Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN

HUTAN MANGROVE PANTAI PASURUAN


(Environment’s Factors Analysis of Mangrove Forest
In Pasuruan Coastal)

Oleh : Chatarina Muryani


FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta,
E-mail chatarinamuryani@ymail.com

ABSTRACT
The aim of this research is to know the differences of environmental
factors toward the thickness of mangrove forest. Samples chosen were the
mangrove forest which had various thickness. Semare Village was chosen to
represent west part of research area, Bugul Kidul District was chosen to
represent middle part of research area, Penunggul Village and Kedawang Village
at Nguling District were chosen to represent east part of the research area. For
each thickness of mangrove forest, there were made 3 line transects from the
mangrove forest land edge to the mangrove forest sea edge, upright the shore
line. There were determined 3 plot samples to represent “less thick” mangrove
forest, 6 plot samples to represent “middle thick” mangrove forest, and 9 plot
samples to represent “high thick” mangrove forest.
The results of this research showed that there were differences
environment factors especially in organic matter of water and soils, soil texture,
on the thickness mangrove forest. Based on MANOVA analysis (simultaneous)
there were differences on the environment factors on the thickness of mangrove
forest.

PENDAHULUAN
Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,
hutan payau, atau hutan bakau. Disebut hutan pantai karena hutan mangrove
hanya dapat ditemui di kawasan pantai; disebut hutan pasang surut karena
pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada pasang surut air laut
dan disebut dengan hutan payau karena pada umumnya hutan mangrove
tumbuh dan berkembang pada sekitar muara sungai dengan karakteristik khas
air payau. Bakau sendiri merupakan nama lokal dari salah satu tumbuhan yang
menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizopora spp., dan hutan mangrove sudah
ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest. Dari definisi di atas sudah
menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh pada keberadaan
dan pertumbuhan hutan mangrove.

1
Kathiresan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hutan mangrove
mempunyai sifat fisik dan kimia khusus baik salinitas, arus pasang surut, angin,
temperatur tinggi dan tanah berlumpur. Sedangkan menurut Bengen (2000)
secara umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut
 Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir,
 Daerahnya tergenangi air laut secara berkala baik setiap hari maupun
hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensei genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove
 Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
 Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air
bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (38 ‰).
Sedangkan menutut English, et. al (1993) beberapa faktor lingkungan
mempengaruhi diversitas dan produktifitas ekosistem hutan mangrove, yaitu
iklim, geomorfologi, besarnya pasang surut, input air tawar dan karakteristik
tanah (English, et. al., 1993).
Menurut Aksornkoae ( 1993), baik struktur maupun fungsi dari ekosistem
hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebagai
berikut : (a) Fisiografi pantai, (b) Curah hujan, (c) Pasang Surut, (d) Ombak dan
gelombang (e) Salinitas, (f) Oksigen terlarut, (g) tanah, (h) Nutrien.
Input penting dalam produkstifitas hutan mangrove adalah air ( terutama
keseimbangan antara air tawar dan air asin), substrat dan nutrien (baik yang ada
di substrat maupun di dalam air (Franks and Falcover, 1999). Salah satu sumber
nutrien di ekosistem hutan mangrove berasal dari sedimen yang terperangkap
oleh vegetasi mangrove tersebut. Sedimen yang berasal dari darat dan
mengandung banyak nutrien dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh arus
pasang surut sedimen tersebut dibawa kembali ke pantai dan ditangkap
kemudian diendapkan di dasar vegetasi mangrove (Kamaruzzaman et al., 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor lingkungan di sekitar
hutan mangrove Pantai Pasuruan dan mengkaitkanya dengan struktur hutan
mangrove pada daerah yang bersangkutan’

2
METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan di sepanjang Pantai Pasuruan, dengan alasan di
daerah ini banyak dijumpai muara sungai sebagai habitat hutan mangrove dan
hutan mangrove di daerah ini mempunyai ketebalan yang bervariasi.
Lokasi sampel ditentukan berdasarkan kriteria :
- mewakili daerah bagian barat, bagian tengah dan bagian timur daerah
penelitian
- mempunyai ketebalan , kerapatan dan diversitas hutan mangrove yang
bervariasi
- mempunyai kondisi geografis yang hampir sama
Pengambilan sampel dalam ekosistem hutan mangrove menggunakan
metode plot garis transek ( Transect Line Plots). Pada setiap lokasi dibuat
transek memanjang dari tepi laut ke arah darat (Romimohtarto dan Sri Juwana,
1999). Metode yang dipakai untuk pengambilan sampel adalah metode kuadrat
dengan penentuan stand secara sistematik reguler. Plot kuadrat untuk pohon 10
x 10 m, untuk anak pohon 5 x 5 m dan untuk herba 1 x 1 m (Oosting, 1956).
Penentuan lokasi transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :
- untuk masing-masing kriteria ketebalan hutan mangrove ditentukan 3 (tiga)
buah garis transek,
- penentuan jumlah plot sampel adalah sebagai berikut :
 Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tipis” masing-masing garis
transek ditentukan satu plot sampel
 Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “sedang” masing-masing garis
transek ditentukan dua plot sampel
 Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tebal” masing-masing garis
transek ditentukan tiga plot sampel
Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan
secara acak.
Gambaran penentuan garis transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :

Mangrove Tipis Mangrove Sedang Mangrove Tebal

3
Keterangan :
: garis transek : plot sampel
Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan
secara acak.
Alat-alat yang diperlukan untuk penelitian di lapangan adalah :
Global Positioring System (GPS) Receiver dan Kompas , digunakan untuk
penentuan posisi dan arah suatu tempat di lapangan
pH meter untuk mengukur tingkat keasaman tanah dan air
Termometer untuk mengukur suhu air
Refractometer untuk penentuan kadar garam substrat dan air laut
Botol sampel, untuk mengambil sampel air
Oxymeter untuk mengukur oksigen terlarut (DO) air laut
Meteran dan tali untuk pembuatan transek
Sedangkan faktor-faktor lingkungan yang diamati meliputi kondisi pantai, kualitas
air dan kualitas tanah yang diduga berpengaruh terhadap ekosistem hutan
mangrove.
Jenis data yang dikumpulkan dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut :
Tabel 1. : Parameter penelitian dan metode/alat yang digunakan

No Parameter Metode/Alat Satuan Pelaksanaan


1 Iklim Data sekunder - Di lapangan
2 Topografi pantai Clinometer % Di lapangan
3 Kedalaman sedimen Tiang pengukur cm Di lapangan
4 Tekstur tanah/sedimen Feeling meth + Lab % Di Lap + Lab
5 Total C Organik Pembakaran % Di laboratorium
o
6 Suhu Air Termometer C Di lapangan
7 Salinitas air + tanah Hand Refractometer ‰ Di lapangan
8 pH air + tanah pH stick - Di lapangan
9 DO air Oxymeter mg/l Di lapangan
BO air (TOM) Titrasi mg/l Di Laboratorium

HASIL PENELITIAN
1. Letak dan Luas
Daerah penelitian termasuk pada dua wilayah administrasi, yaitu
Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan. Daerah penelitian membujur dari
barat ke timur, di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Porong yang merupakan
batas antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo; sedangkan di

4
sebelah timur dibatasi oleh sungai Laweyan yang merupakan batas antara
Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo.
Kabupaten Pasuruan terletak antara 112o30’ – 113o30’ BT dan 7o30’ –
8o30’ LS (Peta Rupa Bumi Indonesia Th 2000 skala 1 : 25.000) , luasnya adalah
1474 km2 atau 147401,5 hektar, terdiri atas 24 kecamatan, 341 Desa dan 24
Kelurahan. Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Pasuruan yang mempunyai
pantai (berbatasan dengan Selat Madura) adalah Kecamatan Bangil ( 4460 Ha),
Kecamatan Kraton ( 5075 Ha), Kecamatan Rejoso ( 3700 Ha), Kecamatan Lekok
(4657 Ha) dan Kecamatan Nguling (4260 Ha).
Kota Pasuruan secara astronomis terletak antara 112 o40’’ – 112o50’’
Bujur Timur dan 7o35’’ – 7o45’’ Lintang Selatan (Peta RBI tahun 2000 skala 1 :
25.000 lembar Pasuruan), terdiri atas 3 Kecamatan dan memiliki 34 Kelurahan.
Kelurahan-kelurahan di Kota Pasuruan yang mempunyai pantai (berbatasan
dengan Selat Madura) adalah Desa Blandongan, Desa Kepel, Kelurahan
Mandaranrejo, Kelurahan Panggungrejo (Kecamatan Bugul Kidul), Desa
Ngemplakrejo (Kecamatan Purworejo), Desa Tambaan dan Desa Gadingrejo
(Kecamatan Gadingrejo)

2. Bentuk Pantai
Secara umum pantai Pasuruan merupakan pantai datar dengan
ketinggian sekitar 0 – 5 meter di atas muka air laut. Ombak di sepanjang pantai
kecil dan ditambah dengan banyaknya sungai yang bermuara di daerah ini serta
keberadaan hutan mangrove di daerah pantai, menjadikan bentuk pantai
merupakan pantai sedimentasi (bukan pantai abrasi). Keseluruhan wilayah Kota
Pasuruan sendiri merupakan dataran rendah dengan kemiringan kurang dari 3 %
dan ketinggian tempat antara 0 – 10 meter dari muka air laut.
Alih fungsi lahan pesisir misalnya penebangan hutan mangrove menjadi
tambak, daerah permukiman, lokasi wisata dan sebagainya dapat mengubah
bentuk pantai dari pantai sedimentasi menjadi pantai abrasi. Di Kecamatan
Nguling bagian barat (Watuprapat) dan Kecamatan Lekok bagian timur (Wates
dan Semedusari) bentuk pantai agak terjal. Jika tidak dikelola, abrasi pantai di
daerah ini dapat menyebabkan lahan pantai menjadi semakin mundur.
Sebaliknya upaya rehabilitasi hutan mangrove ternyata dapat mengubah pantai
abrasi menjadi pantai sedimentasi. Di Desa Penunggul Kecamatan Nguling

5
misalnya, lahan bertambah ke arah pantai cukup luas akibat penanaman hutan
mangrove.
Berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) dari tumpang
susun antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1981,
tahun 1994 dan tahun 2008 terdapat perubahan bentuk pantai yang cukup nyata
di sepanjang pantai Pasuruan selama kurun waktu tahun 1981 sampai tahun
2008.
Tumpang susun (overlay) antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota
Pasuruan tahun 1981 dan tahun 1994 menunjukkan terjadinya perubahan garis
pantai yang cukup nyata. Di Beberapa tempat terjadi penambahan pantai (garis
pantai maju) cukup besar antara lain di Desa Gerongan dan Desa Pulokerto
Kecamatan Kraton, Desa Blandongan (Kota Pasuruan), Desa Patuguran
(Kecamatan Rejoso), Desa Jatirejo (Kecamatan Lekok), Desa Watuprapat dan
Kedawang (Kecamatan Nguling). Sedangkan di beberapa tempat terjadi
pengurangan pantai (garis pantai mundur) cukup nyata antara lain terjadi di
Desa Semare dan Desa Kalirejo (Kecamatan Kraton), Kelurahan Tambaan
(Kecamatan Gadingrejo Kota Pasuruan, Kelurahan Panggungrejo dan
Mandaranrejo (Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan), Desa Wates
(Kecamatan Lekok). Penambahan pantai (garis pantai maju) menunjukkan
terjadinya sedimentasi sedangkan pengurangan pantai (garis pantai mundur)
menunjukkan terjadinya abrasi. Kemungkinan hal ini berkaitan erat dengan
pengurangan dan penambahan luas hutan mangrove pada suatu wilayah. (Lihat
Peta Bentuk Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan Tahun
1981 – Tahun 1994 ).
Tumpang susun (overlay) Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota
Pasuruan tahun 1994 dan tahun 2008 menunjukkan terjadi penambahan pantai
(garis pantai maju) di sepanjang pantai utara Kabupaten dan Kota Pasuruan
selama kurun waktu 14 tahun terakhir. Penambahan pantai yang nyata (cukup
besar) terjadi di daerah-daerah Desa Raci (Kecamatan Bangil), Desa Pulokerto
dan Desa Semare (Kecamatan Kraton), Desa Blandongan (Kota Pasuruan),
Desa Patuguran (Kecamatan Rejoso), dan Desa Penunggul (Kecamatan
Nguling). (Lihat Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan
tahun 1994 – tahun 2008).

6
Dari Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan th
1981 – th 1994 dan Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota
Pasuruan th 1994 – th 2008 dapat diidentifikasi bahwa penambahan pantai (garis
pantai maju) terutama terjadi di muara-muara sungai besar di sepanjang pantai.
Hal ini menunjukkan sedimentasi yang besar dari material-material yang dibawa
oleh arus sungai-sungai tersebut. Fenomena ini juga menunjukkan adanya
peningkatan erosi di daerah hulu yang mungkin disebabkan adanya pembalakan
hutan, pertambangan atau usaha pertanian yang kurang memperhatikan
konservasi lingkungan.

3. Iklim

Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove


luas dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi di dunia. Salah satu faktor
adalah iklim Indonesia yang mendukung untuk pertumbuhan vegetasi mangrove.
Sebagian besar pantai-pantai di Indonesia mempunyai iklim tropika basah dengan
ciri-ciri temperatur tinggi, curah hujan tahunan tinggi, kelembaban udara tinggi.
Suhu dan curah hujan merupakan faktor iklim yang paling dominan yang
berpengaruh terhadap berbagai kehidupan wilayah pantai.
Menurut Kartawinata, dkk. (1977) jumlah, lama dan distribusi curah
hujan merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan dan distribusi
vegetasi mangrove. Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan tipe curah
hujan A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai 73,7%
menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Sedangkan menurut Aksornkoae
et.al., (1984) vegetasi mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curah
hujan rata-rata 1.500 – 3.000 mm per tahun.
Berdasarkan data iklim Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan dapat
disimpulkan bahwa suhu rata-rata tahunan 24oC – 32oC , besarnya rata-rata
curah hujan di daerah penelitian adalah antara 1300 – 1800 mm per tahun,
dengan jumlah hari hujan antara 80 – 100 hari per tahun. Analisis iklim Schmidt
dan Ferguson berdasarkan tipe hujan menunjukkan bahwa daerah penelitian
termasuk tipe C.

7
4. Pasang Surut Air Laut
Dalam hubungannya dengan pasang surut, komunitas pada ekosistem
hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh lama penggenangan air laut.
Berdasarkan pola penggenangan hutan mangrove di Cilacap, de Haan (1931)
dalam SEAMEO BIOTROP (1989) mengklasifikasikan ada 4 tipe penggenangan
di ekosistem hutan mangrove, yaitu :
Klas 1 : tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau setidaknya tergenang 20
hari dalam satu bulan
Klas 2 : tergenang 10 – 19 kali dalam sebulan,
Klas 3 : tergenang 9 kali atau kurang dalam sebulan,
Klas 4 : tergenang hanya beberapa hari dalam sebulan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pasang surut di Pantai
Pasuruan antara 1 – 2 m dan kebanyakan hutan mangrove di daerah ini
termasuk dalam klas 1, yaitu tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau
setidaknya tergenang 20 hari dalam satu bulan

5. Salinitas air laut


Dari banyak faktor lingkungan, salinitas mempunyai pengaruh besar pada
perkembangan hutan mangrove (SEAMEO BIOTROP ,1989). Pada umumnya
salinitas air di sepanjang pantai di Indonesia berkisar antara 31 ‰ sampai 33 ‰.
Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan organisme yang berada dan
berkembang biak di daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup di perairan
payau (salinitas 0,5 – 30 ‰) biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran
salinitas yang lebih besar (Supriharyono, 2003)
Hasil pengukuran salinitas air laut di ketiga stasiun yaitu Semare, Kota
Pasuruan dan Nguling untuk ketiga kategori yaitu ”tipis”, ”sedang” dan ”tebal”
tidak menunjukkan variasi yang berarti, yaitu sekitar 37 ‰ atau 37,5 ‰. Hal ini
menunjukkan bahwa salinitas air di ekosistem mangrove hampir sama untuk
ketiga stasiun yang disebabkan daerah penelitian merupakan suatu hamparan
pantai yang kondisi geografisnya hampir sama, pola pasang surutnya juga
hampir sama, sehingga kualitas air laut hampir sama untuk masing-masing
daerah.

8
6. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan makrozoobentos dan


organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1983). Pada suhu tinggi kelarutan
oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies
biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap
konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Biasanya spesies yang
mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen terlarut biasanya
penyebaranya lebih luas dibanding yang kisaran toleransinya sempit.
Pengukuran Oksigen terlarut di perairan hutan mangrove daerah
penelitian digunakan Oxymeter; contoh air diambil di lapangan, pengukuran DO
dilakukan di base camp. Hasil pengukuran DO rata-rata untuk masing-masing
lokasi hutan mangrove adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil pengukuran Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove
Oksigen terlarut (mg/l)
No Kategori’
Semare Kota Nguling
1 Tipis 5,46 5,15 4,4
2 Sedang 5,26 5,19 4,65
3 Tebal 4,85 5,16 4,77

Histogram dari Oksigen terlarut untuk masing-masing stasiun pengukuran di


hutan mangrove daerah penelitian adalah sebagai berikut :

4
DO (mg/l)

Tipis
3 Sedang
Tebal
2

0
Semare Kota Nguling
Lokasi Hutan mangrove

Gambar 1. Histogram Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove


Semare, Kota Pasuruan dan Nguling

Dari gambar tersebut terlihat bahwa meskipun nilai kadar oksigen


terlarut hampir sama untuk ketiga stasiun, namun Oksigen terlarut di hutan
mangrove Kota Pasuruan dengan struktur paling bagus dilihat dari kerapatan,

9
diversitas juga nilai INPnya menunjukkan konsisten tinggi, sedangkan DO di
stasiun Nguling menunjukkan nilai yang paling rendah. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa pada hutan mangrove dengan kerapatan sedang, diversitas
besar dan nilai INP seimbang mempunyai kandungan DO tertinggi dibandingkan
dengan yang lain.

7. Kandungan Bahan Organik (BO) air laut


Kehadiran suatu organisme di suatu perairan didukung oleh kandungan
bahan organik perairan tersebut, namun belum tentu kandungan bahan organik
yang tinggi menjamin kelimpahan organisme, karena faktor lingkungan satu
dengan yang lain saling berkaitan. Hasil pengukuran kandungan bahan organik
perairan di ekosistem hutan mangrove daerah penelitian adalah sebagai berikut :
K an d u n g an B O air (m g /l)

70

60

50

40

30

20

10

0
Semare Kota Nguling
Tipis
Lokasi Hutan mangrove Sedang
Tebal

Gambar 2: Perbandingan kandungan BO air pada masing-masing ketebalan


hutan mangrove

Tabel 3 : Kandungan Bahan Organik (BO) air Hutan Mangrove

Kandungan BO air (mg/l)


Hutan mangrove Semare Kota Nguling
Tipis 25,9 25,5 34,9
Sedang 31,8 27,8 37,9
Tebal 32,6 29,3 42,6

Data tersebut menunjukkan bahwa untuk masing-masing stasiun


sampel, semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan organik
air lautnya. Disamping itu psds eksistem hutsn msngrovr Nguling menunjukkan

10
rata-rata kandungan bahan organik lebih tinggi dibanding Semare dan kota
Pasuruan .

8. Kondisi Tanah

1. Kedalaman Sedimen

Kedalaman sedimen dilakukan pada waktu air surut menggunakan tiang


pancang. Untuk akurasi data pengukuran masing-masing plot sampel diulang
tiga kali. Hasil pengukuran kedalaman sedimen adalah :
a. Hutan mangrove Semare
Substrat berlumpur dalam, meskipun kondisi air surut kandungan air
dalam substrat masih tinggi
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, merupakan lahan rawa
dengan kedalaman lumpur sekitar 80 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur rata-rata 40 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur rata-rata 30 cm
- Pada hutan mangrove tebal kedalaman sedimen rata-rata 20 cm
b. Hutan mangrove Kota Pasuruan
Substrat berlumpur dangkal, bahkan di bagian-bagian tertentu yang
kerapatan vegetasinya tinggi substratnya tidak berlumpur.
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, kedalaman lumpur sekitar
20 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur sekitar 15 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur sekitar 10 cm
- Pada hutan mangrove tebal kedalaman lumpur sekitar 5 cm
c. Hutan mangrove Nguling
Substrat tanah di hutan mangrove Nguling dibagi menjadi dua, yang di
Desa Penunggul substrat tidak berlumpur, sedang di Desa Kedawang
substratnya berlumpur.
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya di Desa Penunggul
kedalaman sedimen sekitar 15 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman sedimen sekitar 10 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman sedimen sekitar 5 cm

11
- Pada hutan mangrove tebal di Desa Kedawang kedalaman sedimen
sekitar 50 cm.
Pengukuran kedalaman sedimen semacam ini tidak mencerminkan ketebalan
sedimen yang sesungguhnya, karena pengukuran ketebalan sedimen harus
dengan pembuatan profil tanah. Oleh sebab itu parameter kedalaman sedimen
tidak dikut sertakan dalam perhitungan statistik.

2. Tekstur Tanah
Tanah mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen sehingga
karakteristiknya berbeda-beda tergantung darimana sedimen tersebut berasal.
Disamping berpengaruh terhadap komunitas vegetasi mangrove , tekstur
substrat juga mempengaruhi komunitas fauna yang tinggal di ekosistem tersebut.
Bentos yang hidup pada substrat berlumpur tergolong pada ”suspended
feeder”. , yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia dan
Crustacea, juga bakteri. Pada substrat berpasir biasanya miskin organisme dan
bentos pada substrat berpasir umumnya mengubur diri dalam substrat.
Hasil pengukuran tekstur tanah di bawah tegakan hutan mangrove
daerah penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 4.: Hasil pengukuran tekstur tanah di ekosistem hutan mangrove
No Lokasi % Pasir % Debu % Liat Kelas
Tekstur
1 Semare
Tipis 30,6 49,8 19,6 Silty Clay
Sedang 34,1 39,7 26,2 Clay Loam
Tebal 34,7 40,2 25,2 Clay
2 Kota Pasuruan
Tipis 32,2 48,5 19,4 Silty Clay
Sedang 34,1 39,7 26,2 Clay Loam
Tebal 35,0 36,7 30,3 Clay Loam
3 Nguling
Tipis 45,5 40,1 14,4 Silty Clay
Sedang 36,0 47,8 16,2 Silty Clay
Tebal 33,0 37,7 29,3 Clay Loam
Sumber : data primer

12
3. Bahan organik (C) tanah
Kandungan bahan organik tanah terutama berasal dari dekomposisi serasah baik
dari daun, ranting, bunga , buah, maupun akar vegetasi mangrove. Hasil
pengukuran C organik tanah di daerah penelitian dapat di lihat pada tabel 6.11:
Tabel 5: Kandungan C organik tanah di ekosistem hutan mangrove Pasuruan
Ketebalan C organik tanah (%)
mangrove Semare Kota Nguling
Tipis 12,57 14,89 13,90
Sedang 16,31 13,98 14,225
Tebal 19,73 15,42 16,07
Sumber : Analisis data primer
C o r g a n i k ta n a h ( % )

25

20

15

10

0 Tipis
Semare Kota Nguling
sedang
Lokasi Tebal

Gambar 3. Perbandingan C organik tanah pada ketebalan Hutan mangrove

Di lapangan, bahan organik tanah ditemui pada tingkatan dekomposisi


yang bervariasi, ada yang masih berupa luruhan daun, ada yang setengah
terdekomposisi dan ada yang sudah bercampur dengan substrat membentuk
tanah. Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk masing-masing lokasi hutan
mangrove , semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan
organiknya. Kadar C organik tanah di Semare relatif lebih tinggi dibanding
dengan yang lain, hal ini kemungkinan karena lokasinya lebih dekat ke muara,
ada penambahan bahan organik yang terangkut oleh sungai.

4. Salinitas substrat
Salinitas substrat tanah dikukur berdasarkan EC tanah dengan satuan
milimos. Hasil pengukuran EC tanah pada masing-masing lokasi hutan mangrove
dan pada variasi ketebalan dapat dilihat pada tabel berikut :

13
Tabe 6l : Perbandingan EC tanah di hutan mangrove Pantai Pasuruan

Ketebalan EC tanah (mmos)


mangrove Semare Kota Nguling
Tipis 3,05 5,26 3,9
Sedang 3,61 4,61 4,62
Tebal 2,99 3,83 5,12
Sumber : analisis data primer

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa untuk parameter EC tanah


variasi nilainya tidak begitu besar dan tidak menunjukkan pola tertentu baik pada
perbedaan lokasi mangrove maupun pada perbedaan ketebalan hutan mangrove

6,00
E C ta n a h (m m o s )

5,00

4,00

3,00

2,00

1,00

0,00
Semare Kota Nguling Tipis
Sedang
Lokasi Tebal

Gambar 4. Perbandingan EC tanah pada variasi ketebalan hutan mangrove

PEMBAHASAN
Perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan hutan mangrove
Untuk penelaahan perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan
hutan mangrove daerah penelitian dipakai uji statistik. Parameter faktor-faktor
lingkungan yang dipakai dalam uji statistik adalah Oksigen terlarut (DO) air,
Kandungan bahan organik (BO) air, salinitas (EC) substrat, kandungan C
Organik tanah, Tekstur tanah. Faktor-faktor lingkungan ini yang diduga
berperanan dalam penentuan karakteristik ekosistem hutan mangrove baik
terhadap struktur komunitas hutan mangrove maupun terhadap komunitas fauna
yang tinggal di ekosistem hutan mangrove tersebut.

14
1. Uji Normalitas

Uji normalitas data untuk faktor-faktor lingkungan menggunakan metode


Kolmogorov Sminov. Hasil uji normalitas data di atas semua nilai signifikansi dari
enam variabel faktor lingkungan ternyata lebih besar daripada 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa data-data menyebar secara normal, oleh karenanya
dapat dilakukan analisis statistik parametrik berikutnya.

2. Uji Beda
2.1. Uji MANOVA
Uji beda secara simultan (bersama-sama) untuk mencari perbedaan
faktor-faktor lingkungan terhadap parameter ketebalan hutan mangrove
menggunakan metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dengan
menggunakan kaidah : jika nilai signifikansi Wilks Lambda < 0,10 (atau 10 %)
terdapat perbedaan, sedangkan jika nilai signifikansi Wilks Lambda > 0,10 (atau
10 %) maka tidak terdapat perbedaan.
Hasil uji beda dengan metode MANOVA menghasilkan nilai signifikansi
Wilks Lambda Karena nilai signifikansi Wilks Lambda sebesar 0,000 < 0,05
maka dapat disimpulkan bahwa secara multivariate (bersama-sama keenam
variabel parameter lingkungan) maka pada setiap tingkat ketebalan hutan
mangrove memiliki faktor-faktor lingkungan yang berbeda-beda atau terdapat
perbedaan faktor lingkungan pada variasi ketebalan hutan mangrove

2.2. Uji ANOVA


Pada pengujian secara parsial, yaitu pengujian secara sendiri-sendiri
keenam variabel faktor lingkungan, maka metode yang digunakan adalah
Analysis of Variance (ANOVA). Kaidah pengambilan keputusan: jika signifikansi
F < 0,10 (atau 10%) maka terdapat perbedaan, sebaliknya jika nilai signifikansi F
> 0,10 (atau 10%) maka tidak terdapat perbedaan. Dari hasil pengujian dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Untuk variabel DO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,10 = 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki DO Air yang
berbeda, atau terdapat perbedaan nilai DO air pada variasi ketebalan hutan
mangrove

15
b. Untuk variabel BO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,000 < 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki BO Air yang
berbeda atau terdapat perbedaan nilai BO air pada variasi ketebalan hutan
mangrove.
c. Untuk variabel EC, nilai signifikansi F sebesar 0,526 > 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki EC yang sama
atau tidak ada perbedaan nilai EC tanah pada variasi ketebalan hutan
mangrove
d. Untuk variabel C Organik Tanah, nilai signifikansi F sebesar 0,745 > 0,10
maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki C
Organik Tanah yang sama atau tidak ada perbedaan nilai C organik tanah
pada variasi ketebalan hutan mangrove.
e. Untuk variabel % Pasir, nilai signifikansi F sebesar 0,280 > 0,10 maka
dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Pasir
yang sama atau tidak ada perbedaan nilai % pasir pada variasi ketebalan
hutan mangrove.
f. Untuk variabel % Liat , nilai signifikansi F sebesar 0,019 < 0,10 maka dapat
disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Liat yang
berbeda atau terdapat perbedaan nilai % liat pada variasi ketebalan hutan
mangrove.

KESIMPULAN
1. Hasil pengukuran parameter lingkungan menunjukkan perbedaan yang tipis
antara kualitas lingkungan hutan mangrove di beberapa lokasi dan beberapa
kategori. Namun demikian untuk suatu lokasi ada kecenderungan semakin ke
arah darat kandungan bahan organik tanah dan air mengalami peningkatan,
sedangkan semakin ke arah timur menunjukkan % liat (clay) yang semakin
keci (tanah semakin kasar)
2. Hasil kajian statistik menunjukkan bahwa secara bersama-sama terdapat
perbedaan nilai parameter lingkungan pada ketebalan, kerapatan, dan
diversitas hutan mangrove yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

16
Aksornkoae, S. 1993 . Ecology and Management of Mangroves . IUCN . Bangkok
Thailand.

Bengen, DG. 2000 . Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangove . PKSPL


– IPB Bogor.

Bunt, JS and WT. Williams . 1981 . Vegetation Relationships in The Mangrove


Forest of Tropical Australia. Marine Ecology – Progress Series . 4 :
349 – 359

Chapman, VJ. 1977 . Wet Coastal Ecosystem . Elsevier Scientific Publishing


Company. Amsterdam.

Dahuri, R, J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu . 2001 . Pengelolaan Sumberdaya


Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Pradnya Paramita .
Jakarta . 305 hal.

English, S , C. Wilkinson and V Baker . 1993 . Survey Manual for Tropical Marine
Resources . ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal
Resources. Bangkok.

Garcia, P.R. , J.L Blanco. , and D Ocaffa. 1997 . Mangrove Vegetation


Assessment in The Santiago River Mouth Mexico, by Means of
Supervised Classification Using landsat TM imagery . Elsevier : Forest
Ecology and Management (105) : 217 – 229

Hardjowigeno, S. 1988 . Mangrove Soil in Indonesia . BIOTROP Speciall


Publication , 37 : 257 -264

Kamaruzzaman, B.Y. , Mohd-Lokman H. , Sulong I., and Razanudin I . 2001.


Sedimentation Rates on the Mangrove Forests of Pulau Che Wan
Dagang, Kemaman Terengganu . The Malaysian Forester 64 (1) : 6
– 13

Mann, K.H . 1982. Ecology of Coastal Water, A. Syatem Approach . Black Well
Scientific Publication . Oxford . 322 p.

Mustafa, M . 1982 . Hasil Penelitian Sifat Fisik dan Kimia Tanah Di Bawah
Tegakan Mangrove . Lingkungan dan Pembangunan . 97 - 118

Oosting, HJ . 1956 . The Study of Plant Communities, An Introduction to Plant


Ecology . Second Edition , WH Freeman and Co . San Fransisco.

Pariwono, JI. 1985 . Tides and Tidal Phenomena in Asean Region . Australian
Cooperative Programmes in Marine Sciences . Prelim. Rep . FIAM,
South Australia.

Pirzan Marsanbuana, Suharyanto, Rohama Daud dan Burhanuddin . 2002 .


Pengaruh Keberadaan Mangrove terhadap Kesuburan Tanah di

17
Tambak Sekitarnya . Jurnal Penelitian Perikanan . Vol 8 No 4 Th
2002.

Saenger, P . 1999 . Sustainable Management of Mangroves . Proc. Of


International Symposium Integrated Coastal and Marine Resource
Management. . National Institute of Technology (ITN) Malang in
Association with BAKOSURTANAL and Proyek Pesisir.

Samingan , MT . 1980 . Notes on Vegetation of The Tidal Area of South


Sumatera Indonesia with Special Reference of Karang Agung.
International Social Tropical Ecology . Kuala Lumpur , 1107 – 1112

Sasekumar, A , VC Chong, MU Leh , and RD D’Cruz . 1992 . Mangroves as a


Habitat For Fish and Prawns . Hydrobiologia : 247 : 195 – 207

Soemarno . 2004 . Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan . Program Pasca


Sarjana Universitas Brawijaya , Malang

Soemodihardjo, S and I. Soerianegara . 1989 . The Status of Mangrove Forest


in Indonesia dalam Mangrove Management : Its Ecological and
Economic Consideration . BIOTROP Special Publication . No 37

Sugiharto,A and N. Polunin . 1982 . The Marine Environment of Indonesia. Dept.


Zoology University of Cambridge . 257 p.

Suprayogo D, Sri Sudaryanti . Edy Dwi Chahyono dan Sudarmanto . 1996 .


Pembangunan dan Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten
Bangkalan, Madura . Jurn. Univ. Brawijaya . 8 (2) : 77 – 92

Supriharyono . 2002 . Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di


Wilayah Pesisir Tropis . Gramedia Pustaka Utama . 246 hal.

Tam NFX and Wong YS . 1998 . Variation of Soil Nutrient and Organic Matter
Content In Subtropical Mangrove Ecosystem . Water, Air and Soil
Polution . (103) : 245 – 261.

18

Anda mungkin juga menyukai