Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Alamat : Bendosari, Sukoharjo
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Masuk RS : 11-1-2011
Pemeriksaan : 13-1-2011
No. RM : 143425

2. ANAMNESIS (autoanamnesis, 13-1-2011)


Keluhan Utama
Nyeri perut
Keluhan Tambahan
Keringat dingin, kembung, badan meriang, mencret, perut ampeg dan
kaku, sesak nafas, mual, nyeri kepala, nafsu makan berkurang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo tanggal 11-1-2011, dengan
keluhan nyeri di seluruh lapang perut yang mendadak telah dirasakan sejak 3
HSMRS, keluhan dirasakan terus memberat dan meluas, pasien mengaku
perut sering kembung dalam 1 minggu terakhir. Pasien juga mengeluhkan
keringat dingin, badan meriang, BAB cair bercampur ampas warna kuning,
tanpa lendir dan darah sejak 2 HSMRS, selain itu pasien juga mengeluhkan
perutnya terasa ampeg dan kaku karena menahan sakit. Setelah 1 HMRS
keluhan pasien tidak berkurang. Sekarang perut kadang terasa mual, sesak
nafas, nafsu makan berkurang, nyeri kepala, BAB cair bercampur ampas 1x,
dan sering kentut. Pasien tidak pernah mengeluhkan gangguan dalam
berkemih

1
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat sesak dan nyeri dada saat aktivitas ringan disangkal
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat operasi sebelumnya disangkal
Riwayat mengkonsumsi kopi secara rutin disangkal
Riwayat merokok disangkal
Riwayat perut sering kembung dan terasa sebah dibenarkan
Riwayat BAB hitam seperti tir disangkal
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan atau jamu dibenarkan, pasien
memiliki riwayat minum puyer *7 jika badan terasa pegal-pegal, kebiasaan
minum puyer sudah dilakukan lebih dari 3 tahun yang lalu dan semakin
sering mengkonsumsi dalam 3 bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat penyakit alergi atau asma disangkal

ANAMNESIS SISTEM
Sistem Cerebrovaskuler : pasien sadar, nyeri kepala
Sistem Cardiovaskuler : tidak ada keluhan
Sistem Respiratorius : sesak nafas
Sistem Gastrointestinal : nyeri perut, kembung, mencret, mual, nafsu
makan berkurang
Sistem Urogenital : tidak ada keluhan
Sistem Integumentum : keringat dingin, badan meriang
Sistem muskuloskeletal : nyeri perut dan kaku

2
3. PEMERIKSAAN FISIK (13-1-2011)
a. Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah, tampak kesakitan
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 90 x/menit
o
- Suhu : 37,7 C
- Frekuensi nafas : 30 x/menit
Kepala
- Bentuk : mesocephal, simetris
- Rambut : pendek, warna hitam
Mata
- Palpebra : tidak edema
- Conjunctiva : tidak anemis
- Sclera : tidak ikterik
- Pupil : isokor
- Reflek cahaya : +/+
- Katarak : tidak ditemukan
Leher
- Kelj. Getah bening : tidak membesar
- Kelj. Thyroid : tidak membesar
- JVP : tidak meningkat
Thorax
Paru
- Inspeksi : Simetris, tidak retraksi dan ketinggalan gerak
- Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, Suara tambahan -/-

3
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi : Batas kiri atas SIC II LMC sinistra
Batas kanan atas SIC II LPS dextra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
- Auskultasi : bunyi jantung 1-2, reguler, gallop tidak ada
Abdomen
- Inspeksi : Distended, lebih tinggi dari dada, simetris,
tidak nampak hematom, warna kulit sama dengan sekitar,
darm kontour dan darm steifung tidak nampak
- Auskultasi : Peristaltik (+) N
- Palpasi : Tidak teraba massa, didapatkan defans
muskuler, nyeri tekan suruh lapang perut, hepar dan lien
tidak teraba, ballotemen ginjal tidak teraba
- Perkusi : Hipertimpani, tidak ada nyeri ketok CVA
Ekstremitas
- Akral : hangat
- Sianosis : tidak ditemukan
- Edema : tidak ditemukan
b. Status Lokalis
NyeriMc.Burney (-), Rovsing sign (-), Obturator sign (-), Psoas sign (-)

Rectal Toucher
- M. Spincter ani mencengkram kuat
- Mucosa recti licin, tidak teraba massa
- Ampula recti tidak kolaps
- Tidak teraba prostat

4
- Tidak nampak lendir / darah

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi (11-1-2011)
Hb : 9,0 gr/dl (13,0 - 14,0)
Eritrosit : 4,27 103 µl (4,5 - 5,5)
Hematokrit : 26,2 % (40 - 48)
Indek eritrosit
MCV : 61,4 fL (82 - 92)
MCH : 21,1 pg (27 - 31)
MCHC : 34,4 g/dl (32 - 36)
Trombosit : 323 103 uL (150 - 400)
Leukosit : 10.3 103 uL (5,0 - 10,0)
Gol darah :A
Jenis Leukosit
Neutrofil segmen : 93 %
Limfosit : 44 %
Monosit :5%
Pemeriksaan Immunologi
HbsAg : (-)
Pemeriksaan Kimia Darah
Ureum : 62,92 mg/dl (10 - 50)
Creatinin : 1,05 mg/dl (0,6 - 1,1)
SGOT : 14,12 U/l (0 - 25)
SGPT : 15,64 U/l (0 - 29)
GDS : 102,90 mg/dl (70 - 120)
Pemeriksaan Radiologi abdomen 2 posisi
Distribusi udara di dalam usus normal
Tidak tampak gambar air fluid level
Tampak gambar free air masif
Kesan : Gambar pneumoperitoneum / Perforasi

5
Pemeriksaan Radiologi USG Abdomen (12-1-2011)
Hepar : Tidak membesar, permukaan rata, tepi tajam
Struktur echoparenkim homogen, tak tampak nodul
Tidak tampak pelebaran vena dan duktus biliaris
Tidak tampak asites
Gall Bladder : Tidak membesar, dinding tak menebal, tak tampak SOL
Lien : Tidak membesar, homogen. Hilus Lienalis tenang
Tampak minimal asites disekitar Lien
Pancreas : Tidak membesar, homogen, tidak tampak massa / SOL
Ginjal Kanan : Besar, bentuk dan letak normal
Echostruktur parenchym normal
PCS tidak melebar, ratio cortex-medulla baik
Tidak tampak batu / SOL
Ginjal Kiri : Besar, bentuk dan letak normal
Echostruktur parenchym normal
PCS tidak melebar, ratio cortex-medulla baik
Tidak tampak batu / SOL
Explorasi Cv. Abd : Tampak bayangan udara masif
Vesica Urinaria : Dinding reguler, mukosa baik
Tidak tampak batu / SOL
Tampak gbr asites disekitar VU
Kesan : Gbr. Meteorismus dengan gbr. Asites

Hematologi (13-1-2011)
Waktu pembekuan : 1’ 00” menit
Waktu perdarahan : 1’ 00” menit

5. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

6
- Keluhan utama nyeri perut mendadak yang dirasakan sejak 3 hsmrs dan
dirasakan terus memberat. Keluhan lain yang menyertai adanya keringat
dingin, kembung, badan meriang, mencret, perut ampeg dan kaku, sesak
nafas, mual, nyeri kepala, dan nafsu makan berkurang
- Riwayat penyakit dahulu: Riwayat perut sering kembung dan terasa
sebah, menyangkal pernah BAB warna hitam seperti tir, pasien memiliki
riwayat minum puyer *7 jika badan terasa pegal-pegal, kebiasaan minum
puyer sudah dilakukan lebih dari 3 tahun yang lalu
- Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah dan
kesakitan; vital sign didapatkan hipertensi, febris, dan takipneu;
pemeriksaan abdomen didapatkan distended, defans muskuler, nyeri
tekan seluruh lapang perut, dan perkusi hipertimpani.
- Pemeriksaan hematologi didapatkan anemia, leukositosis ringan, dan
sedikit peningkatan pada kimia darah ureum. Pemeriksaan radiologi BNO
2 posisi didapatkan kesan gambaran pneumoperitoneum/perforasi dan
USG abdomen didapatkan gambaran meteorismus dan asites

6. DIAGNOSIS KERJA
Abdominal pain ec peritonitis ec perforasi

7. DIAGNOSIS BANDING
Abdominal pain ec gastritis erosiva
Abdominal pain ec gastroenteritis akut
Abdominal pain ec appedicitis kronis eksaserbasi akut

8. TERAPI
Infuse RL 20 tpm, iv. Cefotaxim 1gr/8jam, iv. Ketorolac 1A/12jam, iv.
Ranitidin 1A/12jam

9. PLANNING
Konsul anesthesi  advice: post op rawat ICU

7
Informed consent

10. FOLLOW UP
14-1-2011 (pre op)
- S : Nyeri perut, kembung, keringat dingin, nyeri kepala, sulit tidur, BAB
cair dengan ampas 1x
- O : KU : CM, lemah, tampak kesakitan
VS : T: 160/100mmHg, N: 90x, R: 30x, t: 37,2oC
Kepala: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax :
c) S12 intensitas reguler, bising jantung tidak ada
p) Suara dasar vesikuler, ronki dan wheezing tidak ditemukan
Abdomen : distended, peristaltik (+) normal, nyeri tekan seluruh
lapang perut, didapatkan defans muskuler, perkusi hipertimpani
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema
- Operasi : pembedahan khusus, Laparotomi eksplorasi dengan omental
patch dan general anesthesi (jam 10.15-11.30 lama operasi 75 menit)

Pre operasi

8
Hasil temuan laparotomi eksplorasi didapatkan perforasi pada pylorus
gaster dan adhesi luas pada cavum abdomen

- A : Diagnosis post operasi: Peritonitis ec perforasi gaster


- P : pasien dirawat di ICU, intruksi post operasi:

9
o NGT
o Puasa 2 hari
o Infus asering : aminofusin = 2 : 2  25 tpm makro
o iv.ceftriaxone 1gr/12jam, iv.Metronidazole 500mg/8jam,
iv.ranitidin 1A/12jam, iv. Farmadol 1flash/8jam
o Jika Hb<8  tranfusi
o Lain-lain lapor Sp.B
18-2-2011
- S : nyeri perut hilang timbul, pusing, leher kemeng, batuk tidak berdahak
- O : KU: CM, lemah
VS : T: 160/100mmHg, N: 90x, R: 24x, t: 37,2oC
Kepala: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax :
c) S12 intensitas reguler, bising jantung tidak ada
p) Suara dasar vesikuler, ronki +/+ wheezing -/-
Abdomen : supel, peristaltik (+) normal, perkusi hipertimpani
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema
- A : Peritonitis ec perforasi gaster post omental poch dalam perawatan H4
- Terapi: infus asering : aminofusin = 2:2  20 tpm, iv.ceftriaxone
1gr/12jam, iv.metronidazole 500mg/12jam, iv.ranitidin 1A/12jam,
iv.farmadol 1flash/8jam, antasida syr 3xCII ac, DMP 3x1 prn
19-2-2011
- S : nyeri perut hilang timbul, pusing, leher kemeng, batuk tidak berdahak
- O : KU: CM, lemah
VS : T: 170/70mmHg, N: 80x, R: 24x, t: 36,4oC
Kepala: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax :
c) S12 intensitas reguler, bising jantung tidak ada
p) Suara dasar vesikuler, ronki +/+, wheezing -/-
Abdomen : supel, peristaltik (+) normal, perkusi hipertimpani

10
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema
- A : Peritonitis ec perforasi gaster post omental poch dalam perawatan H5
- Terapi: iv.cefotaxime 1gr/8jam, iv.metronidazole 500mg/12jam, iv.ranitidin
1A/12jam, iv.ketorolac 15mg/8jam
20-2-2011
- S : nyeri perut hilang timbul, pusing, leher kemeng, batuk tidak berdahak
- O : KU: CM, lemah
VS : T: 160/100mmHg, N: 84x, R: 24x, t: 37,1oC
Kepala: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax :
c) S12 intensitas reguler, bising jantung tidak ada
p) Suara dasar vesikuler, ronki +/+ wheezing -/-
Abdomen : supel, peristaltik (+) normal, perkusi hipertimpani
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema
- A : Peritonitis ec perforasi gaster post omental poch dalam perawatan H6
- Terapi: iv.cefotaxime 1gr/8jam, iv.metronidazole 500mg/12jam,
iv.ketorolac 15mg/8jam, OBH 3xCI
21-2-2011
- S : nyeri perut hilang timbul, pusing, leher kemeng, batuk tidak berdahak
- O : KU: CM, lemah
VS : T: 160/100mmHg, N: 90x, R: 24x, t: 36,4oC
Kepala: konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax :
c) S12 intensitas reguler, bising jantung tidak ada
p) Suara dasar vesikuler, ronki +/+ wheezing -/-
Abdomen : supel, peristaltik (+) normal, perkusi hipertimpani
Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema
- A : Peritonitis ec perforasi gaster post omental poch dalam perawatan H7
- Terapi: iv.cefotaxime 1gr/8jam, iv.metronidazole 500mg/12jam,
iv.ketorolac 15mg/8jam, OBH 3xCI
- P : aff DC, aff infus, latihan jalan, BLPL

11
TINJAUAN PUSTAKA

Terminologi abdomen akut telah banyak diketahui namun sulit untuk


didefinisikan secara tepat. Tetapi sebagai acuan adalah kelainan nontraumatik
mendadak dengan gejala utama di daerah abdomen dengan nyeri sebagai keluhan
utama dan memerlukan tindakan bedah segera, misalnya pada perforasi,
perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.

Banyak kondisi yang dapat menimbulkan abdomen akut. Secara garis besar,
keadaan tersebut dapat dikelompokkan dalam lima hal, yaitu:
1. Proses peradangan bakterial-kimiawi;
2. Obstruksi mekanis: seperti pada volvulus, hernia atau perlengketan;
3. Neoplasma atau tumor: karsinoma, polypus, atau kehamilan ektopik;
4. Kelainan vaskuler: emboli, tromboemboli, perforasi, dan fibrosis;
5. Kelainan kongenital

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering


terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri. Namun adanya kontaminasi bakteri
yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi tubuh yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, kesemua hal ini merupakan faktor-
faktor yang dapat memudahkan terjadinya peritonitis (radang peritoneum).

Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa


inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan.

12
Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang
mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena


setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung
dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut. Peritonitis dapat terjadi akibat suatu respon
inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau
invasi bakteri.

ANATOMI
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron.
Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Sedangkan kedua rongga mesoderm,

13
bagian dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut
kemudian akan menjadi peritoneum.

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:


1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Area permukaan total peritoneum sekitar dua meter persegi, dan aktivitasnya
konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat
bergerak menuju dua arah. Molekul-molekul yang lebih besar kemudian akan
dibersihkan ke dalam mesotelium diafragma dan sistem limfatik melalui stomata-
stomata kecil.

14
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu:
•Gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid,
sekum, dan appendix (intraperitoneum);
•Pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter
(retroperitoneum).

ETIOLOGI
Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis
infektif (umum) dan abses abdomen (lokal). Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi
peritonitis terbagi atas:
• Penyebab primer : peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik,
dimana 10-30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan
mengalami peritonitis bakterial spontan)
• Penyebab sekunder : berkaitan dengan proses patologis dari organ visera (berupa
inflamasi, nekrosis dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi ulkus
peptikum atau duodenum, perforasi tifus abdominalis, perforasi kolon akibat
divertikulitis, volvulus, atau kanker dan strangulasi kolon asenden).
• Penyebab tersier : infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat, timbul pada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya, dan pada pasien
yang imunokompromais (riwayat sirosis hepatis, TB).

Bila dilihat dari organ yang menyebabkan peritonitis, maka penyebabnya


dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
• Esofagus: keganasan, trauma, iatrogenik dan sindrom Boerhaave;
• Lambung: perforasi ulkus peptikum, adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma GIT,
trauma dan iatrogenik;
• Duodenum: perforasi ulkus peptikum, trauma (tumpul dan penetrasi), dan
iatrogenik;

15
• Traktus bilier: kolesistitis, perforasi kolelithiasis, keganasan,ta duktus koledokus,
trauma dan iatrogenik;
• Pankreas: pankreatitis (alkohol, obat-obatan batu empedu), trauma dan iatrogenik;
• Kolon asendens: iskemia kolon, hernia inkarserata, obstruksi loop, penyakit crohn,
keganasan, divertikulum meckel, dan trauma;
• Kolon desendens dan appendiks: iskemia kolon, divertikulitis, keganasan, kolitis
ulseratif, penyakit crohn, appendisitis, volvulus kolon, trauma dan iatrogenik;
• Salping, uterus dan ovarium: radang panggul, keganasan dan trauma.

Sedangkan menurut agen-nya, peritonitis dapat dibedakan menjadi dua


kelompok sebagai berikut:
• Peritonitis steril atau kimiawi: disebabkan karena iritasi bahan-bahan kimia,
misalnya getah lambung, dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk,
tepung, barium) dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari
organ-organ dalam (misalnya penyakit crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di
rongga abdomen
• Peritonitis bakterial:
- Peritonitis bakterial spontan, 90% disebabkan monomikroba, tersering adalah
bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella-pneumoniae,
spesies Pseudomonas, Proteus dan lain-lain. Sementara bakteri gram positif,
yakni Streptococcus pneumoniae 15%, Streptococcus yang lain 15%, golongan
Staphylococcus 3%, dan kurang dari 5% kasus mengandung bakteri anaerob.
- Peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal
dari saluran cerna bagian atas, dapat pula gram negatif, atau polimikroba,
dimana mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
bakteri gram negatif.

PATOFISOLOGI
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intraabdomen
(meningkatkan) aktivitas inhibitor aktivator plasminogen dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jejaring pengikat, produksi eksudat fibrin merupakan

16
mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat
bakteri dalam jumlah yang banyak di antara matriks fibrin.

Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme


tubuh yang melibatkan substansi pembentuk kuman itu sendiri untuk menciptakan
kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat banyak,
tubuh sudah tidak mampu lagi mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan
penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen-kompartemen yang kita kenal
sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini dapat berasal dari berbagai
sumber. Yang paling sering adalah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit
viseral atau intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen.

Selain itu, peritonitis juga terjadi akibat virulensi kuman yang tinggi hingga
mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan bakteri dengan netrofil. Keadaan
makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain atau jamur.
Saat ini peritonitis juga diteliti lebih lanjut karena melibatkan respon imun tubuh
hingga mengaktifkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple
organ failure (MOF).

MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda–tanda rangsangan peritonium. Biasanya diagnosis peritonitis ditegakkan
secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang
tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum viseral) kemudian lama
kelamaan menjadi jelas lokasinya (peritoneum parietal).

Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat lainnya, yakni:


• Demam tinggi, atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia
• Takikardia, dehidrasi hingga menjadi hipotensi
• Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum di tempat tertentu
sebagai sumber infeksi

17
• Bising usus menurun sampai menghilang. Dinding perut akan terasa tegang
(defans muskular), biasanya karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak
sadar untuk menghindari palpasi yang menyakitkan, atau bisa pula tegang karena
iritasi peritoneum.
• Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya.
• Pada penderita wanita diperlukan pemeriksaan vagina bimanual untuk
membedakan nyeri akibat radang panggul, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan
pada keadaan peritonitis yang akut.

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan tanda vital perlu diperhatikan status gizi, kemungkinan
adanya gangguan kesadaran, dehidrasi, syok, anemia, dan gangguan napas.
Penderita dengan perdarahan, perforasi atau obstruksi lambung atau duodenum
sering datang dalam keadaan gawat.
• INSPEKSI: kemungkinan adanya peritonitis akibat perforasi perlu dicurigai bila
tampak pernapasan torakal pada penderita yang abdomennya terlihat tegang.
Distensi perut bagian atas disertai peristaltik lambung menunjukkan adanya
obstruksi pilorus. Tonjolan di epigastrium yang tampak jelas sering disebabkan oleh
tumor ganas lambung yang sudah lanjut yang tidak layak dioperasi.
• AUSKULTASI: pada peritonitis akibat perforasi, peristaltik sering lemah atau hilang
sama sekali karena terjadi ileus paralitik. Pada obstruksi pilorus didengar adanya
kecipak air akibat geseran gas dalam lambung yang distensi. Suara ini biasanya
terdengar juga tanpa stetoskop.
• PERKUSI: pekak hati yang hilang pada perkusi menunjukkan adanya udara bebas
di bawah diafragma dan ini menandakan terjadinya perforasi saluran cerna. Perkusi
meteoristik yang terbatas di bagian atas perut biasanya disebabkan oleh obstruksi
tinggi.

18
• PALPASI: untuk menentukan kelainan lambung dan duodenum hendaknya
dipandu oleh anamnesis tentang nyeri. Defans muskular menunjukkan adanya iritasi
peritoneum, misalnya karena perforasi. Bila perut tidak tegang, dengan palpasi yang
cermat mungkin teraba adanya massa tumor.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,
gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dan lain-lain.

Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah pengambilan


keputusan. Beberapa uji laboratorium dilakukan, nilai hemoglobin dan hematokrit
untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung leukosit dapat
menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan faktor koagulasi
diperlukan untuk persiapan bedah.

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk


pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
kecurigaan adanya peritonitis perlu dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu
sebagai berikut:
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk (semi erect) atau berdiri kalau memungkinkan,
dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada


pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena
ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah:
1. Pada posisi supine, didapatkan pre-peritonial fat menghilang, psoas line

19
menghilang, dan adanya kekaburan pada cavum abdomen.
2. Pada posisi semi erect, didapatkan free air pada subdiafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
3. Pada posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis
dengan dinding abdomen.

Foto kontras barium tetap merupakan pemeriksaan yang penting dalam


membantu menegakkan diagnosis kelainan lambung. Ketepatan diagnosis akan
meningkat bila digunakan kontras ganda, yaitu kontras positif (barium) dan negatif
(udara).

Pemeriksaan Gastroduodenoskopi dilakukan bila ada keluhan dan tanda


yang mencurigakan ke arah penyakit lambung dan atau duodenum serta untuk
tindak lanjutnya. Dengan endoskopi, kelainan yang langsung dilihat dapat difoto
untuk dokumentasi. Selain itu, jaringan atau cairan patologis dapat diambil untuk
pemeriksaan kimia, sitologi atau patologi.

TERAPI
Sejak zaman dahulu, peritonitis yang tidak diobati dapat menjadi sangat fatal.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang
menyebabkan radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan
drainase abses dan endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah
laparotomi eksplorasi rongga peritoneum. Pada tahun 1926, prinsip-prinsip dasar
penatalaksanaan operasi telah mulai dikerjakan. Hingga kini tindakan operatif
merupakan pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah peritonitis. Selain itu, harus
dilakukan pula tata laksana terhadap penyakit yang mendasarinya, pemberian
antibiotik dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder akibat gagal
sistem organ.

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang

20
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dan sebagainya) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.


Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran
oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral,
dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri


dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan


operasi laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri.
Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan
masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus
yang perforasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan


menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal
sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila

21
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi atau terpisah dari cavum peritoneum, dan
dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
• Komplikasi dini
o Septikemia dan syok septik;
o Syok hipovolemik;
o Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisistem;
o Abses residual intraperitoneal;
o Portal Pyemia (misal abses hepar).
• Komplikasi lanjut
o Adhesi;
o Obstruksi intestinal rekuren.

Sedangkan komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi memang


tidak sedikit. Secara bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula enterokutan,
kematian di meja operasi, atau peritonitis berulang jika pembersihan kuman tidak
adekuat.

Namun secara medis, penderita yang mengalami pembedahan laparotomi


eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif yang lebih lama.
Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, dengan manifestasi sebagai
berikut:

22
• Pneumonia akibat pemasangan ventilator;
• Sepsis;
• Kegagalan reanimasi dari status narkose penderita pasca operasi.

PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen. Prognosis ini
bergantung kepada:
• Lamanya peritonitis;
o < 24 jam = 90% penderita selamat;
o 24-48 jam = 60% penderita selamat;
o > 48 jam = 20% penderita selamat.
• Adanya penyakit penyerta;
• Daya tahan tubuh;
• Usia;
o Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
• Komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Tim penulis EGC. Kamus kedokteran Dorland. 2002. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Tim editor EGC. Buku – Ajar Ilmu Bedah De Jong. 2004. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC

23

Anda mungkin juga menyukai