Anda di halaman 1dari 3

Tak Selamanya Miskin Itu Mulia…!

‘Miskin itu mulia”, begitu kira-kira kutipan pengkhotbah Jum’at itu di


sebuah Masjid yang biasa saya tempati berjama’ah tiap Jum’at selepas
menunaikan segala tugas. Kalimat yang wajar bagi kebanyakan orang yang
berjama’ah disana. Saya tidak tahu pasti, kenapa para Khotib, Da’I dan pemuka
agama selalu memiliki dalil yang cukup kuat dan selalu menemukan korelasi
yang reliable antara kemiskinan dan Islam, atau kemiskinan dengan pribadi
agung Nabi Muhammad SAW.

Para pengkhotbah selalu menemukan justifikasi kuat tentang kemiskinan


yang diagungkan itu dari kisah-kisah yang sengaja diungkapkan tentang
kehidupan Muhammad SAW yang penuh dengan keprihatinan. Dari perut yang
diganjal batu, untuk menahan lapar, sampai punggung yang selalu dipenuhi
bekas tikar, karena beliau hanya beralaskan tikar ketika tidur.

Cerita-cerita ini menjadikan kisah Muhammad seakan heroik dan lebih


memukau, daripada keagungan sifat murah hati Nabi yang agung itu sendiri.
Hingga memunculkan pertanyaan sederhana, benarkah Islam memuliakan
kemiskinan?. Dan benarkah Muhammad itu miskin?.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan sebagai


tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan
fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.

Kemiskinan bukanlah sebuah sifat, ia adalah sebuah keadaan yang


dialami akibat beberapa hal. Dalam memandang kemiskinan, Islam telah
memberikan persepsi yang jelas. Dalam surat al Al Dhuha (93) ayat 8 telah
disebutkan:

“Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia


menganugerahkan kecukupan?”.

Ayat ini telah memberikan kita sedikit gambaran tentang persepsi Islam
dalam memandang kekayaan. Bahwa Islam adalah agama yang seharusnya
membawa kejayaan pada pemeluknya. Dalam Islam, terdapat dua rukun Islam
yang takkan mudah dijalankan jika tanpa kekayaan yang memadai, yakni zakat
dan haji. Maka, kekayaan adalah mutlak diperlukan dalam menjalankan Islam
secara kaffah. Lalu apakah Islam tetap mengajarkan kemiskinan dalam upaya
penyucian diri?. Sedangkan kita sama sekali tidak pernah dilarang untuk
mencari berkah dan kelebihan (rizki) dari Allah SWT.

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari fadhl (kelebihan) dari Allah
(di musim haji) (Q.S Al Baqarah (2); 198).

Bukankah Allah selalu menjanjikan akan melipatgandakan setiap harta


yang dikeluarkan orang-orang yang beriman serta ikhlas dengan imbalan yang
tak terbayangkan oleh kita, manusia?. Maka jika umat Islam terus memuja
kemiskinan, apakah mereka tetap mengharap janji Allah itu?. Islam telah dengan
benar mengajarkan bahwa harta tidak menjadi tolok ukur sebuah keagungan,
namun juga tidak menjadikan kaya sebagai tolok ukur kehinaan bagi umatnya.

Islam telah dengan gamblang menjelaskan sebuah proses sosial yang


dinamis, bahwa kekayaan adalah modal untuk melakukan kebaikan, sedangkan
kemiskinan adalah musuh umat yang diperangi bersama sebagai bentuk
pengabdian antar sesama manusia dan kepada sang Khalik. Bentuk dari
pengabdian itu juga bermacam-macam, dari shodaqoh, infaq dan bermacam
zakat. Dari zakat fitrah, zakat maal, zakat penghasilan, dan lain-lainnya. Maka,
sebenarnya tak ada alasan kemiskinan tetap ada dalam kehidupan umat Islam
yang mulia ini, jika saja kesetiakawanan sosial itu mewujud dalam pengabdian
keagamaan. Sampai disini apakah kita masih menganggap miskin itu mulia dan
kaya itu hina?.

Pandangan Islam terhadap si Miskin juga tidak hina. Islam menganggap


orang miskin merupakan pintu rahmat bagi umat Islam lain yang kaya. Asalkan
si kaya mau membagi segala kebahagiaannya kepada si miskin dengan
proporsional. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah
mencintai anak yatim dan orang-orang yang miskin” (HR. Al Daruquthni
dan Ibnu Hiban).

Lalu, apakah nabi kita yang agung Muhammad SAW miskin?. Ini
berkorelasi erat dengan pertanyaan, apakah kemiskinan itu dimuliakan dalam
Islam?. Dalam Sirah Nabawiyah, dikisahkan bahwa Nabi SAW, pada waktu
menikahi Janda Khadijah al Kubra, beliau membayarkan mahar 20 ekor unta
muda dan 12 uqiyah (ons) emas. Suatu mahar yang terhitung besar jika
dikonversikan di zaman sekarang. Lalu apakah kita masih mau meyakini bahwa
beliau adalah miskin?

Muhammad yang agung memang mencintai fakir miskin dan yatim piatu.
Inilah bedanya. Bahwa dengan harta yang melimpah, beliau telah melampaui
akhlak dan budi pekerti umat kebanyakan pada zamannya. Ia tidak tamak, ia
mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi, sehingga harta yang dimilikinya
digunakan dengan lebih bermanfaat untuk sesama. Beliau juga mengajarkan
etos kerja yang tinggi dan kerja keras, serta disiplin. Dalam satu kesempatan,
beliau bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh az-Zubair bin al-‘Awwâm
Radhiyallahu 'anhu:

"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa


seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya
sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu
lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain,
mereka memberinya atau tidak memberinya".

Islam mengajarkan bahwa bekerja keras untuk memperoleh rizki yang


halal adalah wajib hukumnya. Karena ia merupakan usaha untuk
mempertahankan hidup sebagaimana Imam As Syathibi merumuskannya dalam
Asasul Khomsah, bahwa tujuan agama ada lima perkara.
Pertama, khifdzu nafs, usaha mempertahankan diri. Termasuk didalamnya
mencari harta halal dan kewajiban pertahanan diri lainnya. Kedua, khifdzul maal,
menjaga harta benda. Yang didalamnya melahirkan hukum perdagangan untuk
mencari rizki yang halal, sebagaimana di tentukan dalam hukum mu’amalah
atau ekonomi Islam. Ketiga, khifdzud diin, menjaga agama. Sesungguhnya hal ini
melahirkan banyak hal. Menjaga agama dengan benteng keyakinan yang kuat
pun termasuk ekonomi yang mapan. Bukankah kefakiran merupakan pintu
kekufuran?. Keempat, khifdul aql. Didalamnya termasuk pelarangan minuman
keras dan obat-obatan terlarang untuk menjaga kesehatan akal. Serta terakhir,
khifdun nasl, menjaga keturunan. Yang melahirkan kaidah perkawinan dan hal-
hal yang berkaitan dengannya.

Maka dapat disimpulkan, bahwa kekayaan dan kemiskinan sama sekali


tidak berkaitan erat dengan kemuliaan di sisi Allah SWT. Orang kaya yang
mampu membelanjakan kekayaannya dengan baik dan proporsional menurut
agama, adalah mulia. Sedangkan si miskin yang tetap berusaha keras dalam
hidupnya, agar tetap bertahan hidup, adalah sama mulianya. Pun sebaliknya,
terhinalah si kaya yang angkuh dan kikir, serta si miskin yang hanya pasrah
pada keadaan dan lebih suka meminta-minta. Sebab, Islam bukan hanya
mengajar bagaimana cara mencari harta, ia juga mengajarkan bagaimana
seharusnya membelanjakan harta yang diperolehnya.

Anda mungkin juga menyukai