Anda di halaman 1dari 4

Total Democracy

Oleh : Yusran Taridala


(Pengamat Sosial-Politik)

Saat itu, Front Pembela Islam (FPI) baru saja mengobrak-abrik beberapa tempat
prostitusi (pelacuran) di kota Jakarta karena dianggap sebagai biang kemaksiatan. Merasa
tindakan FPI itu telah mengusik nilai kebebasan individual dan sense of solidarity antar sesama,
esoknya, seorang aktifis NGO (yang menyebut dirinya aktifis prodem – pro demokrasi)
mengeluarkan statement keras di sebuah media cetak nasional. “Tindakan anarkhis FPI itu
sangat tidak demokratis serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan dan HAM..”,
cetusnya. “Sebab, tempat-tempat yang digasak oleh FPI itu, belum disepakati secara bersama-
sama oleh semua elemen masyarakat sebagai tempat maksiat. Seharusnya, pandangan dan sikap
kita terhadap sesuatu, harus didasarkan pada asas kesepakatan bersama..”, tambah sang aktifis.
Kilasan kasus sederhana di atas, bila ditelaah lebih dalam, mewakili dua kesadaran dan
cara berfikir ekstrim yang berbeda secara diametral, sebagaimana yang banyak mewarnai
diversitas pemikiran kita saat ini, bila - tentu saja - berbicara tentang “yang seharusnya dan yang
tidak seharusnya terjadi”. FPI dalam kasus itu mewakili kesadaran religius atau pemikiran
teologis tentang sumber kebenaran dan kekuasaan untuk bertindak. Disini FPI berpandangan
bahwa kebenaran itu bersumber dari Tuhan dan setiap hamba-hamba Tuhan berkewajiban untuk
menegakkannya. Sedangkan si aktifis NGO tadi mewakili kesadaran humanisme dan pemikiran
demokratis tentang hal yang sama. Disini, sang aktifis berpandangan bahwa kebenaran itu
bersumber dari apa yang dianggap baik dan disepakati oleh sekumpulan atau sebagian besar
manusia, dan setiap warga manusia didalamnya berkewajiban menjaga komitmen bersama itu.
Tentu saja, memerlukan perdebatan yang sangat panjang untuk mendiskusikan kelompok
mana, dari kilasan kasus sederhana di atas, yang bisa dianggap lebih benar dan lebih cocok
untuk situasi sekarang. Sebab, keduanya memiliki konstatasi (dasar pikir) yang kuat, bahkan
memiliki imbas pada spektrum pemikiran yang lebih luas, seperti katakanlah, pada spektrum
pemikiran politik atau sistem ketatanegaraan. Pada spektrum ini, perdebatan telah berlangsung
berabad-abad antara kelompok agama (terutama Kristen dan Islam) serta para aristocrat (kaum
feodal) dan diktator, dengan kelompok yang meyakini sistem pemerintahan demokrasi.
Pemikiran kelompok pertama (agama) memiliki konstatasi utama bahwa manusia adalah ciptaan
Tuhan, sehingga Tuhan yang paling tahu dan karenanya paling berhak mengatur kehidupan
manusia, termasuk kehidupan politik. Dalam konteks Negara, campur tangan Tuhan dalam
kehidupan warga Negara harus tercermin dalam undang-undang yang tentunya bersumber dari
kitab suci. Pemikiran kelompok kedua (para diktator dan aristocrat atheis) berpijak pada
konstatasi utama bahwa tak semua manusia memiliki bakat dan kemampuan untuk mengatur dan
memimpin. Telah menjadi aksioma sejarah bahwa hanya terdapat segelintir manusia (dari
sekumpulan manusia lainnya di suatu negeri) yang memiliki keunggulan dan kemampuan
personal, serta karenanya memiliki hak, untuk mengatur (membuat undang-undang) dan
memimpin (berkuasa) atas manusia lainnya. Sedangkan kelompok ketiga (pro-demokrasi)
memiliki konstatasi utama bahwa semua manusia memiliki hak yang sama (setara) untuk
bersuara, mengatur dan berkuasa atas dirinya sendiri dan manusia lain, sehingga segala
kekuasaan harus berpijak pada kehendak dan kesepakatan sekumpulan manusia mayoritas.
Menghindari perdebatan filosofis yang berbelit mengenai seluk beluk pandangan dari tiga
kelompok di atas, saya mencoba meminjam cara berfikir sederhana ala Plato dan Aristoteles
mengenai batasan masalah yang tengah dibicarakan dalam tulisan ini, yakni tentang konsepsi
politik. Tiga kelompok di atas, dalam kacamatan Plato dan Aristoteles, sesungguhnya bisa
dikerucutkan lagi menjadi dua golongan besar, yakni mereka yang berfikir tentang kekuasaan the
wiser atau orang-orang bijak (agamawan, bangsawan, orang-orang pintar atau manusia-manusia
unggul lainnya), serta mereka yang berfikir tentang the larger (kekuasaan mayoritas atau orang
banyak). Baik Plato maupun Aristoteles, keduanya adalah penggagas pemikiran demokrasi ala
Yunani, namun keduanya berbeda secara ekstrem dalam melihat titik tekan penerapan
demokrasi. Plato menghendaki adanya penekanan pada kekuasaan the wiser (yang
diperkirakannya selalu berada pada posisi minoritas), meskipun ia juga sepakat pada
pemerintahan the larger. Plato mengkhawatirkan satu hal yakni bahwa jika pemerintahan
demokrasi hanya mengutamakan kelompok mayoritas (the larger), maka kelompok yang tidak
berpendidikan dan miskin, akan membenci orang-orang kaya. Pandangan Plato ini didukung oleh
Pericles (pemimpin demokrasi Athena lainnya pada sekitar tahun 430 SM) yang menyatakan
bahwa demokrasi berhubungan dengan toleransi, tapi tidak membuat klaim khusus pagi
pemerintahan mayoritas.
Sejarah pun telah bercerita panjang tentang bagaimana dua konstatasi pemikiran politik
di atas silih berganti mewarnai titian sejarah politik di seluruh dunia dari abad ke abad.
Konstatasi kekuasaan ‘the wiser’ memunculkan diri dalam sejarah pemerintahan kerajaan,
kekaisaran atau negara-negara teokrasi, monarkhi, aristokrasi atau oligarki, sedangkan kontatasi
kekuasaan ‘the larger’ memproklamirkan diri dalam sejarah pemerintahan negara-negara sosialis,
komunis serta Negara demokrasi berikut beragam varian bentuk aplikasinya pada negara-negara
demokrasi parlementer (perwakilan), demokrasi langsung, demokrasi presidensil, dan lain-lain.
Di Indonesia, upaya pencarian bentuk negara dan sistem politik pasca kekuasaan raja-raja
feodal atau pasca pendudukan Jepang dan kolonialisme Belanda, telah melahirkan penggalan-
penggalan sejarah penerapan sistem demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin (ala bung
Karno), demokrasi presidensil (atau lazim disebut demokrasi Pancasila) dan sedikit riak-riak
gerakan dari segelintir anak bangsa negara ini di masa lalu dan masa sekarang yang berusaha
mengimpor ideology sosialisme dan komunisme serta, (meski tak bersifat import) berusaha
menerapkan sistem politik Islam. Meski kemudian, pertarungan ideology politik Indonesia di
masa silam itu dan masa sekarang ini, untuk sementara waktu, cenderung dimenangkan oleh
sistem demokrasi presidensil. Sistem demokrasi seperti ini dipilih untuk memiliki karakter yang
santun, memiliki media ‘perwakilan’ dan seorang presiden yang mempersatukan fakta
pluralisme,
Namun demikian, ‘kemenangan demokrasi presidensial’ itu rupanya hanya berada pada
spektrum kesadaran bernegara dari sebagian besar elit dan warga bangsa ini yang berusaha
mempertahankan watak dasar ‘Indonesia’ dalam konteks politik dan pemerintahan. Sebagian
kaum terpelajar, kelompok kritis dan kerumunan intelektual profan yang angkuh, cenderung
melihat ‘negara’ sebagai bagian yang terpisah jauh dari rakyat, sehingga memilih memplesetkan
isu civil society dalam ruang kesadaran yang lebih bersifat politis untuk, seperti kata mereka,
‘melawan’ elitisme beourgoisme Negara. Sistem politik yang kemudian dipilih untuk memoles
upaya ‘politisasi’ isu civil society ini ternyata adalah kembali pada model total democracy ala
Yunani. Model yang pernah dipraktekkan pada sekitar abad ke-VI sebelum masehi ini, telah
sejak dulu mengusung konsepsi rule ‘by the people’ dalam sistem politik yang, bahkan, tak
mengenal sistem perwakilan. Di Yunani saat itu, setiap orang adalah anggota badan pengambil
keputusan untuk seumur hidupnya, meskipun tidak (berlaku) untuk para wanita, budak dan
penduduk asing (pendatang). Terlepas dari sisi diskriminasi sosial yang masih melekat di
dalamnya, potret peradaban total democracy ala Yunani tergambar pada pernyataan Aristoteles
yang menempatkan “pemerintahan mayoritas” pada posisi supreme (yang tertinggi). “the
majority ought to be sovereign, rather than the best”, kata sang murid Plato itu. “..where the
best are few. A feast to which all contribute is better than one given at one man’s expense..”,
jelasnya.
Dan oleh karena telah menjadi anggota badan pengambil keputusan untuk seumur
hidupnya, maka setiap orang Yunani di saat itu berhak menyuarakan pendapatnya atas persolan-
persoalan pemerintahan. Untuk memudahkan proses penyaluran ‘aspirasi’ rakyat itu, masyarakat
Yunani dipecah/ditempatkan ke dalam Negara-Negara bagian yang kecil-kecil (tidak pernah
lebih dari 10.000 orang). Yang terjadi kemudian setelah itu adalah bahwa para penguasa
pemerintahan Yunani mengalami “kebingungan” luar biasa karena setiap hari harus
mendengarkan aspirasi rakyat yang datang silih berganti sebanyak jumlah penduduk yang
menyuarakan pendapatnya.
Gambaran tentang ‘kebingungan’ menghadapi ‘hujan’ aspirasi rakyat dalam sistem total
democracy ala Yunani di atas, telah disadari dan karenanya berusaha dihindari oleh para
penguasa Romawi beberapa abad kemudian (509 – 27 SM), yang lalu melakukan modifikasi
pada sebagian elemen demokrasi Yunani dengan menerapkan sistem politik demokrasi
perwakilan. Sistem politik inilah yang kemudian nyaris mempengaruhi aplikasi seluruh sistem
politik negara-negara demokrasi Eropa hingga saat ini.
Alur berfikir para penguasa Romawi itu juga relatif sama dan telah mempengaruhi
konstatasi berfikir para pendiri bangsa Indonesia untuk ikut memilih sistem demokrasi
perwakilan, meskipun dengan beberapa ‘assessoris’ domestik untuk menciptakan brand
demokrasi made in Indonesia, seperti demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila atau demokrasi
presidensil.
Akan tetapi, dinamika politik yang tumbuh dan berkembang di kalangan sebagian bangsa
Indonesia belakangan ini sekonyong-konyong semakin menjauh dari alur pikir demokrasi yang
diyakini oleh para pendiri bangsa dan para elit pimpinan Negara saat ini. ‘Kejutan budaya’
(cultural shock) dan semacam frustrasi kolektif yang dialami oleh sebagian anak bangsa ini
ketika berhadapan dengan trend globalisasi, sekonyong-konyong telah mendorong mereka untuk
‘keluar’ dan memilih memisahkan diri dari kesadaran demokrasi perwakilan berbasis kultur
Indonesia, dan lalu menempatkan kemapanan ‘negara’ berikut seluruh aparatnya pada posisi
yang seolah ‘berhadapan-hadapan’ secara diametral dengan mereka. Gerakan anti kemapanan
pun menggejala dimana-mana dengan pola sporadik, terus menyuburkan ‘prasangka buruk’ dan
ketidakpercayaan kepada institusi dan pejabat publik, berfikir polimorfik (tidak detail), profan
(terlalu datar) dan ultra-kritis, bermental sedikit arogan, serta rajin menghujat dan menagih
‘janji’. Gerakan inilah yang kemudian cenderung menjadi cikal bakal dari pilihan terakhir negeri
ini untuk mengimpor ‘total democracy’ ala Yunani, sebuah sistem politik yang sesungguhnya
telah kadaluwarsa karena telah ditinggalkan sejak ratusan tahun lalu oleh Negara-negara Eropa.
Salah satu bentuk praktis dari total democracy di Indonesia yang justru membuat geger (karena
dianggap melampaui standar demokrasi kontemporer) oleh Negara-negara demokrasi di Eropa
dan Amerika adalah pemilihan langsung presiden dan kepala daerah. Akibatnya, bersiap-siaplah
kita menghadapi ‘kebingungan’ yang bertalu-talu akibat hujan aspirasi rakyat yang takkan
kunjung selesai, sebagaimana para penguasa Yunani telah merasakannya sejak tahun 600
sebelum masehi.

Anda mungkin juga menyukai