Anda di halaman 1dari 26

STULOS 6/1 (April 2007) 5-30

DEMOKRASI, POLITIK, DAN KEPRIHATINAN


KRISTEN DI INDONESIA

Togardo Siburian, Th.M.

PENDAHULUAN
Krisis global ketidakadilan negara modern terletak pada praktek
kekuasaannya. Dilema antara kuasa dan ketidakadilan adalah fakta
universal yang dilakukan oleh para penguasa di seluruh dunia. 1
Ditambah lagi, secara khusus dalam konteks keagamaan, tirani mayoritas
atas nama Tuhan dan legitimasi berdasarkan konstitusi dan hukum,
kelihatannya sering didukung (atau sedikitnya dibiarkan) oleh pemerintah.
Di sinilah negara dengan segala macam pranata sosial-politiknya semakin
melanggar HAM. Untuk itulah demokrasi adalah suatu jalan yang niscaya,
walaupun tidak sempurna dan mutlak, tetapi dapat dianggap gagasan
ideal dalam konteks pluralitas dari masyarakat modern.
Dalam hal ini, sikap orang Kristen menjadi acuh tak acuh, karena
alasan tidak ada urusan dengan masyarakat dan pemerintah. Memang
tugas gereja berlainan dengan pemerintah, tetapi anggota gereja adalah
penduduk dunia yang ditempatkan Kristus di dalamnya. Selain kesaksian
rohani, mereka juga harus berjuang secara kenabian atas masalah
ketidakadilan. Kesadaran injili khususnya, bahwa “esensi negara adalah
keadilan… sementara itu, tidak ada masyarakat di bumi ini yang secara
penuh mengekpresikan keadilan.”2 Dalam kaitannya dengan itu, tokoh
injili, John Stott, menyarankan pentingnya “doktrin yang lebih genap
(complete)” yang seharusnya dihubungkan dengan keterlibatan orang
Kristen di dalam masyarakat.3 Oleh karena itu, artikel ini dikembangkan,
agar dapat melihat sejauh mana prinsip-prinsip demokrasi dapat

1
James W. Skillen, International Politics and Demand for Global Justice
(Burlington: G.R Welch Co., 1981), hl. 16 dst.
2
Robert E. Webber, The Secular Saint: A Case for Evangelical Social Responsibility
(Grand Rapids: Zondervan, 1979), hl. 140.
3
John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian Atas
Masalah dan Sosial Kontemporer, terj. (Jakarta: YKBKB/OMF, tt [1984]). Menurutnya
terlalu banyak orang Kristen “meredam suara hatinurani”nya untuk menolak keterlibatan
di dalam masyarakat berdasarkan “’hikmat’ gadungan” (hl.2).
6 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

dimengerti dan dipakai oleh orang Kristen sebagai cara yang baik dalam
kaitannya dengan keberadaannya secara politis. Kemudian penulis
mencoba mengajukan usul prinsipil untuk demokratisasi dalam bidang
keagamaan, yang seringkali tidak terjamah oleh reformasi di Indonesia.

HISTORISITAS DEMOKRASI
Akar-akar Konsep “Demokrasi”
Demokrasi adalah satu prinsip beradab yang selama ini diperjuangkan
oleh manusia modern, walaupun konsep demokrasi yang sekarang
dikenal ini berasal dari masyarakat dan pemikiran Yunani pada abad ke 4
sM. Pada waktu itu pemikirannya masih sangat sederhana, di mana
sistem pengaturan (pemerintahan) masyarakat dalam kerangka negara
kota (polis), yang monolitik dan sederhana dalam bermasyarakat.
Kata “demokrasi” itu sendiri berasal dari kata benda Yunani demos
yang berarti penduduk atau masyarakat, dan kata kerja Yunani kratein
yang berarti memerintah atau mengatur. Dalam pengertian modern,
secara umum bermakna kekuasan ada di tangan rakyat di dalam tiga
dimensi (dari, oleh, untuk rakyat). Pada waktu itu, konsepnya adalah
‘partisipasi’ yang bersifat langsung dalam perkembangan suatu negara
dan kekomplekskan penduduk serta perluasan geografis, khususnya di
dalam kekaisaran Romawi yang memunculkan prinsip perwakilan atau
perwalian. Pada situasi inilah terjadi pergeseran dan perluasan wacana
‘dari negara polis menjadi negara bangsa (nation).’
Sebenarnya, konsep demokrasi itu sendiri diolah secara tidak
langsung dari para pengkritiknya.4 Persepsinya, di dalam situasi pengaturan
suatu negara harus mengingat dan memfokus pada kepentingan
penduduk atau kesejahteraan rakyat. Prinsip demokrasi dibicarakan
sebagai konsep ‘ikutan’ di antara dua sistem pemerintahan yang pada
waktu itu sudah lebih umum dan baku, yaitu otokrasi-monarkhi (kerajaan)
dan aristokrasi (para bangsawan). Perlu dicatat juga bahwa sebutan
“pengkritik” bukan berarti ‘penentang’ tapi lebih berarti ‘penantang’ ide/
konsep tentang demokrasi. Walau demikian, bukan berarti kedua konsep
kekuasaan yang lain tidak mendapat kritik atau tantangan dari para filsuf.

4
Lih. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, terj. (Jakarta:
Yayasan Obor, 1992), I: 6.
JURNAL TEOLOGI STULOS 7

Kita akan menyebut dua orang filsuf besar yang memikirkan tentang
keadaan masyarakat, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato yang ‘anti
demokrasi’ menggumuli pertanyaan, manakah yang paling tidak baik
antara monarkhi dan aristokrasi? Kedua prinsip tersebut memang
bertendensi terjatuh ke dalam ekses negatifnya sendiri-sendiri, di mana
monarkhi akan jatuh ke dalam tirani; dan aristokrasi dapat gagal karena
oligarkhi. Dalam keadaan demikian, ‘kelas’ rakyat akan menjadi korban
dan terabaikan. Sedangkan Aristoteles mengisyaratkan bahwa demokrasi
adalah yang paling ‘ideal’, namun belum tentu paling baik. Karena
baginya, yang paling baik adalah aristokrasi, asalkan dijalankan oleh
orang-orang yang berkompeten, dalam hal ini para filsuf. Keragu-raguan
akan demokrasi oleh karena kebanyakkan rakyat adalah miskin, bodoh,
dan tidak cakap untuk memikirkan hal-hal kependudukan dan negara
serta cenderung jatuh ke dalam anarkhisme.
Singkatnya, premis tentang demokrasi yang terpenting adalah
konsepsi ‘kebaikan bersama,’ di antara penduduk, walau pada waktu itu
belum terumuskan secara jelas (sistematis dan formal). Jadi, hal-hal
politik sejak semula adalah masalah etika dan hakekat moral lebih dari
kekuasaan semata, seperti zaman sekarang. Sebagai ciptaan yang berbeda,
manusia bukan sekedar hidup, tetapi hidup dengan baik sesuai hakekat
dan kebutuhan sebagai manusia; artinya “di luar komunitas politisnya
manusia menjadi makhluk hidup yang tidak sempurna”5 Inilah gagasan
kuno dari Aritoteles.

Demokrasi sebagai Sistem Politik Modern


Di kemudian hari, John Lock menegaskan kembali, bahwa politik
adalah sesuatu yang alamiah yang didasarkan pada kontrak sosial di
dalam masyarakat demi kebaikan umum dan jaminan atas hak-hak
individual secara bersama-sama sebagai kebutuhan alamiah manusia.6
Di zaman modern, demokrasi menjadi sistem politik tertentu di dalam
cara hidup manusia yang modern untuk membatasi despotisme pada
pemerintah atau mencegah negara tirani.
Prinsip demokrasi yang modern berkembang di dalam pola

5
J. Budziszewaki, Written on the Heart: The Case for Natural Law (Downers
Grove: InterVarsity Press, 1997), hl. 16, 17.
6
Ibid., hl. 112-14.
8 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

negara-bangsa. Di mana suatu negara yang penduduknya sudah sangat


pluralistik, teritorial kekuasaannya lebih luas, masyarakatnya lebih plural
yang meliputi agama, ekonomi, pendidikan, etnik, tujuan dll. Dalam hal
ini, demokrasi didasari oleh pembicaraan tentang kemanusiaan itu sendiri,
dalam arti martabatnya. Tepatnya adalah pembelaan hak-haknya sebagai
“warga negara.” Hal ini merupakan pemikiran para tokoh kemasyarakatan,
khususnya dalam tema ‘kontrak sosial’ masyarakat, dan lebih khusus lagi
dalam ‘politik kekuasaan’ negara. Jadi, dalam hal ini demokrasi sudah
diperjuangkan dan dibela secara terbuka dan sistematis (ideologi)
Khusus dalam kepentingan naskah ini, saya mencatat dua peristiwa
besar di dalam sejarah perjuangan kemanusiaan di dunia yang berkaitan
dengan demokrasi. Pertama, revolusi Amerika (1779) dengan pentingnya
‘nilai-nilai individual’ yang harus dimengerti sebagai penghargaan atas
martabat individu di dalam hak-haknya. Pada dasarnya prinsip tersebut
sangat dipengaruhi oleh kebajikan Kristen tentang kemuliaan akan
manusia yang diciptakan dalam imago Dei. Walaupun demokrasi liberal
di negara Amerika sekarang ini telah disapu oleh sekularisme, namun
masih teridentifikasi pengaruh iman Kristen di antara ‘para pendirinya”
dan kemudian hari dipertegas oleh Lincoln dengan prinsip “A Nation
under God” akibat tradisi puritan. 7 Walau sekarang prinsip tersebut
sedang diperdebatkan lagi oleh para sarjana Kristen, dalam kaitannya
dengan konstitusi dalam dua pilihan yang berbeda, apakah “ the treatment
of religious beliefs of the constitution’s texts, or the role of religion in the
political theory of the Constitution.”8
Kedua, revolusi Perancis (1789) yang menumbangkan tirani-
monarkhisme dan oligarkhi sekelompok pangeran kaya. Gerakan ini
menghasilkan tiga prinsip penting: liberte, egalite dan fraternite, yang
dikenal sebagai dasar konseptual hak-hak azasi manusia. Namun
dikemudian hari teridentifikasi suatu “kedaulatan rakyat yang bersifat
ateistik,” karena prinsip tersebut telah lari dari Pemberi hak-hak dan tidak
mengakui Sumber kedaulatan rakyat adalah Allah yang otonom; yang

7
Lih G.E. Gullivan, ed., A Nation Under God? (Texas: Word Book, 1976), hl.
27, para penulis esai dalam buku ini mempertanyakan kembali religiusitas Amerika saat
ini.
8
John G. West, Jr.,“Religion and Constitution” dalam In God We Trust?:
Religion & American Politcal Life Corwin E. Smidth, ed. (Grand Rapids: Baker Book,
2001), hl. 39.
JURNAL TEOLOGI STULOS 9

pada gilirannya akan berubah menjadi ‘kedaulatan negara’ juga.9 Walau


demikian, konsep sekular ini kemudian dikenali sebagai ‘kebebasan’
mengemukakan hak-haknya, perjuangan ‘persaudaraan’ antar manusia
secara universal, dan kesadaran ‘persamaan’ derajat manusia.
Terlepas dari ekses negatifnya, ‘individualisme’ 10 adalah prinsip
dasar pengakuan akan hak-hak azasi manusia secara konseptual,
sedangkan universal adalah ‘postulat’ bagi demokrasi sekarang ini. Lebih
jauh lagi, dalam proses demokratisasi, konsep HAM adalah inti keadilan
yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara dalam suatu hak-hak sipil
dari warga negara, yaitu berdasarkan konstitusi dan di dalam hukum
yang berlaku. Dalam perjalanan selanjutnya, sistem politik demokrasi
melebur dengan sistem ekonomi kapitalisme dan bahkan merangkul juga
sosialisme; selanjutnya dalam perpolitikan negara muncul ‘liberal,’
akhirnya di dalam konteks Barat ‘demokrasi’ identik dengan “liberalisme”
dan sekaligus sebagai lawan abadi terhadap sistem totaliter “komunisme”
(juga fasisme).
Singkatnya, premis sosial dalam konsep demokrasi adalah
‘individualisme dalam masyarakat,’ dengan penghargaan, jaminan dan
perjuangan hak-hak dan martabat individu. Hal tersebut terkandung
dalam postulat ‘logika kebersamaan’ secara eksplisit, yaitu suatu
perjuangan hak-hak secara bersama-sama oleh warga negara dalam
kerangka kontrak sosial, dengan prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’
dalam kepentingan bersama atau orang banyak, di atas kepentingan
golongan dan individu; yang oleh Soekarno disebut “gotong royong.”
Namun , prinsip tersebut di dalam reformasi yang kebablasan sekarang
ini, telah diabaikan dengan dominasi voting suara mayoritas atau
anarkisme massa.
Walaupun patut dikemukakan, bahwa suara terbanyak adalah sah

9
Hal ini diungkapkan Abraham Kuyper dalam Lecturer on Calvinism, terj.
(Surabaya: Momentum, 2004), hl. 97-101, menurutnya revolusi Perancis berlainan dengan
revolusi Amerika, Inggris dan Belanda yang mempertimbangkan faktor kedaulatan Allah,
yang dipengaruhi Calvinisme.
10
Ekses inilah yang pernah diantisipasi oleh Bung Karno dalam proses
pembidanan negara Indonesia, di mana praktek kebebasan individual yang kebablasan dan
membuat anarkhisme serta kekacauan di dalam masyarakat. Hal tersebut tentu tidak
sesuai dengan nuansa keindonesiaan yang pluralistik. Bahkan di negeri barat,
individualisme berkaitan dengan penolakan segala macam otoritas termasuk agama atau
Allah, sehingga menjadi ateisme dan sekularisme.
10 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

dan legal di dalam demokrasi, tetapi sejarah membuktikan pendapat J.J.


Rousseau bahwa ‘suara terbanyak’ tidak berarti “pendapat umum,” 11
karena ekses ‘politik uang’ dan penyalahgunaan kekuasaan serta
pengaruh primordialisme yang dapat membengkokkan proses pemilu,
khususnya di tengah kemiskinan dan ketidakterdidikan masyarakat.
Pendapat umum ‘yang intrinsik’ akan keluar kalau ada kebebasan,
keadilan, dan kesejahteraan (ekonomi dan politik). Jadi bukan karena
terpaksa atau karena ketidakacuhan masyarakat.12

Gagasan Demokratisasi Gelombang Ketiga


Munculnya ide ‘gelombang ketiga’ arus demokrasi mulai di
Portugal, tahun 1974 yang eksistensinya sangat berkaitan dengan keadaan
demokrasi di Indonesia. Sedikitnya saya melihat ada tiga fakta yang dapat
ditangkap dari gagasan di atas: 1) dalam konteks globalisasi dan
globalisme, 2) keruntuhan kuasa ‘tirani atau diktator’ modern, baik liberal
maupun komunis, 3) dan realitas ‘fase transisi’.13 Selain itu dipentingkan
juga peran oposisi dan maraknya anarkhisme brutal yang sangat
mewarnai situasi demokratisasi di masyarakat. Jadi dalam hal ini,
demokrasi telah menjadi suatu ‘sistem politik’ di mana dikaitkan secara
khusus sebagai cara pengambilan keputusan untuk pemerintahan yang
tadinya berdasarkan prinsip ‘musyawarah untuk mufakat’ (kesepakatan)
dan ‘kepentingan orang banyak di atas golongan dan pribadi,’ yang
sekarang sangat dipersempit maknanya dengan voting saja. Oleh karena
itu, “apapun warna politiknya, orang Kristen cenderung memihak
demokrasi”14 daripada sistem politik teokrasi, aristokrasi apalagi otokrasi;
walaupun demokrasi bukanlah sesuatu yang mutlak sempurna di dalam
kehidupan politik negara. Khusus tentang sistem (politik) teokrasi pada
fenomena sekarang, saya menunjuk pada kesetaraannya dengan prinsip
“negara agama”

11
‘Pendapat umum’ pada mulanya dikemukakan oleh Machiavelli, sebagai
sesuatu kebaikan yang niscaya di dalam pikiran dan hati manusia, lalu dikembangkan oleh
Rousseau dengan membagi dua cara secara internal (tersembunyi) dan secara eksternal
(terungkap). Dari cara yang kedua inilah lahir kategori ‘suara terbanyak’ melalui pemilu
(voting) di dalam demokrasi modern ini.
12
Bdk. Bernard Hennessy, Pendapat Umum, terj. (Jakarta: Erlangga, 1989), hl. 6.
13
Lih. juga Samuel P. Huntington, Demokratisasi Gelombang Ketiga, terj.
(Jakarta: Grafiti, 1997).
14
John Stott, Isu-isu Global, hl. 46.
JURNAL TEOLOGI STULOS 11

Dalam kaitannya dengan proses demokratisasi Indonesia, khususnya


dalam suburnya fenomena partai pollitik yang berbasis keagamaan,
termasuk Kristen. Fakta bahwa ‘parpol’ keagamaan sebagai wadah
‘koalisi’ (atau aliansi?) sangat menjamur untuk menampung aspirasi
rakyat tertentu yang tidak terpenuhi selama ini. Namun bagi kekristenan
secara keseluruhan, ternyata parpol Kristen bukanlah suatu ‘jalan keluar’
yang baik (menguntungkan), baik dari segi ajaran dan praktis.15 Hal ini
berbeda dengan partai Kristen di Jerman, yang sebenarnya adalah
perjuangan humanis-sekular dari perspektif sosialis atau demokrat.

PEMAHAMAN UNIVERSAL TENTANG DEMOKRASI


Sejak semula, pemahaman demokrasi dikaitkan pada kemanusiaan,
khususnya dalam hak-hak manusia yang mendasar yang disebut “hak
azasi manusia”. Konsep HAM tersebut mendasari kedaulatan rakyat
(demos), sehingga konsep demokrasi harus diaplikasikan secara universal,
artinya di segala tempat, setiap orang, dan segala waktu. Konsep tersebut
sebenarnya hadir di dalam pikiran manusia (normal) secara universal,
sehingga pada orang masa kini, prinsip ini dikatakan niscaya di dalam
kehidupan manusia modern dan beradab. Orang Kristen harus memahami
bahwa perjuangan demokrasinya berdasarkan hak-hak dasar kemanusiaan
yang universal dan hak-hak sipilnya sebagai penduduk negara. Jadi
perjuangan keadilan untuk semua orang yang dirampas hak-haknya
sebagai manusia, di manapun, kapanpun dan siapapun juga. Banyak
penjelasan telah dibuat dan dapat dirangkum menjadi 10 prinsip
demokrasi yang universal, seperti yang diungkap What is Democracy.16
1. Kedaulatan Rakyat: kekuasaan ada di tangan rakyat (dari, oleh dan
untuk rakyat).
2. Pemerintahan berdasarkan konsensus: berdasarkan kontrak sosial dan
konstitusi Negara.
3. Kekuasaan mayoritas: berdasarkan pemilu yang jujur dan adil.

15
Hal ini dikatakan bukan karena takut kekuatan politik Kristen terpecah-pecah,
tetapi politik apapun harus diperjuangkan secara general dan tidak memperalat factor
agama. Masyarakat harus diperjuangkan berdasarkan kemanusiaannnya. Faktanya
‘politisasi agama’ dan ‘agamisasi politik’ sangat merusak sendi-sendi kemasyarakatan dan
negara Indonesia. Kekristenan bernilai Kerajaan Allah yang rohani dan tidak dapat
dijalankan secara politis atau memperalatkan politik apalagi dikendarai oleh partai politik.
16
Yang diterjemahkan dan disebarkan oleh Office of International Information
Programs U.S. Department of State, tt. [brosur disebarkan oleh Kedubes Amerika].
12 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

4. Perjuangan hak-hak minoritas: pembelaan pemerintah & mayoritas.


5. Jaminan HAM: Konsensus hukum dan UU mejadi hak-hak sipil.
6. Pemilu adil dan jujur: serta langsung bebas (rahasia?).
7. Persamaan hak di depan hukum: keadilan berdasarkan kebenaran.
8. Proses hukum yang wajar: menolak campur tangan penguasa,
termasuk pengaruh mayoritas.
9. Pluralisme sosial ekonomi, sosial (dan agama?)17: mencari kebaikan
bersama dan titik equilibrium di antara ekstrim-ekstrim yang ada.
10. Nilai-nilai toleransi, dialog, inklusif, sekularistik, pragmatisme,
kesepakatan dan kerjasama: karena faktor kemajemukan dunia.

KONSEP DEMOKRASI DAN NILAI-NILAI KEKRISTENAN


Tidak ada istilah alkitabiah yang eksplisit untuk membuktikan
dukungan atas “demokrasi.” Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada
nilai-nilai kekristenan yang mendukung konsep demokrasi atau
khususnya kebajikan alkitabiah yang mendukung perjuangan demokrasi.
Tetapi kita dapat mengambil pelajaran secara tidak langsung bahwa
pernah terjadi keinginan demokrasi dalam narasi Alkitab. Namun
demikian nilai-nilai tersebut dapat diperas dalam satu prinsip saja, yaitu
‘keadilan sosial’ menurut hati Allah sendiri dan didalam perjuangan para
nabinya tentang tsadiq dan sedaqah. Perjuangan ini harus dilakukan dari
dalam agar dapat bersimpati dengan penderitaan komunitas dan situasi
politis serta konteks pemerintahan.18 Gary Haugen, menyatakan bahwa
hal ini nyata dalam sifat keadilan Allah sendiri: 1) mencintai keadilan dan
membenci ketidakadilan, 2) mengasihani orang yang menderita karena
ketidakadilan, 3) mengutuk dan menghakimi pelaku ketidakadilan, 4)
secara aktif mencari korban ketidakadilan di manapun.19
Secara implisit dapat ditarik relevansinya ke dalam perjuangan
demokrasi yang aktual, dan secara eksplisit di dalam prinsip-prinsip:
kebenaran, keadilan, kebaikan, keterbukaan, kejujuran, kemanusiaan,
persaudaraan, kebebasan (kemerdekaan), kesamaan (kebersamaan),

17
Dalam hal ini wacana dan perjuangan pluralisme agama yang dapat diterima
sebatas kategori “structural pluralism” yang dipertentangkan terhadap ‘confessional
pluralism” Lih juga dalam Spykman dkk, Society, State, & Schools (Grand Rapids:
Wm.Eerdmanns Pub., 1982), hl. 39.
18
Lih. Michael Elliott, Freedom, Justice, & Christian Counter Culture (London,
Philadelphia: SCM Press, Trinity Press Int’l, 1990), pasal 7.
19
Gary Haugen, Good News About Injustice: A Witness of Courage in A Hurting
World (Downers Grove: InterVarsity Press, 1999), hl. 69,70.
JURNAL TEOLOGI STULOS 13

kedamaian (kesejahteraan), kemasyarakatan dan keinternationalan di


antara bangsa-bangsa. Hal-hal tersebut tercakup dalam nilai-nilai kasih
Kristen yang universal dan tugas orang Kristen di dunia: perjuangan
gereja dan tugas teologis di dalam konteks yang berubah sebagai “wakil”
suara Allah. Jadi, visi gereja adalah bagi ‘perjuangan profetik’ orang
Kristen di dalam dan bagi masyarakat luas.20 Gereja Tuhan (bersama
dengan umat beragama lain) secara sadar harus merefleksi eksistensinya
sebagai ‘agama’ dalam kaitannya dengan keindonesiaan’ yang majemuk
dan secara keseluruhan rakyat Indonesia. Oleh karena kesadaran bahwa
prinsip “kebebasan beragama adalah ‘batu penjuru’ dari hak-hak azasi
manusia” yang “didasarkan pada dignititas humanae” yang sangat
“esensial bagi semua manusia” tanpa kecuali.21

Petunjuk Prinsipil Alkitabiah untuk Demokrasi


Dalam kitab 2 Samuel dapat dipersepsikan tentang usaha
demokratisasi secara terbatas, ketika umat Allah, Israel menolak teokrasi
langsung (pemerintahan Allah) dan ingin menjadi monarkhi seperti
bangsa-bangsa di sekitar mereka, yang akhirnya jatuh ke dalam ‘tirani’
raja dan kroninya. Namun sebelumnya, kitab Hakim-hakim telah
mengindikasikan adanya keinginan untuk ‘berdemokrasi’ yang akhirnya
jatuh dalam anarkisme di kalangan umat Allah, dalam hal ini adalah
prinsip ‘semau gue’ di dalam kemurtadan umat Allah.
Selain itu adalah gagasan nilai-nilai demokratis nyata dalam
pelayanan nabi-nabi Allah yang melawan tirani dan ketidakadilan para
raja dan bangsawan (pemimpin politik) juga para pemimpin agama
(nabi-nabi palsu dan iman-imam bayaran) pada era raja-raja Israel. Dari
sana kita melihat konsern Allah kepada umat-Nya, khususnya rakyat, di
mana dikatakan “penderitaan umat telah sampai kepada-Nya.” Akibat
sistem pemerintahan monarkhi dan aristokrasi dengan segala problem
KKNnya. Kalau diperhatikan secara seksama, jeritan tersebut pada
dasarnya adalah inti perjuangan demokrasi masa kini dengan jargonnya
vox populi vox dei atau ‘suara rakyat adalah suara Allah’ yang harus

20
Lih. Andre Dumas, Political Theology and The Life of The Church, trans.,
(Philadelphia: Westminster Press, 1978), pasal 2.
21
Lih. Carl Henry, The Christian Mindset in Secular Society: Promoting
Evangelical Renewal & National Righteousness, ed. Rod Morrys (Portland: Multnomah,
1984), hl. 63-80.
14 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

dimengerti secara sosiologis, bahwa Allah sangat memperhatikan


manusia yang tertindas, dan tidak boleh dibalik menjadi vox dei vox
populi karena hubunganya ‘asimetris,’ di mana yang satu (Allah) lebih
besar lingkup jangkauan dari yang lain (rakyat). Artinya nilai-nilai
Alkitab dapat dicari relevansinya dalam perjuangan demokrasi manusia,
meskipun makna belum sepenuhnya ada dalam sistem pemerintahan.22
Selain itu juga, di dalam perspektif Kristen, pemerintahan tirani
tidak mengabaikan maksud Allah bagi manusia ciptaan-Nya, serta tidak
melindungi hajat hidup orang banyak, padahal pemerintah ditugaskan
untuk itu tanpa pilih kasih, maka ada kemungkinan adanya ‘civil
disobedient Kristen’ pada masa kini. 23 Karakteristik pembangkangan
sipil Kristiani yang : positif, simbolik, non destruktif, suara moral, cara
damai dan pasifisme terhormat, serta intelektual adalah implikasi dari
perjuangan demokrasi. Untuk itu nilai-nilai Kristen dapat menyetujui
reformasi damai, bukan revolusi kekerasan. Jadi secara keseluruhan, apa
yang populer disebut “pasifisme Kristiani” selama ini adalah seperti yang
dicontohkan oleh Tuhan Yesus sendiri dan di dalam konteks etika
Kerajaan Allah yang rohani. 24 Aksi positif tersebut merupakan cara
radikal juga, namun di dalam prinsip non resistence yang bersifat kritis di
dalam kemerdekaan sikap hidup yang dikonsepkan dalam “anarkhi
Kristiani”25

Orang Kristen dan Perpolitikan Kontemporer


Bebeberapa hal di dalam kekristenan juga mengindikasikan salah
satu praktek demokrasi, usaha serta prinsip demokratisasi ‘secara
terbatas’ dalam pelaksanaan pemerintahan gereja. Sistem pemerintahan
presbiterial menunjukkan adanya demokrasi perwakilan, juga dalam
sistem kongregasional menunjukkan demokrasi langsung, bahkan dalam
pemerintahan Roma Katholik juga ada indikasinya, khususnya dalam
22
Di sini para pembaca harus menyadari bahwa penjelasan ini tidak bermaksud
untuk menafsiran teks-teks petunjuk ini secara eksegesis yang ketat, namun hanya melihat
fenomena paralel di dalam kemasyarakatannya saja.
23
Berkaitan dengan pokok ini, saya merencanakan satu tulisan khusus agar cukup
memberikan pengertian yang cukup dalam perspektif etika sosial Kristen.
24
Lih. Howard Yoder, The Politics of Jesus (Grand Rapids: Wm. Eerdmanns
Pub., 1972).
25
Lih. Jacques Elllul, Anarchy and Christianity, trans Geoffrey Bromiley (Grand
Rapids: Wm Eerdmans Pub., 1988).
JURNAL TEOLOGI STULOS 15

pemilihan Paus baru. Meskipun praktek tersebut berkaitan dengan firman


Allah, bukan sekedar politisasi di dalam gereja presbiterianisme;26 yang
dikenal dengan “logokrasi” dan bukan “teokrasi” apalagi “demokrasi”.
Juga tidak berarti gereja dianjurkan untuk ‘bermain’ politik dengan
ikut sebagai “partisan” parpol tertentu -sekalipun berlabel Kristen-,
karena tugas gereja adalah pembinaan rohani. Wacana teologi politik
dalam hal ini adalah menyelidiki tema-tema politis (kemasyarakatan)
dalam Alkitab dan memikirkan kaitannya pada situasi paralel, di mana
orang Kristen dan gereja sebagai warga negara dan dunia. Bukan berarti
berteologi di dalam arena politik dengan cara mencari teks dari dalam
Alkitab untuk membenarkan diri. Suatu studi teologi politik menjadi
cukup penting, karena banyak gereja tidak menyadari keberadaannya
sebagai warga negara di Indonesia dan memisahkan diri dengan
membangun tembok besar dengan alasan warga kerajaan Allah. Alasan
ini tidak otomatis mengeluarkan warga gereja dari kewarga-negaraannya
secara riil. Jadi gagasan teologi politik adalah refleksi Kristen atas/tentang
“tatanan dunia yang adil” yang diperjuangnan kemunculannya sebagai
‘tatanan baru,’ seperti yang pernah dipertanyakan oleh de Gruchy. 27
Refleksi teologis harus kritis dan bersumber dari ajaran alkitabiah untuk
menunaikan ‘mandat sosial-budaya’ di dunia ini.
Namun orang Kristen harus kritis dengan apa yang disebut oleh
Frame dan Traphe sebagai “koalisi Kristen”28 di dalam wujud pembentukan
‘partai politik Kristen’ di Indonesia, yang bermaksud merebut kekuasaan
dengan jargon-jargon politik-agama dan melalui politisasi agama (bahkan
agamisasi politik),29 karena misi kekristenan melalui gereja bukanlah

26
Dalam presbiterianisme yang agak lama boleh dilakukan dengan ‘undian.’ Jadi
apa yang teridentifikasi sebagai proses/prinsip demokrasi dalam gereja seharusnya tidak
bersifat ‘politik kekuasaan,’ tetapi kuasa melayani dan menghamba. Artinya kuasa
menghamba, bukan kuasa memerintah seperti pada pemerintahan politis, bukan untuk cari
menang harus dengan persaingan, apalagi harus dengan sifat ‘kekerasan,’ karena pada
dasarnya setiap calon yang akan dipilih menjadi pemimpin gereja adalah sama baik dan
sama layaknya, tetapi karena hanya ada satu tempat, maka hanya satu yang terpilih.
27
John de Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi, terj. (Jakarta: Gunung Mulia,
2003), hl. 11, 2.
28
Rendall Frame and L. Traphe, How the Rights is the Right? A Biblical and
Balanced Approach to Politic (Grand Rapids: Zondervan, 1996), hl. 24, 27.
29
Namun ada agama, Islam misalnya, tidak dapat dipisahkan dari politik dalam
eksistensinya, itu berarti perkembangan agama didukung dan dijalankan secara politik dan
politik diwarnai dan diarahkan oleh hukum agama. Namun ternyata bukan inti agamanya
yang menonjol, tetapi hal-hal lahiriah dalam fenomena ‘arabisasi’ di dalam golongan
16 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

perebutan kekuasaan, tetapi berisi nilai-nilai moral dan rohani. Hal ini
bukan berarti ingin menghalangi beberapa politikus Kristen yang baik
dan berjuang atas nama kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan
seluruh lapisan masyarakat yang menderita. Seharusnya agama tidak
boleh ‘ikut bermain’ politik praktis, sebaliknya kekuasaan politik tidak
boleh memperalat ajaran dan mengatur cara berkeagamaan dan
kepercayaan mayarakat. Ini mungkin ide dari apa yang dinamakan civil
religion atau “agama sipil” yang benar, yaitu suatu ‘keagamaan yang
universal-transenden’ ditengah bangsa yang pluralistik dan mencakup
seluruh umat beragama yang ada yang rawan akan konflik antara agama,
termasuk antara agama dan politik.
Ternyata sangat cocok dengan nilai-nilai Pancasila di Indonesia,
sehingga beberapa orang mengkaitkan ‘peran’nya identik dengan peran
‘agama sipil’ yang konsepnya dapat mengambil banyak bentuk di seluruh
dunia sesuai kultur kebangsaanya. Dengan demikian, tidak perlu
diragukan lagi Pancasila adalah salah satu agama sipil, sekaligus
menjawab kemungkinan pancasila menjadi “agama sipil” di Indonesia,30
sehingga konflik dis-integrasi bangsa dapat diatasi secara adil. Walaupun
pelaksanaan agak berbeda dari agama sipil yang dikembangkan di
Amerika, di mana lebih bermakna democratic faith yang sinkritistik,
namun ada yang memaknai secara sempit sebagai protestant civic piety.31
Saya menilainya, poin pertama bernilai positif dan dapat dicapai jika
masyarakatnya sudah memahami apa arti dan implikasi masyarakat sipil
yang sejati,32 dalam konteks kemajemukan di segala bidang; sedangkan
yang kedua saya yakin bersifat negatif di dalam masyarakat yang plural,
karena mengindikasikan dominasi mayoritas agama tertentu (Protestan).
Karena itulah, dalam perkembangan terakhir konsep dan praktek ‘agama
sipil’ ini mendapat banyak tantangan dan kritik serta dituding sebagai

masyarakat Indonesia. Ini penting disadari dalam realitas peradaban modern yang
pluralistik dan global, untuk itu harus memilih satu di antara dua pilihan esensial, Apakah
sistem negara sekular atau sistem negara agama?!
30
Pertanyaan ini pernah diajukan oleh NK Admaja Hadinoto, Dialog dan
Edukasi: Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1990),
hl.46 dst
31
Lih. dan bdk Webber, The Secular Saint., hl. 127-129
32
Lih juga Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan
Kemakmuran, terj. (Jakarta: Qalam: 2002), hl. 5 Menurut Fukuyama untuk membangun
masa depan dunia yang lebih baik perlu penciptaan masyarakat sipil yang terdiri
pemberdayaan semua sektor organisasi dan lapisan masyarakat termasuk dimensi
keagamaan (dalam konteks tulisannya diwakili gereja).
JURNAL TEOLOGI STULOS 17

“jalan” ke arah sinkritisme agama dan kemudian muncul satu konsep lagi
untuk mengatasinya, yaitu public religion atau “agama publik.”33
Prinsip public religion mungkin lebih unggul sedikit, khususnya
untuk mengatasi banyaknya RUU atau ‘perda’ masa kini yang syarat
dengan unsur-unsur agama dominan dan biasanya dikemas atas nama
agama yang mayoritas. Namun pada hakekatnya, perjuangan dan alasan
dalam menyodorkan hal-hal tersebut seharusnya berdasarkan perjuangan
kemasyarakatan yang universal, bukan golongan agama tertentu. Pada
dasarnya kedua hal ini sama saja, yaitu keluar dari pluralisme masyarakat
yang majemuk, dimana yang satu dengan pendekatan internal agama, dan
yang lain dengan pendekatan eksternal agama. Untuk itulah lebih penting
bagi kita untuk memulai ‘revitalisasi’ Pancasila daripada harus
mempersaingkan kedua prinsip pluralisme Barat, yang pada dasarnya
sama saja, hanya pendekatannya yang berbeda.34
Singkatnya, secara moderat, kita tidak menyangkal Alkitab
berbicara tentang isu-isu sosial-politis, tetapi kita tidak setuju bahwa
Alkitab dipakai di dalam arena politis; maksudnya untuk diperalat dalam
politik praktis dan berafiliasi dengan suatu ideologi politik tertentu.
Karena mentalitas ‘cari menang’ dalam dunia politik (melalui
partai-partainya), maka suatu koalisi Kristen tidak dapat diterima, karena
tidak berdasarkan prinsip-prinsip Kristen secara keseluruhan yang utuh,
tetapi hanyalah tafsiran khusus diri sendiri tentang prinsip-prinsip politik
Kristen.35 Tugas gereja dan pemerintah adalah berjalan sendiri-sendiri
walau berkoordinasi dalam kesejahteraan masyarakat. Secara umum
tugas gereja adalah melayani dan bukan memerintah yang diidekan
dengan kekerasan atau pemaksaan.

33
Untuk diskusi lebih lanjut, lih. Ronald F. Tiemann, Religion in Public Life:
Dilemma for Democracy (Washington D.C.: George Wahington University, 1996), pasal 4
dan 6.
34
Sebenarnya gagasan dan tujuan kedua prinsip keagamaan Barat modern ini
adalah sama saja di dalam mengembangkan gagasan hubungan agama dan negara dalam
konteks demokrasi. Namun ide ‘agama sipil’ adalah bebas menyembah apa saja (ide
‘Pencipta’) asalkan tidak melawan (peraturan) pemerintah; sedangkan ‘agama publik’
adalah urusan masyarakat beragama itu sendiri dan tidak bersangkut-paut dengan negara
secara prinsip ajaran. Istilah pertama, negara masih ikut mengatur dalam lingkup yang
cukup besar, khususnya dalam kaitan dengan pengaruhnya ke dalam hukum-hukum sipil
atau acara-acara politik bahkan disalahgunakan dalam praktek-praktek pengaturan di
masyarakat, sedangkan yang ide “agama publik” tidak diperbolehkan dikaitkan dengan
hukum-hukum sipil dan acara-acara sipil dan politik.
35
Lih. dan bdk juga Frame & Thrape, How The Rights is the Right?, hl. 32.
18 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

Gagasan ‘parpol Kristen’ kemungkinan besar hanya merupakan


‘interes’ berdasarkan ‘visi’ (walaupun sah-sah saja). Suatu ‘interes’ hanya
mengkaitkan perasaan pribadi, isu sementara, urgensi pragmatis dan
dibela dengan segala cara dan harga serta hanya mempengaruhi
pemikiran-pemikiran. Sedangkan suatu ‘visi’ bukan diarahkan pada
emosional semata, tetapi memiliki penilaian “konsistensi logis” dan
adalah pembentuk ‘yang tidak berbicara’ dari pemikiran-pemikiran kita,
bahkan membentuk masa depan. Pendeknya, konflik interes adalah
jangka pendek (reaksi sesaat), sedangkan konflik visi adalah jangka
panjang dan bersifat historis dan abadi.36 Perjuangan profetik Kristen
harus menghindari konflik interes ini, baik secara lokal maupun global.

Implikasi dalam Fenomena Demokratisasi di Indonesia


Era reformasi di Indonesia ini adalah demokrasi berkarakteristik:
pasca rezim orde baru yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan
tirani (otoriter). Dalam hal itu, rezim tersebut kelihatannya lebih
mementingkan state bulding daripada nation building, sehingga
sendi-sendi kemasyarakatan dan berbangsa sangat rapuh, karena selama
ini dipaksa dan ditekan oleh ketakutan eksternal, bukan karena kesadaran
terdalam. Hal ini nyata ketika rezim ini jatuh, demokrasi menjadi
kebablasan dan anarkhis, sehingga bangsa ini terancam dis-integrasi.
Untuk itulah gagasan pembangunan bangsa jauh lebih penting, khususnya
dalam menguatkan sendi-sendi kebangsaan dan ketanahairan dalam
semua warganegara yang pluralistik. Lapangan pluralitas yang paling
rawan dan penting adalah bidang keagamaan; dan pengakuan akan
prinsip-prinsip universal tentang demokrasi harus diterima seluruh
lapisan warga negara, agamawan dan negarawan, termasuk pemerintah.
Gagasan reformasi ini akan gagal kalau memakai pendekatan state
building saja, karena pembangunannya menekankan yang kelihatan dan
bersifat semu serta tidak kokoh, karena negara ini adalah bangsa yang
sangat pluralistik. Kala sendi-sendi kebangsaan tidak dikuatkan, maka
suatu saat akan pecah dan mungkin juga dengan dalih demokrasi.
Demokrasi yang kebablasan adalah ‘anti demokrasi’ yang memakai
jargon-jargon demokrasi dan mengatasnamakan rakyat. Dalam hal ini

36
Thomas Sowell, A Conflict of Visions: Ideological Origins of Political
Struggles, (np: Basics, 2002), hl. xi-8.
JURNAL TEOLOGI STULOS 19

terjadi anarkhi, bahkan secara tidak sadar berubah menjadi tirani


mayoritas, meski hanya sekelompok kecil yang egois mengatas namakan
mayoritas. Karena justru di dalam demokrasi, pihak mayoritas harus
memperjuangkan hak-hak minoritas, bukan menjadi tirani atasnya. Tetapi
bangkitnya fundamentalisme agama yang picik dan anti sosial membuat
sendi-sendi kebangsaan tidak dihiraukan, apalagi beberapa dari pemimpin
bangsa ini berpihak dan ikut bermain dengan ideologi fundamentalisme,
baik politikus, anggota parlemen maupun birokrat.
Dalam hal ini relasi negara dan gereja adalah koordinasi, di mana
berjalan sendiri-sendiri pada tempatnya secara bebas, namun tetap
berhubungan secara konsultatif dalam kemasyarakatan. Tidak saling
membawahi, karena keduanya masing-masing mempunyai hakekat
fungsional yang berbeda. Bagi saya tidak mungkin menerima konsepsi
Jurgensmeyer 37 tentang “nasionalisme agama”; yang seterusnya dapat
dilihat dalam pembentukan ‘partai nasional yang berazaskan agama,’
seperti PAN, misalnya.38 Walau hal tersebut sah-sah saja di dalam alam
demokrasi, namun bersifat kontradiktif, karena nasionalisme harus
berdasarkan nilai-nilai kebangsaan dan kerakyatan, kenegaran dan
kemanusiaan yang pluralistik. Karena itu, juga harus mencakup seluruh
agama dan melindungi semua orang yang beragama lain. Hanya ada dua
pilihan yang saling berseberangan antara ‘sistem’ negara sekular
(nasionalisme) atau negara agama (adalah jenis teokrasi kontemporer).
Dan pada kesempatan ini, saya mengingatkan kembali, bahwa dari
dasar negara kita, Pancasila, maka negara Indonesia adalah “negara
sekular” namun masyarakatnya religius. Kalau pendirinya adalah
pemeluk agama-agama yang menghasilkan kerangka ideologis yang
bernafaskan keagamaan, tidak berarti negaranya “bukan negara sekular.”

37
Lih. Mark Jurgensmeyer, Menentang Negara Sekular: Kebangkitan Nasionalisme
Religius terj. (Jakarta: Mizan, 1998).
38
Jadi tidak boleh ada konsep ‘negara Kristen’ dalam pengertian ideologi politik
dan kekuasaan masyarakat agama dalam bentuk apapun. ‘Negara agama’ yang dianggap
paling demokratispun pasti syarat dengan muatan ajaran agama tertentu yang dipaksakan
dan mengandung diskriminasi juga atas yang beragama lain. Di dalam maysarakat modern
yang global dan plural, mayoritas umat beragam tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk
mendirikan negara agama, apalagi kemerdekaan dan pembangunan negara dijalankan
secara bersama-sama sebagai suatu bangsa. Secara alkitabiah tidak ada keharusan ‘usaha’
untuk menjadikan penduduk Indonesia menjadi Kristen seluruhnya (100%). Yang terakhir
itu sangat bersifat politis, imperialistik dan superioritas, tidak sama dengan usaha rohani
(KA).
20 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

Jadi Pancasila adalah sekular meski ada frase “Ketuhanan YME” atau
konstitusinya “Negara berdasarkan Ketuhanan YME” (dalam mukadimah
dan pasal 29 UUD 45); sama seperti negara Amerika Serikat yang sekular
walau ada “in God we trust”di dalam konstitusinya. Negara Baratpun,
konstitusinya diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan yang cukup pekat,
bahkan mencakup prinsip tugas dan peran kepala negara,39 tetapi tidak
otomatis dapat dituduh menjadi ‘negara agama’
Pancasila adalah filsafat hidup semua orang beragama yang
berlainan di Indonesia. Secara logis, Pancasila memang tidak (mungkin)
dapat diagamakan sehingga harus keluar pernyataan “Indonesia bukan
negara agama”. Tentunya negara harus dibedakan dengan warganya;
kalau penduduknya beragama dan mencetuskan konstitusi yang
bernuansa keagamaan dan ketuhanan yang universal, global, transenden,
berdasarkan kemanusiaan, keadilan dan kebangsaan, hal itu bukan berarti
negaranya menjadi ‘bukan sekular.” Secara logis, Indonesia adalah
negara sekular, karena secara faktual Pancasila bukanlah agama, tetapi
suatu pandangan hidup bangsa yang mencakup seluruh agama-agama
yang ada; namun secara sederhana dapat dikatakan sebagai “agama sipil.”
Hal ini terlepas dari segala implikasi teologis (Kristen) dan ekses sinkritis
keagamaan yang muncul, karena Pancasila dan agama sipil adalah politik
dan wacana perpolitikan bangsa yang plural.40
Jadi Pancasila adalah sekular, sehingga negara Indonesia adalah
negara sekular dan seharusnya tidak perlu takut dijuluki negara sekular
seperti India, misalnya. Kesadaran tentang prinsip selama ini ‘bukan
negara agama dan bukan negara sekular’ adalah kesalahan logika
contradictio in terminatum, yang pada akhirnya berekses negatif pada
kecenderungan mayoritas mengambil kesempatan ‘seolah-olah’ Indonesia
adalah negara agama dengan alasan “Indonesia bukan negara sekular”
Ketakutan selama ini adalah karena tafsiran teologis tentang sekularisme
sudah menggeneralisasi sepintas lalu antara “sekular” dengan “sekularisme.”

39
Lih. Jeff Walz, “Religion and American Presidency” dalam In God We
Trust, hl. 191.
40
Menyadari kerumitan ini saya menantang diri untuk menyiapkan satu artikel
khusus mengenai hal ini agar dapat membantu orang Kristen dalam menjernihkan
masalah, meskipun posisi saya sudah jelas dalam buku saya, Kerangka Teologi Religionum
Misioner: Pendekatan Injili tentang Hubungan Kekristenan dan Agama-agama Lain
(Bandung: STT Bandung, 2003), hl. 168-173.
JURNAL TEOLOGI STULOS 21

Seharusnya sekular dan sekularitas adalah kenyataan sebagai istilah netral


(meski konsep dan wacananya tidak mungkin netral), sedangkan
sekularisme dengan kaum sekularisnya adalah konsep ideologis yang anti
agama dan ateisme.
Pentingnya pemerintahan yang bergaya sipil harus terus
dihidupkan, walaupun pemerintahnya mungkin saja bekas oknum militer.
Dengan demikian, militerisme dalam alat negara tidak dipakai sebagai
alat kekuasaan untuk menindas dan menakuti rakyat. Namun militer dan
alat negara lain harus diberdayakan agar pemerintah tidak lumpuh dan
berwibawa dalam pengendaliam massa, karena takut dituduh militerisme
seperti masa lalu. Untuk itu polisi (sipil juga) sebagai “alat negara” harus
didukung agar tidak ragu-ragu dalam menghadapi anarkhi sekelompok
masyarakat atas golongan yang lain, sehinga polisi tidak jatuh ke dalam
pelangaran HAM pada ekstrim yang lain. ‘Masyarakat sipil yang sejati’
harus diberdayakan secara kependidikan dan ekonomi, bukan hanya
politik saja. Masyarakat sipil jenis ini tidak ada kaitannya sama sekali
dengan apa yang sekarang ini didengungkan sebagai “masyarakat
madani,”41 karena kesejatian ‘sipil’nya pasti tidak akan didapati bila ada
diskriminatif dan prinsip non-egalitarianisme, tidak adanya equal
treatment dari pemerintahnya. Hal ini sudah terbukti dari Reformasi yang
‘kebablasan’ dengan anarkhi ‘barbarik’ yang menjadi fenomena
sehari-hari dengan alasan demokrasi. Untuk itu rakyat harus dicerdaskan
dan lapangan kerja harus diciptakan seluas-luasnya.
Lebel politik itu ‘jahat’ biasanya bila sudah berkaitan dengan
kekuasaan dan perebutan kekuasaan, serta potensi kekerasan di dalamnya.
Namun politik pada mulanya berarti baik, karena kata Yunani politeia
berarti kemasyarakatan atau pengaturan penduduk dari suatu negara. Jadi
41
Belakangan ini ‘masyarakat sipil’ sering disamakan dengan ‘masyarakat
madani,’ padahal secara konseptual dan praktis sangat berbeda. “masyarakat Madani”
masa kini (sejahtera, adil, makmur, tentram dll) yang dikonsepsikan oleh Mahathir
Muhammad, -dan diadopsi kaum Muslim Indonesia- sarat dengan muatan agama tertentu
dan dalam sejarahnya juga ‘piagam Madinah’ tidak dapat mengakomodir semua
keinginan golongan masyarakat kota Yathrib dengan setara dan dalam prakteknya
menunjukkan tidak adanya kesamaan hak-hak kemanusiaan dari suatu pemerintahan.
Lebih lanjut dapat dikatakan, bahwa secara tertentu dapat juga diduga sebagai upaya lain
dan jalan terselubung dalam perwujudan ‘NII’ yang telah diimpikan selama ini. Dalam
studinya Gunarto mendaftarkan fakta historis ke 47 klausul perjanjian Madinah yang
menindikasikan situasi on emensipatif juga; lih “Tradisi Ibrahimi Sebagai Konteks
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia,” Tesis M.HI, Universitas Islam
Malang, 2004, hl. 59-65 (tidak terbit).
22 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

tidak ada salahnya memperjuangkan kembali ‘hak-hak sipil’ kita sebagai


warga negara secara konstitusional dan sesuai hukum-hukum sipil yang
berlaku. Beberapa orang injili memang menolak ide ini, Gordon Clark
misalnya, ‘menolak gagasan tentang pemerintahan sipil, karena hanya
Tuhan adalah Raja,’ bahkan Yoder ‘menolak tentang partisipasi Kristen
dalam pemerintah karena bersifat kekerasan.’ Juga Carl Henry
menyarankan ‘teologi a-politis karena produk aktualnya tersebut dan
motif human centernya. Abraham Kuyper menjelaskannya dengan
membagi dua dimensi pelayanan dan ketertundukkan gereja, secara
eksternal (pemerintah nasional) dan internal (Allah sebagai raja)42 dan
kelihatannya Mou menjembataninya dengan pendekatan korelasi dalam
mendamaikan dua hal ini, daripada pendekatan akomodasi.

KARAKTERISTIK PEMERINTAHAN YANG DEMOKRATIS


Visi dan Misi Pemerintah bagi Demokrasi
Secara umum suatu negara dikatakan demokratis karena
pemerintahnya mengakui dan berusaha melakukannya dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat. Penyelenggaraan negara harus dilakukan
dengan mengingat kesejahteraan rakyat dalam seluruh lapangan
kehidupan rakyat: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam,
pendidikan, agama (ipolekosbudhankampenag). Singkatnya, sistem
politik demokrasinya dengan menyadari aksioma dari, oleh, dan untuk
rakyat serta aspirasi dan peran rakyatnya sebagai warga negara. Dalam
hal ini, visi dan misi suatu pemerintahan yang demokratis dapat disarikan
dari berbagai tulisan.
1. Pemerintahan konstitusional: berdasarkan konsensus yang
diundangkan dalam UUD.
2. Pemilu jujur dan adil : bukan hanya langsung, umum, bebas dan
rahasia tetapi juga ada transparansi.
3. Disentralisasi kekuasaan: otonomi daerah (=federalisme?) untuk
mencegah otoriterianisme pusat.
4. Transparansi parlemen dalam proses RUU: harapan rakyat sebagai
konstituen
5. Sistem peradilan yang independen: bebas dari intervensi penguasa
eksekutif dan kekuasaan lainya

42
Lih. dalam Richard J. Mouw, Political and Biblical Drama (Grand Rapids:
Baker, 1983), hl. 13-37.
JURNAL TEOLOGI STULOS 23

6. Pembatasan waktu lembaga kepresidenan: kuasa presiden dengan


bawahannya adalah abdi masyarakat dan untuk mencegah
munculnya penguasa diktatorisme.
7. Media yang bebas: sarana kontrol sosial terhadap pemerintah dan
katalisator perjuangan masyarakat.
8. Perkembangan kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat:
munculnya banyak organisasi non pemerintah (LSM) dalam rangka
dialog dan kontrol sosial juga.
9. Perlindungan atas hak-hak minoritas: agama dan etnik dari kaum
mayoritas yang berpengaruh atau pihak berkuasa atas oposisi.
10. Jaminan hak informasi: transparansi dan hak untuk tahu bagi
masyarakat dan bebas untuk mencari tahu sesuai hukum yang
berlaku
11. Kontrol sipil atas militer: mencegah militerisme akibat diperalat
oleh pemerintah sehingga terjadi pelanggaran HAM; militer sebagai
alat negara bukan alat pemerintah dengan segala implikasinya bagi
43
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Harapan-harapan Rakyat Tentang Demokrasi


Masyarakat mengharapkan banyak dari sistem demokrasi bahkan
dari pemerintahan yang demokratis. Adapun harapan-harapan rakyat
tersebut nyata dalam pengertian rakyat tentang demokrasi seperti yang
pernah dijaring secara bebas dan langsung dari peserta suatu lokakarya
yang diprakarsai oleh 6 lembaga (pemerintah dan ornop) yang interes
dalam bidang ini. 44 Karena pertemuan ini diprakarsai oleh ‘daerah
Kristen’ dan ornop (LSM) yang Kristiani, maka dapat dikatakan
pendapatnya mencerminkan pergumulan orang Kristen selama ini, namun
ternyata secara prinsipil adalah pendapat umum juga, seperti:
1. Keterbukaan, otonomi, kebebasan menentukan pilihan: termasuk:
hak pemilu dan juga keyakinan keagamaan.
2. Pemerintahan yang adil: keterbukaan dan transparansi pemerintah .
3. Rakyat sejahtera dan makmur: perbaikan bidang pendidikan,
ekonomi, dan kesehatan.
4. Bebas berpendapat, berserikat dan berbicara: paran rakyat secara
aktif untuk pemerintah
5. Demokrasi bebas dari jebakan dan tuduhan palsu atas SARA.

43
Lih. dan bdk. brosur yang dikeluarkan oleh kantor informasi Deplu AS yang
diberi judul “Demokrasi” dan disebarkan oleh Kedubes AS.
44
Dari rangkuman kegiatan lokakarya “Demokrasi, Otonomi daerah, Transparansi
[DOT], di Tarutung, Tapanuli Utara, Januari- Agustus 2002 dan diprakarsai oleh UNDP,
Pemkab-Taput, Yakoma-PGI, URM-I, CPE-Medan, PMK-HKBP Jakarta.
24 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

6. Demokrasi anti kekerasan pemerintah maupun mayoritas golongan


tertentu.
7. Musyawarah dan mufakat: kontrak sosial di dalam masyarakat
pluralistik.
8. Rakyat berdaulat: gagasan masyarakat sipil dan pemerintahan
bergaya sipil (anti militerisme).
9. Hak beragama dengan sebebas-bebasnya: memilih dan pindah atau
berganti agama tanpa penganiayaan dan pemenjaraan dengan
alasan apapun yang sepihak.
10. Bebas meyakini dan melakukan kepercayaan agama: beribadah dan
mendirikan rumah ibadahnya (termasuk menyiarkan agama) tanpa
syarat politik apapun.
11. Toleransi beragama sebagai kewajiban bukan hak: mutualisme dari
masing masing pihak ke pihak lain dan tidak menuntut sepihak.
12. Pemerintah yang tidak memihak sekelompok agama tertentu:
hukuman pidana terhadap tirani mayoritas dan tidak membela
secara sepihak.
13. Pemerintah tidak mencampuri urusan keagamaan dan hak-hak
agama yang sah: kepercayaan pribadi dan bebas dari hak tuduhan
“sesat” karena urusan internal agama.
14. Hak bebas berpendapat yang sama sebagai warga negara: suatu
wacana publik dan akademis.
15. Bebas melakukan dan mengatur kepercayaan asal tidak
bertentangan dengan hukum dan berdasarkan pemahaman
konstitusi yang normal berdasarkan kacamata hak manusia yang
universal.
16. Bebas menjadi apa saja dan apapun agamanya: dalam jabatan dan
profesi dalam masyarakat.
17. Dialog antara agama sebagai kewajiban mutualistik untuk
pencegahan kekerasan atas nama agama.
18. Emansipasi dan kesamaan penerimaan dan perlakuan pemerintah
atas semua golongan agama apapun: tidak pilih kasih atas salah
satu agama saja.

KONSEP DEMOKRATISASI DALAM LAPANGAN


KEAGAMAAN
Berdasarkan survei di atas, yang sebagian besar berfokus pada
lapangan keagamaan, di mana dirasakan sangat memprihatinkan
situasinya, khususnya yang dihadapi gereja Tuhan; dengan kesadaran
bahwa inti gerakan reformasi Indonesia adalah demokrasi dan
demokratisasi negara dan seluruh bangsa. Artinya, prinsip-prinsip
demokrasi seharusnya menyentuh juga bidang keagamaan di masyarakat,
JURNAL TEOLOGI STULOS 25

bukan hanya bidang: politik, ekonomi, hukum, sosial dll. Pentingnya


demokratisasi agama harus didasarkan atas hak-hak asasi manusia (HAM)
yang universal sebagai dasar universal bagi ‘keadilan sosial’ bagi seluruh
rakyat Indonesia. Untuk itu reformasi ini harus waspada terhadap
demokrasi yang kebablasan dan jatuh ke dalam anarkhisme barbar dari
segelintir ‘petualang’ yang egois dan fanatik agama yang ‘anti sosial’
terhadap prinsip kebhinekatunggalikaan dari Pancasila.
Untuk itu patut juga bagi orang Kristen memikirkan kembali
keberadaannya, secara khusus dalam kaitannya dengan penganiayaan,
penderitaan dan diskriminasi yang dialami gereja Tuhan. Untuk itu
perumusan ulang dasar-dasar demokratisasi bidang keagamaan begitu
penting, khususnya di Indonesia. Saya pikir, khusus di Indonesia yang
paling memprihatinkan dan penting bagi agama-agama formal (besar)
apalagi pemerintah sebagai pengayom adalah prinsip normatif “equal
treatment” 45 yang sejak semula sudah ditunjukan dalam nilai-nilai
Pancasila yang bercirikan kebhinekatunggal-ikaan di atas.

1. Prinsip Kebebasan Beragama.


Yaitu bebas dalam memilih dan menganut suatu agama tertentu
bagi setiap individu. Sebagai manusia yang bermartabat berdasarkan
penciptaannya, maka manusia bebas di dalam hati nuraninya untuk
menentukan keinginannya. Setiap manusia harus terjamin kebebasannya
tanpa paksaan dan penipuan. Implikasi logisnya adalah setiap individu
manusia bebas memilih dan menukar agamanya sesuai keyakinannya
sendiri sebagai sesuatu yang azasi, dan harus dihormati apakah nama dan
bentuk agamanya, asal tidak merongrong negara dan mengancam
kedamaian masyarakat. Hak beragama meski diatur oleh pemerintah
dalam pengaturan masyarakat, tetapi tidak boleh mengebirinya karena
alasan apapun. Prinsip universalnya, the basic of human rights is
religious freedom.

2. Prinsip Hak Beribadah


Ada jaminan untuk dapat menjalankan agama pilihannya dan
45
Stephen V. Monsma and J. Christopher Soper, eds., Equal Treatment of
Religion in a Pluralistic Society (Grand Rapids, Cambridge: Wm. Eerdmans, 1988).
26 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

keyakinan, khususnya dalam beribadah kepada Allah yang disembahnya.


Hak beribadah secara umum bersumber dari Allah yang menguasai hati
nurani manusia yang bebas, tanpa kecuali, siapa pun dan dimana pun,
sesuai keadilan dan kebenaran di masyarakat. Beribadah kepada Allah
adalah suatu hak pribadi di dalam keseluruhan aspek kemanusiaannya,
tanpa tekanan dan ancaman, baik secara mental dan moral, ekonomis,
politis dan UU. Pemerintah dan manusia yang berlainan agama tidak
boleh secara sengaja menentang hak ibadah yang ada di dalam nurani
manusia yang berasal dari Allah tersebut.

3. Prinsip Non Diskriminasi


Prinsip ini tanpa mengadakan pembedaan yang tidak adil, karena
bentuk dan nama agama. Perlakuan yang sama di depan hukum dan
undang-undang antara kategori ‘mayoritas dan minoritas’. Dalam prinsip
ini pemerintah melalui aparat penegak hukumnya harus memperlakukan
persamaan hak di depan hukum, tanpa memihak dengan alasan apapun
seperti seagamanya, segolongannya, termasuk alasan ketakutan dan
pertimbangan dari pengaruh mayoritas. Setiap manusia, agama apapun
mempunyai hak hidup yang sama dan harus dihargai secara sama pula,
tanpa perbedaan. Perlakuan hukum harus diterapkan kepada semua orang
tanpa pandang bulu, misalnya dalam izin pendirian rumah ibadah, baik
secara permintaan maupun sangsi.

4. Prinsip Pluralisme ‘Agama’


Di dalam masyarakat, manusia yang beragama harus berjuang
mewujudkan kedamaian dan keutuhan hidup manusia dalam hal kebaikan
bersama meskipun berbeda agamanya. Hal itu berarti semua manusia
wajib menghargai aspek-aspek kemajemukan masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip universal: kebaikan dan kebenaran, kedamaian,
kebersamaan persaudaraan demi kesatuan hidup masyarakat tanpa
penyeragaman dan penyatuan ajaran agama. Perjuangan atas nilai-nilai
pluralisme agama46 di dalam masyarakat adalah suatu berkat, sekaligus
46
Wacana dan ideologi pluralisme agama di dalam masyarakat majemuk harus
dibedakan dengan pluralisme teologis yang sekarang ada di antara orang Kristen, di mana
ideologi dan wacana pluralisme tersebut telah dipakai menjadi pendekatan teologis, yang
mengakibatkan kompromi sinkritis dan pengenceran iman yang ortodoks. Pluralisme
JURNAL TEOLOGI STULOS 27

konsekuensi kehidupan manusia secara global. Perbedaan variasi ajaran


agama dengan segala konfliknya diantara penganutnya harus diselesaikan
di dalam dialog dan kontrak sosial demi kemaslahatan hidup bersama
yang lebih luas. Jadi secara terbatas, khususnya dalam wacana dan studi,
bukan teologis-doktrinal, karena akan menjadi sinkritisme ajaran dan
merusak keunikan masing-masing agama. ‘Premanisme’ dan kekerasan
atas nama agama tidak boleh dibiarkan oleh negara (via polisi), karena
akan jatuh ke dalam pelanggaran HAM dalam titik kutub yang lain.

5. Prinsip Saling Toleransi Aktif


Di dalam masyarakat demokratis, toleransi dalam perbedaan
pendapat dan keyakinan adalah sesuatu yang niscaya. Namun apa yang
saya namakan ‘toleransi aktif’ menjadi sangat penting, di mana setiap
orang pertama mengambil inisiatif terlebih dahulu, bukan menuntut orang
kedua atau orang ketiga untuk melakukan toleransi kepada orang yang
berbeda dengannya. Kekurangan praktek toleransi agama selama ini
adalah hanya menuntut orang lain untuk toleransi, sehingga mengebiri
kebebasan orang lain di dalam mempraktekkan agamanya. Toleransi pasif
yang selama ini ada, sebenarnya bukanlah toleransi yang sesungguhnya,
sesuai kata asli tolerare, yang artinya menahan diri kepada orang lain;
sehingga saling toleran dapat dicapai bukan hanya menuntut untuk
ditoleransi. Jadi “toleransi bukanlah hak tetapi suatu kewajiban.”

6. Prinsip Keadilan Keberagamaan


Perlakuan yang sama adil atas semua manusia apapun agamanya di
hadapan hukum dan pengadilan. Kesederajatan hak dalam bidang
ekonomi, politik, pendidikan dll tanpa memandang agama dan tanpa ada
pengaruh agamanya secara negatif. Pemerintah tidak berpihak karena
terpengaruh aksi sosial dan tekanan mayoritas, sehingga mengabaikan
hak-hak hukum minoritas agama. Pengadilan yang adil serta perlakuan
keadilan adalah hak setiap manusia dari agama apapun. Peradilan yang
independen tanpa pengaruh tanpa ancaman dari superioritas masyarakat

secara positif adalah bentuk perjuangan kemasyarakatan yang majemuk dan saling
toleransi di dalam persamaan hak dan saling menghargai. Bagi kaum injili wacana dan
perjuangan pluralisme agama yang dapat diterima sebatas kategori “pluralisme struktural”
yang dipertentangkan terhadap “pluralisme konfesional”.
28 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

sekeliling dan dominasi pejabat yang beragama tertentu.

7. Prinsip Perjuangan bagi Hak-hak Minoritas


Dalam negara yang demokratis, hak-hak warga negara adalah suatu
yang harus dijamin oleh pemerintah, khususnya hak-hak minoritas.
Perjuangan hak-hak sipil kaum minoritas harus diperhatikan oleh kaum
mayoritas dan harus dibela pemerintah yang demokratis.47 Secara logis
dan normal, biasanya hak-hak minoritas yang selama ini tidak terjamin
bahkan diabaikan, karena tidak mendominasi dan tidak superior sebagai
warga negara. Keinginan ‘tirani mayoritas’ harus dibuang dalam alam
demokrasi, karena semua orang punya hak dan kesempatan yang sama.
Bahkan kebih dari itu, mayoritas yang demokratis harus melindungi
hak-hak dari kaum minoritas, bahkan menjaminnya bersama pemerintah,
bukan mendominasi dan menjajah, sehingga kelanjutan hidup dan
kehidupan kaum minoritas terjaga. Prinsip bahwa setiap orang equal
before the law harus diterapkan juga dalam lapangan keagamaan.

8. Prinsip Kebebasan Berpendapat (dan Berpikir)


Di dalam mengutarakan keyakinannya secara umum, termasuk di
dalam pembicaraan yang berfokus tentang keagamaan. Partikularisme
keyakinan secara pribadi tanpa menjadi eksklusivisme, di mana
eksklusivisasi agama terhadap agama yang lain. Jadi prinsip keunikan
agama masing-masing tetap terpelihara tanpa radikalisasi agama di dalam
masyarakat yang sering berakibat penghinaan, pengancaman,
pembunuhan orang beragama lain. Di sini, media yang bebas sebagai
sarana kebebasan berpendapat harus menahan diri dari diskriminasi
47
Secara ideal memang diakui, di dalam istilah “mayoritas-minoritas” mengandung
‘unsur kenegatifan’ seperti: diskriminasi, pengkotak-kotakan disintegral, hubungan superior-
inferior dan anti persamaan hak, dll., sehingga dianggap tidak boleh ada dalam pembicaraan
demokrasi dan proses demokratisasi. Seperti dalam rezim ORBA, beberapa orang secara
naïf menyangkal realitas situasi ini dan menutup mata atas faktanya; bahkan di negara
maju sekalipun seperti di Amerika, fakta ini adalah suatu realitas bersifat netral-artinya
tidak ada tendensi pemihakan atau penghukuman, tetapi justru perlindungan)- Di
Indonesia, secara populasi, geografi bahkan politik, realitas dan fakta itu memang eksis
dan dialami oleh orang Kristen sebagai kelompok minoritas, yang nyata dalam produk
hukum, kebijakan, perlakuan peraturan dan sampai pada kekerasan mayoritas bahkan
ternyata dalam pembicaran pemerintah. Jadi semua pihak harus jujur dan seimbang dalam
pengertian ‘ideal’ atau ‘faktual’ sehingga dapat mengatasi secara riil dan arif.
JURNAL TEOLOGI STULOS 29

pemberitaan, karena sering tidak seimbang dan memihak salah satu


agama. Kekebasan berpikir tentang hubungan agama-agama dalam
wacana pluralisme, tanpa harus dituduh ‘pelecehan agama.’

9. Prinsip Otonomi Keberagamaan


Otonomi agama masing-masing tanpa campur tangan pemerintah48
dalam hal ajaran dan juga dalam hak masing-masing untuk membangun
rumah ibadah di dalam kerangka pengaturan pemerintah bukan
pembatasan oleh kekuasaan negara. Di dalamnya termasuk hak
penyebaran agama kepada siapapun asal dengan rela dan terhormat, tanpa
membanding dan menjelekkan agama orang lain; bukan paksaan dan
penipuan. Karena di dalam pemikiran umum, setiap agama mengandung
aspek misioner, dalam arti positif tanpa ingin menghapuskan eksistensi
agama yang lain. Semuanya berdasarkan konstitusi yang sudah ada dan
transparansi dalam implementasinya di dalam perjuangan hak-hak sipil
masyarakat dalam beragama dan beribadah. Pemerintah menjamin penuh
hak-hak beragama yang esensial, bukan mengatur dalam pengertian
mengekang tetapi membuka jalan.49

48
Perlu dimengerti tentang sekularisme yang selama ini dipahami oleh pihak
agamawan sebagai paham ateisme dalam perspektif teologis atau agama. Namun, secara
sosiologis, --hubungan antara negara dan agama-- sekuralisme adalah paham dasar sistem
‘negara sekular yang harus dimengerti sebagai ‘pemisahan’ antara agama dan negara.
Artinya pemerintah dan negara tidak ikut campur masalah-masalah keagamaan. Agama
ada dalam lingkup sosial masyarakat secara umum, bukan politik kekuasaan. Nilai-nilai
Pancasila yang berprinsip sekular adalah dalam arti yang terakhir tersebut. Jadi agama
adalah masalah warga negara secara individu dan komunitas agama itu sendiri dan
terpisah dari negara secara politik. Untuk itu, misalnya, keberadaan Departemen Agama
sebagai kepanjangan tangan negara sangat bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai
demokrasi, apalagi keberadaan dan kemunculannya bertendensi memihak agama tertentu.
49
Catatan: perlu disadari department of religion (‘agama’ bentuk tunggal) di
Indonesia tidak sama dengan department of religious affair (urusan keagamaan). Dalam
arti ini negara sekular tidak boleh dianggap akan memasung perkembangan agama atau
melarang penduduknya beragama, tetapi justru menjamin secara penuh sebagai sesuatu
yang azasi pada manusia secara sama rata. Pandangan intelektual muslim sendiri, bahwa
pada mulanya munculnya departemen agama merupakan hasil sampingan dari usaha
kompromi politis antara muslim dan non muslim yan berakar pada problem 7 kata dalam
Piagam Jakarta yang hendak dimasukkan ke dalam UUD 45; yang pada mulanya bertugas
untuk mengurusi hak umat muslim saja (mayoritas) kemudian berkembang menjadi
mengurusi semua orang beragama lain dan untuk itulah banyak demokrat menolak
eksistensi Depag karena sepak-terjangnya sekarang ini sudah sampai (seakan akan) pada
pelanggaran hak-hak azasi dan sipil umat beragama lain (minoritas).
30 Demokrasi, Politik dan Keprihatinan Kristen di Indonesia

10. Prinsip Nilai-nilai Inklusif


Sikap akomodasi di dalam masyarakat agama tanpa menjadi
sinkritisme: non kompromi dalam akidah anti fanatisme dan radikalisasi
agama di dalam masyarakat, karena semua perbedaan dan konflik harus
dipahami toleransi. Ini adalah kelanjutan prinsip-prinsip toleransi
masyarakat di dalam beragama. Semua agama mempunyai keunikan
sendiri yang mengandung unsur eksklusifitas dalam hal-hal prinsip,
namun di dalam masyarakat tetap ada faktor common ground dan titik
keseimbangan yang harus diusahakan bersama oleh orang beragama yang
berbeda-beda. Selalu ada nilai-nilai inklusif dalam rangka kontrak sosial
dimasyarakat yang menjadi penting di dalam masyarakat modern dan
beradab. Hal ini menyatakan bahayanya pendekatan eksklusivisme agama
(radikal) sekaligus penolakan pendekatan inklusivisme agama (kompromi)
di dalam perjuangan masyarakat plural.

KESIMPULAN
Demokrasi harus berdasarkan cita-cita luhur kemanusiaan dan
hak-hak manusia yang mendasar (HAM) yang sudah tercantum dalam
Pembukaan UUD 45 dan Pancasila. Dalam keadaan demikian, secara
normal identik dengan cita-cita kebajikan Kristen alkitabiah yang
didasarkan pada visi suara kenabian gereja dan orang Kristen. Memang
demokrasi bukan suatu sistem yang bebas dari kegagalan, namun tetap
diperlukan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang paling baik
dan memadai. Untuk itulah sistem demokrasi adalah pilihan ideal dari
perspektif Kristen tentang masyarakat dan pemerintahan.
Sebagai warga negara Indonesia, kita patut memperjuangkan
hak-hak sipil sebagai warganegara yang Kristen, bahkan lebih lagi
membela hak-hak kemanusiaan yang universal. Dengan demikian, kita
bukanlah kelompok picik; namun fakta minoritas yang tertindas, ketika
sedang membela nasib sendiri. Namun ini bukan egoisme kelompok,
tetapi hendak melihat fakta-fakta secara intensif dan jujur. Kesadaran
demokrasi harus dimulai dari individu dan dijamin oleh pemerintah,
kemudian diikuti oleh seluruh golongan warganegara. Penduduk yang
demokratis dapat mencegah dis-integrasi bangsa akibat diskriminasi
agama. Kemudian dapat mengembalikan citra Indonesia yang pluralistik
ini “sebagai surganya agama-agama” (Toynbee).

Anda mungkin juga menyukai