Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Pekerja Seks Komersial (PSK) atau yang biasa dikenal dengan prostitusi
(Pelacuran) bukanlah masalah baru akan tetapi merupakan masalah lama yang
sendiri. Harus dilihat bahwa praktek prostitusi merupakan realitas sosial yang
tidak dapat dipungkiri lagi. praktek prostitusi tersebut itu sendir bertentangan
dengan moral, susila dan agama yang setiap saat dapat merusak keutuhan
keluarga.
prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS). Pelacuran
merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur
kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak
zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi
tersebut dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu mereka yang melakukan
profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi tertentu, atau mereka
kuantitasnya. Hal ini terjadi karena disamping factor akulturasi budaya ada juga
factor lain seperti ekonomi maupun karena kondisi tertentu seperti, pengaruh
dan mental yang dapat menghancurkan pula keutuhan keluarga, namun dalam
hukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya
praktek prostitusi. Hal ini diatur dalam pasal 296 KUHP yang bunyinya adalah
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
maupun pelaku praktek prostitusi itu sendiri karena ada sebagian prostitusi yang
prostitusi. Aparat penegak hukum juga harus bertindak secara tegas dalam
adalah :
( pelacuran ).
PEMBAHASAN MASALAH
saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak
orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar
pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak
hukum.
praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal
296, yang bunyinya adalah sebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengaja
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak
dengan pidana kurungan paling lama satu tahun” Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
baik sebagai “pencaharian ataupun kebiasaan” (pasal 296 KUHP) atau ‘menarik
mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya
sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupun
hukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada
pelacuran tersebut.
(pelacuran).
dengan kondisi di perdesaan. Semua itu merupakan magnit urbanisasi yang sangat
kuat.
Urbanisasi (secara demografi, dalam arti perpindahan penduduk dari desa
sebagai akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahan
pola pikir dan peri laku urbanisan) antara lain adanya beberapa dampak negatif
dalam aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dan hukum,
dengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan langkah awal
laki-laki.
praktek prostitusi.
III. Penanggulangan pelacuran ditinjau dari perspektif Hukum
hukum. Namun lebih dari itu prostitusi merupakan permasalahan yang sangat
pelacuran menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika,
politik. Oleh karena itu upaya penanggulangannya juga harus bersifat terpadu dan
berkelanjutan.
kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara
lain:
demoralisasi;
(g) Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan
kita tidak dapat berharap banyak dari polisi, jaksa dan hakim. Dukungan dari
oleh karena itu sebagaimana disebutkan di atas kita harus memulai dan bekerja
dan berkelanjutan serta harus didukung oleh masyarakat dan pemerintah sesuai
PENUTUP
A. SIMPULAN
terhadap :
a. Penerapan terhadap substansi hukum, bahwa dalam KUHP tidak ada satu
(pasal 506).
pelacuran tersebut.
B. SARAN
Hukum Pidana (KUHP) yang harus mengatur secara jelas dan tegas
praktek-praktek pelacuran
Hak Asasi Manusia (HAM),” dalam Citra Justicia, Vol. II Nomor 1 Juli
2001.
Indonesia.