PENDAHULUAN
Krisis global ketidakadilan negara modern terletak pada praktek
kekuasaannya. Dilema antara kuasa dan ketidakadilan adalah fakta
universal yang dilakukan oleh para penguasa di seluruh dunia. 1
Ditambah lagi, secara khusus dalam konteks keagamaan, tirani mayoritas
atas nama Tuhan dan legitimasi berdasarkan konstitusi dan hukum,
kelihatannya sering didukung (atau sedikitnya dibiarkan) oleh pemerintah.
Di sinilah negara dengan segala macam pranata sosial-politiknya semakin
melanggar HAM. Untuk itulah demokrasi adalah suatu jalan yang niscaya,
walaupun tidak sempurna dan mutlak, tetapi dapat dianggap gagasan
ideal dalam konteks pluralitas dari masyarakat modern.
Dalam hal ini, sikap orang Kristen menjadi acuh tak acuh, karena
alasan tidak ada urusan dengan masyarakat dan pemerintah. Memang
tugas gereja berlainan dengan pemerintah, tetapi anggota gereja adalah
penduduk dunia yang ditempatkan Kristus di dalamnya. Selain kesaksian
rohani, mereka juga harus berjuang secara kenabian atas masalah
ketidakadilan. Kesadaran injili khususnya, bahwa “esensi negara adalah
keadilan… sementara itu, tidak ada masyarakat di bumi ini yang secara
penuh mengekpresikan keadilan.”2 Dalam kaitannya dengan itu, tokoh
injili, John Stott, menyarankan pentingnya “doktrin yang lebih genap
(complete)” yang seharusnya dihubungkan dengan keterlibatan orang
Kristen di dalam masyarakat.3 Oleh karena itu, artikel ini dikembangkan,
agar dapat melihat sejauh mana prinsip-prinsip demokrasi dapat
1
James W. Skillen, International Politics and Demand for Global Justice
(Burlington: G.R Welch Co., 1981), hl. 16 dst.
2
Robert E. Webber, The Secular Saint: A Case for Evangelical Social Responsibility
(Grand Rapids: Zondervan, 1979), hl. 140.
3
John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas
Masalah dan Sosial Kontemporer, terj. (Jakarta: YKBKB/OMF, tt [1984]). Menurutnya
terlalu banyak orang Kristen “meredam suara hatinurani”nya untuk menolak keterlibatan
di dalam masyarakat berdasarkan “’hikmat’ gadungan” (hl.2).
6 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
dimengerti dan dipakai oleh orang Kristen sebagai cara yang baik dalam
kaitannya dengan keberadaannya secara politis. Kemudian penulis
mencoba mengajukan usul prinsipil untuk demokratisasi dalam bidang
keagamaan, yang seringkali tidak terjamah oleh reformasi di Indonesia.
HISTORISITAS DEMOKRASI
Akar-akar Konsep “Demokrasi”
Demokrasi adalah satu prinsip beradab yang selama ini diperjuangkan
oleh manusia modern, walaupun konsep demokrasi yang sekarang
dikenal ini berasal dari masyarakat dan pemikiran Yunani pada abad ke 4
sM. Pada waktu itu pemikirannya masih sangat sederhana, di mana
sistem pengaturan (pemerintahan) masyarakat dalam kerangka negara
kota (polis), yang monolitik dan sederhana dalam bermasyarakat.
Kata “demokrasi” itu sendiri berasal dari kata benda Yunani demos
yang berarti penduduk atau masyarakat, dan kata kerja Yunani kratein
yang berarti memerintah atau mengatur. Dalam pengertian modern,
secara umum bermakna kekuasan ada di tangan rakyat di dalam tiga
dimensi (dari, oleh, untuk rakyat). Pada waktu itu, konsepnya adalah
‘partisipasi’ yang bersifat langsung dalam perkembangan suatu negara
dan kekomplekskan penduduk serta perluasan geografis, khususnya di
dalam kekaisaran Romawi yang memunculkan prinsip perwakilan atau
perwalian. Pada situasi inilah terjadi pergeseran dan perluasan wacana
‘dari negara polis menjadi negara bangsa (nation).’
Sebenarnya, konsep demokrasi itu sendiri diolah secara tidak
langsung dari para pengkritiknya.4 Persepsinya, di dalam situasi pengaturan
suatu negara harus mengingat dan memfokus pada kepentingan
penduduk atau kesejahteraan rakyat. Prinsip demokrasi dibicarakan
sebagai konsep ‘ikutan’ di antara dua sistem pemerintahan yang pada
waktu itu sudah lebih umum dan baku, yaitu otokrasi-monarkhi (kerajaan)
dan aristokrasi (para bangsawan). Perlu dicatat juga bahwa sebutan
“pengkritik” bukan berarti ‘penentang’ tapi lebih berarti ‘penantang’ ide/
konsep tentang demokrasi. Walau demikian, bukan berarti kedua konsep
kekuasaan yang lain tidak mendapat kritik atau tantangan dari para filsuf.
4
Lih. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, terj. (Jakarta:
Yayasan Obor, 1992), I: 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 7
Kita akan menyebut dua orang filsuf besar yang memikirkan tentang
keadaan masyarakat, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato yang ‘anti
demokrasi’ menggumuli pertanyaan, manakah yang paling tidak baik
antara monarkhi dan aristokrasi? Kedua prinsip tersebut memang
bertendensi terjatuh ke dalam ekses negatifnya sendiri-sendiri, di mana
monarkhi akan jatuh ke dalam tirani; dan aristokrasi dapat gagal karena
oligarkhi. Dalam keadaan demikian, ‘kelas’ rakyat akan menjadi korban
dan terabaikan. Sedangkan Aristoteles mengisyaratkan bahwa demokrasi
adalah yang paling ‘ideal’, namun belum tentu paling baik. Karena
baginya, yang paling baik adalah aristokrasi, asalkan dijalankan oleh
orang-orang yang berkompeten, dalam hal ini para filsuf. Keragu-raguan
akan demokrasi oleh karena kebanyakkan rakyat adalah miskin, bodoh,
dan tidak cakap untuk memikirkan hal-hal kependudukan dan negara
serta cenderung jatuh ke dalam anarkhisme.
Singkatnya, premis tentang demokrasi yang terpenting adalah
konsepsi ‘kebaikan bersama,’ di antara penduduk, walau pada waktu itu
belum terumuskan secara jelas (sistematis dan formal). Jadi, hal-hal
politik sejak semula adalah masalah etika dan hakekat moral lebih dari
kekuasaan semata, seperti zaman sekarang. Sebagai ciptaan yang berbeda,
manusia bukan sekedar hidup, tetapi hidup dengan baik sesuai hakekat
dan kebutuhan sebagai manusia; artinya “di luar komunitas politisnya
manusia menjadi makhluk hidup yang tidak sempurna”5 Inilah gagasan
kuno dari Aritoteles.
5
J. Budziszewaki, Written on the Heart: The Case for Natural Law (Downers
Grove: InterVarsity Press, 1997), hl. 16, 17.
6
Ibid., hl. 112-14.
8 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
7
Lih G.E. Gullivan, ed., A Nation Under God? (Texas: Word Book, 1976), hl.
27, para penulis esai dalam buku ini mempertanyakan kembali religiusitas Amerika saat
ini.
8
John G. West, Jr.,“Religion and Constitution” dalam In God We Trust?:
Religion & American Politcal Life Corwin E. Smidth, ed. (Grand Rapids: Baker Book,
2001), hl. 39.
JURNAL TEOLOGI STULOS 9
9
Hal ini diungkapkan Abraham Kuyper dalam Lecturer on Calvinism, terj.
(Surabaya: Momentum, 2004), hl. 97-101, menurutnya revolusi Perancis berlainan dengan
revolusi Amerika, Inggris dan Belanda yang mempertimbangkan faktor kedaulatan Allah,
yang dipengaruhi Calvinisme.
10
Ekses inilah yang pernah diantisipasi oleh Bung Karno dalam proses
pembidanan negara Indonesia, di mana praktek kebebasan individual yang kebablasan dan
membuat anarkhisme serta kekacauan di dalam masyarakat. Hal tersebut tentu tidak
sesuai dengan nuansa keindonesiaan yang pluralistik. Bahkan di negeri barat,
individualisme berkaitan dengan penolakan segala macam otoritas termasuk agama atau
Allah, sehingga menjadi ateisme dan sekularisme.
10 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
11
‘Pendapat umum’ pada mulanya dikemukakan oleh Machiavelli, sebagai
sesuatu kebaikan yang niscaya di dalam pikiran dan hati manusia, lalu dikembangkan oleh
Rousseau dengan membagi dua cara secara internal (tersembunyi) dan secara eksternal
(terungkap). Dari cara yang kedua inilah lahir kategori ‘suara terbanyak’ melalui pemilu
(voting) di dalam demokrasi modern ini.
12
Bdk. Bernard Hennessy, Pendapat Umum, terj. (Jakarta: Erlangga, 1989), hl. 6.
13
Lih. juga Samuel P. Huntington, Demokratisasi Gelombang Ketiga, terj.
(Jakarta: Grafiti, 1997).
14
John Stott, Isu-isu Global, hl. 46.
JURNAL TEOLOGI STULOS 11
15
Hal ini dikatakan bukan karena takut kekuatan politik Kristen terpecah-pecah,
tetapi politik apapun harus diperjuangkan secara general dan tidak memperalat factor
agama. Masyarakat harus diperjuangkan berdasarkan kemanusiaannnya. Faktanya
‘politisasi agama’ dan ‘agamisasi politik’ sangat merusak sendi-sendi kemasyarakatan dan
negara Indonesia. Kekristenan bernilai Kerajaan Allah yang rohani dan tidak dapat
dijalankan secara politis atau memperalatkan politik apalagi dikendarai oleh partai politik.
16
Yang diterjemahkan dan disebarkan oleh Office of International Information
Programs U.S. Department of State, tt. [brosur disebarkan oleh Kedubes Amerika].
12 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
17
Dalam hal ini wacana dan perjuangan pluralisme agama yang dapat diterima
sebatas kategori “structural pluralism” yang dipertentangkan terhadap ‘confessional
pluralism” Lih juga dalam Spykman dkk, Society, State, & Schools (Grand Rapids:
Wm.Eerdmanns Pub., 1982), hl. 39.
18
Lih. Michael Elliott, Freedom, Justice, & Christian Counter Culture (London,
Philadelphia: SCM Press, Trinity Press Int’l, 1990), pasal 7.
19
Gary Haugen, Good News About Injustice: A Witness of Courage in A Hurting
World (Downers Grove: InterVarsity Press, 1999), hl. 69,70.
JURNAL TEOLOGI STULOS 13
20
Lih. Andre Dumas, Political Theology and The Life of The Church, trans.,
(Philadelphia: Westminster Press, 1978), pasal 2.
21
Lih. Carl Henry, The Christian Mindset in Secular Society: Promoting
Evangelical Renewal & National Righteousness, ed. Rod Morrys (Portland: Multnomah,
1984), hl. 63-80.
14 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
26
Dalam presbiterianisme yang agak lama boleh dilakukan dengan ‘undian.’ Jadi
apa yang teridentifikasi sebagai proses/prinsip demokrasi dalam gereja seharusnya tidak
bersifat ‘politik kekuasaan,’ tetapi kuasa melayani dan menghamba. Artinya kuasa
menghamba, bukan kuasa memerintah seperti pada pemerintahan politis, bukan untuk cari
menang harus dengan persaingan, apalagi harus dengan sifat ‘kekerasan,’ karena pada
dasarnya setiap calon yang akan dipilih menjadi pemimpin gereja adalah sama baik dan
sama layaknya, tetapi karena hanya ada satu tempat, maka hanya satu yang terpilih.
27
John de Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi, terj. (Jakarta: Gunung Mulia,
2003), hl. 11, 2.
28
Rendall Frame and L. Traphe, How the Rights is the Right? A Biblical and
Balanced Approach to Politic (Grand Rapids: Zondervan, 1996), hl. 24, 27.
29
Namun ada agama, Islam misalnya, tidak dapat dipisahkan dari politik dalam
eksistensinya, itu berarti perkembangan agama didukung dan dijalankan secara politik dan
politik diwarnai dan diarahkan oleh hukum agama. Namun ternyata bukan inti agamanya
yang menonjol, tetapi hal-hal lahiriah dalam fenomena ‘arabisasi’ di dalam golongan
16 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
perebutan kekuasaan, tetapi berisi nilai-nilai moral dan rohani. Hal ini
bukan berarti ingin menghalangi beberapa politikus Kristen yang baik
dan berjuang atas nama kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan
seluruh lapisan masyarakat yang menderita. Seharusnya agama tidak
boleh ‘ikut bermain’ politik praktis, sebaliknya kekuasaan politik tidak
boleh memperalat ajaran dan mengatur cara berkeagamaan dan
kepercayaan mayarakat. Ini mungkin ide dari apa yang dinamakan civil
religion atau “agama sipil” yang benar, yaitu suatu ‘keagamaan yang
universal-transenden’ ditengah bangsa yang pluralistik dan mencakup
seluruh umat beragama yang ada yang rawan akan konflik antara agama,
termasuk antara agama dan politik.
Ternyata sangat cocok dengan nilai-nilai Pancasila di Indonesia,
sehingga beberapa orang mengkaitkan ‘peran’nya identik dengan peran
‘agama sipil’ yang konsepnya dapat mengambil banyak bentuk di seluruh
dunia sesuai kultur kebangsaanya. Dengan demikian, tidak perlu
diragukan lagi Pancasila adalah salah satu agama sipil, sekaligus
menjawab kemungkinan pancasila menjadi “agama sipil” di Indonesia,30
sehingga konflik dis-integrasi bangsa dapat diatasi secara adil. Walaupun
pelaksanaan agak berbeda dari agama sipil yang dikembangkan di
Amerika, di mana lebih bermakna democratic faith yang sinkritistik,
namun ada yang memaknai secara sempit sebagai protestant civic piety.31
Saya menilainya, poin pertama bernilai positif dan dapat dicapai jika
masyarakatnya sudah memahami apa arti dan implikasi masyarakat sipil
yang sejati,32 dalam konteks kemajemukan di segala bidang; sedangkan
yang kedua saya yakin bersifat negatif di dalam masyarakat yang plural,
karena mengindikasikan dominasi mayoritas agama tertentu (Protestan).
Karena itulah, dalam perkembangan terakhir konsep dan praktek ‘agama
sipil’ ini mendapat banyak tantangan dan kritik serta dituding sebagai
masyarakat Indonesia. Ini penting disadari dalam realitas peradaban modern yang
pluralistik dan global, untuk itu harus memilih satu di antara dua pilihan esensial, Apakah
sistem negara sekular atau sistem negara agama?!
30
Pertanyaan ini pernah diajukan oleh NK Admaja Hadinoto, Dialog dan
Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1990),
hl.46 dst
31
Lih. dan bdk Webber, The Secular Saint., hl. 127-129
32
Lih juga Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan
Kemakmuran, terj. (Jakarta: Qalam: 2002), hl. 5 Menurut Fukuyama untuk membangun
masa depan dunia yang lebih baik perlu penciptaan masyarakat sipil yang terdiri
pemberdayaan semua sektor organisasi dan lapisan masyarakat termasuk dimensi
keagamaan (dalam konteks tulisannya diwakili gereja).
JURNAL TEOLOGI STULOS 17
“jalan” ke arah sinkritisme agama dan kemudian muncul satu konsep lagi
untuk mengatasinya, yaitu public religion atau “agama publik.”33
Prinsip public religion mungkin lebih unggul sedikit, khususnya
untuk mengatasi banyaknya RUU atau ‘perda’ masa kini yang syarat
dengan unsur-unsur agama dominan dan biasanya dikemas atas nama
agama yang mayoritas. Namun pada hakekatnya, perjuangan dan alasan
dalam menyodorkan hal-hal tersebut seharusnya berdasarkan perjuangan
kemasyarakatan yang universal, bukan golongan agama tertentu. Pada
dasarnya kedua hal ini sama saja, yaitu keluar dari pluralisme masyarakat
yang majemuk, dimana yang satu dengan pendekatan internal agama, dan
yang lain dengan pendekatan eksternal agama. Untuk itulah lebih penting
bagi kita untuk memulai ‘revitalisasi’ Pancasila daripada harus
mempersaingkan kedua prinsip pluralisme Barat, yang pada dasarnya
sama saja, hanya pendekatannya yang berbeda.34
Singkatnya, secara moderat, kita tidak menyangkal Alkitab
berbicara tentang isu-isu sosial-politis, tetapi kita tidak setuju bahwa
Alkitab dipakai di dalam arena politis; maksudnya untuk diperalat dalam
politik praktis dan berafiliasi dengan suatu ideologi politik tertentu.
Karena mentalitas ‘cari menang’ dalam dunia politik (melalui
partai-partainya), maka suatu koalisi Kristen tidak dapat diterima, karena
tidak berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara keseluruhan yang utuh,
tetapi hanyalah tafsiran khusus diri sendiri tentang prinsip-prinsip politik
Kristen.35 Tugas gereja dan pemerintah adalah berjalan sendiri-sendiri
walau berkoordinasi dalam kesejahteraan masyarakat. Secara umum
tugas gereja adalah melayani dan bukan memerintah yang diidekan
dengan kekerasan atau pemaksaan.
33
Untuk diskusi lebih lanjut, lih. Ronald F. Tiemann, Religion in Public Life:
Dilemma for Democracy (Washington D.C.: George Wahington University, 1996), pasal 4
dan 6.
34
Sebenarnya gagasan dan tujuan kedua prinsip keagamaan Barat modern ini
adalah sama saja di dalam mengembangkan gagasan hubungan agama dan negara dalam
konteks demokrasi. Namun ide ‘agama sipil’ adalah bebas menyembah apa saja (ide
‘Pencipta’) asalkan tidak melawan (peraturan) pemerintah; sedangkan ‘agama publik’
adalah urusan masyarakat beragama itu sendiri dan tidak bersangkut-paut dengan negara
secara prinsip ajaran. Istilah pertama, negara masih ikut mengatur dalam lingkup yang
cukup besar, khususnya dalam kaitan dengan pengaruhnya ke dalam hukum-hukum sipil
atau acara-acara politik bahkan disalahgunakan dalam praktek-praktek pengaturan di
masyarakat, sedangkan yang ide “agama publik” tidak diperbolehkan dikaitkan dengan
hukum-hukum sipil dan acara-acara sipil dan politik.
35
Lih. dan bdk juga Frame & Thrape, How The Rights is the Right?, hl. 32.
18 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
36
Thomas Sowell, A Conflict of Visions: Ideological Origins of Political
Struggles, (np: Basics, 2002), hl. xi-8.
JURNAL TEOLOGI STULOS 19
37
Lih. Mark Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Nasionalisme
Religius terj. (Jakarta: Mizan, 1998).
38
Jadi tidak boleh ada konsep ‘negara Kristen’ dalam pengertian ideologi politik
dan kekuasaan masyarakat agama dalam bentuk apapun. ‘Negara agama’ yang dianggap
paling demokratispun pasti syarat dengan muatan ajaran agama tertentu yang dipaksakan
dan mengandung diskriminasi juga atas yang beragama lain. Di dalam maysarakat modern
yang global dan plural, mayoritas umat beragam tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk
mendirikan negara agama, apalagi kemerdekaan dan pembangunan negara dijalankan
secara bersama-sama sebagai suatu bangsa. Secara alkitabiah tidak ada keharusan ‘usaha’
untuk menjadikan penduduk Indonesia menjadi Kristen seluruhnya (100%). Yang terakhir
itu sangat bersifat politis, imperialistik dan superioritas, tidak sama dengan usaha rohani
(KA).
20 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
Jadi Pancasila adalah sekular meski ada frase “Ketuhanan YME” atau
konstitusinya “Negara berdasarkan Ketuhanan YME” (dalam mukadimah
dan pasal 29 UUD 45); sama seperti negara Amerika Serikat yang sekular
walau ada “in God we trust”di dalam konstitusinya. Negara Baratpun,
konstitusinya diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan yang cukup pekat,
bahkan mencakup prinsip tugas dan peran kepala negara,39 tetapi tidak
otomatis dapat dituduh menjadi ‘negara agama’
Pancasila adalah filsafat hidup semua orang beragama yang
berlainan di Indonesia. Secara logis, Pancasila memang tidak (mungkin)
dapat diagamakan sehingga harus keluar pernyataan “Indonesia bukan
negara agama”. Tentunya negara harus dibedakan dengan warganya;
kalau penduduknya beragama dan mencetuskan konstitusi yang
bernuansa keagamaan dan ketuhanan yang universal, global, transenden,
berdasarkan kemanusiaan, keadilan dan kebangsaan, hal itu bukan berarti
negaranya menjadi ‘bukan sekular.” Secara logis, Indonesia adalah
negara sekular, karena secara faktual Pancasila bukanlah agama, tetapi
suatu pandangan hidup bangsa yang mencakup seluruh agama-agama
yang ada; namun secara sederhana dapat dikatakan sebagai “agama sipil.”
Hal ini terlepas dari segala implikasi teologis (Kristen) dan ekses sinkritis
keagamaan yang muncul, karena Pancasila dan agama sipil adalah politik
dan wacana perpolitikan bangsa yang plural.40
Jadi Pancasila adalah sekular, sehingga negara Indonesia adalah
negara sekular dan seharusnya tidak perlu takut dijuluki negara sekular
seperti India, misalnya. Kesadaran tentang prinsip selama ini ‘bukan
negara agama dan bukan negara sekular’ adalah kesalahan logika
contradictio in terminatum, yang pada akhirnya berekses negatif pada
kecenderungan mayoritas mengambil kesempatan ‘seolah-olah’ Indonesia
adalah negara agama dengan alasan “Indonesia bukan negara sekular”
Ketakutan selama ini adalah karena tafsiran teologis tentang sekularisme
sudah menggeneralisasi sepintas lalu antara “sekular” dengan “sekularisme.”
39
Lih. Jeff Walz, “Religion and American Presidency” dalam In God We
Trust, hl. 191.
40
Menyadari kerumitan ini saya menantang diri untuk menyiapkan satu artikel
khusus mengenai hal ini agar dapat membantu orang Kristen dalam menjernihkan
masalah, meskipun posisi saya sudah jelas dalam buku saya, Kerangka Teologi Religionum
Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dan Agama-agama Lain
(Bandung: STT Bandung, 2003), hl. 168-173.
JURNAL TEOLOGI STULOS 21
42
Lih. dalam Richard J. Mouw, Political and Biblical Drama (Grand Rapids:
Baker, 1983), hl. 13-37.
JURNAL TEOLOGI STULOS 23
43
Lih. dan bdk. brosur yang dikeluarkan oleh kantor informasi Deplu AS yang
diberi judul “Demokrasi” dan disebarkan oleh Kedubes AS.
44
Dari rangkuman kegiatan lokakarya “Demokrasi, Otonomi daerah, Transparansi
[DOT], di Tarutung, Tapanuli Utara, Januari- Agustus 2002 dan diprakarsai oleh UNDP,
Pemkab-Taput, Yakoma-PGI, URM-I, CPE-Medan, PMK-HKBP Jakarta.
24 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
secara positif adalah bentuk perjuangan kemasyarakatan yang majemuk dan saling
toleransi di dalam persamaan hak dan saling menghargai. Bagi kaum injili wacana dan
perjuangan pluralisme agama yang dapat diterima sebatas kategori “pluralisme struktural”
yang dipertentangkan terhadap “pluralisme konfesional”.
28 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
48
Perlu dimengerti tentang sekularisme yang selama ini dipahami oleh pihak
agamawan sebagai paham ateisme dalam perspektif teologis atau agama. Namun, secara
sosiologis, --hubungan antara negara dan agama-- sekuralisme adalah paham dasar sistem
‘negara sekular yang harus dimengerti sebagai ‘pemisahan’ antara agama dan negara.
Artinya pemerintah dan negara tidak ikut campur masalah-masalah keagamaan. Agama
ada dalam lingkup sosial masyarakat secara umum, bukan politik kekuasaan. Nilai-nilai
Pancasila yang berprinsip sekular adalah dalam arti yang terakhir tersebut. Jadi agama
adalah masalah warga negara secara individu dan komunitas agama itu sendiri dan
terpisah dari negara secara politik. Untuk itu, misalnya, keberadaan Departemen Agama
sebagai kepanjangan tangan negara sangat bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai
demokrasi, apalagi keberadaan dan kemunculannya bertendensi memihak agama tertentu.
49
Catatan: perlu disadari department of religion (‘agama’ bentuk tunggal) di
Indonesia tidak sama dengan department of religious affair (urusan keagamaan). Dalam
arti ini negara sekular tidak boleh dianggap akan memasung perkembangan agama atau
melarang penduduknya beragama, tetapi justru menjamin secara penuh sebagai sesuatu
yang azasi pada manusia secara sama rata. Pandangan intelektual muslim sendiri, bahwa
pada mulanya munculnya departemen agama merupakan hasil sampingan dari usaha
kompromi politis antara muslim dan non muslim yan berakar pada problem 7 kata dalam
Piagam Jakarta yang hendak dimasukkan ke dalam UUD 45; yang pada mulanya bertugas
untuk mengurusi hak umat muslim saja (mayoritas) kemudian berkembang menjadi
mengurusi semua orang beragama lain dan untuk itulah banyak demokrat menolak
eksistensi Depag karena sepak-terjangnya sekarang ini sudah sampai (seakan akan) pada
pelanggaran hak-hak azasi dan sipil umat beragama lain (minoritas).
30 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia
KESIMPULAN
Demokrasi harus berdasarkan cita-cita luhur kemanusiaan dan
hak-hak manusia yang mendasar (HAM) yang sudah tercantum dalam
Pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Dalam keadaan demikian, secara
normal identik dengan cita-cita kebajikan Kristen alkitabiah yang
didasarkan pada visi suara kenabian gereja dan orang Kristen. Memang
demokrasi bukan suatu sistem yang bebas dari kegagalan, namun tetap
diperlukan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang paling baik
dan memadai. Untuk itulah sistem demokrasi adalah pilihan ideal dari
perspektif Kristen tentang masyarakat dan pemerintahan.
Sebagai warga negara Indonesia, kita patut memperjuangkan
hak-hak sipil sebagai warganegara yang Kristen, bahkan lebih lagi
membela hak-hak kemanusiaan yang universal. Dengan demikian, kita
bukanlah kelompok picik; namun fakta minoritas yang tertindas, ketika
sedang membela nasib sendiri. Namun ini bukan egoisme kelompok,
tetapi hendak melihat fakta-fakta secara intensif dan jujur. Kesadaran
demokrasi harus dimulai dari individu dan dijamin oleh pemerintah,
kemudian diikuti oleh seluruh golongan warganegara. Penduduk yang
demokratis dapat mencegah dis-integrasi bangsa akibat diskriminasi
agama. Kemudian dapat mengembalikan citra Indonesia yang pluralistik
ini “sebagai surganya agama-agama” (Toynbee).