Jika kita terlalu khawatir, tentunya kita tidak bahagia, karena kekhawatiran adalah salah satu hal yang paling tidak menyiksa dalam hidup ini. Sebaliknya, jika kita tidak cukup khawatir, mungkin itu lebih buruk lagi (setidaknya, itu yang saya dengar), karena kita menjadi tidak memiliki cukup kewaspadaan untuk menghindarkan diri dari bencana yang lebih besar daripada kekhawatiran. Jika demikian, mana yang lebih baik, menjadi orang yang tidak terlalu ambil pusing terhadap segala sesuatu yang menikmati dirinya hari demi hari dan tidak terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di hari depan atau seorang yang khawatir dan berhati-hati yang telah mengambil semua tindakan antisipasi yang dapat dipikirkannya terhadap masa depan, tetapi masih selalu merasa khawatir bahwa semua antisipasi itu belum cukup baik? Sepanjang hidup saya, banyak orang mengatakan pada saya bahwa masalah utama saya adalah bahwa saya tidak terlalu khawatir. Dan, harus saya akui bahwa pikiran ini kemudian selalu membuat saya khawatir.
Seorang yang tidak ingin membuat orang lain iri terhadapnya
Pada suatu hari, hiduplah seorang laki-laki yang tidak tahan terhadap rasa iri atau cemburu orang lain kepadanya. Dia adalah seseorang yang kreatif dan duduk sebagai seorang profesor di salah satu perguruan tinggi terkemuka di dunia. Semua sejawatnya di luar kampusnya iri terhadap posisinya. Dia tidak tahan akan hal ini. Karenanya, dia kemudian melepaskan jabatannya di universitas tersebut dan dengan sengaja memilih duduk sebagai pengajar di sebuah universitas peringkat kelima. Meski demikian, kerja kreatifnya tetap terus berjalan dan dia mampu menerbitkan buku. Semua orang iri kepadanya atas kualitas karyanya tersebut yang sangat baik dan kebersahajaannya yang mengagumkan dalam tidak mencari posisi yang lebih bergengsi. Jadi, dia memutuskan untuk menerbitkan karyanya tanpa menyebutkan namanya, alias secara anonim. Namun, dia tetap tidak dapat membodohi orang-orang, karena tidak ada orang lain yang mampu menulis dengan cara sebagaimana buku itu ditulis kecuali dia! Akhirnya, dia memutuskan untuk terus menulis, tetapi tidak akan lagi menerbitkan karya-karyanya. Dia merancang suatu cara bahwa semua karyanya akan diterbitkan setelah dia meninggal nanti. Jika pun kemudian ada orang yang iri dengan itu sepeninggalnya, bukankah itu tidak akan lagi bisa menyiksanya? Dengan demikian, tahun demi tahun berlalu tanpa dia pernah menerbitkan satu karya pun. Dan, dia pun dipecat. Universitas peringkat lima ini mengatakan padanya, “Anda tahu, kami ingin para profesor di universitas ini menerbitkan karya mereka; kami ingin mereka bernilai.” Ketika dia mengingatkan mereka tentang karya-karyanya dahulu, mereka mengatakan, “Ya, tapi apa yang telah kamu lakukan untuk kami belakangan ini?” Sebenarnya, dia tidak terlalu keberatan dipecat, karena hal itu cukup pas dengan gaya hidupnya kini. Jadi, dia kemudian mengambil tabungannya (yang cukup besar jumlahnya, karena gaya hidupnya yang hemat selama ini), mengundurkan diri ke daerah pedesaan, tempat dia menemukan suatu lokasi yang sangat indah dan, dengan tangannya sendiri, membangun sebuah rumah kecil, tetapi sangat anggun dan nyaman. Lokasi yang dipilihnya tersebut memang merupakan lokasi yang paling indah dari area yang sangat luas di sekitarnya. Setiap orang yang melewatinya akan tampak iri ingin memilikinya. Bahkan, terkadang dia tidak yakin apakah yang tampak di kejauhan adalah pohon atau seorang yang sedang menatap iri ke arah rumahnya. Semua ini, tentunya, membuat dia tidak tahan lagi. Kemudian, dia menjual semua miliknya yang berharga dan memberikan hasilnya kepada kaum miskin. Lalu, dia memasuki kehidupan sebagai pengelana yang hidup dari meminta- minta. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia terbebas dari iri hati orang lain kepadanya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia benar-benar bahagia. Sampai suatu hari—bertahun-tahun kemudian—dia bertemu dengan sejawatnya dari universitas ternama tempat dia pernah bekerja. Setelah makan siang dan memperbincangkan banyak hal, rekannya tersebut berkata kepadanya, “Kau tahu, kau tampak benar-benar bahagia; betapa aku iri kepadamu!”
Seorang yang ingin hidup tenang
Suatu kali, ada seorang laki-laki yang menginginkan sebuah kehidupan yang sepenuhnya tenang dan damai. Lucunya, dia menghabiskan hari-harinya dengan seluruh perhatian tersedot memikirkan bahwa dia tidak memiliki hidup seperti itu.
Untuk kepentingan diri atau untuk kepentingan orang lain
Suatu hari ada seorang kulit putih yang mencurahkan waktu dan tenaganya untuk kepentingan orang-orang kulit hitam—mengusahakan tercapainya kesetaraan ekonomi, politik, psikologi. Suatu hari seorang teman kulit hitam berkata kepadanya, “Kami tentu sangat mengagumi Anda, karena telah berkorban melakukan segala sesuatu yang Anda bisa lakukan untuk membantu kami! Kami sangat jarang menemukan orang yang penuh pengorbanan dan tidak mementingkan diri sendiri!” Si kulit putih pun menjawab, “Tidak mementingkan diri sendiri? Tidak, Anda tidak paham; Anda tidak paham sama sekali! Saya justru tidak punya jejak tidak mementingkan diri sendiri selama hidup saya; semua yang saya lakukan didasari dengan suatu motif yang tersebunyi. Anda tahu? Saya adalah seorang yang mempercayai adanya reinkarnasi. Ketika saya meninggal, anak-anak saya terlahir, sebagian berkulit putih dan sebagian berkulit hitam. Peluang saya untuk menjadi seorang kulit putih atau kulit hitam di kehidupan berikutnya cukup sebanding. Karena itu, saya ingin memastikan sebelumnya bahwa jika nantinya saya terlahir kembali sebagai seorang kulit hitam, saya tidak disakiti.”