Latar Belakang
Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,
chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis, infeksi human immunodeficiency virus
(HIV) dan hepatitis B. Beberapa diantaranya, yakni HIV dan syphilis, dapat juga ditularkan dari ibu ke
anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan melalui darah serta jaringan tubuh.
Peningkatan insidens infeksi menular seksual dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat
diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang
intensif akan menurunkan insidens infeksi menular seksual atau paling tidak insidensnya relatif tetap.
Namun demikian, sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang
ditemukan. Jumlah penderita yang terdata hanya sebagian kecil dari penderita sesungguhnya (Lestari,
2008).
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan gonorrhea.
Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan
prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya
prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi
infeksi gonorrhea 29,8%, syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus
meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan
pada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 meningkat
menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual. Kecenderungan kian meningkatnya
penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual yang bergonta-ganti pasangan, dan adanya
hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular
seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya
(Lestari, 2008).
dokumen word
KTI KEBIDANAN
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SMA WIYATA DHARMA MEDAN TERHADAP
INFEKSI MENULAR SEKSUAL
(isi: abstrak, Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)
search
Site Web
Pemantauan Prevalensi HIV Melalui Surveilans Terpadu Biologi
Dan Perilaku (STBP)
24 Oct 2008
Untuk melakukan pemantauan terhadap peningkatan prevalensi HIV, pemerintah telah membuat
suatu strategi yang dinamakan Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP), merupakan strategi
gabungan antara surveilans perilaku, surveilans sero sentineil dan survei IMS (Infeksi Menular
Seksual).
Pelaksanaan survey/STBP di Indonesia pertama kali dilakukan di Papua tahun 2006. Hasil STBP Papua
telah dipublikasikan awal tahun 2007 dan dipakai untuk pengembangan Program Intensifikasi
Penanggulangan HIV/AIDS di Papua. Selanjutnya STBP dilaksanakan bulan Agustus sampai Desember
2007 oleh Ditjen PP&PL Depkes dan BPS, dibantu pakar nasional surveilans HIV dan konsultan
Internasional dari Family Health International atau Aksi Stop AIDS di 8 provinsi yaitu Jawa Timur
(Surabaya, Malang, Banyuwangi), DKI Jakarta, Jawa Tengah (Semarang), Jawa Barat (Bandung,
Bekasi), Sumatera Utara (Medan), Kepulauan Riau (Batam), Papua (Jayapura) dan Papua Barat
(Sorong).
Sasaran dari pelaksanaan survey adalah kelompok berisiko tinggi seperti Pengguna Napza Suntik
(Penasun), Pekerja Seks (Pria&Wanita), Waria, Lelaki Suka Lelaki, dan Lelaki Berisiko Tinggi
(pengemudi truk, tukang ojek, tenaga kerja bongkar muat barang/TKBM, dan anak buah kapal/ABK).
Sebagian besar dari kelompok berisiko tinggi tersebut berusia muda (20-30 tahun) dan terinfeksi HIV.
Adapun tujuan umum pelaksanaan STBP adalah untuk mengukur prevalensi Infeksi Menular Seksual
kecenderungan perilaku berisiko pada kelompok berisiko tinggi di 8 provinsi tersebut diatas.
Sedangkan tujuan khususnya antara lain adalah mengukur hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku
berisiko dengan prevalensi HIV dan IMS, ujar dr. Tjandra Yoga.
Menurut dr.Tjandra Yoga, angka prevalensi HIV secara umum di Indonesia masih cukup rendah
(0,16%). Namun, sejak tahun 1990 prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi mengalami
peningkatan.
Kelompok pengguna Napza suntik (penasun) yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok
lainnya memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi.
Hasil Estimasi 2006 menunjukkan bahwa perkiraan jumlah Penasun saat itu adalah 219.000 orang,
Wanita Pekerja Seks sebesar 221.000 orang dan pelanggan 3.160.000 orang. Apabila interaksi
diantara kelompok berisiko tinggi dengan pelanggan yang merupakan “bridging population”, maka
kemungkinan besar terjadi peningkatan prevalensi HIV baik di kelompok Risiko Tinggi maupun yang
tidak berisiko tinggi (istri dari pelanggan seks komersial, pasangan penasun, bayi/anak pasangan
Angka prevalensi HIV wanita penjaja seks (WPS) tertinggi terdapat di Papua 15,9%, berikutnya Bali
14,1%, Batam 12,,3%, Jawa Barat 11,6%, Jakarta 10,2%, Jawa Tengah 6,6%, Jawa Timur 6,5%, dan
Medan 6,1%. WPS yang terkena infeksi menular seksual seperti klamidia, gonore dan sipilis memiliki
risiko lebih besar untuk menularkan maupun tertular HIV. Di Jakarta (60%) dan Jawa Timur (36%)
WPS telah terinfkesi setidaknya satu dari ketiga IMS tersebut, jelas dr. Tjandra.
Kelompok pria berisiko tinggi (dilihat dari segi pekerjaan) seperti tukang ojek, supir truk, pelaut, dan
pekerja pelabuhan, sebagian besar statusnya menikah (80%) dan mempunyai banyak pasangan seks.
Prevalensi HIV tertinggi terdapat di Papua (3% pada pekerja pelabuhan) dan (1% tukang ojek).
Sedangkan di luar Papua (0,5% anak buah kapal) dan (0,2% supir truk) terinfeksi HIV. Prevalensi
klamidia dan gonore sangat tinggi di wilayah Papua, sedangkan sipilis prevalensinya sangat tinggi di
semua wilayah.
Dr. Tjandra Yoga menambahkan, berdasarkan hasil estimasi tahun 2006, jumlah waria di Indonesia
sekitar 20.960 hingga 35.300. Angka prevalensi HIV pada waria sangat tinggi di Jakarta (34%),
Surabaya (25,2%) dan Bandung (14%). Prevalensi IMS sangat tinggi di wilayah Bandung, gonore
37,4%, klamidia 34,5%, sipilis (25,2%), Surabaya (33,7%) klamidia, (28,8%) sifilis, (19,8%) gonore,
. Angka prevalensi HIV pada penasun cukup tinggi di Surabaya (56%), Medan (56%), Jakarta (55%),
dan Bandung (43%). Prevalensi IMS sangat tinggi di Jakarta (6,0%) klamidia, (1,3%) gonore, (0,8%)
sifilis, disusul Surabaya (5,7%) klamidia, (1,2%) gonore, (1,6%) sifilis, sedangkan di Medan (5,3%)
Sedangkan kelompok LSL (laki-laki suka laki), prevalensi HIV tertinggi di Jakarta (8,1%), Surabaya
(5,6%), dan Bandung (2,0%). Untuk prevalensi IMS terbagi menjadi IMS rektal dan urethra. IMS
rektal tertinggi di Surabaya (33,6%), Jakarta (33,2%) dan Bandung (29,3%) sedangkan IMS urethra
Menurut Dr. Nafsiah, pencegahan penularan HIV dilakukan dengan merubah norma dan perilaku laki-
laki, karena sebagian besar kelompok berisiko tinggi adalah laki-laki (waria, lelaki suka lelaki, lelaki
pekerja seks). Selain itu, upaya juga difokuskan pada generasi muda yang berperilaku berisiko tinggi.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk
informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 529 21669, atau alamat e-mail
puskom.publik@yahoo.co.id.
http://202.70.136.97/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3211&Itemid=2[Indeks]
Prevalensi Infeksi Menular Seksual dan Perilaku Berisiko Terkait di Kalangan Anak Jalanan di
Jakarta
Keyword : infeksi menular seksual; anak jalanan; perilaku seksual berisiko tinggi
Diperkirakan ada 4.000-20.000 anak hidup di jalan-jalan di Jakarta. Kelompok masyarakat ini
berada pada usia dimana kesadaran dan aktifitas seksual meningkat, serta berada di lingkungan
yang peraturan dan norma sosial-agamanya lebih longgar. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mereka sering dipaksa untuk beraktifitas seks pada usia dini. Semuanya menyebabkan
anak jalanan berisiko tinggi tertular Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV. Sejauh ini, di
Indonesia belum pernah dilakukan survei prevalensi IMS/HIV pada anak jalanan.
Tujuan penelitian untuk mempelajari perilaku berisiko dan mengukur prevalensi IMS. Penelitian
dilakukan dengan wawacara kuesioner dan pengambilan sample darah dan duh tubuh untuk
pemeriksaan laboratorium. Lokasi penelitian di Jakarta dengan populasi penelitian adalah anak-
anak jalanan laki-laki antara umur 10-21 tahun yang telah mendapatkan pendampingan dari
aktifitas berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Wawancara pada 274 anak yang
menjadi
partisipan. Hasil rerata umur 15 tahun, modus 16 tahun. Lebih dari separuh (58,4%) adalah
children" on" the street (masih kontak reguler dengan keluarga), sisanya children" of" the street
(sesekali/tidak kontak dengan keluarga).
Umumnya pernah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan tentang IMS rendah. Ditemukan
perilaku seksual berisiko tinggi, terutama pada children "on" the street (1 dari 3 menyatakan
pernah berhubungan seks). Lebih dari 22,3% pernah berhubungan seks. Hubungan seks oral dan
dubur juga ditemukan (minimal 10% dan 11,6% dari yang melakukan seks). Pemakaian kondom
sangat rendah : 5% selalu, 6,5% jarang. Didapatkan prevalensi gonore 7,7%, klamidia 7,4%,
sfilis 0% dan HIV 0%. Bagian tubuh yang terinfeksi : dubur 2,2%, tenggorokan 2,2% dan uretra
9,5%. Perilaku berisiko lain (pemakai aktif dan pernah) : merokok (77,5%), minum alkohol
(49,4%), pakai obat terlarang, (31,7%), pakai narkoba suntik (4,4%), dan menghirup lem
(20,1%). Perilaku mencari pengobatan : 31,4% biasa mengobati sendiri.
Deskripsi Alternatif :
Diperkirakan ada 4.000-20.000 anak hidup di jalan-jalan di Jakarta. Kelompok masyarakat ini
berada pada usia dimana kesadaran dan aktifitas seksual meningkat, serta berada di lingkungan
yang peraturan dan norma sosial-agamanya lebih longgar. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mereka sering dipaksa untuk beraktifitas seks pada usia dini. Semuanya menyebabkan
anak jalanan berisiko tinggi tertular Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV. Sejauh ini,
di Indonesia belum pernah dilakukan survei prevalensi IMS/HIV pada anak jalanan.
http://digilib.unmer.net/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-res-2001-endang-261-pms
• HOME
• PROFIL
• BERITA
• DOWNLOADS
• LINKS
Di negara-negara berkembang, IMS dan komplikasi mereka di peringkat lima teratas kategori penyakit
yang dewasa mencari perawatan kesehatan. Infeksi dengan IMS dapat menyebabkan gejala akut, infeksi
kronis dan konsekuensi tertunda serius seperti infertilitas, kehamilan ektopik, kanker leher rahim dan
kematian mendadak bayi dan orang dewasa.
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan gonorrhea.
Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan
prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya
prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi
infeksi gonorrhea 29,8%, syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di Medan, kejadian syphilis terus
meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan
pada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 meningkat
menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual. Kecenderungan kian meningkatnya
penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual yang bergonta-ganti pasangan, dan adanya
hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular
seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya
(Lestari, 2008).
Tingginya kasus penyakit infeksi menular seksual, khususnya pada kelompok usia remaja, salah satu
penyebabnya adalah akibat pergaulan bebas. Sekarang ini di kalangan remaja pergaulan bebas semakin
meningkat terutama di kota-kota besar. Hasil penelitian di 12 kota besar di Indonesia termasuk Denpasar
menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Pakar seks juga
spesialis Obstetri dan Ginekologi dr. Boyke Dian Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke
tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat. Dari sekitar 5% pada
tahun 1980-an, menjadi 20% pada tahun 2000. Kisaran angka tersebut didapat dari berbagai penelitian di
beberapa kota besar di Indonesia. Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian tersebut umumnya
masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau mahasiswa. Namun dalam beberapa kasus
juga terjadi pada anak-anak yang duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Rauf, 2008).
Pengetahuan tentang infeksi menular seksual dapat ditingkatkan dengan pemberian pendidikan
kesehatan reproduksi yang dimulai pada usia remaja. Pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan
remaja bukan hanya memberikan
pengetahuan tentang organ reproduksi, tetapi juga mengenai bahaya akibat pergaulan bebas, seperti
penyakit menular seksual dan kehamilan yang belum diharapkan atau kehamilan berisiko tinggi (BKKBN,
2005). Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan bagaimana gambaran
pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular seksual agar dapat diketahui apakah diperlukan
tambahan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dalam upaya menghambat peningkatan insidens
infeksi menular seksual di kalangan remaja dewasa ini.
• Berikan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi untuk melindungi diri. Indonesia merupakan
salah satu dari 178 negara yang telah menandatangani rencana aksi Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan (ICPD, tahun 1994). Rencana aksi ICPD mengisyaratkan bahwa
“negara-negara di dunia di dorong untuk menyediakan informasi yang lengkap kepada remaja mengenai
bagaimana mereka dapat melindungi diri dari kehamilan yang tidak diinginkan dan HIV/ AIDS”.
• Sebagian besar perilaku reproduksi yang tidak sehat pada remaja terjadi secara spontan (tidak
direncanakan) dan berdasarkan informasi yang tidak tepat dan akurat. Maka cara terbaik saat ini adalah
mempersiapkan remaja untuk mampu melindungi diri dari resiko reproduksi yang tidak sehat dengan
memberikan informasi dan keterampilan tentang bagaimana mereka dapat mempraktekkan perilaku
reproduksi yang sehat dan bertanggung-jawab.
• Kurikulum berbasis kompetensi saat ini merupakan peluang yang sangat penting guna mendorong
pemberian informasi dan keterampilan untuk menerapkan perilaku reproduksi yang sehat di sekolah.
Peluang ini harus dimanfaatkan dengan balk. Secara kreatif dapat dikembangkan model pemberian
informasi dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter sekolah. Berbagai pihak dapat
diajak bekerja sama untuk mengembangkan model pemberian informasi dan keterampilan tersebut.
Kegiatan ini dapat dipadukan dengan berbagai kegiatan mata kuliah atau ekstrakulikuler baik di sekolah
maupun di perkuliahan. Setiap kita dapat berperan.
• Kemitraan adalah kata kunci. Mari kita galang dukungan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan aksi ini. Remaja harus dilindungi dari resiko reproduksi yang tidak sehat.
D. Manfaat
• STRATEGI GLOBAL UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN IMS
• Memberikan informasi seputar infeksi menular seksual kepada masyarakat dalam berbagai umur.
• Sebagai informasi awal untuk pelaksanaan pendidikan seksual bagi masyarakat dalm berbagai
kalangan dan umur khususnya bagi bagian penyakit kelamin dan kulit untuk dapat memberikan informasi
yang jelas cara pencegahan dan penanggulangan IMS atau Infeksi Menular Seksual kepada masyarakat
umum.
• Sebagai informasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan baik dalam maupun luar.
http://ellealawiyah.blogspot.com/2010/10/makalah-ims-bab-i-pendahuluan.html