Anda di halaman 1dari 11

ABSTRACT

Background: The Provincial Administration of Jakarta turned Pasar Rebo Hospital,


Cengkareng Hospital and Haji Hospital into limited liabilities corporations through the
issuance of Provincial Regulation N0.13,14,15 in 2004.
Goals : To find the impact of public hospital privatization towards the quality, efficiency,
equity of hospital services
Method:This study examines the factors underlying the establishment of the privatization
policy, and how it impact towards equity, efficiency and quality hospital service.
Result: This study found that public hospital privatization improve the quality of service
and efficiency, reduce the equity and equality of hospital services.
Conclusion: Privatization needs the readiness of all the hospital human resouces and
readiness of government to deliver the health services

Key words : Hospital Privatization, Efficiency, Equity, Quality

ABSTRAK

Latar Belakang: Pemerintah Daearah DKI Jakarta mengubah status RSUD Pasar Rebo,
Yayasan RS Haji, RS Cengkareng menjadi perseroan terbatas dengan dikeluarkannya
Perda No 13, 14,15 tahun 2004. Perubahan tersebut memicu pro dan kontra hingga
akhirnya Mahkamah Agung membatalkan ketiga Perda tersebut.
Tujuan: Mengetahui dampak privatisasi terhadap equity, efisiensi dan kualitas pelayanan
rumah sakit
Metode: Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi kebijkan
privatisasi ini dan bagaimana dampak rivatisasi rumah sakit terhadap equity, efisiensi dan
kualitas pelayanan rumah sakit.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa privatisasi rumah sakit meningkatkan kualitas
dan effisiensi rumah sakit, namun mengurangi equity and equality pelayanan rumah
sakit.
Kesimpulan: Privatisasi membutuhkan kesiapan seluruh SDM rumah sakit dan kesiapan
pemerintah dalam menjamin pelayanan kesehatan

Kata Kunci : privatisasi rumah sakit, efisiensi, equiti, kualitas

Dampak Perubahan Status RSUD di DKI Jakarta menjadi Perseroan


Dumilah Ayuningtyas
Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
1.Latar Belakang
Menurut WHO, privatisasi sektor kesehatan seringkali didorong oleh
beberapa asumsi yang dipahami oleh pengambil kebijakan sebagai manfaat atau
keuntungan privatisasi, antara lain privatisasi dapat memutus rantai panjang
birokratisasi sehingga manajemen pengelolaan rumah sakit dapat lebih efisien dan
efektif. Selain itu pengaruh mekanisme pasar, kompetisi serta peluang untuk
1
mendapatkan insentif akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
yang diberikan. Pendapat ini diperkuat argumentasi Florence Eid tentang
berbagai tujuan atau alasan yang melatarbelakangi privatisasi rumah sakit
pemerintah yaitu untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan, meningkatkan
profesionalisme, serta mengurangi campur tangan birokrasi dan pemerintah
terhadap pengelolaan rumah sakit.
Keleluasaan mengelola keuangan, SDM dan pengadaan barang agar rumah
sakit dapat bergerak cepat untuk memberikan layanan bermutu dan pada akhirnya
dapat mandiri secara finansial menjadi salah satu pertimbangan utama perubahan
bentuk rumah sakit pemerintah menjadi perseroan terbatas pada RSUD Pasar
Rebo, Yayasan RS Haji, UPTD (unit pelaksanan teknis) Dinas Kesehatan RS
Cengkareng.

2.Metodologi

2.1 Pendekatan

Penelitiaan ini menggunakan pendekatan kualitatif perhatiannya pada realitas


sosial yang selalu berubah dan merupakan hasil konstruksi sosial yang
berlangsung antara para pelaku dan institusi sosial. Pencapaian tujuan penelitian
didukung dengan argumen rasional dari para informan kunci dan pakar yang
didukung oleh data dan teori yang meyakinkan .

2. 2 Strategi Penelitian

Strategi penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus dipilih karena
metode ini kaya informasi, memberikan pencerahan, dan dapat
memanifestasikan fenomena kepentingan yang terjadi diantara elit yang telibat.

2.3 Tipe Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif-eksplanatoris, untuk mendeskripsikan dan
memberikan eksplanasi tentang bagaimana dinamika peran negara dan kendali

2
pasar bebas, kondisi ekonomi sosial, peran elit yang berhubungan dan
mempengaruhi kebijakan privatisasi perumahsakitan di DKI Jakarta.

3 Teknik Pengumpulan Data


Data primer akan dikumpulkan dengan dua instrumen utama, yaitu
wawancara mendalam (indepth interviews) yang terstruktur secara lisan. Dan
penelusuran kepustakaan .

1.7.4 Metode Analisis Data


Data yang didapat dianalisis dengan metode kualitatif dengan
menggunakan pendekatan sistem untuk melihat bagaimana kaitan kondisi
pelayanan kesehatan, rumah sakit, perkembangan kesehatan masyarakat, peran
negara, kendali pasar bebas, kondisi ekonomi sosial, mempengaruhi penetapan
kebijakan kesehatan di DKI Jakarta.

1.7.4.1 Uji Validitas atau Triangulasi


Validitas data dilakukan dengan strategi triangulasi. Triangulasi sumber
dilaksanakan dengan menggunakan berbagai informan yang berbeda serta
melakukan kontras data. Triangulasi metode dijalankan dengan menggunakan
lebih dari satu cara pengumpulan data. Triangulasi analisis dilakukan dengan
meminta umpan balik informan dan dengan meminta pandangan para pakar.

3. Perubahan Rumah Sakit Umum Menjadi PT: Privatisasi Atau


Korporatisasi
Secara umum pandangan elit kebijakan pada awal penetapan Perda No 13,
14, 15 tahun 2004 yang mengubah RS menjadi RS PT terbagi atas tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah yang beranggapan bahwa telah terjadi privatisasi pada
perubahan rumah sakit pemerintah menjadi PT dengan argumentasi telah terjadi
reduksi peran negara serta penggunaan instrumen dan paradigma pengelolaan
rumah sakit sebagai lembaga swasta. Kelompok kedua beranggapan tidak terjadi
privatisasi karena tidak terjadi pengalihan kepemilikan dari negara ke pihak swata

3
atau tidak terjadi penjualan saham secara bebas. Kelompok ketiga mengatakan
terjadi korporatisasi yaitu pengelolaaan lembaga atau aset negara menjadi seperti
entitas bisnis untuk memberi ruang lebih luas pada otonomi pengelolaan, namun
tidak ada pengalihan kepemilikan.
Bila mengacu pada berbagai batasan yang dikemukakan oleh para ahli,
perbedaan tersebut tak dapat ditepiskan begitu saja. Misalnya saja pandangan
Joseph Stigliz, yang mengartikan privatisasi sebagai lawan dari nasionalisme, dan
itu berarti bahwa yang terjadi adalah proses konversi perusahaan negara menjadi
perusahaan swasta(Joseph Stigliz,1988). Sebuah pandangan yang senada dengan
yang diutarakan Kay dan Thompson tentang privatisasi sebagai “dis-
nasionalisasi”, yaitu penjualan kepemilikan publik dan kontrak melalui franchise
ke perusahaan swasta terhadap produksi barang dan jasa yang dibiayai
negara(Indra Bastian,2002), atau pula Peacock yang mempertegas arti privatisasi
sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta
dengan potensi implikasi dominasi kepemilikan saham akan berpidah ke
pemegang saham swasta.
Pemahaman bahwa privatisasi bukanlah sesempit persoalan penjualan atau
pengalihan kepemilikan memang diungkapkan pula oleh beberapa ahli, antara
lain pada pandangan J.A Kay dan D.J Thomson yang menganggap bahwa
privatisasi merupakan cara mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor
swasta (J.A Kay dan D.J Thompson). Demikian pula Savas (1987) yang
mengajukan persepektif subtanstif privatisasi sebagai kegiatan mengurangi
peranan pemerintah (state control) dan meningkatkan peran swasta.
Menarik untuk mengacu pada konsep privatisasi yang dikemukakan
Beesley dan Littlechild sebagai “pembentukan perusahaan” atau korporatisasi.
Atas dasar ini dapatlah dikatakan bahwa arah yang ingin dibangun pemerintah
DKI Jakarta adalah privatisasi yang didefinisikan sebagai penjualan perusahaan
negara menjadi milik swasta, namun dapat juga didefinisikan sebagai pengelolaan
pelayanan publik secara swasta. Hal ini akhirnya membuat Menteri Kesehatan
ikut bersuara dan mengambil posisi berlawanan dengan pemerintah DKI Jakarta
setelah permasalahan ini mencuat sebagai isu nasional.

4
Berdasarkan analisis terhadap data dan berbagai konsep privatisasi,
Perubahan RS menjadi RS PT cenderung mengarah pada privatisasi, setidaknya
privatisasi pasif menurut klasifikasi WHO. Privatisasi pasif umumnya terjadi di
negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi cepat sementara permintaan
layanan kesehatan melampaui jumlah dan kualitas layanan yang disediakan
sektor publik- namun terdapat kendala anggaran yang ketat.
Bentuk privatisasi atau bukan, penting untuk merujuk pada asumsi-asumsi
dasar dalam pelaksanaan privatisasi pelayanan kesehatan menurut WHO bahwa
para elit atau pembuat kebijakan seringkali terdorong untuk memprivatisasi sektor
kesehatan karena sejumlah praduga tentang manfaat privatisasi. Dalam kasus
PT RS Pasar Rebo dan RS Cengkareng, tujuan dari perubahan bentuk
kelembagaan menjadi PT sebagaiman tercantum dalam naskah akademik,
memperlihatkan kesamaan dengan asumsi privatisasi menurut versi WHO.
Setidaknya privatisasi negatif pada ukuran manajemen korporatisasi karena
kebijakan tersebut diambil antara lain oleh adanya budget constraint.

4 Penentangan Terhadap Privatisasi Rumah Sakit Pemerintah


Penentangan terhadap Perda No. 13, 14 dan 15 Tahun 2004 berlanjut pada
pengajuan hak uji materiil terhadap Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan DPRD
DKI Jakarta atas Perda tersebut dan Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta Pada Tiap Perseroan Rumah Sakit. Gugatan ini kemudian dikuatkan oleh
Majelis Hakim Agung, yang menilai tuntutan yang diajukan Para pemohon cukup
beralasan.
Putusan MA yang memerintahkan pencabutan terhadap Perda No. 13,14
dan 15 tahun 2004, dapat dipandang sebagai upaya negara menjalankan perannya
untuk menjaga ideologi sesuai dengan amanat konstitusi, karena privatisasi adalah
kebijakan yang lahir sebagai hasil liberalisasi ekonomi di era globalisasi. Negara
Indonesia yang lahir dari semangat komunitarian, sebagaimana dalam UUD 45
pasal 34 ayat 1 berkewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan bagi
seluruh warganegara.

5
Sesuai dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung,
maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD Provinsi DKI Jakarta
melakukan pembahasan untuk membatalkan 3 Perda tersebut. Komisi B DPRD
DKI Jakarta, menyesalkan pencabutan Perda Nomor 13,14 dan 15 tahun 2004.
Alasan pencabutan Perda tersebut antara lain adalah kekhawatiran akan
menjadikan rumah sakit berorientasi bisnis dan melepaskan dasar nilai rumah
sakit sebagai lembaga moral dan kemanusiaan.

5. Dampak Privatisasi Terhadap Rumah Sakit .


5.1 Ekuitas (Equity)
Tarif pelayanan kelas 3 belum berubah saat awal pelaksanaan rumah
sakit sebagai PT. Rumah sakit masih menjalankan fungsi sosialnya dengan tarif
sesuai dengan Perda No. 13, 14 dan 15 Tahun 2004 sebesar Rp. 20.000 untuk
kelas 3. Tarif sesungguhnya (unit cost) adalah Rp. 90.000 sehingga terdapat
selisih Rp. 70.00 yang disubsidi oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Demikian
pula tentang layanan kesehatan bagi masyarakat miskin, data yang ada
memperlihatkan bahwa PT RS Haji, PT RS Pasar Rebo, dan PT RS Cengkareng
masih tetap melayani masyarakat miskin (gakin). Secara lebih khusus bagaimana
operasionalisasi rumah sakit semasa menjadi PT melayani keluarga miskin
terlihat dari data RSHJ pada tabel berikut ini:
Tabel 1 : Laporan Pembiayaan Pasien JPK-Gakin RSHJ Tahun 2004-2006
Keterangan Yayasan PT PT
Pembiayaan Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006
(Januari-Agustus)
Tagihan Rp. 1.542.715.696,- Rp. 1.222.868.636,- Rp. 315.239.496,-
Terbayar Rp. 1.278.310.990,- Rp. 738.949.568,- Rp. 140.186.704,-
Dibayar Pasien Rp. 21.967.760,- Rp. 154.360.958,- Rp. 70.207.949,-
Beban RS Haji Jakarta Rp. 38.436.946 Rp. 324.888.794,- Rp. 104.844.843,-
Sumber: Dina Puspita, 2006
Gambaran secara keseluruhan mengenai pola pelayanan kesehatan RSHJ
kepada pasien JPK-Gakin adalah :
 Tidak terdapat perubahan Pola pelayanan. kecuali berdasarkan peraturan
Dinas Kesehatan, pasien Gakin yang dilayani rumah sakit hanya yang
berdomisili di DKI saja

6
 Rata-rata Kunjungan pasaien Gakin setiap tahunnya pada unit rawat jalan
mengalami peningkatan.
 Jumlah pasien Gakin yang melakukan rawat inap antara kurun waktu
2004-2006 secara umum tidak terdapat perbedaan berarti, dibanding
dengan pasien umum, Askes, jaminan perusahaan dan lainnya.
Perubahan status RS menjadi PT tidak merubah visi dan misi RS Haji,
meskipun salah satu alasannya karena Rencana Strategik RSHJ yang baru akan
disusun tahun 2008-2013. Kekhawatiran akan gejala komersialisasi muncul
ketika tidak lama setelah penetapan Perda No. 13, 14, 15 tahun 2004, Dinas
Kesehatan DKI Jakarta mengajukan usulan kenaikan tarif kepada DPRD DKI.

Penilaian mengenai aspek equitas terhadap perubahan RS menjadi


Perseroan Untuk APBD 2008 yang diajukan oleh pemerintah DKI dapat dilihat
pada tabel:
Tabel.2. Anggaran Kesehatan DKI Tahun 2007-2008

Tahun Jumlah Anggaran APBD


Kesehatan

2008 1,21 triliun 6,1% 20 triliun

2007 906 milyar 4,38% 20,6 triliun


Diolah dari berbagai sumber

Jumlah terbesar (60%) anggaran kesehatan tersebut ditujukan untuk


penunjang, seperti gaji, supervisi, perencanaan, lokakarya, seminar dan lain-lain.
Jadi anggaran yang langsung bersentuhan dengan pelayanan hanya sebesar Rp
765 milyar (3,8%) total belanja kesehatan daerah.
Aspek normatif anggaran yang berdampak positif langsung ke
masyarakat luas tidaklah mudah diwujudkan. Perbandingan besar anggaran bagi
elit pemerintah dengan rakyat kebanyakan dengan jelas memperlihatkan
kesenjangan yang tersaji dalam tabel berikut :

7
Tabel 3 Perbandingan Besar Anggaran Bagi Elit Pemerintah
Dan Rakyat Miskin
No. Objek Tahun 2007 Tahun 2008
1. Gubernur, Wakil Rp 120 juta/tahun Rp 180 juta/tahun
Gubernur (Rp 333.000/hari) (Rp 500.000/hari)
2. Anggota DPRD (75 Rp 3,5 M/tahun
orang) (46,6 juta/tahun/orang
3. Rakyat miskin Rp 353.000/tahun
Diolah dari beragam sumber.
Total anggaran yang dialokasikan untuk jaminan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin dan korban bencana pada tahun 2008 adalah sebesar Rp 200
milyar (16,4%APBD) untuk 565,982 jiwa. Anggaran ini diprediksi tidak
mencukupi karena mahalnya biaya obat dan kenaikan jumlah masyarakat miskin.
Tabel 4. Pelayanan Rumah Sakit

RS Pasar RS
RS Haji
Rebo Cengkareng
2005
Jumlah Pasien 1.026 3.459 10.899
Biaya (Rp.) 1.222.868.636 1.331.125.169 8.283.819.000
2006
Jumlah Pasien 2.368 5.792
Biaya (Rp.) 1.200.071.621 5.996.149.221
Tunggakan Pemda DKI
2005 (Rp) 324.888.794 237.012.569 1.743.856.676
2006(Rp) 789.595.721 1.622.413.821
PSO (Public Service
Obligation) 2005 8.154.261.750 17.102.688.913
Diolah dari berbagai sumber

5.2 Efisiensi
Keuntungan perubahan rumah sakit menjadi PT adalah :

 Terlepas dari kakunya aturan birokrasi seperti penetapan Keputusan


Presiden Nomor 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa,
 Sistem pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel, serta
diperbolehkannya audit RS PT oleh akuntan publik
 Kewenangan yang lebih luas untuk mengelola personil, barang dan uang
sehingga dapat bekerja lebih profesional dan akuntabel.

8
Tujuan efisiensi rumah sakit tidak mudah diwujudkan, terbukti dengan
adanya :

 Indikasi ketidaktransparanan bahkan penyalahgunaan kekuasan para


pimpinan sehingga memicu aksi unjuk rasa para serikat pekerja
 Keluhan pasien tentang penolakan rumah sakit yang menyarankan agar
pasien kembali ke klinik sore yang menetapkan tarif lebih mahal.
 Kebijakan pembelian obat satu pintu (one gate policy) ternyata mendorong
pengunduran diri para dokter. Pengunduran diri sejumlah dokter juga
karena merasa terlalu dibebani oleh target pendapatan rumah sakit.
 Rumah sakit masih membebani APBD dan mendapat PAD. Ketiga rumah
sakit masih mengajukan PMP dari APBD juga pinjaman bank dengan
mengagunkan aset rumah sakit.

Singkatnya masa pelaksanaan rumah sakit sebagai PT dan ramainya pro-


kontra menyebabkan terganggunya pengelolaan keuangan secara baik sehingga
tidak memungkinkan analisis tajam terhadap aspek efisiensi.

5.3 Kualitas Layanan (Quality)


Buruknya kinerja dan lemahnya profesionalisme pegawai di rumah sakit
menjadi salah satu sebab dilakukannya privatisasi rumah sakit. Kultur institusi
pemerintah sering dianggap tidak menjadikan prestasi sebagai dasar penilaian
kinerja dan penggajian. Karena itu pula tidak banyak pegawai yang memiliki
motivasi tinggi untuk meningkatkan kinerja karena tak ada pembedaan sistem
remunerasi atas dasar prestasi.
Menjadi tantangan bagi manajemen Rumah Sakit untuk membangun etos
kerja baru yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Perubahan tersebut perlu
disosialisasikan, namun baru dilakukan pasca Perda disahkan oleh DPRD DKI
Jakarta. Beberapa permasalahan yang timbul diantaranya adalah :
 Kecemburuan kerap terjadi karena selama ini pegawai PNS mendapatkan gaji
dari pemerintah provinsi dan uang jasa pelayanan medik. Ketika menjadi pegawai
PT mereka tidak akan mendapat insentif seperti semula.

9
 Sengketa ketenagakerjaan antara RSUD Pasar Rebo dengan karyawan yang
memilih opsi mengundurkan diri.

Meski terdapat permasalahan SDM dan gangguan operasional namun secara


umum terdapat peningkatan di beberapa aspek layanan.
 NDR (Net Death Rate) RS PT menunjukkan penurunan, yaitu pada kisaran
11-12 orang. Hal ini terjadi karena RS telah menerapkan akuntabilitas
pelayanan kesehatan, pelayanan profesional dan high quality standart of care.
 Penelitian Nagiot Cansalony Tambunan memperlihatkan bahwa tingkat
pemanfaatan tempat tidur atau BTO (Bed Turn Over) selama kurun waktu
swadana hingga PT tidak mengalami penurunan (67-68 kali). Tingginya
angka ini diduga karena pemakaian satu tempat tidur untuk perawatan pasien
KLB (Kejadian Luar Biasa).
 TOI (Turn Over Interna) tidak menunjukkan perbedaan. Rata-rata TOI adalah
1-2 hari, artinya rumah sakit mampu mempertahankan TOI dari swadana
hingga saat ini.
 Peningkatan kualitas layanan pada aspek ketatalaksanaan dan manajemen
pengelolaan dapat dibuktikan dengan keberhasilan PT RS Haji, PT RS Pasar
Rebo, dan PT RS Cengkareng meraih Sertifikat ISO (International Standard
Operation).
Tidak tercapainya seluruh tujuan privatisasi pelayanan kesehatan
menunjukkan bahwa privatisasi kesehatan tidak akan mencapai tujuan kecuali
adanya jaminan kesehatan masyarakat oleh pemerintah, juga kesiapan seluruh
SDM rumah sakitain untuk bekerja dalam budaya dan prinsip-prinsip
akuntabilitas dengan standar kinerja (key performance indicator) yang jelas.

6. Perseroan Terbatas Rumah Sakit: Status Yang Menggantung Hingga 2010


Keluarnya putusan MA tidak serta merta mencabut Status PT dan
menyelesaikan kisruh permasalahan yang timbul hingga 2010. Akibatnya rumah
sakit tetap mendapatkan kewajiban membayar pajak, padahal Idealnya mendapat
insentif pajak karena fungsi sosial yang dilakukannya.

10
Kelambanan negara menyelesaikan permasalahan ini berujung pada usulan
divestasi ketiga rumah sakit tersebut dengan alasan badan usaha yang
bersangkutan tidak menyetor deviden karena buruknya kondisi keuangan.
Permasalahan yang masih menggantung ini menunjukkan lemahnya peran negara
dalam mengatur proses regulasi dan mengartikulasi kepentingan masyarakat
dibandingkan kepentingan minoritas berkuasa. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan publik tidak selamanya merefleksikan tuntutan massa, tetapi lebih
merupakan preferensi nilai-nilai elit.
Temuan dan analisis data pada studi ini juga dapat secara signifikan
membuktikan konsep C Wright Mills tentang power elites, yang menjelaskan
adanya ada power elite lain di luar the ruling class yang memiliki kekuasaan
untuk menghimpun dan mengatur kekuatan sosial melalui hierarki yang kuat.
hingga akhirnya membatalkan sebuah kebijakan yang telah ditetapkan negara.

DAFTAR PUSTAKA
 “Warga Miskin Jakarta Tuntut Status RSUD Dikembalikan,
www.kompas.com, diakses pada tahun 2008
 Joseph Stigliz, Economics of The Public Sector (New York : WW
Notrhon, 1988) dalam Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo,
Manajemen Privatisasi BUMN (Jakarta : PT. Elex Media Kompuntindo,
2002)
 Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implementasi (Jakarta :
Salemba Empat, 2002)
 J.A Kay dan D.J Thompson, Privatization : A Policy In Search Of
Rationale dalam Economic Journal
 E.S Savas, Privatization, The Key to Better Government, 1987, hal 7 dalam
Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara : Pengantar Untuk
Memahami Privatisasi ( Jakarta : Penerbit Lentera Hati, 2002)
 Peter C. Smith et. al, Health Policy and Economics: Opportunities and
Challenges ( New York : Open University Press, 2005)
 Nagiot Cansalony Tambunan, Dampak kebijakan perseroan terbatas
terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit milik pemerintah (studi kasus
RS Pasar Rebo DKI Jakarta). Tesis, 2006, MPKP FE UI.

11

Anda mungkin juga menyukai