Renungan 1
Renungan 1
Ayat ini telah memberikan kita sedikit gambaran tentang persepsi Islam
dalam memandang kekayaan. Bahwa Islam adalah agama yang seharusnya
membawa kejayaan pada pemeluknya. Dalam Islam, terdapat dua rukun Islam
yang takkan mudah dijalankan jika tanpa kekayaan yang memadai, yakni zakat
dan haji. Maka, kekayaan adalah mutlak diperlukan dalam menjalankan Islam
secara kaffah. Lalu apakah Islam tetap mengajarkan kemiskinan dalam upaya
penyucian diri?. Sedangkan kita sama sekali tidak pernah dilarang untuk
mencari berkah dan kelebihan (rizki) dari Allah SWT.
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari fadhl (kelebihan) dari Allah
(di musim haji) (Q.S Al Baqarah (2); 198).
“Segala sesuatu itu ada kuncinya dan kunci surga itu adalah
mencintai anak yatim dan orang-orang yang miskin” (HR. Al Daruquthni
dan Ibnu Hiban).
Lalu, apakah nabi kita yang agung Muhammad SAW miskin?. Ini
berkorelasi erat dengan pertanyaan, apakah kemiskinan itu dimuliakan dalam
Islam?. Dalam Sirah Nabawiyah, dikisahkan bahwa Nabi SAW, pada waktu
menikahi Janda Khadijah al Kubra, beliau membayarkan mahar 20 ekor unta
muda dan 12 uqiyah (ons) emas. Suatu mahar yang terhitung besar jika
dikonversikan di zaman sekarang. Lalu apakah kita masih mau meyakini bahwa
beliau adalah miskin?
Muhammad yang agung memang mencintai fakir miskin dan yatim piatu.
Inilah bedanya. Bahwa dengan harta yang melimpah, beliau telah melampaui
akhlak dan budi pekerti umat kebanyakan pada zamannya. Ia tidak tamak, ia
mempunyai kesetiakawanan sosial yang tinggi, sehingga harta yang dimilikinya
digunakan dengan lebih bermanfaat untuk sesama. Beliau juga mengajarkan
etos kerja yang tinggi dan kerja keras, serta disiplin. Dalam satu kesempatan,
beliau bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh az-Zubair bin al-‘Awwâm
Radhiyallahu 'anhu: