Anda di halaman 1dari 2

Buku Ini tanpa Judul

Pahami Berbagai Paradoks di Sekitar Anda

I Dongeng dan Khayalan

Perlukah kita khawatir?


Jika kita terlalu khawatir, tentunya kita tidak bahagia, karena kekhawatiran
adalah salah satu hal yang paling tidak menyiksa dalam hidup ini. Sebaliknya, jika
kita tidak cukup khawatir, mungkin itu lebih buruk lagi (setidaknya, itu yang saya
dengar), karena kita menjadi tidak memiliki cukup kewaspadaan untuk
menghindarkan diri dari bencana yang lebih besar daripada kekhawatiran.
Jika demikian, mana yang lebih baik, menjadi orang yang tidak terlalu ambil
pusing terhadap segala sesuatu yang menikmati dirinya hari demi hari dan tidak
terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di hari depan atau seorang yang
khawatir dan berhati-hati yang telah mengambil semua tindakan antisipasi yang
dapat dipikirkannya terhadap masa depan, tetapi masih selalu merasa khawatir
bahwa semua antisipasi itu belum cukup baik?
Sepanjang hidup saya, banyak orang mengatakan pada saya bahwa masalah
utama saya adalah bahwa saya tidak terlalu khawatir. Dan, harus saya akui bahwa
pikiran ini kemudian selalu membuat saya khawatir.

Seorang yang tidak ingin membuat orang lain iri terhadapnya


Pada suatu hari, hiduplah seorang laki-laki yang tidak tahan terhadap rasa iri
atau cemburu orang lain kepadanya. Dia adalah seseorang yang kreatif dan duduk
sebagai seorang profesor di salah satu perguruan tinggi terkemuka di dunia. Semua
sejawatnya di luar kampusnya iri terhadap posisinya. Dia tidak tahan akan hal ini.
Karenanya, dia kemudian melepaskan jabatannya di universitas tersebut dan
dengan sengaja memilih duduk sebagai pengajar di sebuah universitas peringkat
kelima. Meski demikian, kerja kreatifnya tetap terus berjalan dan dia mampu
menerbitkan buku. Semua orang iri kepadanya atas kualitas karyanya tersebut
yang sangat baik dan kebersahajaannya yang mengagumkan dalam tidak mencari
posisi yang lebih bergengsi. Jadi, dia memutuskan untuk menerbitkan karyanya
tanpa menyebutkan namanya, alias secara anonim. Namun, dia tetap tidak dapat
membodohi orang-orang, karena tidak ada orang lain yang mampu menulis dengan
cara sebagaimana buku itu ditulis kecuali dia! Akhirnya, dia memutuskan untuk
terus menulis, tetapi tidak akan lagi menerbitkan karya-karyanya. Dia merancang
suatu cara bahwa semua karyanya akan diterbitkan setelah dia meninggal nanti.
Jika pun kemudian ada orang yang iri dengan itu sepeninggalnya, bukankah itu
tidak akan lagi bisa menyiksanya? Dengan demikian, tahun demi tahun berlalu
tanpa dia pernah menerbitkan satu karya pun. Dan, dia pun dipecat. Universitas
peringkat lima ini mengatakan padanya, “Anda tahu, kami ingin para profesor di
universitas ini menerbitkan karya mereka; kami ingin mereka bernilai.” Ketika dia
mengingatkan mereka tentang karya-karyanya dahulu, mereka mengatakan, “Ya,
tapi apa yang telah kamu lakukan untuk kami belakangan ini?” Sebenarnya, dia
tidak terlalu keberatan dipecat, karena hal itu cukup pas dengan gaya hidupnya
kini. Jadi, dia kemudian mengambil tabungannya (yang cukup besar jumlahnya,
karena gaya hidupnya yang hemat selama ini), mengundurkan diri ke daerah
pedesaan, tempat dia menemukan suatu lokasi yang sangat indah dan, dengan
tangannya sendiri, membangun sebuah rumah kecil, tetapi sangat anggun dan
nyaman. Lokasi yang dipilihnya tersebut memang merupakan lokasi yang paling
indah dari area yang sangat luas di sekitarnya. Setiap orang yang melewatinya
akan tampak iri ingin memilikinya. Bahkan, terkadang dia tidak yakin apakah yang
tampak di kejauhan adalah pohon atau seorang yang sedang menatap iri ke arah
rumahnya. Semua ini, tentunya, membuat dia tidak tahan lagi. Kemudian, dia
menjual semua miliknya yang berharga dan memberikan hasilnya kepada kaum
miskin. Lalu, dia memasuki kehidupan sebagai pengelana yang hidup dari meminta-
minta. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia terbebas dari iri hati orang lain
kepadanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia benar-benar bahagia. Sampai
suatu hari—bertahun-tahun kemudian—dia bertemu dengan sejawatnya dari
universitas ternama tempat dia pernah bekerja. Setelah makan siang dan
memperbincangkan banyak hal, rekannya tersebut berkata kepadanya, “Kau tahu,
kau tampak benar-benar bahagia; betapa aku iri kepadamu!”

Seorang yang ingin hidup tenang


Suatu kali, ada seorang laki-laki yang menginginkan sebuah kehidupan yang
sepenuhnya tenang dan damai. Lucunya, dia menghabiskan hari-harinya dengan
seluruh perhatian tersedot memikirkan bahwa dia tidak memiliki hidup seperti itu.

Untuk kepentingan diri atau untuk kepentingan orang lain


Suatu hari ada seorang kulit putih yang mencurahkan waktu dan tenaganya
untuk kepentingan orang-orang kulit hitam—mengusahakan tercapainya kesetaraan
ekonomi, politik, psikologi. Suatu hari seorang teman kulit hitam berkata
kepadanya, “Kami tentu sangat mengagumi Anda, karena telah berkorban
melakukan segala sesuatu yang Anda bisa lakukan untuk membantu kami! Kami
sangat jarang menemukan orang yang penuh pengorbanan dan tidak
mementingkan diri sendiri!” Si kulit putih pun menjawab, “Tidak mementingkan diri
sendiri? Tidak, Anda tidak paham; Anda tidak paham sama sekali! Saya justru tidak
punya jejak tidak mementingkan diri sendiri selama hidup saya; semua yang saya
lakukan didasari dengan suatu motif yang tersebunyi.
Anda tahu? Saya adalah seorang yang mempercayai adanya reinkarnasi.
Ketika saya meninggal, anak-anak saya terlahir, sebagian berkulit putih dan
sebagian berkulit hitam. Peluang saya untuk menjadi seorang kulit putih atau kulit
hitam di kehidupan berikutnya cukup sebanding. Karena itu, saya ingin memastikan
sebelumnya bahwa jika nantinya saya terlahir kembali sebagai seorang kulit hitam,
saya tidak disakiti.”

Anda mungkin juga menyukai