Anda di halaman 1dari 6

Pengantar Redaksi: Tulisan ini adalah pemenang pertama Jakartabeat Music Writing Contest

I yang baru lalu. Selamat membaca!

Tujuh orang pemuda, menyanyi dan menari dengan hiperaktif dalam balutan celana ketat dan
kaus berkerah seperti kerah Sabrina (entah apa namanya pokoknya sangat lebar sampai Anda
pusing). Membuat Anda bertanya-tanya, siapakah mereka? Apa yang mereka lakukan? Mengapa
mereka berbuat demikian? Apakah semasa kecil mereka tidak divaksin lengkap?

Tenang Saudara-saudara. Mereka adalah SM*SH. Mereka sedang menginfeksi Anda dengan lagu
cinta yang liriknya membuat Anda syok. Dan, tidak, saya tidak tahu status imunisasi mereka, tapi
mungkin ini ada hubungannya dengan pemberian obat cacing yang tidak adekuat. Mungkin.

SM*SH (insyaAllah dibaca ‘smes’) adalah sebuah boyband lokal Indonesia, beranggotakan
Morgan, Dicky, Ilham, Rangga, Rafael, Bisma, dan Reza. Nama SM*SH mulai melambung di
penghujung tahun 2010 ini dengan hits andalan berjudul “I Heart You”. Berikut penggalan
liriknya,

“Kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu


Selalu peluh pun menetes setiap dekat kamu
…….
I know you so well
Girl I need you (girl I need you)
Girl I love you (girl I love you)
Girl I heart you”

Lagu tersebut dibawakan dengan gerakan luar biasa atraktif termasuk gestur membuat bentuk
‘love’ dengan kedua tangan diletakkan maju mundur di depan dada. Hentakan musiknya pun
sangat persuasif. Jika tidak percaya silakan saksikan videonya di situs www.youtube.com. Setelah
mendengar lagu tersebut dapat dipastikan Anda tidak akan bisa mendengar kata ‘cenat-cenut’
dengan biasa lagi.

***

Fenomena SM*SH inilah yang mewakili tema genre musik alay yang ingin saya bahas sekarang.
Tapi tunggu, sebenarnya, apa sih musik alay itu?  ‘Alay’ sendiri adalah suatu kata yang tak
terdefinisi dan mengandung unsur subyektivitas yang tinggi, namun mayoritas mengerti apa
maknanya. Nah loh. Membingungkan ya?  Baiklah, sejauh yang saya pahami, beberapa orang
mengatakan ‘alay’ berasal dari ‘anak layangan’ atau ‘anak lebay’, tapi keabsahan informasi itu
masih perlu diverifikasi.

Sementara yang dimaksud alay biasanya adalah remaja usia tanggung yangmasih mencari jati
diri dengan cara yang norak dan kampungan. Di sinilah unsur subyektivitas yang saya maksud
itu. Penafsiran norak dan kampungan sangat relatif terhadap latar budaya, usia, dan pendidikan
seseorang. Biasanya istilah ‘alay’ dipakai oleh golongan masyarakat dari status sosioekonomi
menengah ke atas.
Dengan berbagai definisi yang berbeda tentang alay, ada baiknya kita memakai patokan
konsensus sosial yang dibuat secara tidak resmi oleh masyarakat kebanyakan, seperti diulas pada
http://en.wikipedia.org/wiki/Alay. Bahwa ciri-ciri alay adalah remaja usia 11-19 tahun dan
berusaha tetap mengikuti mode dengan memakai kostum dan aksesori yang kelihatan murahan
(contoh: skinny jeans super ketat, gelang Power Balance bajakan, dan kacamata hitam dengan
model heboh).

Diagnosis pasti alay ditegakkan dari cara mereka menulis; alay punya cara menulis yang sangat
khas. Cara menulis khas itu kurang lebih 5eP3rt1 iN!ycHh~. Jika Anda menulis SMS/e-
mail/status Twitter seperti itu, dapat dipastikan bahwa Anda adalah, maaf, seorang alay. Alay
diidentikkan dengan budaya dari kelompok sosioekonomi menengah ke bawah, yang sangat
populer dan memiliki massa yang besar.

Kaum alay juga punya selera musik sendiri. Walaupun banyak dari mereka yang menyukai musik
Barat atau lagu-lagu yang dianggap tidak alay oleh kaum non-alay (ribet ya?), namun mayoritas
mereka adalah penggemar fanatik grup musik beraliran pop Melayu seperti ST12 dan Kangen
band, atau grup musik yang dianggap memalukan oleh kaum non-alay. Kategori kedua ini
biasanya jenis musik pop, easy-listening, dengan lirik lagu murahan dan penyanyi yang
dandanannya norak.

Oleh masyarakat elit, musik alay dipandang sebagai musiknya kaum alay, yakni aliran musik
murahan dan tidak keren. Entah bagaimana opini tersebut dibentuk, akan tetapi, memang jarang
ada masyarakat dari kelas elit yang mengaku mereka menyukai musik alay. Hal itu dapat terjadi
karena 2 hal: telinga mereka memang tidak cocok dengan musik alay atau mereka menyukai
musik alay tapi malu mengakuinya. Lazimnya jika seseorang dari kaum non-alay yang kedapatan
menikmati lagu alay, maka rekan-rekan sepergaulannya akan melihat hal itu sebagai bahan olok-
olok yang menyenangkan.

***

Musik alay adalah sesuatu yang abstrak. Saya pribadi kalau disuruh mendeskripsikan faktor apa
yang membuat suatu aliran musik menjadi alay juga pasti bingung. Jadi jika saya disuruh
membuat klasifikasi, saya akan membagi musik alay dalam beberapa kelompok kausalnya: 1)
Alay karena irama, 2) Alay karena lirik lagu, 3) Alay karena pemusik, 4) Alay karena penggemar,
5) Alay karena zaman, 6) Alay karena pendatang, 7) Alay natural/ alay bawaan orok/ alay lahir
batin dunia akhirat dan tidak tertolong lagi.

Mari kita bahas satu persatu. Kategori pertama, alay karena irama. Menurut saya musik pop
apapun yang mengandung unsur dangdut, melayu, remix dut-melayu, dan segala turunannya,
adalah alay. Walaupun secara fisik penyanyinya keren dan tidak bertampang alay. Jadi dalam hal
ini, Thomas Djorghi yang blasteran pun adalah pengusung musik alay. Saipul Jamil? Alay. Ridho
Rhoma? Alay.

Kategori kedua, alay karena lirik lagu. Ini kategori yang cukup relatif dan tricky. Karena hanya
orang yang cukup jeli, usil, dan nyinyir terhadap logika dan tata bahasa Indonesia saja yang
dapat mendeteksi kealayan suatu lagu atau jenis musik. Artinya, secara tampang, penyanyinya
tidak terkesan alay. Secara irama, juga tidak terkesan alay. Tapi pernah dengar lagunya Shireen
Sungkar dan Saskia Sungkar? Yang liriknya sebagai berikut:
“Kamu kamu kamu lagi
Cinta cinta lagi
Apa sih kamu
Aiya yiyaiyay
Kamu kamu kamu lagi
Rayu rayu rayu lagi
Aiya yiyayiay”

Tidak jelas, labil, dan norak. Jadi kesimpulannya, Sungkar bersaudara? Alay.

Kategori ketiga, alay karena pemusiknya. Kategori ini dibagi lagi menjadi 2 sub kategori (ya saya
memang menyebalkan). Yang pertama karena wajah pemusiknya yang mengandung aura alay.
Sekali lagi maaf kalau saya terdengar jahat. Tapi ini penting. Ambil contoh, Charly ST12
misalnya. Dandanannya khas abang-abang, rambutnya klimis dibelah terlalu simetris, dan sejak
lahir tampangnya tidak seperti Tjokorda Bagus suaminya Happy Salma. Tapi ini cukup relatif,
karena masih banyak memicu perdebatan. Ada yang bilang Charly tidak alay.

Tapi kalau  kita cekidot kalung dan antingnya yang sebesar anting –anting jin, saya pro Charly
ST12 alay. Tapi untuk menghindari pertumpahan darah antara mereka yang berbeda pendapat,
saya akan ambil satu contoh yang paling ekstrim….., Andhika Kangen Band. Inilah alay garis
keras. Maksudnya…, masa’ saya harus menjelaskan lagi sih?

Mari kita pindah ke kategori ketiga sub kategori kedua, alay karena gaya pemusiknya. Artinya?
Artinya ya secara irama dan lirik lagunya mereka tidak bisa disebut alay. Tapi karena gaya
mereka yang cenderung mengundang olok-olok, maka halal hukumnya mengatakan mereka alay.
Dalam kategori ini, SM*SH adalah juaranya.

Kategori keempat, alay karena penggemar. Nah ini dia kategori yang paling sulit dikontrol oleh
pemusiknya. Karena dari segi penampilan fisik, irama lagu, lirik lagu, dan gaya pemusiknya,
aliran musik ini tidak layak mendapat sertifikasi alay. Tapi saking musik mereka dapat diterima
kalangan luas, dari non-alay sampai yang alay, maka siapa yang bisa mengatur? Afgan, RAN, dan
Sherina Munaf contohnya. Musik mereka bukan musik alay. Fisik dan gaya mereka bukan alay.
Tapi penggemar fanatik mereka banyak yang berasal dari partai alay nusantara.

Kalau tidak percaya, tengok saja Twitter mereka dan cari mention tentang mereka. Maka Anda
akan sering mendapati kalimat yang kurang lebih tertulis sebagai berikut, “@sherinamunaf
KakA’ SheR LaGunY4 b@guZz banNnGgGgge3uddhh c,,. CheMunguddh tRuzz eaaa ^^V,,,
foLbEk aQ plzs,,~”.(baca: kaka Sher lagunya bagus banget, semangat terus ya. Folbek aku plis).
Sebenarnya kategori ini bisa disebut sebagai pseudo alay/ alay tanggung/ semi alay/ alay tidak
langsung. Untuk kategori ini, Ungu, PeterPan dan hampir semua band/ penyanyi Indonesia
populer jadi punya potensi untuk ambil bagian dalam memajukan musik alay. Dan, oh, bahkan
Justin Bieber pun bisa!

Kategori kelima, alay karena zaman. Yang ini sedikit keluar dari topik pembicaraan. Tapi cukup
menarik untuk dibahas untuk pengayaan materi diskusi kita saja (saya ngomong apa sih?). Saya
cuma ingin menunjukkan bahwa zaman berperan penting dalam menentukan selera pasar.
Dalam artian, hal-hal yang dianggap keren di zaman dulu belum tentu dianggap keren sekarang.
Atau yang dianggap keren hari ini akan sama kerennya di masa yang akan datang. Mau bukti?
Buka www.youtube.com lalu cari Trio Libels dalam video klip Aku Suka Kamu. Silakan pingsan.

Kategori keenam, tunggu, saya napas dulu. Alay karena pendatang. Labelisasi (ada tidak sih  kata
‘labelisasi’?) seperti ini tampaknya sering dialami oleh pendatang baru yang genre musiknya
belum terlihat jelas. Biasanya lagu mereka cukup catchy, kadang terkesan melayu (tapi tidak
mutlak), liriknya tidak membutuhkan intelegensia tinggi untuk dipahami, dan gaya penyanyinya
masih dalam batas normal. Tidak keren sekali, tapi juga tidak gawat darurat. Untuk kategori ini,
saya ingin memanggil…….., Zivilia.

Untuk kategori terakhir, yaitu alay natural/ alay bawaan orok/ alay lahir batin dunia akhirat.
Inilah jenis alay paling murni. Alay sealay-alaynya, tidak lekang oleh ruang, waktu, dan dimensi
apapun. Maksudnya adalah, jika Anda menggelar perhelatan Alay Music Awards, musik alay
jenis ini hampir dipastikan akan menyabet semua kategori dan Anda tidak bisa tidak
memberikan Lifetime Achievement Award yang berlaku sampai kiamat, dapat dibawa ke akhirat,
dan kemungkinan besar masih valid jika mereka berreinkarnasi dan menitis kembali di
kehidupan yang akan datang (oke, ini berlebihan). Untuk kategori ini, mari kita beri tepuk
tangan yang gemuruh untuk Exist. Oh ada yang bertanya, bukankah Exist itu berasal dari
Malaysia? Apakah mereka juga sah disebut band alay? Tentu saja. Karena 99% orang Malaysia
itu alay, kecuali Siti Nurhaliza dan teman saya Wan mohammed Izham beserta keluarga yang
telah menyediakan fasilitas akomodasi saat saya berkunjung ke Malaysia.

Sebenarnya klasifikasi musik alay ini cukup fleksibel. Tiap pemusik yang mewakili suatu kategori
tidak dilarang untuk memperoleh predikat dari kategori lainnya. Thomas Djorghi yang saya
bilang tadi termasuk alay karena irama lagunya, juga bisa masuk ke kategori alay karena lirik
lagu. Kalau Anda kurang setuju silakan buka Google dan cari lirik “Umpan Cinta”.

Lihat, saya sudah menghabiskan lebih dari 4 halaman untuk menulis tentang musik alay. tapi
Anda pasti berpikir, tulisan ini tidak ada esensinya. Betul. Karena kita baru akan mulai sekarang
(Ya Tuhan tolong..).

***

Bagi saya, musik alay adalah sebuah karya seni yang paling relatif di dunia ini. Karena seperti
yang saya bilang sebelumnya, ada begitu banyak faktor yang menentukan suatu aliran untuk bisa
didiagnosis musik alay. Lantas kalau suatu musik sudah berhasil mendapat predikat alay, apakah
itu suatu hal yang buruk? Mengingat selama ini konotasi alay jarang sekali berarti positif. Kalau
mau jujur, alay hampir selalu dijadikan kata untuk mengolok-olok atau mendiskreditkan
sesuatu. Tapi benarkah musik alay seburuk itu?

Saya yakin dan berharap keyakinan saya benar bahwa saya bukan alay. Karena saya tidak pernah
memakai gelang Power Balance, baik asli apalagi palsu (amit-amit), dan tulisan saya tidak
berbentuk k0d3-K*dE y4nQ 5ul!dHh d1BaC4. Tapi tapi tapi eh tapiiii, saya suka musik alay! Saya
suka hampir semua jenis musik, dari Sum41 sampai Utha Likumahuwa, dari Smashing
Pumpkins sampai trio Kwek-kwek, dari Ruth Sahanaya sampai Billy Gilman, saya suka.
Baru akhir-akhir ini saya terpapar oleh musik alay dan dulu saya senang menjadikan musik alay
sebagai bahan olok-olok di antara sesama teman sepergaulan. Saat ini pun saya masih selalu
membuat musik alay sebagai materi lucu-lucuan. Tapi jujur dari hati yang paling dalam, saya
menikmati musik alay. Saya mendapat kebahagiaan dari musik alay. Saya suka musik alay.
Memang tidak semuanya. Ada juga yang noraknya sudah tidak terobati.

Namun banyak dari aliran musik yang kita labeli musik alay itu yang merupakan musik yang
berkualitas. Hanya karena mereka memiliki satu atau lebih dari 7 faktor kausal itulah mereka
dicap sebagai musik alay, musik dengan konotasi kualitas rendah. Padahal musik-musik tersebut
berhak mendapat apresiasi yang lebih tinggi. Musik alay memang bukan jenis musik yang akan
Anda tulis di kolom “favorite music” di halaman Facebook Anda, tapi musik alay adalah jenis
musik yang akan memenuhi playlist lagu Anda saat berkaraoke dengan teman-teman terdekat
Anda. Musik alay  memang bukan jenis musik yang paling dihormati di negeri ini, tapi musik
alay adalah pernah menjadi musik paling dibicarakan dan gaungnya sampai ke kancah
internasional, ingat fenomena Keong Racun yang jadi trending topic di Twitter?

Saya suka Charly, menurut saya dia alay. Saya tidak bohong. Dia alay yang jenius. Lagu-lagunya
selalu sukses di pasaran. Dia sungguh alay yang berkharisma. Saya sangat respek terhadap
Charly. Saya suka lagu Aishiteru-nya Zivilia. Saya suka The Potters. Saya suka lagunya Kangen
band yang liriknya berbunyi, “Kamu di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa..”. Lihat saya
tidak bohong. Say suka lagu-lagu alay. Dan lagu-lagu yang disukai kaum alay.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik. Selera mereka tidak bisa ditebak. Kita punya Putri
Ayu, penyanyi remaja bersuara emas, jebolan suatu kontes bakat di salah satu stasiun televisi
swasta lokal. Tapi siapa yang akhir-akhir ini menjadi topik perbincangan paling hangat di
Twitter? SM*SH. Sebuah boyband yang mengangkat derajat ‘cenat-cenut’ menjadi sebuah kata
yang sakral. Karena SM*SH itu norak, nggak banget, salah zaman, dan alay. Tapi buktinya
mereka terkenal. Lagu mereka sukses menghibur berbagai kalangan di negara ini, dengan cara
yang berbeda-beda.

Ada orang yang memperoleh kebahagiaan karena mereka memang mencintai performa SM*SH
secara tulus dan holistik. Ada yang memperoleh kebahagiaan karena mereka merasa superior
setelah menjadikan SM*SH sebagai bahan guyonan untuk menarik perhatian lingkungan
pergaulannya, terlepas dari fakta apakah mereka juga diam-diam menikmati lagu cenat-cenut
tersebut atau tidak. Tidakkah Anda sadari, walaupun terkesan jahat, seringkali guyonan seperti
itulah yang membuat suatu komunitas menjadi lebih akrab.

Saya pribadi sangat berterimakasih kepada musik alay karena sebagian dari mereka menghibur
saya lewat lagunya, dan sebagian lainnya (hampir semuanya) membuat saya gembira dengan
memberikan saya sensasi superioritas dengan cara membiarkan saya dan teman-teman
menjadikan mereka bahan lawakan untuk kepentingan pergaulan yang dapat meningkatkan
keakraban di antara kami (ngomong apa lagi saya ini..).  Tentu banyak yang tidak setuju dengan
tulisan saya.

Tapi sungguh, musik alay adalah musik mulia. Musik yang tidak jaim. Musik yang apa adanya.
Musik yang tidak malu dijadikan cemoohan. Musik yang tidak takut dibilang norak. Musik yang
paling jujur. Musik yang menghibur setiap orang dengan cara yang berbeda. Musik alay adalah
musik yang ajaib.
Saya juga berharap musik alay ini akan selalu dilestarikan. Seperti ST12 dalam lagunya, yang
dinyanyikan dengan cengkok khas Charly yang sangat kental, “Jhangan pherrrrrnaahh khauww
chouwba unthhuk berubhaah”,  saya juga berharap musik alay tidak pernah berubah. Selalu
seperti ini apa adanya. Tidak pernah terdefinisi. Tidak pernah terdeskripsi. Sehingga setiap orang
punya kebebasan menafsirkan sendiri mana musik alay mana bukan musik alay, mana yang
menghibur mana yang bisa diledek, dan mana yang bisa menghibur sekaligus diledek.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengapresiasi eksistensi musik alay. Mulai dari nada
sambung pribadi, program musik di layar kaca, dan pentas seni.  Salah satu yang paling segar
MTV Alay misalnya, terlepas dari unsur mencemooh atau tidak, itu adalah salah satu program
yang sangat bagus untuk memelihara budaya musik alay ini.

Saya bukan pelaku musik, bukan pula pengamat musik. Saya tidak tahu banyak tentang musik.
Saya hanyalah penikmat musik yang jujur ingin mendedikasikan tulisan ini untuk segenap
pelaku musik alay. Saya berharap suatu saat musik alay bisa mendunia dan disejajarkan dengan
budaya pop Harajuku dari Jepang yang dianggap urakan bahkan oleh orang Jepang sendiri, atau
aliran musik Country yang dianggap ndeso oleh orang Amerika sendiri. Maju terus musik alay
Indonesia!

*image dari Fan Page MTV Alay di Facebook.

Anda mungkin juga menyukai