Anda di halaman 1dari 12

URGENSI KOMPETENSI DAN KOMITMEN KEPEMIMPINAN

BAGI KEBERHASILAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Oleh: Dr. Moh. Alifuddin, MM

Fenomena Laten
Setiap organisasi, tidak terkecuali organisasi pendidikan, senantiasa
bergulat dengan kebijakan-kebijakan. Untuk organisasi pendidikan tinggi (PT),
dalam lingkup eksternal, senantiasa terikat dengan kebijakan-kebijakan
pendidikan tinggi, baik dalam bentuk Undang-undang (UU), Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permendiknas) maupun sekedar Surat
Edaran Dirjen Dikti. Dalam lingkup internal, khususnya PT Swasta (PTS), selalu
terikat dengan kebijakan-kebijakan Yayasan sebagai Badan Pengelola PTS.
Intinya setiap denyut nadi kehidupan organisasi senantiasa terkait dengan
kebijakan, dan karena itu setiap anggota organsinasi sudah sangat terbiasa
dengan kebijakan-kebijakan. Namun ironisnya tidak banyak kebijakan yang
dapat diimplementasikan secara benar, dalam arti sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam kebijakan. Sebagai contoh adalah kebijakan
Tridarma Perguruan Tinggi. Dari tiga darma PT, yakni: pengajaran, penelitian,
dan pengabdian pada masyarakat, praktis hanya darma pengajaran saja yang
dapat diimplementasikan oleh PT. Itu pun hanya dalam artian formal, yaitu
menyangkut pelaksanaan pengajaran di kelas secara kuantitas. Sedangkan
dalam artian material, yaitu terkait dengan penguasaan materi kuliah secara
kualitas, belum terjamin. Alih-alih, darma yang kedua (penelitian) dan ketiga
(pengabdian pada masyarakat) amat sangat sedikit sekali tersentuh. Sebagai
bukti, lihatlah aktivitas penelitian di PT yang amat langka. Yang ramai hanya
kegiatan penelitian mahasiswa untuk kepentingan penulisan karya ilmiah
(skripsi, tesis dan disertasi). Sedangkan kegiatan penelitian oleh dosen, sangat
sepi. Demikian pula pengabdian pada masyarakat, juga senyap. Kegiatan
pengabdian pada masyarakat muncul kalau sedang ada kejadian-kejadian
insidental seperti bencana alam. Sementara itu, kegiatan-kegiatan pengabdian
pada masyarakat yang terencana, terstruktur, terpola dan terorganisasi dengan
baik dalam rangka pemberdayaan masyarakat nyaris tidak mengemuka.

1
Ini belum termasuk berbagai kebijakan administratif, akademik, dan
pelayanan pendidikan kepada mahasiswa yang juga senantiasa kedodoran.
Pelayanan prima seperti tidak pernah singgah di kampus. Dalam berbagai
urusan, mahasiswa banyak sekali yang mengeluh. Ini merupakan pertanda
bahwa implementasi kebijakan di PT sangat lemah dan bahkan cenderung
laten.
Kecenderungan yang sama juga terjadi di lembaga-lembaga kursus.
Nyaris tidak ada lembaga kursus yang mampu memberikan pelayanan secara
prima kepada peserta didik. Yang terdengar hampir setiap hari adalah keluhan
demi keluhan. Dari soal pelayanan akademis sampai pelayanan administratif,
bahkan juga di luar itu seperti kebersihan toilet, keamanan, parkir, dan lain-lain.
Hal ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan di bergagai
lembaga pendidikan memang betul-betul lemah dan laten.

Pertanyaan Kritis
Fenomena laten tersebut mengundang satu pertanyaan kritis: Mengapa
implementasi kebijakan di lembaga-lembaga pendidikan tidak berjalan dengan
baik?

Kajian Teori
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu disajikan beberapa
teori yang relevan, khususnya teori kebijakan, kepemimpinan dan komitmen
organisasi.

Kebijakan
Dunn menjelaskan bahwa secara etimologis, istilah kebijakan atau policy
berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa
Yunani dan Sansekerta polis (negara kota) dan pur (kota) yang dikembangkan
dalam bahasa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris
policy, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi
pemerintahan (Dunn, 2000: 51-52).
Sejalan dengan itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Dunn, 2000: 71)
memberikan definisi kebijakan sebagai sesuatu program pencapaian tujuan,

2
nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah (a projected program of goal,
value and practices). Kemudian Schermerhorn, Hunt & Osborn (2005: 390)
mendefinisikan kebijakan sebagai pedoman bertindak yang menguraikan
sasaran penting dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat
dikerjakan. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Ansoff (dalam Rollinson,
Edwards & Broadfield, 1998: 432) bahwa kebijakan dapat digambarkan sebagai
pedoman atau prinsip yang mengarahkan pembuatan keputusan masa depan
jika dan ketika unsur-unsur tertentu muncul.
Bagi Mintzberg (dalam Scott & Davis, 2007: 319), kebijakan merujuk
pada: (a) rencana – cara bertindak yang sengaja ditetapkan; (b) permainan –
manuver yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain; (c) pola –
kumpulan tindakan yang konsisten, apakah bertujuan atau tidak; (d) posisi –
lokasi atau wadah yang menunjuk bidang tindakan; dan (e) perspektif – cara
memandang dunia.
Dari berbagai pandangan, pengertian, dan definisi tersebut terlihat
bahwa kebijakan merupakan pedoman atau prinsip-prinsip untuk bertindak bagi
warga masyarakat (publik), yang dapat meliputi perencanaan, pengambilan
keputusan, penentuan sasaran, dan bagaimana cara mencapainya.
Kebijakan tidak akan bermakna apa-apa tanpa diimplementasikan
(dilaksanakan). Kebijakan yang tidak diimplementasikan tidak akan
memberikan kontribusi apa pun terhadap kehidupan. Jadi, implementasi
kebijakan merupakan hal penting, yang bahkan lebih penting dibandingkan
formulasi kebijakan.
Menurut Daft (2003: 285), implementasi merupakan langkah dalam
proses pengambilan keputusan yang melibatkan penggunaan kemampuan
manajerial, administratif dan persuasif untuk menerjemahkan alternatif yang
dipilih ke dalam tindakan. Sedangkan Mazmanian dan Sabatier (dalam Shafritz,
Russell & Borick, 2007: 65) melukiskan implementasi kebijakan sebagai
“memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan, merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan,
yakni kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman
kebijakan negara, yang mencakup baik usaha untuk mengadministrasikannya

3
maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat.” Di sini
tampak jelas bahwa implementasi kebijakan mencakup segenap kejadian dan
kegiatan pasca pengesahan kebijakan, baik yang terkait dengan kegiatan
administrasi hingga dampaknya.
Supaya kebijakan dapat diimplementasikan, Jones (1994: 296-324)
mengemukakan tiga kegiatan untuk mengoperasikan program bagi
implementasi kebijakan, yaitu: organisasi), interpretasi), dan aplikasi”.
Organisasi merefleksikan bentuk pelaksanaan pembentukan atau penataan
kembali sumber daya, unit-unit kerja serta metode untuk menjadikan suatu
kebijakan dapat dilaksanakan dan kemudian memiliki dampak tertentu.
Interpretasi terkait dengan usaha menafsirkan agar program menjadi rencana
dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dapat dilaksanakan.
Sedangkan aplikasi merupakan ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran
atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Dengan demikian, implementasi kebijakan sekurang-kurangnya membutuhkan
organiasi, interpretasi, dan aplikasi.

Kepemimpinan
Taylor (dalam Drafke, 2009: 460) menjelaskan bahwa kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi aktivitas orang lain melalui proses
komunikasi ke arah pencapain tujuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan
oleh Kinicki dan Kreitner (2008: 479) bahwa kepemimpinan merupakan
kemampuan untuk mempengaruhi orang ke arah pencapaian tujuan organisasi.
Robbins & Judge (2009: 358) juga memandang kepemimpinan sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi sebuah kelompok ke arah pencapaian visi
atau seperangkat tujuan. Kemudian Greenberg & Baron (2003: 85) menyatakan
bahwa kepemimpinan merupakan proses yang digunakan oleh seseorang
untuk mempengaruhi anggota kelompok ke arah pencapaian tujuan kelompok
organisasi.
Definisi-definisi ini pada umumnya memandang kepemimpinan sebagai
aktivitas yang berkelanjutan, diarahkan untuk menimbulkan dampak pada
perilaku orang lain, yang pada akhirnya difokuskan pada upaya untuk

4
mewujudkan tujuan-tujuan organisasi. Definisi tersebut juga mencerminkan
bahwa kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial yang pengaruhnya
disengaja oleh seseorang terhadap orang lain untuk mengatur aktivitas-aktivitas
serta hubungan di dalam kelompok atau organisasi.
Supaya efektif dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang
pemimpin dituntut memiliki kompetensi tertentu. Menurut Joseph (2007: 25-28),
ada sepuluh kompetensi yang perlu dimiliki seorang pemimpin, ytitu:
Pertama, adalah arah diri (self direction). Arah diri merupakan kemampuan
menyusun tujuan untuk dirinya yang mengarahkan pada tujuan dengan
dedikasi pemikiran tunggal. Hal ini merupakan kunci dorongan personal dalam
memimpin. Beberapa orang menyusun tujuannya tetapi tidak diikuti dengan
dorongan personal. Sementara yang lainnya memulai dengan bekerja atas
tujuan-tujuannya, tetapi mungkin tidak sampai akhir.
Kedua, fleksibilitas (flexibility), yaitu kemampuan untuk mengubah dirinya
sesuai dengan situasi. Esensi dari fleksibilitas mental adalah kemampuan untuk
menangani situasi yang berbeda dalam cara yang berlainan, khususnya untuk
menanggapi hal-hal yang baru, komplek dan situasi yang problematik.
Ketiga, tim kerja (team work), yang merupakan kemampuan untuk bekerja
bersama terhadap visi bersama. Kemampuan tersebut untuk mengarahkan
individu melaksanakan tujuan organisasi. Kemampuan kerja tim antara lain
mencakup: bekerja bersama dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan
bersama, mencapai hasil yang ingin dicapai, merayakan kesuksesan, memiliki
pimpinan tim yang jelas, memiliki tujuan yang jelas, mendukung satu sama lain
dalam mencapai tujuan, masing-masing anggota memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi keputusan, dan masing-masing anggota memiliki tanggung
jawab personal atas kinerja dan kualitasnya.
Keempat, strategi (strategy). Strategi adalah kejadian suatu tindakan yang
diadopsi sesudah disaring secara ekstensif melalui data-data yang tersedia dan
sesudah dievaluasi dari alternatif solusi yang bervariasi. Strategi juga
merupakan kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan informasi
untuk tindakan-tindakan tertentu yang akan diimplementasikan.

5
Kelima, pengambilan keputusan (decision making). Pengambilan
keputusan merupakan studi yang mengidentifikasi dan memilih alternatif-
alternatif yang didasarkan pada nilai dan preferensi dari pembuat keputusan.
Membuat keputusan berdampak bahwa ada alternatif-alternatif pilihan untuk
dipertimbangkan dan dalam kasus ini tidak hanya mengidentifikasi banyak
alternatif yang mungkin, tetapi juga memilih salah satu yang terbaik dan cocok
dengan tujuan, kehendak, gaya hidup, nilai dan sebagainya.
Keenam, mengelola perubahan (managing change). Megelola perubahan
merupakan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan skenario tanpa
kehilangan keefektivan dan efisiensi. Mengelola perubahan mencakup
mengelola perubahan tugas, area praktik profesional dan tubuh pengetahuan.
Ketujuh, delegasi (delegation). Delegasi adalah kesediaan untuk
menugaskan tanggung jawab kepada yang lain. Delegasi merupakan fungsi
manajerial yang penting untuk mengurangi beban tugas pimpinan. Delegasi
membutuhkan kepercayaan yang cukup terhadap orang yang diberikan
delegasi tugas.
Kedelapan, komunikasi (communication). Komunikasi adalah proses yang
mana informasi melewati atau dibawa dalam berbagai bentuk. Komunikasi bisa
dalam bentuk organisasi atau tim dalam sebuah organisasi. Komunikasi yang
efektif tergantung pada tiga faktor, yaitu kepercayaan, emosi dan alasan.
Kesembilan, negosiasi (negotiation). Negosiasi adalah proses dimana dua
pihak memecahkan perselisihan, setuju atas terjadinya suatu tindakan atau
mencoba untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan. Kepentingan
yang saling diuntungkan merupakan bagian penting dalam negosiasi dan tidak
boleh hanya satu pihak saja yang diuntungkan.
Kesepuluh, kekuasaan dan pengaruh (power and influence). Kekuasaan
adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh dalam organisasi atau
individu di luar wewenang yang diturunkan dari jabatan.

Komitmen Organisasi

6
Setiap organisasi, terutama organisasi nonprofit seperti organisasi
kependidikan, memerlukan komitmen dari para anggotanya. Komitmen dalam
artian ini, menurut Shaw, Delery & Abdulla (2003: 2), adalah hasil dari investasi
atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang
menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi
intensitas tinggi terhadap organisasi; atau dalam pandangan Benkhoff (1997: 3)
sebagai derajat kepedulian karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan
organisasi.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Newstrom (2007:
207) bahwa komitmen organisasi adalah suatu tingkat atau derajat identifikasi
diri pegawai dengan organisasi dan keinginan-keinginannya untuk meneruskan
partisipasi aktifnya dalam organisasi. Kemudian Bishop, Scott & Burroughs
(2000: 2) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari
identifikasi individu bersama dan keterlibatannya dengan organisasi.
Sedangkan Luthans (2010: 147) mengatakan bahwa komitmen organisasi
merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi;
suatu keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi;
dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan
organisasi.
Dari pengertian, batasan dan definisi tersebut terlihat bahwa pada intinya
komitmen organisasi terkait dengan keterlibatan total dan partisipasi aktif
seseorang terhadap organisasi, baik secara kognitif maupun afektif.
Sejalan dengan hal itu, Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2010: 148)
mengidentifikasi tiga dimensi komitmen organisasi. Pertama, komitmen afektif,
yaitu kelekatan emosional terhadap organisasi, mengidentifikasikan diri dan
terlibat aktif dalam organisasi. Kedua, komitmen rasional, yaitu berkaitan
dengan persepsi pegawai atas kerugian yang akan diperolehnya jika
meninggalkan organisasi. Ketiga, komitmen normative, yakni berkaitan dengan
perasaan pegawai terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi.
Sementara itu Moore (dalam Ivancevich, Konopaske & Matteson, 2008:
184) melihat komitmen organisasi dalam tataran lebih sempit yang melibatkan
tiga sikap, yakni: (1) suatu rasa identifikasi dengan tujuan-tujuan organisasi, (2)

7
suatu perasaan keterlibatan dalam kewajiban-kewajiban organisasi, dan (3)
suatu perasaan loyalitas terhadap organisasi.

Analisis: Urgensi Kompetensi dan Komitmen Kepemimpinan


Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor,
beberapa diantaranya adalah rumusan kebijakan, pelaksana kebijakan, fasilitas
pendukung, anggaran, komunikasi, kompetensi dan komitmen pemimpin. Dari
semua faktor tersebut, kompetensi dan komitmen pemimpin mempunyai peran
vital. Hal ini dapat terjadi karena pemimpin merupakan pemegang otoritas
tertinggi dan karenanya memiliki pengaruh yang luar biasa. Sebagai pemegang
otoritas tertinggi, pemimpin bukan sekedar dapat mempengaruhi pemanfaatan
semua sumber daya yang tersedia untuk implementasi kebijakan, tapi jauh
melampaui itu juga mempunyai power yang dapat digunakan untuk memaksa
sumber daya yang lain. Ini berarti bahwa kedudukan atau posisi pemimpin
dalam konstelasi implementasi kebijakan sangat vital dan strategis.
Kedudukan yang vital dan strategis itu tentu saja membawa
konsekuensi. Ketika suatu kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik,
maka itu merupakan keberhasilan pemimpin. Tapi sebaliknya, tatkala suatu
kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan baik, maka itu juga
merupakan bentuk kegagalan pemimpin. Jadi, peran pemimpin sangat
menentukan implementasi kebijakan.
Ini berarti bahwa ketika di lembaga-lembaga pendidikan kita banyak
kebijakan yang tidak terimplementasikan dengan baik, itu merupakan bentuk
kegagalan pemimpin, setidaknya pemimpin yang bertanggung jawab langsung
terhadap implementasi suatu kebijakan. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor, dua diantaranya adalah kompetensi dan komitmen
kepemimpinan.

Urgensi Kompetensi
Mengenai kompetensi, tidak dapat disangsikan lagi bahwa banyak
pemimpin di lembaga-lembaga pendidikan yang kurang atau belum memiliki
kompetensi yang memadai. Mereka ditunjuk atau mempromosikan diri sebagai

8
pemimpin tetapi minim kompetensi yang diperluan untuk memfungsikan
kepemimpinannya. Akibatnya, unit kerja yang dipimpinnya stagnan, tidak
berkembang, bahkan mengalami kemunduran.
Sebelum menjadi pemimpin, seharusnya mereka belajar tentang
kompetensi kepemimpinan. Joseph (2007: 25-28) mengidentifikasi sepuluh
kompetensi yang harus dimiliki pemimpin agar kepemimpinannya efektif.
Pertama, arah diri. Seorang pemimpin harus memiliki orientasi tujuan yang
jelas, baik bagi dirinya maupun unit kerja yang dipimpin. Kedua, fleksibilitas.
Seorang pemimpin harus mampu beradaptasi dengan situasi aktual, termasuk
hal-hal baru, kompleks dan problematik. Ketiga, tim kerja. Seorang pemimpin
harus mampu bekerjasama untuk memperjuangkan visi, misi dan tujuan
bersama. Keempat, strategi. Seorang pemimpin harus mempunyai strategi
yang merefleksikan kemampuannya dalam memahami dan
menginterpretasikan berbagai persoalan untuk dipecahkan. Kelima,
pengambilan keputusan. Seorang pemimpin harus mampu mengambil
keputusan dengan cepat dan tepat berdasarkan informasi/data yang akurat.
Keenam, mengelola perubahan. Seorang pemimpin harus mampu mengelola
perubahan dengan skenario yang jelas agar perubahan berlanngsung dengan
efektif dan efisiensi. Ketujuh, delegasi. Seorang pemimpin harus rela
mendelegasikan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang
dipandang mampu. Kedelapan, komunikasi. Seorang pemimpin harus dapat
berkomunikasi dengan baik secara interpersonal atau dalam kelompok (tim).
Kesembilan, negosiasi. Seorang pemimpin juga harus mempunyai kemampuan
negosiasi untuk memecahkan berbagai persoalan akibat perselisihan atau
benturan kepentingan. Kesepuluh, kekuasaan dan pengaruh. Terakhir, seorang
pemimpin juga harus cakap menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan
dirinya atas nama organisasi. Tanpa kompetensi-kompetensi ini kecil
kemungkinan seorang pemimpin dapat mengimplementasikan kebijakan-
kebijakan organisasi dengan baik.

9
Urgensi Komitmen Kepemimpinan
Kompetensi kepemimpinan belum tentu dapat menjamin keberhasilan
seorang pemimpin dalam mengimplementasikan kebijakan. Kompetensi tidak
akan memberikan atau menyumbangkan apapun jika tidak dilakukan atau
diaplikasikan. Jadi kompetensi membutuhkan motor penggerak agar bekerja
sehingga dapat menyumbangkan sesuatu. Motor penggeraknya adalah
komitmen. Tepatnya adalah komitmen seorang pemimpin terhadap organisasi,
atau yang lazim disebut komitmen organisasi. Sebagaimana dikatakan Luthans
(2010: 147) bahwa komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat
untuk tetap menjadi anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukkan
usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam
menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
Jadi, selain memiliki kompetensi, seorang pemimpin juga harus memiliki
komitmen pada organisasi yang dipimpin. Komitmen yang di dalamnya terdapat
tiga gatra: hasrat kuat tetap menjadi anggota organisasi, keinginan
menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi, dan keyakinan kuat
dalam menerima nilai-nilai serta memperjuangkan tujuan organisasi, akan
mendorong bekerjanya kompetensi-kompetensi yang dimiliki oleh seorang
pemimpin untuk didekasikan kepada organisasi. Dalam perspektif ini, maka
pemimpim yang memiliki komitmen tinggi akan cenderung mendedikasikan
semua kompetensinya untuk mengimplementasikan semua kebijakan
organisasi, baik yang datang dari internal organisasi maupun dari luar
organisasi.
Jadi kesimpulannya: implementasi kebijakan membutuhkan kompetensi
dan komitmen dari seorang pemimpin. Hal ini tidak terkecuali dan bahkan
terutama untuk organisasi-organisasi nonprofit seperti organisasi pendidikan,
baik lembaga pendidikan formal seperti perguruan tinggi maupun lembaga
pendidikan nonformal seperti kursus.

Rekomendasi
Karena kompetensi dan komitmen kepemimpinan diperlukan bagi
peningkatan keberhasilan implememnasi kebijakan, maka eksistensinya perlu

10
diperbiki dan dibangun. Usaha ke arah itu antara lain dapat ditempuh melalui
pelatihan, seminar atau workshop yang diperkaya dengan simulasi atau melalui
usaha individual secara otodidak dengan menyimak berbagai literatur yang
relevan. Hal ini akan terwujud dengan dua dukungan. Pertama, organisasi
memfasilitasi pelatihan, seminar atau workshop yang diperlukan, baik dengan
cara in house maupun dengan cara mengirim pimpinan ke berbagai pelatihan,
seminar atau workshop. Kedua, para pemimpin memiliki kesadaran tinggi untuk
membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinannya. Dengan kesadaran
yang tinggi, para pemimpin akan berinisitif dan berkorban untuk membangun
kompetensi dan komitmen kepemimpinnnya, dengan cara membeli buku,
mengikuti pelatihan, seminar atau workshop dengan biaya sendiri.
Beberapa materi pelatihan, seminar atau workshop yang relevan untuk
membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinan antara lain: kecerdasan
emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan adversitas (AQ),
efektivitas kepemimpinan, dan efektivitas komunikasi.

Referensi

Benkhoff, “Ignoring Commitment Is Costly: New Approaches Establish the


Missink Link Between Organizational Commitment and Performance”,
Human Relations, 50, (6), 1997.
Bishop, Scott & Burroughs, “Support Commitment and Employee Outcomes in
a Team Environment”, Journal of Management, 26, (6), 2000.
Daft, Richard L. Management, USA: South-Western, 2003.
Drafke, Michael, The Human Side of Organizations, New Jersey: Pearson
Prentice Hall, 2009.
Dunn, N. William, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra
Wibawa dkk, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Greenberg, Jerald & Robert A. Baron. Behavior in Organization, New Jersey:
Prentice Hall, 2003.
Ivancevich, John M., Robert Konopaske & Michael T. Matteson, Organizational
Bahavior and Management, Boston: McGraw-Hill, 2008.
Jones, Charles O., An Introduction To The Study Of Public Policy, California:
Brooks/Cole Publishing Company Monterey, 1994.
Joseph, P. T., EQ and Leadership, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing
Company Limited, 2007.

11
Kinicki, Angelo & Robert Kreitner, Organizational Behavior: Key Concepts,
Skills and Best Practices, New York: McGraw-Hill, 2008.
Luthans, Fred, Orgnazational Behavior, 12tth edition, Boston: McGraw-Hill,
2010.
Newstrom, John W., Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12tth
edition, Boston: McGraw Hill, 2007.
Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge, Organizational Behavior, New
Jersey: Pearson Education, 2009.
Rollinson, Derek, David Edwards, and Aysen Broadfield, Organisational
Behavior and Analysis, Essex: Pearson Edu. Limited, 1998.
Schermerhorn, John R., Jr., James G. Hunt and Richard N. Osborn,
Organizational Behavior, Danvers: John Wiley & Sons., Inc., 2005.
Scott, Richard W. & Gerald F. Davis, Organizations and Organizing, New
Jersey: Pearson Education, 2007.
Shafritz, Jay M., E. W. Russell and Christopher P. Borick, Introducing Public
Administration, New York: Pearson Education, Inc., 2007.
Shaw, Delery & Abdulla, “Organizational Commitment and Performance Among
Guest Workers and Citizens of An Arab Country”, Journal of Business
Research, 56, 2003.

12

Anda mungkin juga menyukai