kecamatan Jiken
Kabupaten Blora);
e. Petilasan Kadipaten Jipang (Desa Jipang, Kecamatan Cepu Kabupaten Blora);
f. Makam Srikandi Aceh Poucut Meurah Intan (terletak di pemakaman umum di Desa Temurejo
Kecamatan Blora);
g. Makam Maling Gentiri (Desa Kawengan Kecamatan Jepon);
h. Makam Purwo Suci Ngraho Kedungtuban (Desa Ngraho Kecamatan Kedungtuban).

Pasal 52.
Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat i, meliputi :

- 43 -
a. Permukiman perdesaan;
b. Permukiman perkotaan;
c. Permukiman perdesaan yang potensial kota.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Pasal 53.
(1) Beberapa kawasan yang merupakan kawasan strategis di Kabupaten Blora adalah sebagai berikut :
a. Kawasan Yang Memiliki Nilai Strategis dari Sudut Kepentingan Ekonomi yang Berpengaruh
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi;
b. Kawasan yang Memiliki Nilai Strategis dari Sudut Kepentingan Fungsi dan Daya Dukung
Lingkungan Hidup;
c. Kawasan yang Memiliki Nilai Strategis Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan/atau Teknologi
Tinggi di Wilayah Kabupaten;
d. Kawasan Yang Memiliki Nilai Strategis Dari Sudut Kepentingan Sosial Budaya.
(2) Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf a, adalah kawasan yang cepat
tumbuh yang meliputi :
a. Kawasan Kerja Sama Perbatasan Ratubangnegoro (Blora-Tuban-Rembang-Bojonegoro)
b. Prioritas Perbatasan Cepaka (Cepu, Pasingan dan Kasiman).
c. Prioritas Perbatasan Kabupaten Tuban dan Bojonegoro Provinsi Jawa Timur (Dukuh Singget)
d. Perkotaan Cepu. Dari RTRW Propinsi Jawa Tengah diketahui bahwa perkembangan perkotaan
cepu tidak hanya mempengaruhi Kabupaten Blora saja tetapi juga lingkup yang lebih luas lagi
yaitu Propinsi Jawa Tengah.
e. Perkotaan Blora. Sebagai ibu kota kabupaten Kota Blora merupakan pusat administrasi
Kabupaten Blora, sehingga kegiatan ekonomi selalu terjadi di Kota Blora;
f. Kecamatan Jepon yang memiliki lokasi di sebelah Kota Blora terkena dampak dari pertumbuhan
yang terjadi di Kota Blora;
g. Kawasan yang dilalui jalur utama akses Purwodadi – Kunduran - Blora – Cepu, yaitu Kecamatan
Ngawen, Jiken, Jepon dan Sambong;
h. Kawasan yang dilalui oleh jalur transportasi utama (akses Bojonegoro – Cepu – Randublatung –
Doplang - Wirosari), yaitu Kecamatan Cepu, Randublatung, Kedungtuban dan Jati;

- 44 -
i. Kawasan desa potensial berkembang yang memiliki pengaruh perkembangan eksternal terhadap
desa-desa di sekitarnya yang ditetapkan dalam Kawasan Terpadu Pusat Pengembangan Desa
(KTP2D) dengan satu desa pusat pertumbuhan (DPP);
j. Kawasan yang berdasarkan pertumbuhan tertentu (ekonomi, hankam) memiliki prediksi
perkembangan yang sangat cepat atau lambat.
(3) Kawasan yang Memiliki Nilai Strategis dari Sudut Kepentingan Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b, yaitu :
a. Kawasan Kars Sukolilo, Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah 2009-
2029 Kawasan Kars Sukolilo merupakan kawasan strategis dari sudut pandang daya dukung
lingkungan.
b. Kawasan prioritas yang digunakan untuk melindungi sumber yang ada di daerah tersebut
Kabupaten Blora merupakan Kabupaten yang dilewati oleh Sungai Bengawan Solo dan Sungai
Lusi. Aliran sungai tersebut juga digunakan sebagai salah satu sumber air bersih di Kecamatan
Kradenan, Kedungtuban, dan Cepu.
c. Kawasan yang memiliki permasalahan lingkungan atau bencana alam kekeringan, yaitu: Japah,
Banjarejo, Tunjungan, Jepon, Jiken Bogorejo, Sambong dan Jati.
(4) Kawasan yang Memiliki Nilai Strategis Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan/atau Teknologi
Tinggi di Wilayah Kabupaten Blora sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf c, yaitu Kawasan
yang memiliki nilai strategis bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Kawasan Blok
Cepu.
(5) Kawasan Yang Memiliki Nilai Strategis Dari Sudut Kepentingan Sosial Budaya di Kabupaten Blora
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf d adalah kawasan lingkungan permukiman yang
memiliki karakteristik tertentu yang perlu dilestarikan keberadaannya (lingkungan samin) yang
berada di Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo.
(6) Kawasan Strategis dari Sudut Pandang Kepentingan Pertahanan dan Keamanan secara umum
merupakan lahan-lahan yang digunakan dan dikuasai oleh institusi pertahanan keamanan negara
(Komando Daerah Militer IV/Diponegoro dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah) untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan.

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH


Bagian pertama
Umum
Pasal 54.

- 45 -
(1) Pemanfatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta
pembiayaannya.
(2) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang
dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan
udara dan penatagunaan sumber daya alam lain.
(3)
Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang wilayah
Paragraf 1
Perumusan Strategis Operasionalisasi
Pasal 55.
(1) Penataan ruang sesuai RTRW Kabupaten Blora dilaksanakan secara sinergis dengan Peraturan
Daerah lain yang ada di Kabupaten Blora
(2) Penataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara terus menerus.

Paragraf 2
Prioritas Tahapan Pembangunan
Pasal 56.
(1) Prioritas pelaksanaan pembangunan disusun berdasarkan atas kemampuan pembiayaan dan
kegiatan yang mempunyai efek mengganda sesuai arahan umum pembangunan daerah.
(2) Program pembiayaan terdiri atas:
a. Program utama
b. Program pembiayaan
c. Instansi pelaksana : APBN, Loan, APBD/APBN-Perhutani, APBD Kabupaten; Swadaya
Masyarakat
d. Waktu pelaksanaan dalam 4 tahapan pelaksanaan (5 tahunan)
(3) Pemanfaatan ruang wilayah akan dilakukan berdasarkan indikasi program utama jangka menengah
yang dilaksanakan tiap 5 tahun

BAB VI
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Pertama
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
Pasal 57.

- 46 -
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui :
(1) Ketentuan Umum Zonasi,
(2) Ketentuan Perizinan,
(3) Ketentuan insentif dan disinsentif; dan
(4) Arahan sanksi.

Pasal 58.
(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada pasal 57 ayat 1 disusun sebagai pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang, serta berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona
pemanfaatan ruang.
(2) Dalam peraturan zonasi sesuai dengan rencana rinci tata ruang dimaksud meliputi :
a. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan;
b. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pedesaan;
c. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten.
(3) Peraturan zonasi pada setiap butir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat tentang apa yang
harus ada, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
(4) Peraturan zonasi disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(5) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan
ruang. Ketentuan umum peraturan zonasi meliputi :
a. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan lindung,
b. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan budi daya,
c. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana wilayah
(6) Bupati melakukan pengendalian pemanfaatan ruang.
(7) Dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang Bupati dibantu oleh BKPRD.

Bagian Kedua
Ketentuan Peraturan Zonasi pada Kawasan Lindung
Pasal 59.
(1) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan lindung sebagaimana dimaksud pasal 58 ayat (5) huruf a
meliputi :
a. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan hutan lindung,
b. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan konservasi dan resapan air,
c. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sekitar danau/waduk/embung,
d. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sekitar mata air,

- 47 -
e. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan suaka alam,
f. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan,
g. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan pelestarian alam,
h. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan rawan bencana.
(2) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a
adalah :
a. Pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekowisata
sepanjang tidak mengganggu fungsi lindung.
b. Pencegahan kegiatan-kegiatan budi daya dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung.
c. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan hutan lindung harus sesuai dengan fungsi
kawasan dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan
ekosistem alami.
d. Setiap kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung harus mengikuti kaidah-kaidah
perlindungan dan konservasi.
(3) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan konservasi dan resapan air sebagaimana dimaksud ayat
1 huruf b diarahkan agar fungsi konservasi dan fungsi resapan air tetap dapat dipertahankan dan
ditingkatkan.
(4) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf c
adalah:
a. sekurang-kurangnya 10 meter hingga 15 meter dari tepi kiri - kanan sungai yang berada di
kawasan permukiman (terbangun) yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi
b. sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi kiri - kanan sungai besar dan 50 meter dari tepi kiri -
kanan anak sungai yang berada di luar permukiman / kegiatan perkotaan.
c. kawasan sempadan sungai sepanjang Bengawan Solo, mencakup Kecamatan Cepu,
Kedungtuban, dan Kradenan.
d. kawasan sempadan sungai sepanjang Sungai Lusi, mencakup Kecamatan Kunduran, Ngawen,
Banjarejo dan Blora.
e. adapun penerapan kawasan sempadan sungai sebesar 100 meter dari tepi kiri - kanan sungai
diberlakukan pada Sungai Bengawan Solo.
f. mengingat beberapa kawasan sempadan sungai yang ada, khususnya di kawasan sempadan
sungai pada hilir Sungai Lusi dan kawasan sekitar Waduk Tempuran dan Waduk Greneng sudah
berkembang kegiatan terbangun, maka untuk melindungi kawasan sempadan sungai tersebut
agar tidak mengalami kerusakan perlu dilakukan upaya penertiban, baik berupa relokasi kegiatan

- 48 -
terbangun yang berada di kawasan tersebut ke kawasan yang sesuai peruntukannya ataupun
melalui penataan kawasan tersebut, agar terhindar dari bahaya banjir akibat luapan sungai
tersebut pada saat musim hujan.
(5) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sekitar danau/waduk/embung sebagaimana dimaksud
ayat 1 huruf c adalah :
a. daratan sepanjang tepian danau/waduk/embung yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan
kondisi fisik danau/waduk/embung antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
atau sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. kawasan yang dimaksud berada di Kabupaten Blora adalah Waduk Tempuran (seluas 25 Ha) di
Kecamatan Blora dan Waduk Greneng (seluas 45 Ha) di Kecamatan Tunjungan, Embung Jegong
di Kecamatan Jati, dan Embung Gembyungan di Kecamatan Randublatung.
(6) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf d
adalah :
a. daerah bebas fisik bangunan (buffer zone) sekurang-kurangnya dengan jari-jari atau radius 200
meter di sekitar mata air dan difungsikan sebagai kawasan lindung
b. kawasan sempadan mata air dilakukan untuk mencegah berkembangnya kegiatan budi daya di
kawasan sempadan mata air, agar tidak mengganggu fungsi mata air (terutama sebagai sumber
air bersih) serta mengembalikan kawasan hutan di sempadan mata air yang telah mengalami
kerusakan melalui program rehabilitasi, reboisasi dan konservasi.
(7) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf e
difungsikan sebagai kawasan hutan wisata adalah :
a. kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun
buatan manusia
b. memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olahraga serta terletak dekat pusat-pusat
permukiman penduduk
c. mengandung satwa yang dapat dikembangbiakkan, sehingga memungkinkan dilakukan
perburuan secara teratur pada waktu tertentu untuk mengontrol populasinya dengan
mengutamakan segi rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa.
d. menghindari kegiatan budi daya lainnya yang dapat mengganggu fungsi lindung dan konservasi
dari kawasan tersebut.
(8) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana
dimaksud ayat 1 huruf f adalah :
a. pengamanan dan menjaga pelestarian dari berbagai bentuk ancaman baik oleh kegiatan
manusia maupun alam.

- 49 -
b. dilakukan untuk melindungi kekayaan budaya bangsa berupa peninggalan-peninggalan sejarah,
bangunan arkeologi dan monumen nasional (situs purbakala) serta keragaman bentukan geologi
yang berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan yang
disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia.
(9) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan pelestarian alam yang ada difungsikan sebagai Taman
Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf g adalah :
a. pemanfaatan kawasan ini ditujukan untuk kegiatan penelitian, pengembangan ilmu dan teknologi
serta kegiatan ekowisata yang terbatas.
b. di kawasan tersebut perlu dicegah terjadinya alih fungsi kawasan sebagai kawasan budi daya.
(10) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan rawan bencana sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf h
adalah :
a. kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi
tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
b. membatasi pengembangan kawasan terbangun pada kawasan rawan bencana.
c. pengendalian kegiatan budi daya yang berada pada kawasan rawan bencana.
d. pengembangan sistem informasi deteksi dini bencana.
e. menyiapkan jalur evakuasi pada kawasan bencana.
f. mempertahankan kawasan aman dari bencana sebagai tempat evakuasi.

Bagian Ketiga
Ketentuan Peraturan Zonasi pada Kawasan Budi daya
Pasal 60.
(1) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pasal 58 ayat (5)
huruf b meliputi :
a. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peruntukan hutan rakyat,
b. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan tanaman pangan lahan basah,
c. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan tanaman pangan lahan kering,
d. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan tanaman tahunan atau perkebunan,
e. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan perikanan,
f. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peternakan,
g. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan pertambangan,
h. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peruntukan industri,
i. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan pariwisata,
j. Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan permukiman

- 50 -
(2) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud ayat 1
huruf a adalah :
a. pengembangan kegiatan diarahkan pada lahan-lahan yang memiliki potensi/kesesuaian lahan
untuk pengembangan hutan rakyat secara optimal dengan tetap memperhatikan asas kelestarian
sumberdaya lahan.
b. peningkatan produktivitas hutan rakyat dengan prioritas arahan pengembangan per jenis
komoditi berdasarkan produktivitas lahan, akumulasi produksi, dan kondisi penggunaan lahan.
(3) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan tanaman pangan lahan basah sebagaimana dimaksud
ayat 1 huruf b adalah :
a. pemantapan lahan sawah yang beririgasi di seluruh kabupaten.
b. peningkatan produktivitas pertanian lahan basah.
c. pemeliharaan dan peningkatan prasarana pengairan pada lahan-lahan sawah yang sebagian
telah beralih fungsi.
d. perlu pengaturan debit air irigasi sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan air
e. perlu pemeliharaan sumber air untuk menjaga kelangsungan irigasi
f. mengendalikan permukiman dan budi daya lainnya
g. mencegah dan membatasi alih fungsi lahan pertanian sawah produktif untuk kegiatan budi daya
lainnya.
(4) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan tanaman pangan lahan kering sebagaimana dimaksud
ayat 1 huruf c adalah :
a. pengembangan kegiatan diarahkan pada lahan-lahan yang memiliki potensi/kesesuaian lahan
pertanian tanaman pertanian lahan kering secara optimal.
b. pengembangan produksi komoditas andalan/unggulan daerah.
c. peningkatan produktivitas tanaman lahan kering.
d. mempertahankan tanaman keras yang ada
(5) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan tanaman tahunan atau perkebunan sebagaimana
dimaksud ayat 1 huruf d adalah :
a. pengembangan luas areal pada lahan-lahan yang memiliki potensi/kesesuaian lahan sebagai
lahan perkebunan.
b. pengembangan produksi komoditas andalan/unggulan daerah.
c. diversifikasi komoditas perkebunan.
d. perlu peningkatan budi daya tanaman keras yang sudah ada
e. perlu melakukan tindakan konservasi tanah dan air
f. budi daya lain yang sudah ada diperbolehkan dengan syarat memperhatikan azas konservasi.

- 51 -
(6) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan perikanan sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf e adalah:
a. peningkatan produktivitas perikanan.
b. meningkatkan sarana dan prasarana perikanan.
c. perlu pemeliharaan air untuk menjaga kelangsungan usaha perikanan tersebut
d. lokasi berada di luar daerah yang sering terkena genangan banjir
e. untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati perikanan, perairan umum perlu diatur jenis dan
alat tangkapnya
f. perlu pengaturan pembuangan limbah agar tidak mencemari usaha perikanan
(7) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peternakan sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf f
adalah:
a. untuk memasok kebutuhan makanan bagi ternak hewan besar perlu pengembangan jenis
tanaman makanan ternak agar kelangsungan usaha pengembangan peternakan tersebut tetap
terjaga
b. lokasi untuk pengembangan peternakan hewan besar tersebut tidak menggunakan areal lahan
produktif pertanian serta tidak jauh dari lokasi padang rumput
c. untuk peternakan unggas, jarak usaha dengan kota sekitar 30 Km, sehingga mempermudah
pemasaran mempermudah memperoleh bahan makanan.
d. khusus peternakan itik kebutuhan makanan dari limbah pertanian, maka sebaiknya dekat dengan
daerah intensif pertanian.
e. pengendalian limbah ternak melalui sistem pengelolaan limbah terpadu.
(8) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf g
adalah :
a. wajib melaksanakan reklamasi pada lahan-lahan bekas galian.
b. pengawasan secara ketat terhadap kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi, serta
pengeboran air bawah tanah untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
c. perlu adanya studi analisis dampak lingkungan sebelum dilakukan penambangan.
d. melengkapi perizinan sesuai ketentuan yang berlaku.
(9) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf
h adalah :
a. kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan industri serta tidak mengganggu
kelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. kawasan yang apabila dimanfaatkan untuk kegiatan industri dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat;
c. memenuhi persyaratan untuk lokasi industri

- 52 -
(10) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf i adalah :
a. kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk permukiman yang aman dari bencana alam
maupun buatan manusia, sehat dan mempunyai akses ke tempat berusaha
b. kawasan yang apabila dimanfaatkan untuk kegiatan permukiman dapat meningkatkan
ketersediaan permukiman beserta sarana dan prasarananya;
c. pengembangan kawasan pariwisata harus tetap memperhatikan kelestarian fungsi lindung.
d. terletak diluar daerah rawan bencana.
e. mengendalikan pertumbuhan sarana dan prasarana pariwisata.
f. pengembangan kawasan pariwisata yang didukung oleh pengembangan kawasan penunjang
pariwisata serta obyek dan daya tarik wisata.
(11) Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan permukiman sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf j
adalah :
a. pengembangan pada lahan yang sesuai dengan kriteria fisik, meliputi kemiringan lereng,
ketersediaan dan mutu sumber air bersih, bebas dari potensi banjir/genangan.
b. pembatasan perkembangan kawasan terbangun yang berada atau berbatasan dengan kawasan
lindung.
c. prioritas pengembangan pada permukiman orde rendah dengan peningkatan pelayanan fasilitas
permukiman.
d. pengembangan wilayahnya ditata sesuai dengan fungsi permukiman tetapi tidak terlepas dari
kegiatan yang sudah ada, dan didukung dengan sarana fasilitas permukiman yang memadai.
e. untuk merencanakan luas kawasan permukiman ini dengan memperhitungkan perkiraan
penduduk yang akan ditampung pada suatu wilayah.
f. dalam perencanaan fasilitas sosialnya, diperlukan adanya perhitungan jumlah penduduk yang
ditampung yaitu dengan menggunakan standar.
g. pada kawasan peruntukkan permukiman dapat dikembangkan kegiatan industry kecil dan
menengah (IKM) yang tidak menimbulkan polusi.
h. optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan tidur yang sementara belum diusahakan.

Bagian Ketiga
Ketentuan Peraturan Zonasi Sistem Prasarana Wilayah
Pasal 61.
(1) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud pasal 58 ayat (5)
huruf c meliputi :
a. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana transportasi,

- 53 -
b. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana air minum,
c. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana irigasi,
d. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana drainase,
e. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana listrik,
f. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana telekomunikasi,
g. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana persampahan,
h. Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana pengolahan limbah.
(2) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana transportasi sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a
sebagai berikut :
a. Pada ruas-ruas jalan utama menyediakan fasilitas yang menjamin keselamatan, keamanan dan
kenyamanan bagi pemakai jalan baik yang menggunakan kendaraan maupun pejalan kaki sesuai
dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
b. Pemanfaatan ruas-ruas jalan utama sebagai tempat parker (on street parking) hanya pada lokasi-
lokasi yang sudah ditetapkan oleh instansi yang berwenang dengan tetap menjaga kelancaran
arus lalu lintas.
c. Pengguna prasarana transportasi wajib mentaati ketentuan batas maksimal jenis dan beban
kendaraan yang diijinkan pada ruas jalan yang dilalui.
d. Pemanfaatan ruas jalan selain untuk prasarana transportasi yang dapat mengganggu kelancaran
lalu lintas tidak diijinkan.
(3) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana air minum sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf b
sebagai berikut :
a. Pemanfaatan sumber air untuk kebutuhan air minum wajib memperhatikan kelestarian
lingkungan.
b. Pembangunan instalasi pengolahan air minum tidak diijinkan dibangun langsung pada sumber air
baku.
c. Pembangunan dan pemasangan jaringan primer, sekunder, dan sambungan rumah (sr) yang
memanfaatkan bahu jalan wajib dilengkapi ijin galian yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang.
d. Pembangunan dan pemasangan jaringan primer, sekunder, dan sambungan rumah (sr) yang
melintasi tanah milik perorangan wajib dilengkapi pernyataan tidak keberatan dari pemilik tanah.
e. Pembangunan fasilitas pendukung pengolahan air minum yang diijinkan meliputi kantor
pengelola, bak penampungan/reservoir, tower air, bak pengolahan air dan bangunan untuk
sumber energi listrik dengan :
1) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 30%

- 54 -
2) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimal 70 %
3) Sempadan bangunan sekurang-kurangnya sama dengan lebar jalan atau sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
(4) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana irigasi sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf c sebagai
berikut :
a. Mempertegas sistem jaringan yang berfungsi sebagai jaringan primer, sekunder, maupun tersier.
b. Pengembangan kawasan terbangun yang didalamnya terdapat jaringan irigasi wajib
dipertahankan secara fisik maupun fungsional dengan ketentuan menyediakan sempadan
jaringan irigasi sekurang-kurangnya 2 m di kiri dan kanan saluran.
c. Pembangunan prasarana pendukung irigasi seperti pos pantau, pintu air, bangunan bagi dan
bangunan air lainnya mengikuti ketentuan teknis yang berlaku.
(5) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana drainase sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf d
sebagai berikut :
a. Tidak diijinkan membangun pada kawasan resapan air dan tangkapan air hujan (catchment
area).
b. Setiap pembangunan wajib menyediakan jaringan drainase lingkungan dan/atau sumur resapan
yang terintegrasi dengan sistem drainase sekitarnya sesuai ketentuan teknis yang berlaku.
c. Tidak diperbolehkan memanfaatkan saluran drainase untuk pembuangan sampah, air limbah
atau material padat lainnya yang dapat mengurangi kapasitas dan fungsi saluran.
d. Pengembangan kawasan terbangun yang didalamnya terdapat jaringan drainase wajib
dipertahankan secara fisik maupun fungsional dengan ketentuan tidak mengurangi dimensi
saluran serta tidak menutup sebagian atau keseluruhan ruas saluran yang ada.
(6) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana listrik sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf e sebagai
berikut :
a. Areal lintasan dan jarak bebas antara penghantar SUTT dan SUTET dengan bangunan atau
benda lainnya serta tanaman harus mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan dan
dibebaskan dari bangunan serta wajib memperhatikan keamanan, keselamatan umum dan
estetika lingkungan, dengan ketentuan teknis sebagai berikut :
1) Lapangan terbuka pada kawasan luar kota sekurang-kurangnya 7,5 m dari SUTT dan 11
m untuk SUTET.
2) Lapangan olahraga sekurang-kurangnya 13,5 m dari SUTT dan 15 m dari SUTET.
3) Jalan raya sekurang-kurangnya 9 m dari SUTT dan 15 m untuk SUTET.
4) Pohon/tanaman sekurang-kurangnya 4,5 m dari SUTT dan 8,5 m untuk SUTET.
5) Bangunan tidak tahan api sekurang-kurangnya 13,5 m dari SUTT dan 15 m untuk SUTET.

- 55 -
6) Bangunan perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, pendidikan dan lainnya
sekurang-kurangnya 4,5 m dari SUTT dan 8,5 m untuk SUTET.
7) SUTT lainnya, penghantar udara tegangan rendah dan jaringan telekomunikasi sekurang-
kurangnya 4,5 m dari SUTT dan 8,5 m untuk SUTET.
8) Jembatan besi, rangka besi penghantar listrik dan lainnya sekurang-kurangnya 4 m dari
SUTT dan 8,5 m dari SUTET.
9) Pompa bensin/tangki bensin sekurang-kurangnya 20 m dari SUTT dan 50 m dari SUTET
dengan proyeksi penghantar paling luar pada bidang datar yang melewati kaki tiang.
10) Tempat penimbunan bahan bakar sekurang-kurangnya 50 m dari SUTT dan SUTET
dengan proyeksi penghantar paling luar pada bidang datar yang melewati kaki tiang.

b. Penempatan tiang SUTR dan SUTM mengikuti ketentuan sebagai berikut :


1) Arak antara tiang dengan tiang pada jaringan umum tidak melebihi 40 m.
2) Jarak antara tiang jaringan umum dengan tiang atap atau bagian bangunan tidak melebihi
30 m.
3) Jarak antara tiang atap dengan tiang atap bangunan lainnya (sebanyak-banyaknya 5
bangunan berderet) tidak melebihi 30 m.
4) Jarak bebas antara penghantar udara dengan benda lain yang terdekat misalnya dahan
atau daun, bagian bangunan dan lainnya sekurang-kurangnya berjarak 0,5 m dari
penghantar udara telanjang tersebut.
c. Penempatan gardu pembangkit diarahkan di luar kawasan perumahan dan terbebas dari resiko
keselamatan umum.
d. Pengembangan jaringan baru atau penggantian jaringan lama pada pusat Wilayah
Pengembangan (WP) dan ruas-ruas jalan utama diarahkan dengan sistem jaringan bawah tanah.
(7) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf f
sebagai berikut :
a. Pembangunan jaringan telekomunikasi harus mengacu pada rencana pola ruang dan arah
perkembangan pembangunan.
b. Jarak antar tiang telepon pada jaringan umum tidak melebihi 40 m.
c. Penempatan menara telekomunikasi/tower wajib memperhatikan keamanan, keselamatan umum
dan estetika lingkungan serta diarahkan memanfaatkan tower secara terpadu pada lokasi-lokasi
yang telah ditentukan.

- 56 -
d. Pengembangan jaringan baru atau penggantian jaringan lama pada pusat Wilayah
Pembangunan (WP) dan ruas-ruas jalan utama diarahkan dengan sistem jaringan bawah tanah
atau jaringan tanpa kabel.
(8) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana persampahan sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf g
sebagai berikut :
a. Bangunan fasilitas pengolahan sampah yang diijinkan berupa kantor pengelola, gudang
kendaraan pengangkut dan alat-alat berat, pos keamanan, bangunan TPS dan tempat mesin
pengolah sampah seperti genset dan incinerator.
b. Pembangunan fasilitas pengolahan sampah wajib memperhatikan kelestarian lingkungan,
kesehatan masyarakat dan sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku.
c. Koefisien dasar bangunan (KDB) maksimal 30%
d. Lebar jalan menuju TPS sekurang-kurangnya 8 m.
e. Tempat parkir truk sampah sekurang-kurangnya 20%.
f. Sempadan bangunan sekurang-kurangnya sama dengan lebar jalan atau sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
(9) Ketentuan peraturan zonasi sistem prasarana pengolahan limbah sebagaimana dimaksud ayat 1
huruf h sebagai berikut :
a. Setiap kegiatan usaha yang memproduksi air limbah diwajibkan untuk menyediakan instalasi
pengolahan limbah individu dan/atau komunal sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku.
1) Pengembangan perumahan dengan jumlah lebih dari 30 unit
2) Akomodasi wisata dengan jumlah kamar lebih dari 5 unit
3) Restoran/rumah makan dengan jumlah tempat duduk lebih dari 50 unit
4) Kompleks perdagangan dan jasa dengan luas lantai bangunan lebih dari 10.000 m2
5) Industri kecil/rumah tangga yang menghasilkan air limbah
6) Bengkel yang melayani ganti oli dan tempat cuci kendaraan
7) Usaha konveksi/garment yang dalam produksinya menggunakan zat-zat kimia dan
pewarna
8) Usaha peternakan yang menghasilkan air limbah dalam skala yang besar.
b. Sistem pengolahan air limbah meliputi pengolahan secara primer, sekunder dan tersier :
1) Pengelolaan primer yaitu pengelolaan dengan menggunakan pasir dan benda-benda
terapung melalui bak penangkap pasir dan saringan untuk menghilangkan minyak dan
lemak.
2) Pengelolaan sekunder dibuat untuk menghilangkan zat organik melalui oksidasi.
3) Pengelolaan secara tersier hanya untuk membersihkan saja.

- 57 -
c. Pembangunan sistem pengelolaan air limbah yang dimaksud pada huruf a diatas wajib mengikuti
ketentuan teknis sebagai berikut :
1) Tidak mencemari sumber air minum yang ada di daerah sekitarnya baik air dipermukaan
tanah maupun air di bawah permukaan tanah.
2) Tidak mengotori permukaan tanah.
3) Menghindari tersebarnya cacing tambang pada permukaan tanah.
4) Mencegah berkembang biaknya lalat dan serangga lain.
5) Tidak menimbulkan bau yang mengganggu.
6) Konstruksi agar dibuat secara sederhana dengan bahan yang mudah di dapat dan murah.
7) Jarak minimal antara sumber air dengan bak resapan 10 m.
(10) Ketentuan peraturan zonasi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Daerah.

Bagian Keempat
Ketentuan Perizinan
Pasal 62.
(1) Perizinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat 2 adalah perizinan yang terkait dengan izin
pemanfaatan ruang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus dimiliki sebelum
pelaksanaan pemanfaatan ruang.
(2) Dalam hal kegiatan perizinan mencakup kegiatan :
a. izin lokasi/fungsi ruang
b. amplop ruang
c. kualitas ruang
(3) Penjabaran dari setiap butir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan diatur dalam Perda
Kabupaten secara tersendiri diantaranya dalam bentuk IMB.

Bagian Kelima
Ketentuan Pemberian Insentif dan Disinsentif
Pasal 63.
(1) Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada pasal 57 ayat 3 adalah insentif
merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang
sejalan dengan rencana tata ruang, sedangkan disinsentif merupakan perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
(2) Pemberian insentif dapat berbentuk:

- 58 -
a. Keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun
saham;
b. Pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. Kemudahan prosedur perizinan; dan/atau;
d. Pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.
(3) Pemberian disinsentif dapat berbentuk:
a. Pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/ atau
b. Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 64.
Aparatur pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan penataan ruang wilayah Kabupaten Blora sesuai
dengan kewenangannya wajib berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses penataan ruang,
sesuai dengan perundangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Pengenaan Sanksi
Pasal 65.
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada pasal 57 ayat 4 merupakan tindakan penertiban
yang dilakukan dalam pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan
peraturan zonasi.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam penyelanggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan
ketentuan prizinan pemanfaatan ruang tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang
berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(4) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi izin maupun
yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana
denda sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada pasal (4) dapat berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;

- 59 -
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Penutupan lokasi;
e. Pencabutan izin;
f. Pembatalan izin;
g. Pembongkaran pembangunan;
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau;
i. Denda administrative.
(6) Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang sehingga mengakibatkan
ketidaksesuaian fungsi ruang sesuai rencana tata ruang diancam pidana sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif, sanksi pidana
penjara, dan/atau sanksi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan diatur dalam
Perda kabupaten secara tersendiri.

BAB VII
HAK, KEWAJIBAN, PERAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Peran masyarakat
Pasal 66.
(1) Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap:
a. Proses perencanaan tata ruang;
b. Pemanfaatan ruang; dan;
c. Pengendalian pemafaatan ruang.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 67.
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk :
a. Mengetahui Rencana Tata Ruang Wilayah dan rencana rinci di Kabupaten
b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. Memperolah penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang di wilayahnya;

- 60 -
e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang menimbulkan kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban masyarakat
Pasal 68.
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. Mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dan pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 69.
(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada pasal 67 huruf a selain dari
Lembaran Daerah masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui
pengumuman atau penyebarluasan oleh Pemerintah Kabupaten.
(2) Kewajiban untuk menyediakan media pengumuman atau penyebarrluaskan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui penempelan/pemasangan peta rencana tata ruang yang
bersangkutan pada tempat-tempat umum dan juga pada media massa, serta melalui pembangunan
sistem informasi tata ruang.
(3) Media pengumuman/penyebarluasan rencana tata ruang selambat-lambatnya dilakukan dalam
waktu 2 (dua) tahun setelah Perda ini ditetapkan.

Pasal 70.
(1) Dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf b, pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau kaidah yang berlaku.
(2) Untuk menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya, menikmati manfaat ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat berupa
manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dilaksanakan atas dasar pemilikan, penguasaan

- 61 -
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan
yang berlaku atas ruang pada masyarakat setempat.

Pasal 71.
(1). Hak memperolah penggantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status semula
sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 huruf c yang dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat
pelaksanaan RTRW Kabupaten Blora diselenggarakan dengan cara musyawarah antara pihak yang
berkepentingan.
(2). Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 72.
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
68 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, baku mutu, dan aturan-aturan
penataan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Kaidah dan aturan pemanfatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun-temurun dapat
diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan,
lokasi dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi,
selaras, dan seimbang.

Bagian Ketiga
Peran masyarakat
Pasal 73.
Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa:
a. Masukan mengenai:
1. Persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. Penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. Pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah dan kawasan;
4. Perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. Penetapan rencana tata ruang
b. Kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyrakat dalam
perencanaan tata ruang.

- 62 -
Pasal 74.
Dalam pemanfaatan ruang di daerah, peran serta masyarakat dapat berbentuk :
c. Pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan peraturan perundang-
undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku.
d. Bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
dan kawasan yang mencakup lebih dari satu wilayah kabupaten/kota di daerah.
e. Penyelenggaraan pembangunan berdasarkan rtrw dan rencana tata ruang kawasan yang meliputi
lebih dari satu wilayah.
f. Perubahan atau konservasi pemanfaatan ruang sesuai dengan rtrw kabupaten yang telah
ditetapkan.
g. Bantuan teknik dan pengelolaan dalam pemanfaatan ruang dan/atau kegiatan menjaga, memelihara,
serta meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 75.
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang di daerah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 73 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
pemerintah Kabupaten.

Pasal 76.
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan antara lain, melalui :
a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui konsultasi publik.

Pasal 77.
Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 huruf c disampaikan secara lisan atau tertulis kepada Bupati dan pejabat yang ditunjuk.

- 63 -
Bagian Keempat
Kelembagaan
Pasal 78.
(1) Dalam rangka mengkoordinasi penyelenggaraan penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar
daerah bidang penataan ruang dibentuk Bandan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
(2) Fungsi Bandan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
adalah :
a. Fungsi koordinasi
b. Fungsi pembinaan
c. Fungsi penyuluhan
(3) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan keputusan Bupati, antara lain :
a. Merumuskan dan mengkoordinasi berbagai kebijakan penataan ruang kota dengan
memperhatikan penataan ruang nasional dan provinsi
b. Mengkoordinasi penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
c. Mengkoordinasikan penyusunan rencana rinci tata ruang dan rencana tata ruang kawasan
sebagai jabaran lebih lanjut rencana rinci tata ruang kawasan sebagai jabaran lebih lanjut
rencana tata ruang wilayah.
d. Mengintegrasikan dan memaduserasikan penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
dengan rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan yang telah ditetapkan
provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang berbatasan.
e. Memaduserasikan rencana pembangunan jangka menengah dan tahunan yang dilakukan
pemerintah kota, masyarakat dan dunia usaha dengan rencana tata ruang
f. Mengoptimalkan penyelenggaraan penertiban, pengawasan (pemantauan, evaluasi dan
pelaporan) dan perizinan pemanfaatan ruang
g. Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan, evaluasi dan pemantauan
penyelenggaraan pemanfaatan ruang
h. Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang
i. Memberikan rekomendasi perizinan tata ruang kota

- 64 -
j. Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalm perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
k. Mengembangkan data dan informasi penataan ruang kota untuk kepentingan pengguna ruang di
jajaran pemerintah, masyarakat dan swasta
l. Mensosialisasikan dan menyebarluaskan informasi penataan ruang kota
m. Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan
penataan ruang kota dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya
n. Melaksanakan fasilitasi dan supervisi kepada dinas/instansi masyarakat, dan dunia usaha
berkaitan dengan penataan ruang
o. Menterpadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang kota dengan kabupaten/kota yang berbatasan
p. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang kota
q. Menjabarkan petunjuk bupati berkenaan dengan pelaksanaan fungsi dan kewajiban koordinasi
penyelanggaraan penataan ruang kota
r. Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BKPRD kabupaten secara berkala kepada bupati.
(4) BKPRD setidaknya bersidang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan membahas tentang perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan perizinan pemanfaatan ruang.
(5) Susunan keanggotaan BKPRD meliputi:
a. penanggungjawab : Bupati Blora dan Wakil Bupati Blora
b. ketua : Sekretaris Daerah
c. sekretaris : Kepala Bappeda Kabupaten Blora
d. kelompok kerja yang terdiri dari Pokja Perencanaan Tata Ruang, Pokja Pengendalian
Pemanfaatan Ruang, dan Sekretariat.
(6) Dalam rangka mengendalikan kegiatan Perencanaan Tata Ruang yang dilakukan, maka dibentuk
Kelompok Kerja Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 79.
(1) Setiap orang melanggar ketentuan dalam Pasal 68 diancam dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

- 65 -
(3) Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang sehingga mengakibatkan
ketidaksesuaian fungsi ruang sesuai rencana tata ruang diancam pidana sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah kejahatan.

BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 80.
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten diberikan wewenang
untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan-ktentuan dalam Peraturan daerah
ini.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang penataan ruang agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap
dan jelas.
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan bidang penataan ruang.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana
di bidang penataan ruang.
d. Memeriksa buku-buku catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan tindak pidana di
bidang penataan ruang.
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan
dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang penataan ruang.
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan / dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang.
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagaimana tersangka atau
saksi.
j. Menghentikan penyidikan.

- 66 -
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
penataan ruang menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut hukum sesuai dengan ketentuan
perundangan-undangan yang berlaku.

BAB X
PENINJAUAN KEMBALI DAN PENYEMPURNAAN
Pasal 81.
(1) RTRW Kabupaten Blora memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun semenjak ditetapkan dalam
Peraturan Daerah dan dapat ditinjau 5 (lima) tahun sekali
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar
dan/atau perubahan batas teritorial wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan, RTRW Kabupaten Blora dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5
(lima)
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila terjadi perubahan
kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau
dinamika internal kabupaten
(4) Peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora tahun 2010-2029
dilengkapi dengan dokumen RTRW Kabupaten Blora dan Peta dengan tingkat ketelitian minimal
1:100.000 sebagaimana tercantum dalam album peta, merupakan bagian tidak terpisahkan dari
peraturan daerah

Pasal 82.
RTRW Kabupaten Blora akan digunakan sebagai pedoman pembangunan dan menjadi rujukan bagi
penyusunan RPJP dan RPJMD.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83.
(1) Pada saat peraturan daerah ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkait dengan
penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum
diganti berdasarkan peraturan daerah ini.

- 67 -
(2) Pada saat peraturan daerah ini berlaku, maka :
a. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan
daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
daerah ini berlaku ketentuan:
1) Untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan
fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini;
2) Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya pemanfaatan ruang dilakukan sampai
izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan
berdasarkan peraturan daerah ini; dan
3) Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini, izin
yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai
akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak.
c. Izin pemanfaatan ruang yang sudah habis masa berlakunya dan tidak sesuai dengan peraturan
daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan peraturan daerah ini; dan
d. Pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut
1) Yang bertentangan dengan ketentuan peraturan daerah ini, pemanfaatan ruang yang
bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan peraturan daerah ini; dan
2) Yang sudah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah ini, dipercepat untuk
mendapatkan izin yang diperlukan.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84.
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 85.
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Blora

- 68 -
Ditetapkan di Blora
pada tanggal

BUPATI BLORA

DJOKO NUGROHO

Diundangkan di Blora
Pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BLORA

LEMBAR DAERAH KABUPATEN BLORA TAHUN 2010 NOMOR....

- 69 -
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA
NOMOR ...TAHUN 2010
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BLORA

I. UMUM
Ruang wilayah Kabupaten Blora merupakan bagian wilayah dari Negara Republik Indonesia yaitu salah
satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Ruang di samping berfungsi sebagai sumber daya, juga
barfungsi sebagai wadah kegiatan yang perlu dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, menciptakan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur. Kabupaten Blora memiliki berbagai potensi dan juga keterbatasan. Oleh karena itu dibutuhkan rencana
pembangunan yang dapat mengoptimalkan potensi dan menanggulangi keterbatasan yang ada. Dengan demikian
ruang sebagai wadah berlangsungnya kehidupan dan penghidupan dapat berlangsung dengan baik, demi
ketertiban, keserasian dan keseimbangan antara lingkungan dengan ruang terbangun. Agar pembangunan dapat
dilakukan dengan seksama, optimal dan berdaya guna diperlukan penetapan struktur dan pola ruang wilayah,
kebijaksanaan, strategi pengembangan dan pengelolaannya di dalam suatu Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Blora yang merupakan penjabaran dari Strategi pembangunan Pola Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah,
dan merupakan acuan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang kecamatan di Kabupaten Blora. Atas dasar hal-hal
tersebut di atas dan demi kepastian hukum, perlu ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Blora tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1.
Cukup jelas.
Pasal 2.
Ruang lingkup tersebut merupakan muatan materi yang terdapat dalam RTRW Blora
Pasal 3.

- 70 -
Cukup jelas.
Pasal 4.
Cukup jelas.
Pasal 5.
Cukup jelas.
Pasal 6.
Cukup jelas.
Pasal 7.
Cukup jelas.
Pasal 8.
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang
berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
Pasal 9.
Cukup jelas.
Pasal 10.
Cukup jelas.
Pasal 11.
Cukup jelas.
Pasal 12.
Huruf a
Radial konsentrik adalah pola jaringan jalan yang menyebar (radial) dan menuju pada satu titik yang sama
(konsentrik)
Pasal 13.
Cukup jelas.
Pasal 14.
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budi daya.
Ayat 1
Kawasan lindung adalah kawasan lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak
pada wilayah kabupaten, kawasan lindung yang memberikan pelindungan terhadap kawasan
bawahannya yang terletak di wilayah kabupaten, dan kawasan-kawasan lindung lain yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan pemerintah
daerah kabupaten.

- 71 -
Kawasan budi daya adalah kawasan budi daya yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi
dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan.
Pasal 15.
Cukup jelas.
Pasal 16.
Cukup jelas.

Pasal 17.
Kawasan strategis kabupaten adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, serta
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi.
Pasal 18.
Huruf a
Kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Huruf b
Rencana sistem perkotaan di wilayah kabupaten adalah rencana susunan kawasan perkotaan sebagai
pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten yang menunjukkan keterkaitan saat ini maupun rencana yang
membentuk hirarki pelayanan dengan cakupan dan dominasi fungsi tertentu dalam wilayah kabupaten.
Huruf d
Rencana sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten adalah rencana jaringan prasarana wilayah yang
dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan yang memiliki
cakupan wilayah layanan prasarana skala kabupaten.
Pasal 19.
Ayat 3
Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala antar desa.
Ayat 4
1) PPL 1, dengan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) di Desa Jagong, yang terdiri dari Desa: Pelem, Kepoh,
Gempol dan Bangklean. Desa – Desa terseut seluruhnya berada di Kecamatan Jati.
2) PPL 2, dengan DPP di Desa Kradenan, yang terdiri dari Desa: Nglebak, Nginggil, Megeri (Kecamatan
Kradenan) dan Tlogotuwung dan Bodeh (Kecamatan Randublatung)

- 72 -
3) PPL 3, dengan DPP di Desa Kalisari, yang terdiri dari Desa: Tanggel dan Nglirom (Kecamatan
Randublatung) dan Jatiklampok dan Jatisari (Kecamatan Banjarejo)
4) PPL 4, dengan DPP di Desa Kemantren, yang terdiri dari Desa: Gondel, Sidorejo, Jimbung, Panolan, dan
Ketuwan (Kecamatan Kedungtuban).
5) PPL 5, dengan DPP di Desa Ngloram, yang terdiri dari Desa: gadon, Kapuan, Jipang dan Cabean
(Kecamatan Cepu).
6) PPL 6, dengan DPP di Desa Semanggi, yang terdiri dari Desa: Bulungan (Kecamatan Jepon) dan galuk,
Temenggeng (Kecamatan Sambong), dan Nglobo (Kecamatan Jiken)
7) PPL 7, dengan DPP di Desa Nglembur, yang terdiri dari Desa: Janjang dan Bleboh (Kecamatan Jiken)
8) PPL 8, dengan DPP di Desa Sendangrejo, yang terdiri dari Desa: Gayam dan Gandu (Kecamatan
Bogorejo)
9) PPL 9, dengan DPP di Desa Karang, yang terdiri dari Desa: Gombang, Prantaan, Sarirejo, Karanganyar,
Nglengkir dan Jurangjero (Kecamatan Bogorejo)
10) PPL 10, dengan DPP di Desa Jatirejo, yang terdiri dari Desa: Bacem, Soko dan Waru (Kecamatan Jepon)
dan Tempuran dan Platungan (Kecamatan Blora)
11) PPL 11, dengan DPP di Desa Sitirejo, yang terdiri dari Desa: Nglangitan dan Keser (Kecamatan
Tunjungan) dan Ngampel dan Ngadipurwo (Kecamatan Blora)
12) PPL 12, dengan DPP di Desa Ngampon, yang terdiri dari Desa: Jomblang dan Bangsri (Kecamatan
Jepon) dan Purworejo dan Jepangrejo (Kecamatan Blora)
13) PPL 13, dengan DPP di Desa Klopoducur, yang terdiri dari Desa: Sumberagung dan Sidomulyo
(Kecamatan Banjarejo)
14) PPL 14, dengan DPP di Desa Bacem, yang terdiri dari Desa: Balongsari, Wonosemi, Sambonganyar dan
Jetakwanger (Kecamatan Ngawen)
15) PPL 15, dengan DPP di Desa Plumbon, yang terdiri dari Desa: Bergolo, Gedebeg, Kendayaan,
Kedungsatria dan Talokwohmojo (Kecamatan Ngawen)
16) PPL 16, dengan DPP di Desa Kemiri, yang terdiri dari Desa: Kodokan, Sonokidul, Botoreco, Buloh
(Kecamatan Kunduran) dan Rowobungkul (Kecamatan Ngawen)
17) PPL 17, dengan DPP di Desa Ngwenombo, yang terdiri dari Desa: Kedungwaru dan Balong (Kecamatan
Kunduran) dan Srigading dan Karangjong (Kecamatan Ngawen), dan Tinapan (Kecamatan Todanan)
18) PPL 18, dengan DPP di Desa Ngapus, yang terdiri dari Desa: Dogolan (Kecamatan Japah) dan
Gemungan, Kajengan, Dringo, Gondoriyo, dan Kembang (Kecamatan Todanan)
19) PPL 19 dengan DPP di Desa Kalinanas, yang terdiri dari Desa: Gaplokan (Kecamatan Japah) dan
Kedungbacin, Ledok, dan Bedingin (Kecamatan Todanan)
20) PPL 20, dengan DPP di Desa Sumberejo, yang terdiri dari Desa: Wotbakah, Bogorejo, dan Ngiyono
(Kecamatan Japah)
21) PPL 21, dengan DPP di Desa Karanganyar, yang terdiri dari Desa: Candisari, Wukirsari, Bicak dan
Sendang (Kecamatan Todanan)

- 73 -
22) PPL 22, dengan DPP di Desa Ngumbul, yang terdiri dari Desa: Sonokulon, Sambeng, Prigi, Pelemsengir,
dan Kacanagan (Kecamatan Todanan)
Pasal 20.
Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
Pasal 21.
Cukup jelas.
Pasal 22.
Cukup jelas.
Pasal 23.
Ayat 5
1) Jalan Ngumbul – Pelemsengir, Jalan Ketitang – Ngumbul;
2) Jalan Kunduran – Goaterawang, Jalan Trembulrejo – Plumbon, Jalan Doplang – Kunduran;
3) Jalan Doplang – Jati – Jegong – Kemadoh – Bangkleyan;
4) Jalan Wulung – Klatak;
5) Jalan Tambahrejo – Tunjungan – Nglangitan;
6) Jalan Medang – Nglangitan;
7) Jalan Maguan – Tunjungan;
8) Jalan Tawangrejo – Karangtalun;
9) Jalan Karangtalun – Banjarejo, jalan Kamolan – Banjarejo;
10) Jalan Keser – Nglangitan;
11) Jalan Kaliwangan – Pakis – Pelem – Jomblang;
12) Jalan Pelem – Kamolan – Klopoduwur – Ngliron – Kalisari – Wulung;
13) Jalan Randublatung – Getas – Batas Kab. Ngawi;
14) Jalan Randublatung – Pilang – Menden;
15) Jalan Peting – Sumber – Balong – Menden;
16) Jalan Seso – Jatirejo – Soka – Batas Kab. Rembang;
17) Jalan Jepon – Karang – Bogorejo – Jambetelu;
18) Jalan Menden – Ketuwan – Panolan;
19) Jalan Goaterawang – Ketileng – Todanan;
20) Jalan Genjahan – Turirejo – Sumurboto – Bangsri
21) Jalan Tempel – Jiworejo – Singonegoro;
22) Jalan Rowobungkul – Kemiri – Sonokidul;

- 74 -
23) Jalan Puludagel – Karang, jalan Bacem – Karang, jalan Soko – Karang;
24) Jalan Dalangan – Bedingin – Kedungbacin;
25) Jalan Ngloram – Sidorejo, jalan Ngloram – Jipang;
26) Jalan Kaliwangan – Buluroto, jalan Gabus – Buluroto;

Pasal 24.
Cukup jelas.
Pasal 25.
Cukup jelas.
Pasal 26.
Cukup jelas.
Pasal 27.
Cukup jelas.
Pasal 28.
Ayat 6
1) Embung Suruhan di Kecamatan Jiken;
2) Embung Kedungwungu di Kecamatan Todanan;
3) Embung Sambong di Kecamatan Sambong;
4) Embung Kalisari di Kecamatan Randublatung;
5) Embung Bangsri II di Kecamatan Jepon;
6) Embung Tlogowungu 2 di Kecamatan Japah;
7) Embung Kedungmulyo di Kecamatan Todanan;
8) Embung Semanggi di Kecamatan Jepon;
9) Embung Polaman Alt 2 di Kecamatan Blora;
10) Embung Polaman Alt 1 di Kecamatan Blora;
11) Embung Jurangjero di Kecamatan Banjarejo;
12) Embung Tlogowungu 1 di Kecamatan Japah;
13) Embung Bedingin di Kecamatan Todanan;
14) Embung Karangjong Kecamatan Todanan;
15) Embung Klopoduwur di Kecamatan Banjarejo;
16) Embung Jomblang di Kecamatan Jepon;
17) Embung Wonosemi di Kecamatan Banjarejo;
18) Embung Dologan di Kecamatan Japah;
19) Embung Dringo di Kecamatan Todanan;
20) Embung Gembol di Kecamatan Bogorejo;
21) Embung Sumberejo di Kecamatan Ngawen;
22) Embung Nglengkir di Kecamatan Bogorejo;

- 75 -
23) Embung Soko di Kecamatan Jepon;
24) Embung Nglangitan di Kecamatan Tunjungan;
25) Embung Tunjungan di Kecamatan Tunjungan;
26) Embung Kembang di Kecamatan Todanan;
27) Embung Blimbing di Kecamatan Bogorejo;
28) Embung Singonegoro di Kecamatan Jiken;

Pasal 29.
Cukup jelas.
Pasal 30.
Cukup jelas.
Pasal 31.
Cukup jelas.
Pasal 32.
Cukup jelas.
Pasal 33.
Cukup jelas.
Pasal 34.
Cukup jelas.
Pasal 35.
Ayat 2
1) Kota Blora seluas 3510.33 Ha;
2) Kecamatan Tunjungan seluas 3741.66 Ha;
3) Kecamatan Todanan seluas 798.84 Ha;
4) Kecamatan Japah seluas 404.46 Ha;
5) Kecamatan Jepon seluas 2342.61 Ha;
6) Kecamatan Jiken seluas 9.93 Ha;
7) Kecamatan Sambong seluas 873.95 Ha;
8) Kecamatan Randublatung seluas 284.00 Ha;
9) Kecamatan Kunduran seluas 354.38 Ha;
10) Kecamatan Ngawen seluas 945.92 Ha;
11) Kecamatan Bogorejo seluas 261.78 Ha;
12) Kecamatan Banjarejo seluas 528.73 Ha;
13) Kecamatan Jati seluas 218.26 Ha.
Pasal 36.
Ayat 4
1) Mata air Biting di Desa Biting Kecamatan Sambong;

- 76 -
2) Mata air Jepang di Desa Jepangrejo Kecamatan Blora;
3) Mata air Nyampel di Desa Nyampel Kecamatan Blora;
4) Mata air Sukorejo di Desa Sukorejo Kecamatan Tunjungan;
5) Mata air Kedungrejo di Desa Kedungrejo Kecamatan Tunjungan;
6) Mata air Kedungbawang di Sitirejo Kecamatan Tunjungan;
7) Mata air Kedung Lo di Desa Kedungrejo Kecamatan Tunjungan;
8) Mata air Jetak Wanger di Desa Jetakwanger Kecamatan Ngawen;
9) Mata air Sari Mulyo di Desa Sarimulyo Kecamatan Ngawen;
10) Mata air Kalinanas di Desa Kalinanas Kecamatan Japah;
11) Mata air Karanganyar di Desa Karanganyar Kecamatan Todanan;
12) Mata air Bicak di Desa Bicak Kecamatan Todanan;
13) Mata air Kajengan di Desa Kajengan Kecamatan Todanan;
14) Mata air Cokrowati di Desa Cokrowati Kecamatan Todanan;
15) Mata air Dringo di Desa Dringo Kecamatan Todanan;
16) Mata air Ledok di Desa Ledok Kecamatan Todanan;
17) Mata air Bedingin di Desa Bedingin Kecamatan Todanan;
18) Mata air Gembleb di Desa Kedungwungu Kecamatan Todanan;
19) Mata air Watu Lunyu di Desa Todanan Kecamatan Todanan;
20) Mata air Patiyan di Desa Ketileng Kecamatan Todanan;
21) Mata air Kedung Sari di Desa Sambeng Kecamatan Todanan;
22) Mata air Rondokuning di Desa Muraharjo Kecamatan Kunduran;
23) Mata air Kendang di Desa Kalen Kecamatan Kedungtuban;
24) Mata air Jaga;
25) Mata air Jegong;
26) Mata air Pengkok;
27) Mata air Ngawenan;
28) Mata air Blungun;
29) Mata air Karangnongko;
30) Mata air Jatisari;
Pasal 37.
Ayat 5
1. Bangunan Dinas Kesehatan Blora di Perkotaan Blora;
2. Bangunan GKJ Blora di Perkotaan Blora;
3. Bangunan Kodim Blora di Perkotaan Blora;
4. Bangunan Koramil Cepu di Perkotaan Cepu;
5. Bangunan Penggadaian Cepu di Perkotaan Cepu;

- 77 -
6. Bangunan Penggadaian Ngawen di Kecamatan Ngawen;
7. Bangunan Polsek Cepu di Perkotaan Cepu;
8. Bangunan Polsek Ngawen di Kecamatan Ngawen.
9. Bangunan RST Blora di Perkotaan Blora;
10. Bangunan RSU Blora di Perkotaan Blora;
11. Bangunan Rumah Tinggal di Perkotaan Blora;
12. Bangunan SMP N 1 blora di Perkotaan Blora;
13. Bangunan Stasiun Cepu di Perkotaan Blora;
14. Batu Yoni/Situs Bengir di Kecamatan Tunjungan;
15. Bekas Stasiun Blora di Perkotaan Blora;
16. Depo Traksi Perhutani Cepu Perkotaan Cepu;
17. Gadean Ngawen, terletak di Kecamatan Ngawen, peninggalan berupa Rumah Pegadaian Ngawen
18. Gedung Bapeda Blora di Perkotaan Blora;
19. Gedung Pertemuan Migas Cepu di Perkotaan Cepu;
20. Kantor Pos Cepu di Perkotaan Cepu;
21. Kelenteng Hok Tik Bio di Perkotaan Blora;
22. Kompleks Makam Bupati Blora di Perkotaan Blora;
23. Komunitas Samin Desa Sumber-Kradenan
24. Makam Jati Kusumo dan Jati Swara Kecamatan Jiken;
25. Makam K.H Abdul Kohar di perkotaan Blora;
26. Makam Kh. Abdul Kohar, Desa Ngampel, Kec. Blora, peninggalan berupa Makam KH Abdul Kohar,
seorang penyebar Agama Islam wil. Blora
27. Makam Maling Genthiri Desa Kawengan, Kec. Jepon, peninggalan berupa seorang Tokoh sakti yang
senang menolong masyarakat
28. Makam Ngadipurwa Desa Ngadipurwa, Kec. Blora, peninggalan berupa Makam Bupati Blora Tempo dulu
29. Makam Pocut Meuerah Intan
30. Makam Purwosuci Kecamatan Kedungtuban;
31. Makam Purwosuci, Dk. Purwosuci, Desa Ngraho, Kec. Kedungtuban Makam tokoh pada masa Pajang.
32. Makam Santri Pitu Kecamatan Cepu;
33. Makam Santri Songo Kecamatan Cepu;
34. Makam Sunan Pojok Perkotaan Blora;
35. Makam Sunan Pojok Selatan Alon-alon Blora, peninggalan berupa Makam Sunan Pojok
36. Masjid Baitul Nur di Perkotaan Blora;
37. Masjid Jami’baiturrohman di Perkotaan Blora;
38. Cagar Budaya Masjid Ngadipuro
39. Masjid Baitunnur Alon-alon Barat Blora, peninggalan berupa Masjid Kuno abad 17

- 78 -
40. Monumen Kendaraan PU kuno di Perkotaan Cepu;
41. Perumahan Migas di Perkotaan Cepu;
42. Pesanggrahan Sinderan di Perkotaan Blora;
43. Pipi Tangga/Situs Getas Kecamatan Kradenan;
44. Punden Janjang, berada di Desa Janjang Kecamatan Jiken, merupakan tempat dimakamkannya tiga
tokoh yang dikenal masyarakat sebagai makam Eyang Jati Kusumo, Eyang Jatiswara dan makam
Rondokuning. Punden berada dilereng atas perbukitan dengan luas areal sekitar 1 ha
45. Rumah Gd. Bapeda, Jl. Pemuda Blora
46. Rumah Kantor Kodim
47. Rumah Sakit Migas Cepu di Perkotaan Cepu;
48. Rumah Tinggal Cina Cepu di Perkotaan Cepu, Rumah Tinggal Cina Blora di Perkotaan Blora dan Rumah
Tinggal Cina Berarsitektur Kolonial di Blora di Perkotaan Blora;
49. Rumah Tinggal Perum Migas Cepu di Perkotaan Cepu;
50. Rumah TPK Perhutani Banjarwaru Ngawen di Kecamatan Ngawen;
51. Sdn III Cepu di Perkotaan Cepu;
52. Situs Bengir, Dk. Bengir, Kec. Blora, peninggalan berupa Batu Umpak Candi
53. Situs Botoreco Desa Botorejo, Kec. Kunduran, peninggalan berupa batu Bata bekas Candi
54. Situs Gua Kidang Ds. Tinapan, Kecamatan Todanan, peninggalan berupa sisa-sisa makanan, gigi, alat-
alat kerut/potong dari kerang
55. Situs Janjang, Desa Janjang Kec. Jiken, peninggalan berupa makam Jati Kusuma dan Jati Swara, tokoh
masa Pajang.
56. Situs Jigar Desa Kradenan, Kec. Kradenan, peninggalan berupa fosil binatang purba.
57. Situs Jipang, Desa Jipang, Kec. Cepu
58. Situs Kamulan Desa Kamolan, Kec. Blora, peninggalan berupa susunan batu bata reruntuhan candi dan
Patung Ciwa
59. Situs Kutukan Desa Turirejo, Kec. Randublatung, peninggalan berupa masa prasejarah sampai dengan
masa klasik.
60. Situs Lemah Duwur Desa Getas, Kec. Menden, peninggalan berupa masa prasejarah sampai dengan
masa klasik.
61. Situs Makam Ngloram Kecamatan Cepu;
62. Situs Medalem Desa Medalem, Kec. Kradenan, peninggalan berupa fosil binatang purba.
63. Situs Pengging Tapa’an di Kecamatan Benjarejo;
64. Situs PenggingDesa Mojowetan, Kec Banjarejo, peninggalan berupa susunan Batu Bata, Manik-manik
65. Situs Sentana Desa Mendenrejo, Kec. Kradenan, peninggalan berupa masa Klasik
66. Situs Soronini Ds. Soronini, Kecamatan Todanan, peninggalan berupa : Umpak Batu, Umpak Tanah
Bakar

- 79 -
67. Tugu Batu/Situs Lemah Duwur di Kecamatan Kradenan;
68. Warisan Budaya Desa Semanggi-Jepon
69. Warisan Budaya Desa Tanggel-Randublatung
70. Warisan Budaya Dusun Turi-Kutukan-Randublatung
71. Warisan Budaya Getas/Lemah Duwur, berada di Dusun Lemah Duwur (Getas-Kradenan), berupa
komponen-komponen batua candi diantaranya berupa hiasan kemuncak, komponen pipi tangga dengan
hiasan sulur-sulur medallion. Latar belakang candi tersebut adalah agama Hindu dengan indikasi adanya
temuan arca Ganesha.
72. Warisan Budaya Jipang Panolan-Jipang-Cepu
73. Warisan Budaya Kuwung-Mendenrejo-Kradenan

Pasal 38.
Cukup jelas.
Pasal 39.
Cukup jelas.
Pasal 40.
Cukup jelas.
Pasal 41.
Cukup jelas.
Pasal 42.
Cukup jelas.
Pasal 43.
Cukup jelas.
Pasal 44.
Cukup jelas.
Pasal 45.
Cukup jelas.
Pasal 46.
Cukup jelas.
Pasal 47.
Cukup jelas.
Pasal 48.
Cukup jelas.
Pasal 49.
Cukup jelas.
Pasal 50.

- 80 -
Cukup jelas.
Pasal 51.
Cukup jelas
Pasal 52.
Kawasan permukiman kota mencakup wilayah pengembangan kota (untuk ibukota Kabupaten dan IKK baik
yang telah mempunyai RUTRK-RDTRK maupun yang belum)
Kawasan permukiman pedesaan adalah Kawasan ini mencakup perkampungan yang ada dan arahan bagi
perluasannya
Pasal 53.
Cukup jelas.
Pasal 54.
Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan RTRW kabupaten melalui penyusunan dan
pelaksanaan program penataan/pengembangan kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber
pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan.
Pasal 55.
Cukup jelas.
Pasal 56.
Ayat 3
Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat usulan program
utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam rangka
mewujudkan ruang kabupaten yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal 57.
Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat
atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan
RTRW kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan
insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi untuk wilayah kabupaten.
Pasal 58.
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan
ruang/penataan kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap
klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW kabupaten.
Pasal 59.
Cukup jelas.
Pasal 60.
Cukup jelas.
Pasal 61.

- 81 -
Cukup jelas.
Pasal 62.
Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten sesuai
kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan
sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang
yang telah disusun dan ditetapkan.
Pasal 63.
Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
Pasal 64.
Cukup jelas.
Pasal 65.
Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku.
Pasal 66.
Cukup jelas.
Pasal 67.
Cukup jelas.
Pasal 68.
Cukup jelas.
Pasal 69.
Cukup jelas.
Pasal 70.
Cukup jelas.
Pasal 71.
Cukup jelas.
Pasal 72.
Cukup jelas.
Pasal 73.
Cukup jelas.
Pasal 74.
Cukup jelas.
Pasal 75.
Cukup jelas.
Pasal 76.
Cukup jelas.

- 82 -
Pasal 77.
Cukup jelas.
Pasal 78.
Cukup jelas.
Pasal 79.
Cukup jelas.
Pasal 80.
Cukup jelas.
Pasal 81.
Cukup jelas.
Pasal 82.
Cukup jelas.
Pasal 83.
Cukup jelas.
Pasal 84.
Cukup jelas.
Pasal 85.
Cukup jelas.

- 83 -
LAMPIRAN PETA
PERATURAN DAERAH
KABUPATEN BLORA

- 84 -
PETA ADMINISTRASI
KABUPATEN BLORA

- 85 -
PETA STRUKTUR RUANG
KABUPATEN BLORA

- 86 -
PETA POLA RUANG
KABUPATEN BLORA

- 87 -
PETA KAWASAN PRIORITAS
KABUPATEN BLORA

- 88 -
LAMPIRAN
MATRIKS INDIKASI PROGRAM UTAMA RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BLORA 2009-2029

INDIKASI PROGRAM UTAMA


LATAR SUMBER PENDANAAN 2011- 2015- 2020- 2026- PIHAK
NO PROGRAM LOKASI
BELAKANG/PELINDUNG APBN APDB HIBAH BANTUAN 2015 2019 2024 2030 TERKAIT

UMUM
RENCANA
DETAIL/RINCI SELURUH DINAS CIPTA
1 KAWASAN- KABUPATEN KARYA DAN
KAWASAN BLORA TATA RUANG
STRATEGIS
EVALUASI DAN
2 REVISI PERTAMA BAPPEDA
RTRWP
EVALUASI DAN
3 REVISI KEDUA BAPPEDA
RTRWP
EVALUASI DAN
4 PENYUSUNAN BAPPEDA
KEMBALI RTRWP

- 89 -
INDIKASI PROGRAM PERWUJUDAN STRUKTUR PERKOTAAN
SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
LATAR BELAKANG/PELINDUNG NO PROGRAM LOKASI
2014 2019 2024 2029 TERKAIT
APBN APDB HIBAH BANTUAN

PKW (PUSAT KEGIATAN WILAYAH)


KOORDINASI DAN
KERJASAMA
DENGAN
PEMERINTAH DAN
PEMERINTAH
1 KOTA CEPU V BAPPEDA
KABUPATEN/KOTA
UNTUK
PENGEMBANGAN
WILAYAH

PENCIPTAAN
IKLIM KONDUSIF
2 KOTA CEPU V BAPPEDA
UNTUK KEGIATAN
INVESTASI
PENINGKATAN
KERJASAMA
3 ANTAR WILAYAH KOTA CEPU V BAPPEDA
SECARA
KOMPLEMETATIF
PENGEMBANGAN
EKONOMI
KAWASAN
4 KOTA CEPU V BAPPEDA
SECARA
TERINTEGRASI

DINAS
CIPTA
PENGEMBANGAN
5 KOTA CEPU V KARYA
INFRASTRUKTUR
DAN
TATA

- 90 -
SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
LATAR BELAKANG/PELINDUNG NO PROGRAM LOKASI
2014 2019 2024 2029 TERKAIT
APBN APDB HIBAH BANTUAN
RUANG

PKL (PUSAT KEGIATAN LINGKUNGAN)


KOORDINASI DAN
KERJASAMA
DENGAN
PEMERINTAH DAN
KOTA
6 PEMERINTAH V V BAPPEDA
BLORA
KABUPATEN/KOTA
UNTUK
PENGEMBANGAN
WILAYAH
PENCIPTAAN
IKLIM KONDUSIF KOTA
7 V V BAPPEDA
UNTUK KEGIATAN BLORA
INVESTASI
PENINGKATAN
KERJASAMA
KOTA
8 ANTAR WILAYAH V V BAPPEDA
BLORA
SECARA
KOMPLEMETATIF
PENGEMBANGAN
EKONOMI
KOTA
9 KAWASAN V V BAPPEDA
BLORA
SECARA
TERINTEGRASI
DINAS
CIPTA
KARYA
PENGEMBANGAN KOTA
10 V V DAN
INFRASTRUKTUR BLORA
TATA
RUANG

- 91 -
SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
LATAR BELAKANG/PELINDUNG NO PROGRAM LOKASI
2014 2019 2024 2029 TERKAIT
APBN APDB HIBAH BANTUAN

Perkotaan Blora-Jepon
KOORDINASI DAN
KERJASAMA
DENGAN
KOTA
PEMERINTAH DAN
BLORA DAN
11 PEMERINTAH V V BAPPEDA
KECAMATAN
KABUPATEN/KOTA
JEPON
UNTUK
PENGEMBANGAN
WILAYAH
PENCIPTAAN KOTA
IKLIM KONDUSIF BLORA DAN
12 V V BAPPEDA
UNTUK KEGIATAN KECAMATAN
INVESTASI JEPON
PENINGKATAN
KOTA
KERJASAMA
BLORA DAN
13 ANTAR WILAYAH V V BAPPEDA
KECAMATAN
SECARA
JEPON
KOMPLEMETATIF
PENGEMBANGAN
KOTA
EKONOMI
BLORA DAN
14 KAWASAN V V BAPPEDA
KECAMATAN
SECARA
JEPON
TERINTEGRASI
DINAS
KOTA CIPTA
PENGEMBANGAN BLORA DAN KARYA
15 V V
INFRASTRUKTUR KECAMATAN DAN
JEPON TATA
RUANG
Perkotaan Cepu (Cepaka)

- 92 -
SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
LATAR BELAKANG/PELINDUNG NO PROGRAM LOKASI
2014 2019 2024 2029 TERKAIT
APBN APDB HIBAH BANTUAN
KOORDINASI DAN
KERJASAMA
DENGAN
CEPU,
PEMERINTAH DAN
PADANGAN
16 PEMERINTAH V V BAPPEDA
DAN
KABUPATEN/KOTA
KASIMAN
UNTUK
PENGEMBANGAN
WILAYAH
PENCIPTAAN CEPU,
IKLIM KONDUSIF PADANGAN
17 V V BAPPEDA
UNTUK KEGIATAN DAN
INVESTASI KASIMAN
PENINGKATAN
CEPU,
KERJASAMA
PADANGAN
18 ANTAR WILAYAH V V BAPPEDA
DAN
SECARA
KASIMAN
KOMPLEMETATIF
PENGEMBANGAN
CEPU,
EKONOMI
PADANGAN
19 KAWASAN V V BAPPEDA
DAN
SECARA
KASIMAN
TERINTEGRASI
DINAS
CEPU, CIPTA
PENGEMBANGAN PADANGAN KARYA
20 V V
INFRASTRUKTUR DAN DAN
KASIMAN TATA
RUANG
PPK (PUSAT PELAYANAN KAWASAN)
KOORDINASI DAN 4 KAWASAN
KERJASAMA PPK DI
21 V V BAPPEDA
DENGAN KABUPATEN
PEMERINTAH BLORA

- 93 -
SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
LATAR BELAKANG/PELINDUNG NO PROGRAM LOKASI
2014 2019 2024 2029 TERKAIT
APBN APDB HIBAH BANTUAN
KABUPATEN
BERSAMA
PEMERINTAH
KECAMATAN TIAP
PPK
PENCIPTAAN 4 KAWASAN
IKLIM KONDUSIF PPK DI
22 V V BAPPEDA
UNTUK KEGIATAN KABUPATEN
INVESTASI BLORA
PENINGKATAN
4 KAWASAN
KERJASAMA
PPK DI
23 ANTAR WILAYAH V V BAPPEDA
KABUPATEN
SECARA
BLORA
KOMPLEMETATIF
PENGEMBANGAN
4 KAWASAN
EKONOMI
PPK DI
24 KAWASAN V V BAPPEDA
KABUPATEN
SECARA
BLORA
TERINTEGRASI
DINAS
4 KAWASAN CIPTA
PENGEMBANGAN PPK DI KARYA
25 V V
INFRASTRUKTUR KABUPATEN DAN
BLORA TATA
RUANG
PPL (PUSAT PELAYANAN LINGKUNGAN)
KOORDINASI DAN
KERJASAMA
DENGAN 22 PPL DI
26 PEMERINTAH KOTA V V BAPPEDA
KABUPATEN BLORA
BERSAMA DESA
YANG BERKAITAN

- 94 -
SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
LATAR BELAKANG/PELINDUNG NO PROGRAM LOKASI
2014 2019 2024 2029 TERKAIT
APBN APDB HIBAH BANTUAN
MEMBERIKAN
PENYULUHAN
22 PPL DI
UNTUK
27 KOTA V V BAPPEDA
PENINGKATAN
BLORA
KEAHILAN
MASYARAKAT
PENCIPTAAN
22 PPL DI
IKLIM KONDUSIF
28 KOTA V V BAPPEDA
UNTUK KEGIATAN
BLORA
INVESTASI
PENINGKATAN
KERJASAMA 22 PPL DI
29 ANTAR WILAYAH KOTA V V BAPPEDA
SECARA BLORA
KOMPLEMETATIF
PENGEMBANGAN
EKONOMI 22 PPL DI
30 KAWASAN KOTA V V BAPPEDA
SECARA BLORA
TERINTEGRASI
DINAS
CIPTA
22 PPL DI
PENGEMBANGAN KARYA
31 KOTA V V
INFRASTRUKTUR DAN
BLORA
TATA
RUANG

- 95 -
INDIKASI PROGRAM SARANA DAN PRASARANA
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
BELAKANG/PELIND NO PROGRAM LOKASI
BANTU 2014 2019 2024 2029 TERKAIT
UNG APBN APDB HIBAH
AN
SARANA
PERHUBUNGAN
KEBUTUHAN
TERHADAP
PENGMBANGAN BANDAR DESA NGLORAM, KECAMATAN.
KEMUDAHAN 1 DPU
UDARA NGLORAM BLORA
AKSESIBILITAS
KAWASAN
KEPADATAN
PEMBANGUNAN JALUR
LALULINTAS YANG
2 LINGKAR DALAM (INNER KOTA BLORA DPU
TERJADI DI KOTA
RINGROAD)
BLORA
PEMBANGUAN JALUR
KECAMATAN KUNDURAN,
3 LINGKAR LUAR (OUTER DPU
TODANAN, BOGOREJO, DAN JIKEN
ROAD)
ADANYA RENCANA
PENGEMBANGAN
BLOK CEPU
SEHINGGA PEMBANGUNAN JALUR KECAMATAN SAMBONG DAN
4 DPU
DIPERLUKAN LINGKAR KECAMATAN CEPU
PERSIAPAN
PENYEDIAAN JALUR
LINGKAR
ANTISIPASI
KEPADATAN KECAMATAN KEDUNGTUBAN,
PEMBANGUNAN JALUR
LALULINTAS YANG 5 KRADENAN, RANDUBLATUNG, DAN DPU
LINGKAR
ADA DI KOTA JATI
RANDUBLATUNG
MENGHUBUNGKAN
JARINGAN
TRANSPORTASI PEMBANGUNAN JALUR
6 KECAMATAN NGAWEN DAN JATI DPU
ANATAR JALUR LINGKAR
UTARA DAN
SELATAN

- 96 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
BELAKANG/PELIND NO PROGRAM LOKASI
BANTU 2014 2019 2024 2029 TERKAIT
UNG APBN APDB HIBAH
AN
KABUPATEN BLORA

RUAS JALAN CEPU-BLORA-


KONDISI JALAN
PENINGKATAN KUALITAS PURWODADI-SEMARANG-RUAS
YANG TIDAK 7 DPU
JALAN JALAN JATI-RANDUBLATUNG-
MEMADAI
KEDUNGTUBAN
MENGATISIPASI RUAS JALAN RANDUBLATUNG-
PENGEMBANGAN PENINGKATAN FUNGSI BLORA, RUAS JALAN
8 DPU
WILAYAH DIMASA JALAN RANDUBLATUNG-KRADENAN,
MENDATANG RUAS JALAN BOGOREJO-JEPON
KEBUTUHAN AKAN
KEMUDAHAN DS SUMBER PINTU
AKSESIBILITAS PEMBANGUANAN (KECAMATANAMATAN CEPU), DS
9 DPU
ANTAR WILAYAH JEMBATAN NGROTO (KECAMATANAMATAN
(KAB BLORA DAN CEPU)
KAB BOJONEGORO)
TERDAPAT WILAYAH
YANG BELUM DINAS
1 PENGADAAN JALUR
TERJANGKAU OLEH PERHUBUNG
0 TRAYEK BARU
JALUR TRAYEK AN
ANGKUTAN UMUM
DINAS
1 BLORA-JEPON-BOGOREJO- KABUPATEN BLORA-
PERHUBUNG
1 TUBAN KABUPATENTUBAN
AN
DINAS
1 KUNDURAN-WIROSARI-
KABUPATEN BLORA PERHUBUNG
2 TODANAN
AN
DINAS
1 RANDUBLATUNG-
KABUPATEN BLORA PERHUBUNG
3 BANJAREJO
AN
BLORA-WULUNG DINAS
1
(KECAMATANAMATAN KABUPATEN BLORA PERHUBUNG
4
RANDUBLATUNG) AN

- 97 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
BELAKANG/PELIND NO PROGRAM LOKASI
BANTU 2014 2019 2024 2029 TERKAIT
UNG APBN APDB HIBAH
AN
PEMBANGUNAN
KURANGNYA 1
TERMINAL KABUPATEN RANDUBLATUNG ATAU KUNDURAN DPU
SARANA TERMINAL 5
TIPE C
SARANA
PENGAIRAN/IRIGASI
KURANGNYA
PENYULUHAN
PENGETAHUAN 1 DPU
PEMBUATAN SUMUR KABUPATEN BLORA
MASYARAKAT AKAN 6 PENGAIRAN
RESAPAN
PENGELOLAAN AIR
SISTEM JARINGAN PEMBANGUNAN
KECAMATANN: JATI, JIKEN, JEPON,
PENGAIRAN TIDAK WADUK/EMBUNG/BENDUN
1 BOGOREJO, BLORA, TUNJUNGAN, DPU
MEMADAI UNTUK GAN DAN
7 BANJAREJO, NGAWEN, JAPAN, PENGAIRAN
KEGIATAN PENGEMBANGAN POMPA
KUNDURAN, TODANAN
PERTANIAN AIR
1 OPTIMALISASI AIR TANAH KECAMATANAMATAN DPU
8 DALAM RANDUBLATUNG PENGAIRAN
OPTIMALISASI
1 KRADENAN, KEDUNGTUBAN, CEPU, DPU
BENDUNGAN DAN AIR
9 SAMBONG PENGAIRAN
TANAH DALAM
SISTEM JARINGAN
PERTANIAN TIDAK
2 OPTIMALISASI AIR TANAH KECAMATAN RANDUBLATUNG, DPU
MEMADAI UNTUK
0 DALAM KRADENAN, KEDUNGTUBAN, CEPU PENGAIRAN
KEBUTUHAN AIR
BAKU PERKOTAAN
2 DPU
OPTIMALISASI MATA AIR KECAMATAN SOMBONG
1 PENGAIRAN
PENGEMBANGAN AIR KECAMATAN JIKEN, JEPON,
2 BENDUNG/WADUK BOGOREJO, BLORA, TUNJUNGAN, DPU
2 SEBAGAI SUMBER AIR BNJAREJO, NGAWEN, JAPAH, PENGAIRAN
BERSIH KUNDURAN, TODANAN
SISTEM JARINAN PENGEMBANGAN SISTEM KECAMATAN JATI,
PENGAIRAN YANG 2 SUMUR GALI, PENAMPUNG RANDUBLATUNG, KRADENAN, DPU
TIDAK MEMADAI 3 AIR HUJAN (PAH) DAN KEDUNGTUBAN, CEPU, SAMBONG, PENGAIRAN
UNTUK KEBUTUHAN TERMINAL AIR JIKEN, JEPON, BOGOREJO, BLORA,

- 98 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
BELAKANG/PELIND NO PROGRAM LOKASI
BANTU 2014 2019 2024 2029 TERKAIT
UNG APBN APDB HIBAH
AN
AIR PEDESAAN TUNJUNGAN, BANJAREJO,
NGAWEN, JAPAH, KUNDURAN,
TODANAN

SARANA AIR BERSIH


PENGADAAN AIR BERSIH
KEKURANGAN AIR
2 WADUK YANG
BERSIH PADA MUSIM KECAMATAN TODANAN PDAM
4 BERSUMBER DARI WADUK
KEMARAU
BENTOLO
PEMBANGUNAN
WADUK GRENENG (KECAMATAN
KEKURANGAN AIR 2 INSTALASI PENGOLAHAN
TUNJUNGAN ), WADUK BENTOLO PDAM
BERSIH 5 AIR YANG BERSUMBER
(KECAMATANAMATAN TODANAN)
DARI WADUK
PENGEMBANGAN KECAMATAN: JATI, SAMBONG,
2
INSTALASI PENGOLAHAN JIKEN, JEPON, BOGOREJO, PDAM
6
AIR TUNJUNGAN,BANAJAREJO, JAPAH
PEMANFAATAN SUNGAI
2 BENGAWAN SOLO KECAMATAN: CEPU, SAMBONG,
7 SEBAGAI SUMBER AIR JIKEN DAN JEPON
BERSIH
2 PENGAMBILAN AIR BAKU
KECAMATAN RANDUBLATUNG
8 SUMUR DALAM
2 PEMBANGUNAN WADUK
KECAMATAN JAPAH
9 RANDUGUNTING
3 EMBUNG JEGONG DI KECAMATAN
PEMBANGUNAN EMBUNG
0 JATI,
3 EMBUNG SURUHAN DI
1 KECAMATANJIKEN,
3 EMBUNG KEDUNGWUNGU DI
2 KEMACATAN TODANAN
KECAMATAN: TODANAN,
3 PEMELIHARAAN SARANA
KUNDURAN, JAPAH, SAMBONG,
3 PENGAIRAN
DAN RANDUBLATUNG

- 99 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
BELAKANG/PELIND NO PROGRAM LOKASI
BANTU 2014 2019 2024 2029 TERKAIT
UNG APBN APDB HIBAH
AN
SARANA
PERSAMPAHAN
ANTISIPASI
PERTUMBUHAN
SAMPAH DI MASA 3 DINAS
PEMBANGUNAN TPA BARU KECAMATANRANDUBLATUNG
MENDATANG DAN 4 KEBERSIHAN
KETERBATASAN TPA
YANG ADA
KURANGNYA
KECAMATAN BLORA, CEPU,
TEMPAT 3 DINAS
PEMBANGUNAN TPS KUNDURAN, NGAWEN, PASAR
PENAMPUNGAN 5 KEBERSIHAN
JEPON DAN PASAR CEPU
SAMPAH
SARANA
PERDAGANGAN
KURANGNYA
3 TERSEBAR DISELURUH
SARANA PEMBANGUNAN PASAR DINAS PASAR
6 KECAMATAN
PERDAGANGAN
SARANA
PERDAGANGAN 3 PENINGKATAN KUALITAS
PASAR INDUK BLORA DINAS PASAR
YANG KURANG 7 SARANA PERDAGANGAN
MEMADAI
3
PASAR NGAWEN
8
SARANA
PENDIDIKAN
KURANGNYA
3 TERSEBAR DISELURUH DINAS P DAN
SARANA PEMBANGUNAN TK
9 KECAMATAN K
PENDIDIKAN
4 TERSEBAR DISELURUH DINAS P DAN
PEMBANGUNAN SLTP
0 KECAMATAN K
4 TERSEBAR DISELURUH DINAS P DAN
PEMBANGUNAN SMU
1 KECAMATAN K
4 PEMBANGUNAN TERSEBAR DISELURUH DINAS P DAN
2 PERGURUANG TINGGI KECAMATAN K

- 100 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025- PIHAK
BELAKANG/PELIND NO PROGRAM LOKASI
BANTU 2014 2019 2024 2029 TERKAIT
UNG APBN APDB HIBAH
AN
SARANA
KESEHATAN
KURANGNYA 4 TERSEBAR DISELURUH DINAS
PEMBANGUNAN BKIA
SARANA KESEHATAN 3 KECAMATAN KESEHATAN
4 TERSEBAR DISELURUH DINAS
PAMBANGUNAN APOTIK
4 KECAMATAN KESEHATAN
4 PEMBANGUNAN DINAS
KABUPATEN BLORA
5 PUSKESMAS KESEHATAN
4 PEMBANGUNAN TERSEBAR DISELURUH DINAS
6 PUSKESMAS PEMBANTU KECAMATAN KESEHATAN
4 TERSEBAR DISELURUH DINAS
PUSKEMAS KELILING
7 KECAMATAN KESEHATAN
4 PENYEDIAAN DOKTER TERSEBAR DISELURUH DINAS
8 PRAKTEK KECAMATAN KESEHATAN

INDIKASI PROGRAM POLA RUANG


LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025-
BELAKANG/PELIN- NO PROGRAM LOKASI PIHAK TERKAIT
BANTU 2014 2019 2024 2029
DUNG APBNAPDBHIBAH
AN
KAWASAN LINDUNG
ADANYA PENGGUNAAN RELOKASI BANGUNAN
DAERAH SEMPADAN
LAHAN DI DAERAH 1 YANG ADA DI DAERAH DPU
SUNGAI
SEMPADAN SUNGAI SEMPADAN SUNGAI
"WADUK TEMPURAN,
KECAMATANAMATA
KAWASAN SEMPADAN
N BLORA. WADUK
DANAU/WADUK YANG REBOISASI KAWASAN
GRENENG,
RAWAN TERHADAP SEKITAR DANAU/WADUK
2 KECAMATANAMATA DINAS LH
GANGGUAN DENGAN JARAK 50-100 M
N TUNJUNGAN.
LINGKUNGAN DI DAN PASANG TERTINGGI
WADUK BENTOLO,
SEKITARNYA
KECAMATANAMATA
N TODANAN"

- 101 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025-
BELAKANG/PELIN- NO PROGRAM LOKASI PIHAK TERKAIT
BANTU 2014 2019 2024 2029
DUNG APBNAPDBHIBAH
AN
KAWASAN SEMPADAN
DANAU/WADUK YANG REBOISASI KAWASAN
SELURUH MATA AIR
RAWAN TERHADAP SEKITAR MATA AIR
3 YANG ADA DI DINAS LH
GANGGUAN DENGAN JARAK 200 M DARI
KABUPATEN BLORA
LINGKUNGAN DI MATA AIR
SEKITARNYA
KAWASAN BUDIDAYA
PERTANIAN
KURANGNYA
PERHATIAN PETANI
TERHADAP PENDIDIKAN DAN
4 KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
PENGEMBANGAN PELATIHAN PETANI
PENGELOLAHAN DAN
PRODUKSI PERTANIAN
PELATIHAN DAN
5 REVITALISASI KELOMPOK KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
TANI
PEMBINAAN DAN
6 PENYULUHAN AGRIBISNIS KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
UNTUK PEMUDA TANI
DIKLAT USAHA TANI
7 KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
BERBASIS AGRIBISNIS
PENINGKATAN WAWASAN
8 PETANI DALAM MEMBACA KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
MUSLIM
PELATIHAN
9 PENGEMBANGAN PUPUK KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
ORGANIK/KOMPOS
PEMBENAHAN DAN
10 PEMBERDAYAAN KAB. BLORA DEPERINDAG
KUD/KOPERASI LAINNYA
PENGEMBANGAN KOPERASI
11 KAB. BLORA DEPERINDAG
UNIT DESA

- 102 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025-
BELAKANG/PELIN- NO PROGRAM LOKASI PIHAK TERKAIT
BANTU 2014 2019 2024 2029
DUNG APBNAPDBHIBAH
AN
PELATIHAN KETERAM[ILAN
BERCOCOK TANAM/USAHA
12 KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
TANI KOMODITAS
UNGGULAN
PEMBENTUKAN DAN
13 PELATIHAN PENYULUHAN KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
PERTANIAN SWAKARSA
PENYULUHAN BUDIDAYA
14 DAN MANAJEMEN KEPADA KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
PETANI DAN PETERNAK
PEMBINAAN/PEMBENTUKA
15 N KELOMPOK LUMBUNG KAB. BLORA DINAS PERTANIAN
PANGAN
PELATIHAN MANAJEMEN
16 KAB. BLORA DEPERINDAG
INDUSTRI DAN PERTANIAN
PENYULUHAN DAN
PELATIHAN EFISIENSI
17 SISTEM PERMASALAHN KAB. BLORA DEPERINDAG
AGRIBISNIS BAGI
KELOMPOK TANI
PENYULUHAN TENTANG
MENAJEMEN DISTRIBUSI
18 KAB. BLORA DEPERINDAG
DAN PEMASALAH PRODUK
HASIL PERTANIAN
PEMBANGUNAN SUB
KURANGNYA SARANA TERMINAL AGRIBISNIS
LUAS 0,5 HA
PENGUMPUL HASIL 19 (STA) ATAU PEMBANGUNAN DEPERINDAG
KECAMATAN CEPU
PERTANIAN SISTEM PENGEMBANGAN
AGROBINIS TERPADU (SPA)
PERTAMBANGAN
KURANGNYA KECAMATAN
DINAS
PENGETAHUAN PENYULUHAN/PENDIDIKAN TODANAN, JIKEN,
20 PERTAMBAMBANGA
MASYARAKAT DALAM BAGI PARA PENAMBANGAN JEPOH, JAPAH,
N
MELAKUKAN KEGIATAN TUNJUNGAN, BLORA,

- 103 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025-
BELAKANG/PELIN- NO PROGRAM LOKASI PIHAK TERKAIT
BANTU 2014 2019 2024 2029
DUNG APBNAPDBHIBAH
AN
PERTANIAN BOGOREJO,
RANDUBLATUNG,
KRADENAN, JATI,
DAN SAMBONG
ADANYA
PENAMBANGAN LIAR KECAMATAN:
PENERTIBAN DINAS
OLEH MASYARAKAT KRADENAN,
21 PENAMBANGAN LIAR; BATU PERTAMBAMBANGA
YANG MEMILIKI TODANAN,
GAMPING N
KONTRIBUSI YANG BOGOREJO, JEPON
CUKUP BESAR BAGI PAD
DINAS
CEPU DAN
22 PASIR PERTAMBAMBANGA
KRADENAN
N
DINAS
NGAWEN, BOGOJERO
23 TANAH LAIR/LEMPUNG PERTAMBAMBANGA
DAN JEPON
N
DINAS
24 SIRTU NGAWEN PERTAMBAMBANGA
N
DINAS
25 PHOSPAT TODANAN PERTAMBAMBANGA
N
KURANYA KAJIAN
STUDY KELAYAKAN ATAU DINAS
SECARA AKADEMIS
26 PROFIL INVESTASI TIAP PERTAMBAMBANGA
TENTANG POTENSI
POTENSI BAHAN TAMBANG N
BAHAN TAMBANG
KEHUTANAN
KURANGNYA
PENYULUHAN/PENDIDIKAN
PENGERTAHUAN
27 BAGI MASYARAKAT YANG DINAS KEHUTANAN
MASAYARAKAT DALAM
MENGELOLA HUTAN
PENGELOLAAN HUTAN
SELURUH KPH DI
28 REBOISASI KAWASN HUTAN DINAS KEHUTANAN
KABUPATEN BLORA

- 104 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025-
BELAKANG/PELIN- NO PROGRAM LOKASI PIHAK TERKAIT
BANTU 2014 2019 2024 2029
DUNG APBNAPDBHIBAH
AN
SOSIAL
KURANGNYA
KETERAMPILAN KERJA PEMBANGUNAN BALAI
29 KAB. BLORA DPU
YANG DIMILIKI LAHAN LATIHAN KERJA
MASYARAKAT
KESEHATAN
KURANGNYA
PELATIHAN TERHADAP
KETERSEDIAANNYA
TENAGA MEDIS DAN
TENAGA MEDIS YANG 30 KAB. BLORA DINAS KESEHATAN
PEDESAAN (PERAWAT DAN
TERAMPIL DALAM
BIDAN)
MENDETEKSI PENYAKIT
KURANGNYA
KESADARAN PENYULUHAN KEPADA
MASYARAKAT AKAN 31 MASYARAKAT SECARA KAB. BLORA DINAS KESEHATAN
POLA HIDUP BERSIH BERKALA
DAN SEHAT
KURANGNYA
KESADARAN
MAYARAKAT AKAN PENYULUHAN KEPADA
DAMPAK PENGGUNAAN 32 MASYARAKAT SECARA KAB. BLORA DINAS KESEHATAN
KAYU BAKAR SEBAGAI BERKALA
ENERGI RUMAH
TANGGA
PERINDUSTRIAN
PEMBANGUNAN KAWASAN
KURANGNYA SARANA
INDUSTRI: KAWASAN KECAMATAN
PENGEMBANGAN 33 DEPERINDAG
INDUSTRI PENGOLAHAN TUJUNGAN
KEGIATAN INDUSTRI
KAYU
KECAMATAN
KEDUNGTUBAN,
KAWASAN INDUSTRI
34 TUNJUNGAN, DEPERINDAG
GENTENG PRESS
TODANAN, BLORA
DAN JEPON

- 105 -
LATAR SUMBER PENDANAAN
2009- 2015- 2020- 2025-
BELAKANG/PELIN- NO PROGRAM LOKASI PIHAK TERKAIT
BANTU 2014 2019 2024 2029
DUNG APBNAPDBHIBAH
AN
DS TINAPAN
(KECAMATAN
KAWASAN INDUSTRI
TODANAN), DS
35 BAHAN TAMBANG GALIAN DEPERINDAG
JURANGREJO
C
(KECAMATAN
BOGOREJO)
KECAMATANAMATA
KAWASAN INDUSTRI
36 N JEPON, CEPU DAN DEPERINDAG
MINYAK DAN GAS
KRADENAN

- 106 -

Anda mungkin juga menyukai