Anda di halaman 1dari 12

Majalah Berita Mingguan TEMPO, Edisi 25/XIX 19 Agustus 1989

Raja Jawa Mengantar Revolusi


Nukilan buku dari disertasi george d larson, prelude to revolution: palaces and politics in
surakarta, 1912-1942.

Lewat SI & Budi Utomo, keraton ikut pergerakan politik, akibat ditekan Belanda.
Budi Utomo dan Sarekat Islam lahir di pusat-pusat kerajaan Jawa.

George Donald Larson, dalam: Prelude to Revolution:Palaces and Politics in Surakarta,


1912-1942 -disertasi doktor untuk ilmu sejarah di Northern Illinois University, Dekalb, Amerika
Serikat, 1979- mengungkap peranan raja-raja Jawa. Ternyata Pakubuwono X dan para bangsawan
politisi Keraton Surakarta bukan hanya mendukung, tapi terjun langsung dalam kancah
pergerakan nasional. Berikut ini nukilan dari disertasi tersebut.
BELANDA mulai menggigit Mataram dari dalam ketika kerajaan itu sedang keropos, di
akhir pemerintahan Amangkurat (1645-1677). Berkat campur tangan Kompeni (VOC), dinasti itu
bernapas lagi. Tapi, sebagai imbalannya, VOC berhasil memaksakan dua perjanjian penting,
mengenai konsesi ekonomi dan teritorial. Selanjutnya sejarah Mataram diwarnai cakar-cakaran
dalam istana, pemberontakan bangsawan dan pejabat tinggi, serta permainan Belanda dalam
konsensi ekonomi dan luas teritorial. Pada tahun 1746 Pangeran Mangkubumi, saudara Susuhunan
Pakubuwono II (1726-1749), membelot dan mengibarkan perang sampai tahun 1755, hingga
tercapainya perjanjian Giyanti. Hasilnya, separuh daerah Mataram dan gelar Sultan Hamengku
Buwono buat Mangkubumi. Pemberontakan lain pun pecah. Kali ini Raden Mas Said, keponakan
Mangkubumi yang membantu Mangkubumi pada tahun-tahun awal pemberontakannya, seorang
yang berwibawa dan jago perang. Hasilnya, perjanjian di Salatiga tahun 1757: R.M. Said berhak
memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, dan memperoleh 4.000 cacah dari wilayah
Susuhunan Surakarta.
Terkeping-kepingnya Mataram oleh kalangan elite Jawa sempat dianggap kejadian
sementara. Tapi setelah tahun 1755 muncul rasa khawatir, jangan-jangan kesatuan Mataram
tidak kunjung pulih. Toh cita-cita kesatuan Mataram itu masih lekat, berkat "ramalan" Raja
Jayabaya--penguasa daerah Jawa Timur dari abad ke-12. Ramalan itu menyebutkan, setelah
didera penjajahan yang lama, akan tiba zaman kemerdekaan yang makmur sejahtera.
Pakubuwono IV (1788-1820) terpanggil. Rencananya untuk menegakkan Surakarta dan Jawa
Tengah nyaris menimbulkan perang lagi di tahun 1789 hingga 1790. Suhu panas itu baru dapat
dikubur setelah Surakarta dikepung oleh pasukan Belanda. Di ekor abad ke-18 kerajaan-kerajaan
Jawa semakin kehilangan pamor dan wilayahnya.
Tahun 1799 Kompeni ambruk akibat korupsi. Harta kekayaannya diambil alih oleh negeri
Belanda waktu itu merupakan protektorat Prancis. Tangan kanan Napoleon, H.W. Daendels
(1808-1811), dikirim ke Jawa dengan kekuasaan mutlak guna memperbaiki pemerintahan dan
memperkuat pertahanan di wilayah Hindia. Ia menggebrak para penguasa pribumi. Kekuasaan
mereka dikurangi. Para residen kulit putih diberi atribut kerajaan seperti payung emas dan tidak
usah angkat topi untuk menghormati penguasa-penguasa pribumi. Wilayah dan penghasilan
Keraton Surakarta dan Yogyakarta dipangkas. Walaupun pemerintahan Daendels pendek umurnya
karena ditendang oleh Inggris, toh tangan besi Daendels ditiru oleh T.S. Raffles (1811-1816).
Baru setahun berkuasa, ia sudah mencium bahwa Sultan dan Susuhunan diam-diam mengepalkan
tangan. Sultan segera dicopot lalu dibuang, keratonnya dijarah. Perjanjian dengan kedua
kerajaan itu diperbarui. Akibatnya, daerah dan pendapatan kerajaan menciut, administrasi
pemerintahan dikontrol. Hak memiliki pasukan pun dicabut, tinggal segelintir kecil pengawal.
Pemaksaan perjanjian yang mencekik itu menyalakan amarah.

1
Di bulan November 1815, hidung Raffles mengendus bau busuk dari Keraton Surakarta.
Pemberontakan untuk memulihkan kejayaan Mataram itu dikenal dalam sejarah sebagai Perang
Sepei atau Sepoy.Inggris, yang saat itu hendak meninggalkan Jawa, sengaja tidak mendakwa
Susuhunan. Sebagai gantinya, salah seorang saudara Susuhunan diasingkan ke Ambon. Ketika
kembali ke Jawa, Belanda bertindak lebih hati-hati. Setelah pemberontakan Pangeran
Diponegoro - Perang Jawa (1825-1830), Yogyakarta yang dianggap biangnya, dikenai denda
wilayah. Agar seimbang, kue Surakarta pun digigit. Banyumas dan Kedu di sebelah barat, Kediri
serta Madiun di sebelah timur, lepas dari Yogyakarta dan Surakarta. Pakubuwono VI amat
kecewa atas perampasan itu, lalu diam-diam pergi ke pantai Segara Kidul. Tapi ia tertangkap,
ditawan atas tuduhan hendak menyulut pemberontakan, lalu dibuang ke Ambon. Setelah semua
itu, sepanjang abad ke-19 Surakarta dan Yogyakarta pucat pasi.
Pada awal abad ke-20, Karesidenan Surakarta yang agraris sangat terbelakang dari kaca
mata teknologi. Penduduk membengkak. Pada tahun 1905 tercatat 1.593.056 jiwa, tahun 1920
bertambah menjadi 2.049.547 jiwa, dan tahun 1930 meningkat menjadi 2.564.848 jiwa.
Surakarta suram. Kekuasaan Susuhunan peot, taring pengadilan pun dirampas pemerintah Hindia
Belanda. Pejabat-pejabat Belanda berkembang biak. Keadaan semacam ini membuat Susuhunan
masygul dan kecewa. Pakubuwono X Dalam tulisan-tulisan ilmiah, peranan kerajaan-kerajaan di
Jawa Tengah dalam gerakan nasional Indonesia kurang terungkap. Padahal, Yogyakarta
melahirkan Budi Utomo (1908) sebagai partai politik yang benar-benar pertama di Indonesia.
Awal 1912 di Surakarta muncul Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik massa yang juga pertama
di Indonesia. Walaupun SI dilahirkan di sebuah kerajaan Jawa, kemungkinan keterlibatan keraton
dalam gerakan nasional seperti diabaikan. Bahkan beberapa sarjana menyebutkan, salah satu
faktor utama perkembangan SI adalah adanya kejengkelan rakyat terhadap para bangsawan dan
hukum keraton yang sudah kuno. Arsip di Negeri Belanda menjelaskan bahwa sebenarnya pihak
keraton terlibat dalam gerakan itu. Munculnya organisasi kebangsaan yang penting di kerajaan
Jawa tak mengherankan. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa, perkembangan
teknologi di kerajaan itu tampak terbelakang, tapi perkembangan kebudayaannya amat pesat.
J.Th. Petrus Blumberger, penulis tentang gerakan nasionalis Indonesia yang paling perseptif,
mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan itu merupakan tempat "jantung Jawa berdenyut". Penulis
lain menyebutkan bahwa, terutama sekali di daerah kerajaan, rakyat menunggu-nunggu
datangnya Heru Cokro, sang juru selamat, sebagaimana telah diramalkan oleh Raja Jayabaya.
Kalangan elite Jawa tahu ini. Kawula kerajaan, rakyat Jawa di daerah gubernemen (daerah
Hindia Belanda), para pangeran, terutama Susuhunan, tetap dianggap sebagai poros. Setidak-
tidaknya lambang semua kekuasaan di Jawa. Kendati terpecah-pecah, daerah kerajaan masih
dipandang sebagai sisa kejayaan dan kesatuan Mataram. D.A. Rinkes, asisten penasihat urusan
pribumi pemerintah Hindia Belanda, menyebut cita-cita munculnya Mataram kembali tidak
pernah sirna. Itulah yang memacu gerakan Sarekat Islam (1912 dan 1913), dan selanjutnya
mempengaruhi pemikiran para politisi keraton sampai akhir zaman penjajahan, bahkan juga
sesudah masa itu. Karena hak-hak dan statusnya dipereteli terus, para bangsawan politisi
menerima gerakan nasionalis dengan simpati. Bila ada sikap amat hati-hati, itu agar mereka
tidak ditangkap dan tak perlu berkubur di tempat pengasingan. Yang jelas, keraton-keraton
Jawa berperan pada awal munculnya gerakan nasional di Indonesia, khusunya Keraton Surakarta
dan Pakualaman.
Susuhunan Pakubuwono X di Surakarta merupakan tokoh sentral yang membingungkan.
Bahkan mungkin kurang diperhitungkan oleh ke-13 orang residen dan gubernur Belanda yang
ditempatkan di Surakarta sejak tahun 1893 hingga 1939. Kebanyakan orang Belanda menganggap
Susuhunan lemah, tidak cakap serta patuh. Memang Pakubuwono tidak memperlihatkan sikap
keras, apalagi hidupnya mewah, doyan makan enak, senang mengenakan pakalan kebesaran
dengan lencana dan bintang-bintang kehormatan. Belanda juga menganggapnya percaya pada
takhayul sebagaimana kawulanya percaya bahwa ia punya kekuatan gaib guna menyembuhkan
orang sakit, memiliki keris dan senjata yang serba sakti. Nyatanya, dalam perkembangan
selanjutnya, gambaran Susuhunan berbeda. Belanda sempat terkecoh oleh kesehatan Susuhunan.
Raja yang lahir tahun 1867 itu, dalam usia 32 tahun, menderita batu ginjal dan tidak dapat
membatasi kemauannya. Belanda sudah memperhitungkan usianya dan menyiapkan pengganti
yang sesuai dengan politik Hindia Belanda. Tapi ternyata ia baru wafat setelah 72 tahun. Sejalan
dengan usianya, sikap dan wataknya semakin tegas. Patihnya yang amat berkuasa diganti atas

2
perintahnya, sehingga kekuasaannya meningkat. Belanda menganggap ia kurang cakap dalam
keuangan dan administrasi. Perhatiannya direbut upacara-upacara kebesaran dan politik.
Selama masa takhtanya yang panjang itu, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal
dan 13 residen/gubernur secara silih berganti, ia mampu menjauhkan pertentangan yang serius,
bahkan tampil sebagai "teman" pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja
Jawa di mata rakyat tetap kukuh. Jelas, ini kelihaian membawa diri. "Loyatitasnya" kepada
Hindia Belanda memang meragukan. Kontrak politik yang ditandatanganinya ketika naik takhta
sebagai Susuhunan di tahun 1893 mencantumkan syarat, ia dicopot jika ingkar pada persetujuan
itu. Dalam pada itu, ia pun sadar sebagai cucu Pakubuwono VI yang di tahun 1831 dibuang
Belanda ke Ambon. "Ia memang setia pada pemerintah Belanda. Tapi bahkan dalam tidurnyapun
hidup naluri leluhurnya, naluri nenek-moyangnya, naluri raja dan prajurit Timur," kata seorang
gubernur. Petunjuk bahwa Susuhunan mempunyai kecenderungan politik dilaporkan oleh Residen
Sollewijn Gelpke (1914-1918) pada atasannya. Secara teratur ia memerlukan terjemahan berita-
berita penting dari De Locomotief -surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang.
Khususnya berita mengenai Perang Dunia I. Gelpke memperoleh kesan, Susuhunan bersimpati
pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia, termasuk orang-orang SI.
Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif
Susuhunan kurang diperhitungkan Schneider merupakan salah seorang yang pertama-tama
memperhitungkan pengaruh perjalanan Pakubuwono X ke luar daerah. Walaupun perjalanan itu
secara teoretis incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara
tahu 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai
pencerminan politik Pakubuwono X, yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia
juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung. Peranan Susuhunan sebagai imam bagi
masyarakat muslim di Surakarta, dengan gelar Panatagama -sehingga dapat dimengerti
hubungannya dengan SI- diperhitungkan Belanda.
Penolakannya terhadap aktivitas misi-misi Kristen disebut-sebut sebagai faktor pesatnya
perkembangan SI. Jika peranan Pakubuwono X itu dihubungkan dengan fajar nasionalisme di Asia
dan semangat Pan Islamisme, Susuhunan tak boleh diremehkan. Di Surakarta, misi Kristen sulit
memperoleh tanah, sekalipun untuk mendirikan rumah sakit. Akhirnya, Belanda meminta kepada
Mangkunegoro, dan mendirikan rumah sakit di Jebres Golongan Islam di Laweyan, pusat orang-
orang SI, sangat menentang kegiatan misi. Ketika golongan misi menerbitkan berkala dalam
bahasa Jawa, Mardi Rahardjo, golongan Islam menerbitkan tandingannya, Medan Muslimin.
Suasana agak memanas ketika pada tahun 1912 Pangeran Kusumodiningrat. kakak Pakubuwono X,
menghadiri rapat komite anti kegiatan misi Kristen. Residen campur tangan, dan akhirnya sang
pangeran menolak permintaan menjadi anggota komite. Memang tidak ada bukti keraton terlibat
dalam pembentukan SI. Hubungan itu baru ada setelah terbentuknya sebuah perkumpulan
saudagar batik setempat oleh R.M. Tirtoadisuryo, redaktur Medan Priyayi. Tirto telah mendirikan
Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia (Jakarta) tahun 1909, dan selanjutnya membentuk Sarekat
Dagang Islam di Bogor tahun 1911. Di tahun 1912 ia mendirikan Sarekat Dagang Islam di
Surakarta sebagai cabang perkumpulannya di Bogor. Tak lama kemudian ia mundur dari
panggung, dan Haji Samanhudi, saudagar batik terkemuka di Laweyan, tampil sebagai pemimpin
yang sesungguhnya.
Beberapa sarjana pengamat mengatakan, perkumpulan pribumi itu berdiri karena
timbulnya persaingan dengan para pedagang Cina yang mendirikan industri batik. J.S. Furnivall,
misalnya, menulis bahwa penggantian bahan kain batik buatan lokal (tenun) dengan kain impor
(cambtics) sehingga para produsen batik pribumi harus membeli kain impor dari pedagang-
pedagang Cina sangat menguntungkan pedagang Cina. Menurut Robert van Niel, H. Samanhudi-
lah yang menundang R.M. Tirtoadisuryo, agar datang ke Surakarta untuk mendirikan
perkumpulan dagang Indonesia di antara para saudagar batik setempat. Dan menurut Blumberger
(asisten residen di Surakarta antara tahun 1913 dan 1916) penyebab pertama didirikannya
Sarekat Islam ialah munculnya perasaan nasionalisme Jawa. Nasionalisme Jawa inilah yang
meletupkan reaksi terhadap dominasi dan meningkatnya campur tangan asing dalam peri
kehidupan orang Jawa. Maka, wajarlah bila SI Solo berharap bahwa Susuhunan dan pejabat-
pejabat tinggi keraton membantu menentang pejabat-pejabat yang terpengaruh oleh
pemerintah Hindia Belanda. Skors pelarangan kegiatan organisasi SI Solo salah satu sebab
utamanya keributan Krapyak. Penduduk merasa dirugikan oleh peraturan baru di bidang agraria
70 orang anggota SI marah terhadap asisten residen Belanda dan pejabat kepatihan R.T.

3
Joyonagoro, putra patih, yang ketika itu menjabat sebagai bupati nayoko dan bendaharawan
keraton. Koran Bintang Surabaya mewartakan, penduduk Krapyak -anggota-anggota SI- menolak
peraturan gubernemen. Karena sikap dan tindakan anti Cina dipandang dapat mengganggu
keamanan, pada tanggal 10 Agustus 1912 Residen Van Wijk melarang SI mengadakan rapat dan
menerima anggota baru. Rumah-rumah pimpinan SI digeledah. Tapi Van Wijk mencabut larangan
itu di bulan September, dengan syarat tidak boleh menerima anggota baru dari luar Surakarta.
Sejarah kemudian mencatat peristiwa lain. Beberapa hari sebelum larangan itu dicabut,
gerakan para saudagar Islam memperoleh dorongan baru dari Umar Said Cokroaminoto, pedagang
dari Surabaya yang membentuk Sarekat Islam di Surabaya dengan memakai model SI Solo. Jelas,
SI telah menusuk rusuk Jawa. Dalam kongres pertamanya di Surabaya tanggal 26 Januari 1913,
hadir wakil-wakil dari sepuluh cabang, didukung oleh 8.000--10.000 pengunjung. Jumlah anggota
SI waktu itu kira-kira 80.000 orang, 64.000 orang di antaranya di Surakarta. Dalam kongres itu
ditetapkan kedudukan komite sentral tetap di Solo, dengan tiga departemen yang bertugas
melebarkan sayap organisasi ke pelosok-pelosok Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Pada 23 Maret 1913 berlangsung kongres kedua di Surakarta. Setelah kongres itu, SI benarbenar
mencuat. Tahun 1916 jumlah cabangnya di dan luar Jawa mencapai 180 buah, yang mengayomi
700.000 anggota.
"Main mata" SI dengan keraton Pakubuwono X boleh dikata berawal di bulan September
1912. Dari sebelas orang pimpinan SI Solo, empat orang di antaranya pejabat tinggi keraton.
Kongresnya yang kedua diselenggarakan di Sriwedari, sebuah taman dan tempat pertemuan milik
Pakubuwono X. Beberapa hari sebelum kongres dibuka, patih Sosrodiningrat memberi tahu Van
Wijk bahwa SI setempat meminta kepada putranya, R.M. Wuryaningrat, agar menjadi anggota
kehormatan. Selanjutnya, atas perintah ayahnya, Wuryaningrat menolak permintaan itu dengan
pura-pura membuat alasan karena anggaran dasar SI belum mendapat persetujuan dari
pemerintah Hindia Belanda. Van Wijk lagi-lagi terkejut ketika pada malam menjelang
pembukaan kongres mendengar Pangeran Hangabehi terpilih sebagai pelindung SI. Ketika ditanya
oleh residen Belanda, Hangabehi mengatakan bahwa keanggotaannya di SI baru dua hari, ia juga
telah diundang hadir pada rapat pendahuluan kongres. Ketika tiba-tiba diminta jadi pelindung,
permintaan itu langsung diterimanya, tanpa meminta nasihat dulu dari Susuhunan atau patih.
Kehadiran Pangeran Hangabehi memang mendapat sambutan hangat dari kongres. Secara resmi
pangeran itu terpilih sebagai pelindung. H. Samanhudi terpilih sebagai ketua, dan Cokroaminoto
sebagai wakil ketua. R.M.A. Puspodiningrat -putra R.T. Wiryodiningrat, penasihat Susuhunan
yang paling terpercaya jadi ketua cabang Jawa Tengah. Puspodiningrat waktu itu berpangkat
bupati nayoko di keraton, ia dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, yang antipati pada
orang Eropa. Ia pun jengkel pada Van Wijk, yang selalu mencampuri urusan keraton. Apalagi
residen Belanda itu sudah melaporkan kepada atasannya, betapa banyak orang keraton yang
menjadi anggota SI.
Ada juga yang menganggap kedudukan P. Hangabehi sebagai pelindung SI itu hanya
tituler, bupati Madiun, misalnya. Karena itu, dalam kongres ST tanggal 23 Maret 1913, dua orang
utusan SI Madiun ditanya sendiri oleh P. Hangabehi dengan tiga pertanyaan tajam. Mengapa
ketua SI Madiun tidak hadir? Mengapa SI Madiun berani mengangkat bupati Madiun sebagai ketua
kehormatan tanpa meminta pertimbangan lebih dahulu dari pimpinan pusat SI di Solo? Apakah
bupati itu dapat dipercaya dan dapat memberikan bantuan kepada SI? Konon, bupati Madiun -
serta kebanyakan bupati lain- sangat hati-hati dan waspada terhadap pengaruh Solo dan
keratonnya. Mereka merasa, bila pengaruh Surakarta meningkat terus di mata rakyat Jawa,
kedudukan para bupati pemerintah Hindia Belanda akan melemah. Kenyataannya, P. Hangabehi
memang tidak boleh lama-lama duduk sebagai pelindung SI. Dalam surat tanggal 24 Mei 1913 Van
Wijk melaporkan ke Batavia bahwa pangeran itu telah melepaskan kedudukannya atas perintah
ayahandanya, Pakubuwono X. Dan atas anjuran Van Wijk pula, tak lama kemudian pangeran itu
dikirimkan ke Eropa, untuk meredam pengaruhnya di kalangan tinggi keraton. Tapi di Negeri
Belanda ada yang memperkenalkannya sebagai pelindung SI. Belanda pusing lagi, karena
pangeran itu merupakan salah satu calon terkuat untuk menggantikan ayahnya.
Pengundurannya dari SI ternyata tidak mengurangi pamor Hangabehi di SI Solo. Reserse
yang memata-matai kegiatan SI melaporkan pada tanggal 18 Agustus 1913, P. Hangabehi
dianggap oleh orang-orang SI sebagai calon ratu adil, juru penyelamat tanah Jawa. Anggota-
anggota SI setempat mengatakan kepada teman-temannya bahwa pada saatnya nanti akan ada
raja adil yang memerintah tanah Jawa. P. Hangabehi-lah orangnya. Ternyata, hanyak anggota SI

4
yang ingin menjadi anggota pasukan Pangeran Hangabehi, sehingga ketua SI Solo menulis surat
kepada pangeran itu supaya pulang ke Solo, karena kelak akan menjadi raja tanah. Pengaruh P.
Hangabehi juga amat besar di Yogyakarta. Dalam laporan rahasia reserse pada bulan Februari
1914, anggota SI Yogya masih tetap menganggapnya sebagai ketua SI. Mereka mendukung
pencalonannya sebagai pewaris takhta Surakarta. Mereka siap membantunya jika sampai terjadi
perkara yang serius. Konon, SI Yogya sudah terbentuk dalam bulan Maret 1913 atas prakarsa
Pangeran Notodirjo, putra Pakualam V. Sebulan setelah pembentukannya, SI Yogya mempunyai
657 anggota, termasuk kira-kira 100 orang pejabat keraton Sultan dan 50 pejabat Pakualaman.
SI cepat berkembang ke seluruh pelosok Jawa, bahkan sampai Madura sisten residen
Belanda di Banyuwangi melaporkan ke Batavia bahwa penduduk setempat merasa resah di bawah
pemerintahan Hindia Belanda, dan mengalihkan pandangan ke SI Solo. Saya kira, bukannya tidak
mungkin bahwa gerakan itu berasal dari kelompok atau orang-orang dari kalangan istana Solo,
tulisnya. Residen Madura meminta perhatian yang serius terhadap desas-desus yang tersebar di
karesidenannya, bahwa Susuhunan pun adalah anggota SI. Dan residen Surabaya melaporkan
hanyak orang di Surabaya menyatakan SI dibentuk atas perintah Susuhunan dan Mangkunegoro.
Seorang anggota SI yang diinterogasi mengatakan, tujuan SI ialah membentuk pemerintahan baru
yang akan melancarkan peperangan guna mengusir orang-orang Belanda dan Cina dari Jawa.
Sedang seorang bekas anggota SI di Surabaya mengaku, SI bertujuan mengambil alih tanah Jawa
dari Belanda melalui revolusi, dan menyerahkan kembali Jawa kepada Susuhunan. Asisten
residen Nganjuk memperkuat bahwa anggota-anggota baru SI, setelah mengucapkan sumpah,
lantas diingatkan, "Jangan lupa, di tanah Jawa hanya ada seorang raja yang sah."
Desas-desus yang beredar selagi kongres SI berlangsung di Solo tanggal 23 Maret 1913
dilaporkan oleh bupati Bojonegoro sebagai berikut: "Di Solo SI pertama-tama didirikan
sehubungan dengan kenyataan bahwa Suuhunan X tidak mempunyai putra lelaki dari permaisuri,
pun belum punya putra yang diberinya gelar Pangeran Adipati sebagai pewaris takhta, padahal
Baginda semakin berusia juga. Orang-orang mengatakan, Baginda berniat mengawini seorang
putri Sulfan Yogya. Tapi, jika ini terlaksana dan permaisuri baru itu melahirkan putra mahkota,
tentunya sang putra itu masih terlalu muda untuk menggantikan ayahandanya. Orang-orang
mengutip kata Joyoboyo, bahwa sepeninggal Susuhunan X, takhta kerajaan akan diduduki oleh
raja yang dipilih oleh rakyat, yaitu Susuhunan XI." Lebih lanjut dikatakan bahwa pendiri SI yang
sebenarnya ialah Pangeran Hangabehi, putra Susuhunan sekarang. Ia sengaja mendirikannya
dengan harapan, kelak, melalui kerja sama dengan perkumpulan itu, ia terpilih menjadi
Susuhunan. Salah seorang asisten residen di Batavia melaporkan bahwa anggota-anggota SI di
Bekasi dianjurkan agar tidak menghormati pemerintah Hindia Belanda lagi, dan, jika sampai
terjadi sesuatu, akan ada seseorang yapg menolong. Siapa orangnya tidak disebutkan. Tapi,
setelah diketahui bahwa orang-orang Bekasi yakin iuran masing-masing sebesar 50 sen akan
dikirimkan kepada Susuhunan di Solo, dapat ditebak siapa yang dimaksudkan. Memasuki tahun
1915 SI mengalami kemunduran. Terjadi pergantian pimpinan, dan pusatnya pun pindah dari
Solo. Hubungan antara keraton dan SI menipis.

Budi Utomo
Lalu di Surakarta bertiup angin politik yang penting. Pada tahun 1914 terjadi perpindahan
pimpinan Budi Utomo dari Yogya ke Solo. Mula-mula keterlibatan Keraton Surakarta dalam
kegiatan Budi Utomo masih samar-samar dan dlakukan dengan hati-hati sekali. Pada akhir tahun
1921, setelah Pakubuwono X melakukan kunjungan lagi ke daerah-daerah lain, dua orang putra
raja itu masuk dalam pimpinan Budi Utomo. Belanda pun resah, lalu berusaha membatasi
kegiatan politik keraton. Dalam catatan sejarah, Budi Utomo didirikan oleh sekelompok
mahasiswa kedokteran di Batavia Dada Mei 1908. dan merupakan organisasi nasionalis yang
pertama kali dibentuk di Hindia Belanda. Dalam sejarah Indonesia, lahirnya Budi Utomo
merupakan awal kebangkitan nasional. Kongres pertamanya, yang dipimpin oleh Dr. Wahidin
Sudirohusodo, berlangsung pada bulan Oktober 1908. Kongres itu dilangsungkan di Yogyakarta,
antara lain karena simpati Pangeran Notodirjo dan keraton Pakualaman. Kira-kira 300 orang
hadir baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat. Karena Dr. Wahidin sakit, pada
hari kedua Panji Brotoatmodjo - pegawai tingkat menengah (kliwon) dari keraton Pakualaman -
memimpin kongres.
Pembentukan Budi Utomo cabang Solo mungkin terjadi pada akhir tahun 1908, dan
selanjutnya cabang ini berkembang pesat. Pada tahun 1912 ia mampu mengambil alih koran

5
Darmo Kondo. Koran itu terbit sejak tahun 1904 di bawah manajemen orang-orang Cina. Seorang
bangsawan, R.M.A. Suryosuparto, yang kemudian menjadi Mangkunegoro VII, memainkan
peranan penting pada tahun-tahun awal Budi Utomo Solo. Tahun 1916, Pangeran Hadiwijoyo,
salah seorang putra terkemuka Pakubuwono X, menjadi ketua cabang. Dan bulan Juni 1919, dua
orang pangeran yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Susuhunan -Pangeran Hangabehi dan
Pangeran Kusumoyudo- ikut ambil bagian dalam armada itu. P. Hangabehi putra tertua
Pakubuwono X, sedangkan P. Kusumoyudo putra tertua kedua, yang konon merupakan putra
kesayangan ayahanda.
Mula-mula Budi Utomo hanya bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan. Tapi sejak
September 1914, setelah organisasi ini dipimpin oleh dr. Radjiman Wedjodiningrat, seorang
dokter keraton Susuhunan, bidang politik dikebut. Dalam rapat pimpinan di Bandung tanggal 5
dan 6 Agustus 1915, tampillah mosi M. Sutedjo, utusan dari Surakarta, yang menyerukan
dibentuknya parlemen sebagai pengganti milisi.
Dalam kongres Budi Utomo di Surabaya, 8 dan 9 Juli 1919, R.M.A. Wuryaningrat terpilih
sebagai ketua. Pejabat tinggi dan bangsawan Keraton Surakarta yang sangat anti Belanda ini
kelak menjadi seorang pemimpin gerakan nasional yang terkemuka. Wuryaningrat adalah putra
patih Surakarta R.A.A. Sosrodiningrat, yang menjabat patih sejak tahun 1889, semasa
Pakubuwono IX bertakhta. Pakubuwono IX memberi Sosrodiningrat cukup batasan kekuasaan,
sedangkan Pakubuwono X beberapa tahun bersikap longgar. Tapi karena cukup tua, dan menurut
pandangan Belanda amat konservatif, Gubernur Jenderal Idenburg dalam tahun 1915
memensiunkannya. Sekaligus menggantinya dengan putra sulung patih dari selir R.A. Joyonagoro.
Sosrodiningrat menyangka rajalah yang mencopotnya.
Joyonagoro cakap sebagai administrator. Ia kawin dengan putri raja, kakak Kusumoyudo.
Tapi pengangkatan Joyonagoro kurang menyenangkan sementara kalangan keraton, yang
menginginkan Wuryaningrat. Alasannya, Wuryaningrat adalah putra tertua dari istri pertama,
bukan anak selir. Dan istri pertama itu adalah kakak Susuhunan. Pakubuwono X sudah
mengajukan permintaan resmi kepada pemerintah Hindia Belanda agar Wuryaningrat yang
diangkat. Pangkatnya pun waktu itu sudah bupati nayoko. Apalagi patih lama sudah memberinya
kedudukan sebagai "sekjen" di kepatihan. Sebenarnya, ia tokoh pejabat tinggi yang penting. Tapi
Belanda memang mencari calon yang lebih pasif dan tenang sikapnya. Wuryaningrat dengan
kekuasaan yang besar, bersama-sama dengan tokoh-tokoh keraton yang anti Belanda dapat
menggelisahkan Batavia. Ia pun dipindahkan dari kepatihan, sehingga kedudukannya hanya di
keraton. Akibatnya, Wuryaningrat semakin benci kepada Belanda, sehingga gubernur Belanda
menyebutnya "setan jahat" keraton.
Setelah kedudukan pimpinan pusat pindah dari Yogya ke Solo di tahun 1914, Budi Utomo
lebih mantap geraknya. Cabang Surakarta maju, didukung 315 anggota. Cabang Weltevreden 601
orang. Catatan anggota tahun 1918 sebagai berikut: Surabaya 139, Batavia 94, Yogya 70. Klaten,
Boyolali, Sragen, dan Wonogiri juga mencatat jumlah cukup. Pada tahun 1909 ada 40 buah
cabang, pada tahun 1918 menjadi 51. Kenyataan ini mengesankan bahwa meskipun sebagai
organisasi tidak besar, ia berpengaruh. Wuryaningrat berusaha memperluas cabang. Hasilnya,
pada tahun 1920 naik jadi 63 cabang, setahun kemudian meningkat jadi 90. Motif utama keraton
melibatkan diri dalam gerakan politik tentu saja karena makin tajamnya cakar Belanda
mengganggu urusan dalam kerajaan. Tujuan utamanya otonomi politik. Itu juga dilakukannya
pada berbagai kerajaan di daerah lain. Dalam pemilihan anggota Volksraad, Januari 1918, empat
di antara 10 orang pribumi yang terpilih adalah anggota Budi Utomo. Termasuk Dr. Radjiman dan
R. Sastrowidjono. Untuk mengimbangi anggota yang konservatif, pada bulan Maret 1918 diangkat
lagi lima orang pribumi yang progresif: Cipto Mangunkusumo dari Insulinde, Cokroaminoto dari
SI, Dwidjosewojo dari Budi Utomo, Prangwedono (Mangkunegoro VII), dan T.T. Mohamad Thayeb
dari Aceh. Budi Utomo merupakan partai terbesar kedua dalam Volksraad, setelah NIVB
(Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond).
Batavia terus mengendalikan keraton-keraton di Jawa Tengah. Pada pertengahan tahun
1920 Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) menyatakan ingin turun dari takhta -terlaksana
pada tahun berikutnya. Alasan resminya: sudah uzur (lahir tahun 1839). Tapi sebuah artikel
dalam koran Sumatra Post yang ditulis oleh salah seorang yang sangat paham persoalan keraton
membeberkan, Sultan mundur karena tidak dapat mengikuti reformasi sosial pihak Gubernemen.
Di Surakarta, seorang bangsawan yang anti Belanda, P. Hadiwijoyo, terpilih menjadi ketua

6
cabang Budi Utomo. Di bawah kepemimpinannya muncullah mosi dalam tahun 1920 yang
menuntut otonomi bagi kerajaan Surakarta.
Pada bulan Desember 1921 Susuhunan melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi
oleh 52 bangsawan dan abdi. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, ia tinggal
agak lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut ratusan orang berkumpul, sehingga polisi repot.
Orang-orang itu ingin membeli air bekas mandi Pangkubuwono X termasuk sisa makanannya,
karena dianggap mendatangkan berkah. Pada bulan Februari 1922 Pakubuwono X mengadakan
perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi. Perjalanan itu resminya disebut
incognito, tapi benar-benar membuatnya populer. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata
dengan lambang PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, wedana dan asisten
wedana memperoleh arloji anan itu "memberikan kesan mendalam pada rakya akan prestise,
kekayaan, dan kesaktian raja Jawa, sebuah aspirasi dengan tendensi nasionalistis yang kuat,"
tulis Residen Harloff.
Dalam musyawarah nasional Budi Utomo di Surakarta tangga 24-26 Desember 1921,
sasarannya politik, Wuryaningrat berpidato mengulas berbagai kejadian setelah Perang Dunia I.
Pergolakan yang terjadi di berbagai bagian dunia serta gerakan-gerakan kemerdekaan di Arab,
Irlandia, dan India. Budi Utomo, katanya sekarang mengemban tiga program: meningkatkan
pendidikan membangkitkan rasa cinta tanah air, dan memajukan perekonomian rakyat. Dalam
mosi yang diumumkan, diserukan agar dalam badan-badan perwakilan kaum pribumi
memperoleh keanggotaan paling sedikit lima puluh persen. Keterlibatan keraton dalam Budi
Utomo berlangsung terus. Wuryaningrat, yang mundur dari jabatan ketua, digantikan olel P.
Hadiwijoyo, juga putra Pakubuwono X. Dalam babak kepengurusan selanjutnya Dr. Radjiman
Wedjodiningrat, dokter Keraton Surakarta, tampil lagi sebagai ketua.
Antara pertengahan 1918 dan pertengahan tahun 1919 ada topan inflasi, sementa tidak
berubah. Pada bulan Agustus 1919 harga makanan dan pakaian naik 50 persen. Harga gula di
pasar dunia merosot, sehingga petani tebu keok. Ketidakpuasan muncul di daerah. Kebun tebu
dibakar tentara dikerahkan untuk mengatasi kekacauan Kediri dan di Jawa Barat, serangkaian
insiden akibat pengumpulan beras secara paksa. Pada bulan Juli 1919, dalam insiden yang paling
parah -Peristiwa Garut- seorang anggota SI, Hasan, dan beberapa orang anggota keluarganya
tewas ditembak. Cipto Mangunkusumo berpidato di depan sidang Volksrat tanggal 20 Februari
1919: menyalahkan gubernemen dan industri gula. Kata dia, menjelang tahun 1915 sebenarnya
dapat dibayangkan akan terjadi kekurangan pangan, dan gambaran buruk itu makin parah di
tahun 1917.
Pada bulan Agustus dalam masa perang di Eropa, Inggris memerlukan bantuan banyak
kapal Belanda. Selanjutnya Inggris melarang ekspor ke India ke Hindia Belanda, bahkan ekspor
beras ke Singapura pun dicegah. Akibatnya, harga beras naik lima kali lipat. Namun gubernemen
tetap tidak mau mendesak pemilik-pemilik gula mengurangi luas kebun-kebun tebu agar dapat
ditanam dengan padi. Kata Cipto, gubernemen tidak berbicara demi rakyatnya, tapi demi
kapitalis-kapitalis pabrik gula. Penderitaan rakyat Surakarta semakin menggalakkan pemuka-
pemuka. Dalam rapat istimewa Budi Utomo di Yogyakarta dan 5 November 1922, dr. Radjiman
memperingatkan gubermen dengan berkobar-kobar, "Ingat, sekaranglah saatnya meluluskan
tuntutan kami. Sekarang memang kamu memimpin kami, tapi tunggu, tidak lama lagi saatnya
akan bila kesabaran rakyat sudah habis!" Selanjutnya Budi Utomo juga mengadakan pertemuan-
pertemuan. Dalam manifesto, yang diumumkan pada pertemuan November 1922, diajukan
protes atas larangan yang dikenakan gubernemen terhadap pemimpin-pemimpin politik, peng
polisi, dan "penyedotan" oleh kaum kapitalis dari bumi Hindia. Pada tahun 1923 dr. Radjiman
digantikan oleh Wuryaningrat sebagai ketua pimpinan pusat Budi Utomo. Ia meneruskan
moderat, tapi tetap mengecam gubernemen. Pernah Budi Utomo tertarik oleh politik non-
kooperasinya Gandhi. R. Wonoboyo, seorang anggota pimpinan pusat, mengusulkan mengirimkan
utusan ke India untuk memperoleh keterangan tangan pertama tentang gerakan itu.
Menuju Nasionalisme Indonesia Pakubuwono X terus mengadakan perjalanan ke daerah-
daerah di luar Surakarta. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, benarnya hendak
membatasi popularitas Susuhunan. Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tapi Susuhunan
selalu mengesankan sebagai Kaisar Tanah Jawa". Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa
Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi
Utomo, Pakubuwono X tidak mengadakan perjalanan lagi di tahun 1923. Tapi tahun berikutnya,
ia berangkat ke Malang. Penampilannya di sana menyebabkan Gubernur Jenderal Fock menyuruh

7
Residen Nieuwenhuys mempersilakan suhunan pulang. Alasannya, persyaratan "incognito"
dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwono mengadakan perjalanan lagi
di tahun 1927. Diiring 44 orang bangsawan dan abdi, ia memasuki Gresik, Surabaya, dan
Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya tiga kali lipat persyaratan yang dibuat oleh
Belanda. Pada tahun 1929, selama dua minggu, ia ke Bali dan Lombok. Juga dengan 44 orang
pengiring. Tahun berikutnya ke Bandung. Tahun 1933 ke Cepu dan tahun 1935 ke Bogor, Batavia,
dan Lampung, dengan 51 orang. Susuhunan terus lakukan kunjungan di Jawa sampai wafatnya
tahun 1939.
Pada tahun-tahun itulah, di Surakarta muncul R.T. Djaksodipujo, tokoh baru dari
kalangan keraton. Tamatan sekolah hukum tinggi di Batavia. Bergelar R.T. Mr. Wongsonegoro,
yang di kemudian hari menjadi Menteri Dalam Negeri RI. Ia salah satu tangan kanan
Wuryaningrat. Pada tahun 1920-an, ia memegang berapa jabatan dalam keraton dan kepatihan.
Ia menjadi ketua di Utomo cabang Solo, dan juga ketua pimpinan pusat Jong Java. Selama
belajar di Rechls Hoge School di Batavia, ia dikenal sebagai mahasiswa yang pandai. Pada tahun
1924, dr. Sutomo membentuk Indonesische Studie Club di Surabaya. Dua tahun kemudian, di Solo
terbentuk kumpulan serupa. Keanggotaannya tidak besar, tapi Wuryaningrat, dr. Radjiman, dan
beberapa politisi yang berpengaruh ikut kudeta. Salah satu kegiatannya yang terpenting ialah
menerbitkan Majalah Timbul, yang pro keraton dan nasionalis. Terbit dua bulan sekali sejak
Januari 1927. Redaksinya dr. Radjiman dan R.P. Mr. Singgih. Majalah ini menerima subsidi 200
gulden setiap bulan dari keraton dan dompet pribadi Pangeran Kusumoyudo. Enam tahun
lamanya Timbul berkampanye menyerang politik yang dijalankan Belanda terhadap kerajaan-
kerajaan Jawa, dan terus-menerus menuntut otonomi yang lebih longgar. Mr. Singgih merupakan
tokoh baru yang memperkuat suara Keraton. Sebenarnya, ia berasal dari Pasuruan. Ketika
belajar ilmu Hukum di Negeri Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, perkumpulan
mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Sekembalinya di Indonesia, banyak di antara anggota
perhimpunan ini menjadi pemuka gerakan nasionalis. Setelah mengantungi ijazah sebagai ahli
hukum dengan gelar Meester in de Rechten Mr. Singgih kembali ke Jawa. Selama setahun ia
bekerja di kantor pengadilan Hindia Belanda di Ambon. Tahun 1924 ia mengundurkan diri, lalu
pindah ke Surabaya, menjadi pengacara dan propagandis bagi Indonesische Studie Club-nya dr.
Sutomo. Namanya berkibar sebagai pemuka nasionalis dan gerakan non-kooperasi. Ia pun aktif
sekali di dalam Budi Utomo, dan terpilih sebagai sekretaris pertama pimpinan pusat dalam
kongres bulan April 1928. Sebelum pindah ke Solo pada akhir 1926, ia berkeliling ke pelosok-
pelosok Jawa, menyerukan pembentukan front persatuan semua golongan yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Ia juga menjadi anggota PNI-nya Sukarno, yang dibentuk di Bandung
bulan Juli 1927.
Keraton akrab kembali dengan Budi Utomo setelah kongres bulan April 1928 di Solo.
Pimpinan pusat organisasi nasional yang tertua itu kembali menetap di Solo. Dari susunan
pimpinan pusat tampak menonjolnya tokoh-tokoh dari pihak keraton: R.M.A.A. Kusumo Utoyo
(ketua), R. M.H. Wuryaningrat (wakil ketua), R.P. Mr Singgih (sekretaris pertama), R.M . Sudaryo
(sekretaris kedua) S. Martodihardjo (sekretaris kedua), dr. Radjiman Wedjodiningrat (komisaris),
R.Mr.dr. Supomo (komisaris), dan R. Slamet (komisaris). Tak lama kemudian, setelah kongres itu,
Kusumo Utoyo pindah ke Batavia karena terpilih sebagai anggota Volksraad. Wuryaningrat, yang
bertugas memimpin sehari-hari, secara defacto menjadi pemimpin utama. Akhirnya,
kepemimpinannya mendapatkan pengakuan, seperti yang terjadi pada bulan Desember 1934
ketika ia dan Kusumo Utoyo bertukar kedudukan dalam pimpinan pusat.
Dalam memimpin Budi Utomo, Wuryaningrat menyalurkan kehendak Pakubuwono X yang
memang menaruh perhatian besar dalam politik. Pada bulan Mei 1928, pimpinan pusat Budi
Utomo mengeluarkan manifesto yang mengecam perbedaan perlakuan yang diumumkan oleh
Gubernur Jenderal De Graef. Perbedaan perlakuan terhadap kaum nasionalis yang evolusioner
dan revolusioner. Manifesto itu diakhiri dengan semboyan: "Dengan persatuan yang tak
terpecahkan menuju kemerdekaan Indonesia." Banyak yang mengatakan bahwa perencana
manifesto itu adalah Mr. Singgih.
Dalam kongresnya di Yogya, 31 Desember 1927 hingga 1 Januari 1928, Budi Utomo memu-
tuskan ikut serta dalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) -federasi partai-partai politik Indonesia. Federasi itu baru terbentuk dua minggu
sebelumnya, terutama atas prakarsa PNI Sukarno. Menginjak awal tahun 1930, langkah Budi
Utomo makin jelas menuju nasionalisme Indonesia. Dalam kongres awal April 1931 di Batavia,

8
secara tegas dibuka keanggotaan untuk "semua orang Indonesia." Ejaannya pun diganti dari Budi
Utomo menjadi Budi Utama. Dan dalam konperensi pimpinan pusat di Solo bulan Desember 1932,
perubahan radikal terjadi dalam anggaran dasarnya. Tujuannya demi "perkembangan harmonis
negeri dan rakyat Jawa dan Madura", berubah jadi demi "Indonesia Merdeka." Budi Utomo juga
ikut serta melakukan protes terhadap rencana gubernemen untuk mengekang pendidikan pada
sekolah-sekolah swasta -Wilde Scholen Ordonnantie- terutama pengekangan terhadap Taman
Siswa. Sejak pendirian Taman Siswa di tahun 1922 oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara), gubernemen telah melakukan berbagai pengawasan. Padahal, sekolah swasta tidak
menerima subsidi dari Belanda. Tapi, peraturan baru yang hendak dikenakan pada sekolah
swasta yang disebutnya "sekolah liar" itu lebih menjerat lagi, yaitu bahwa gubernemen dapat
melarang dan mencabut izin sekolah itu jika dicurigai telh mengajarkan hal-hal yang dapat
menimbulkan bahaya bagi tata tertib masyarakat. Suwardi Suryaningrat segera mengirimkan
kawat protes kepada Gubernur Jenderal B.C. de Jonge yang terkenal kolot. Pers nasional dan
hampir semua organisasi nasional ikut berkoar. Budi Utomo pun mengadakan rapat, lalu
menyampaikan ultimatum kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika ordonansi itu tidak ditarik
kembali, Budi Utomo akan menarik pula semua anggotanya dari badan-badan perwakilan di
seluruh Hindia Belanda, menutup sekolah-sekolahnya, dan memberikan bantuan keuangan
kepada "korban" peraturan itu. Setelah diserbu protes, baru Belanda menarik ordonansi tersebut.
Pada tahun 1933 Budi Utomo berkonfrontasi lagi dengan gubernemen, yang berlangsung dua
tahun lamanya.
Konon, pada akhir bulan April 1933, PPPKI yang mengadakan rapat di Solo bersepakat
hendak mendirikan tugu di Solo, guna memperingati 25 tahun kebangkitan nasional. Organisasi-
organisasi yang tergabung dalam PPPKI mengumpulkan iuran, lalu membentuk panitia yang
terdiri atas tujuh orang. Panitia itu diberi nama Comite Tugu Kebangsaan, diketuai oleh Mr.
Singgih. Tempat untuk mendirikan tugu disediakan oleh sebuah sekolah dasar swasta di Kampung
Penumping, Laweyan, sedangkan pemilik tanah adalah Susuhunan. Izin pendirian diberikan oleh
bupati kota pada akhir bulan November tahuh itu, tapi tidak diberitakan kepada residen Belanda
M.J.J. Treur. Menurut rencana, peletakan batu pertama tugu itu akan dilakukan bersamaan
dengan kongres PPPKI bulan Desember 1933 di Solo. Ternyata, pada saat-saat terakhir,
penyelenggaraan kongres tidak diizinkan oleh Treur. Akibatnya, beberapa bulan lamanya
rencana pendirian tugu itu terbengkalai. Tapi akhirnya rencana itu secara diam-diam
dilanjutkan, diharapkan tugu itu sudah selesai sebelum gubernemen tahu. Tapi pada
pertengahan bulan Oktober ketika pembuatan tugu itu hampir selesai hidung Treur menciumnya.
Bulan berikutnya Budi Utomo menyampaikan permintaan izin resmi kepada residen, bahwa tugu
itu akan diresmikan dalam kongres yang akan diadakan tanggal 24-26 Desember 1934 di Solo,
dengan prasasti: "Toegoe peringatan pergerakan Kebangsaan 1908-1933". Permintaan izin
ditolak, Batavia menyuruh Treur melakukan penyelidikan. Setelah Treur menyampaikan laporan
ke Batavia pertengahan Januari 1935 keputusan baru menyebutkan tugu boleh tetap berdiri, asal
dalam rangka peringatan berdirinya Budi Utomo, bukan sebagai peringatan kebangkitan nasional.
Akhirnya Januari 1935 kebetulan Pakubuwono X ada di Batavia dalam rangka perjalanannya ke
Lampung. Gubernur Jenderal menggunakan kesempatan untuk memberitahukan hal itu, dan
Pakubuwono X pun berjanji akan membicarakan hal itu dengan Budi Utomo sekem- balinya di
Solo nanti. Tapi usahanya tidak berhasil, sebab dalam pertengahan Maret 1935 Budi Utomo
menyampaikan usul balasan kepada Belanda, yang menyatakan tetap menggunakan tahun "1908-
1933" atau tanpa prasasti sama sekali. Belanda makin jengkel, apalagi Budi Utomo tanpa izin
telah mengubah bunyi tujuan dan anggaran dasarnya yang terang-terangan demi Indonesia
Merdeka. Pada awal April 1935 Batavia memberi instruksi pada Treur agar mengultimatum Budi
Utomo tugu itu akan dibongkar dalam waktu sebulan jika menolak bunyi prasasti "Toegoe
peringatan kemajoean ra'yat 1908-1933". Persetujuan akhirnya tercapai seperti tersebut di atas.
Tugu dengan bentuk lilin menyala itu sampai sekarang masih berdiri, dan dikenal dengan nama
Tugu Lilin.
Pada bulan Oktober 1930 di Surabaya terbentuk organisasi baru yang didirikan oleh Dr.
Sutomo: Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Dan perjalanan sejarah menunjukkan bahwa dalam
tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda di Indonesia, Keraton Surakarta mulai melibatkan diri
lebih jelas dalam gerakan nasional, yaitu setelah bergabungnya Budi Utomo dan PBI dalam bulan
Desember 1935. Gabungan kedua organisasi ini ditambah dengan beberapa organisasi kebangsaan
lain yang lebih keras akhirnya melahirkan partai yang paling besar dan paling penting dalam

9
dekade itu, yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra). Dr. Sutomo menjadi ketuanya, dan
Wuryaningrat wakilnya. Tujuan partai itu "Indonesia Mulia" tapi Belanda tahu benar bahwa
maksudnya adalah kemerdekaan. Semua organisasi yang masih bergabung dalam PPPKI, kecuali
Pasundan, masuk dalam Parindra. Pada bulan Februari 1936, Parindra telah mempunyai 54
cabang, dengan jumlah anggota 3.445. Pendukungnya yang terbesar dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur, tapi selanjutnya pulau-pulau lain pun segera berdiri cabang-cabangnya, sehingga pada
akhir masa penjajahan Belanda cabang Parindra tercatat sebanyak 121 buah, dan anggotanya
kira-kira 20.000 orang. Inti Parindra, paling tidak pada permulaannya, adalah gabungan para
pengikut Dr. Sutomo di Surabaya dan kaum politisi Keraton Surakarta. Pucuk pimpinan Parindra
resminya di Surabaya. Tapi Solo, yang pada umumnya oleh orang-orang Jawa masih dipandang
sebagai pusat politik yang terutama di Jawa, berfungsi sebagai pembantu pusat yang berada di
Surabaya. Persekutuan antara Surakarta dan Surabaya dapat mengingatkan pada tahun-tahun
pertama Sarekat Islam, sekalipun persekutuan semacam itu dalam perjalanan waktu juga dapat
menimbulkan ketegangan. Dalam kongres fusinya tujuh dari tiga puluh orang yang terpilih
menjadi pengurus pimpinan pusat berasal dari Solo. Tapi dalam kongresnya yang diadakan tahun
1937, di antara sebelas anggota pengurus pusat yang terpilih hanya Wuryaningrat yang masih
tinggal. Setelah Dr. Sutomo meninggal tahun 1938, Wuryaningrat yang mengganti jadi ketua, tapi
badan pekerja harian tetap berada di Surabaya di bawah pimpinan R. Sudirman. Dalam kongres
berikutnya pada bulan Desember 1938, Wuryaningrat kembali terpilih sebagai Ketua Parindra,
dan M. Sutedjo dari Solo terpilih pula sebagai salah seorang anggota pengurus pusat. Kedudukan
pengurus pusat pindah ke Solo, tapi lima dari tujuh di antaranya berasal dari Surabaya, dan
pimpinan harian tetap di Surabaya di bawah R. Sudirman yang terpilih sebagai wakil ketua baru.
Dalam pada itu, nama dan peranan Jepang mulai muncul. Akibat devaluasi yen di Jepang
pada tahun 1931, Hindia Belanda dibanjiri barang-barang Jepang, yang mendapat sambutan baik
sekali karena harganya yang murah dan lebih baik dari saingannya. Selanjutnya orang-orang
Jepang pun membuka toko di kota-kota Hindia serta mempekerjakan tenaga-tenaga pribumi.
Furnivall, seorang pengamat sejarah Indonesia, mengatakan, jika kaum pribumi "tidak
memperoleh ruang gerak dalam perdagangan modern, orang-orang Jepang memberinya
kesempatan awal." Sejak akhir tahun 1932 Belanda mulai benar-benar memperhitungkan
ekspansi Jepang dalam segala bidang. Dalam bulan Juni 1933 Dr. H. Colijn, menteri urusan
jajahan Belanda, memberi nstruksi kepada gubernur jenderal Hindia De Jonge agar nelakukan
"cara yang lengkap, sistematis, dan sangat rahasia" dalam laporan intelijennya mengenai
kehadiran orang-orang Jepang di Hindia. Belanda mengkhawatirkan bukan saja penetrasi
ekonomi, tapi juga spionase dan pengaruh dan pers pribumi, gerakan nasional, dan raja-raja
pribumi. Kekhawatiran Belanda itu memang beralasan setelah melihat keadaan di Surakarta.
Tampaknya, Jepang menaruh perhatian kepada dua kerajaan di sana. Pada bulan Februari 1936,
penasihat dan kepala biro urusan Asia Timur, A.H.J. Lovink, membuat laporan bahwa banyak
orang Jepang mengunjungi Surakarta. Di Wonogiri perusahaan Jepang Ishihara Mining Company
memperoleh hak eksplorasi tembaga dari Mangkunegoro pada tahun 1932. Di Wonogiri Selatan
sebelumnya memang pernah diselidiki kemungkinan adanya kandungan tembaga, tapi tidak
dilanjutkan karena diperhitungkan kurang menguntungkan. Tapi kenyataannya orang Jepang
berani melakukannya. Dengan demikian, Belanda patut menaruh curiga akan kemungkinan
adanya aspek politik. Dan karena perusahaan Jepang itu merencanakan mengapalkan hasil
galiannya dari pantai dekat Teluk Pacitan, mungkin sekali juga sekalian mengumpulkan data
topografis yang strategis. Sampai bulan September 1936 di Surakarta terdapat 57 orang Jepang,
belum termasuk perempuan dan anak-anak Jepang. Kebanyakan tinggal di Solo, lainnya di
Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri, dan Tawangsari. Pada umumnya mereka pemilik dan pegawai
toko dan bisnis kecil. Sampai Februari 1940 di Surakarta terdapat 27 toko dan perdagangan kecil
Jepang lainnya. Di daerah Wonogiri selain mengusahakan tembaga, Jepang juga menangkarkan
ulat sutera, mengusahakan pembuatan katun, pabrik karet, dan pabrik gula. Mereka memiliki
perkumpulan bisnis tidak begitu aktif tapi mempunyai hubungan dengan beberapa orang
terpelajar dan bangsawan setempat. Mereka sering ikut bermain tenis di lapangan tenis milik
Pangeran Suryohamijoyo, seorang putra Pakubuwono X yang juga menjadi anggota Parindra.
Pada bulan Juli 1939 Gubernur Orie melaporkan ke Batavia bahwa di antara kunjungan
yang paling sering dilakukan oleh orang-orang Jepang pada para bangsawan ialah kunjungan pada
Pangeran Hadiwijoyo, salah seorang politisi keraton yang terkemuka. Dan di antara orang Jepang
penduduk Solo yang paling rajin membina hubungan dengan pihak keraton ialah Sawabe, pemilik

10
toko Fujiyoko, yang sering menyampaikan hadiah kepada Pakubuwono maupun Mangkunegoro.
Laporan ke Batavia menyebutkan bahwa Pangeran Purbonagoro, komandan pasukan Keraton
Surakarta, sering berkunjung ke toko Fujiyoko, dan diterima di kantor pribadi Sawabe. Pada
bulan Februari 1941, dilaporkan Sawabe menerima kunjungan P. Kusumoyudo dan putra
tertuanya, keduanya anggota Parindra, dan bulan berikutnya menerima priayi-priayi luhur
Keraton Surakarta. Sawabe juga menerima kunjungan Mangkunegoro beserta istri dan anak-
anaknya. Semula penyelidikan yang dilakukan oleh Belanda mengenai hubungan itu sebagian
besar mengenai soal uang dan utang. Tapi pada bulan Juni 1939 dalam suatu penggeledahan
yang dilakukan terhadap seorang wartawan Jepang yang tinggal di Batavia, ditemukan laporan
yang dibuat oleh seorang Jepang mengenai gerakan nasional di Indonesia. Ada juga disebut-sebut
adanya pertemuan rahasia para pemimpin, yang menghendaki P. Suryohamijoyo menjadi "raja
Indonesia" di kemudian hari.
Pada bulan Juli 1939, untuk memenuhi undangan pihak Jepang Narpowandowo (organisasi
kerabat dan pejabat Keraton Surakarta) mengirimkan utusan ke kapal penumpang Jepang
Nichiran Maru yang lagi berlabuh di Semarang. Utusan yang berkunjung ke kapal selama dua jam
itu terdiri dari priayi-priayi kelas menengah diketuai oleh R.M.N. Wiroatmojo, pegawai keraton
berpangkat mantri dan juga wartawan. Sejak berdirinya Parindra, Belanda memang
memperhatikan partai ini dalam hubungannya dengan gerakan kebangsaan di Surakarta. Tiga
orang bangsawan tinggi semua pangeran putra Pakubuwono X, giat dalam partai itu: Hadiwijoyo,
Kusumoyudo, dan Suryohamijoyo. Pada hari kedua kongresnya yang berlangsung di Solo, semua
peserta diundang ke keraton. Pasukan Susuhunan berbaris di depan keraton memberikan
penghormatan.
Masalah suksesi dan pergantian raja di Surakarta hangat. Siapa yang bakal naik takhta
bila Pakubuwono X wafat? Pangeran Hangabehi, atau Pangeran Kusumoyudo yang disayangi oleh
ayahandanya? Konon, P. Kusumoyudo mempunyai seorang putra (sulung) bernama R.M.H. Mr.
Kartodipuro (kemudian bernama B.P.H. Mr. Sumodiningraf), ahli hukum lulusan Universitas
Leiden tahun 1935. Sekembalinya di Surakarta ia diangkat menjadi bupati anom di kepatihan,
dan tak lama kemudian menceburkan diri dalam kegiatan politik. Ia bergabung dalam Parindra,
dan menjadi wakil ketua cabang Solo sejak Agustus 1939. Ia juga menjadi pemimpin redaksi Sara
Murti (Panah Wisnu), pengganti Timbul, yang terbit sejak Juli 1936. Setahun kemudian nama
majalah itu diganti menjadi Bangun. Kritik-kritik pedas yang dilancarkan oleh Sumodiningrat
dalam majalah itu menimbulkan kemarahan Belanda. Gubernur Orie pernah memanggilnya dan
menumpahkan kemarahannya selama tiga jam.
Pakubuwono X merupakan raja yang paling lama duduk di singgasana dinasti Mataram
(1893-1939). Putranya kira-kira 70 orang, yang masih hidup 44 orang, 20 putra, 24 putri. Masalah
yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwono tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya.
Dua putra yang tertua, Hangabehi dan Kusumoyudo, yang memiliki kemungkinan besar menjadi
penggantinya, lahir dari selir. Menurut keinginannya, Kusumoyudo-lah yang hendak dijadikan
putra mahkota, meski usianya 40 hari lebih muda dari Hangabehi. Pada tahun 1898 ia sudah
berniat mengangkat Kusumoyudo sebagai putra mahkota, tapi diurungkannya karena sebagian
besar kalangan keraton termasuk patih lebih memilih Hangabehi. Belanda pun menilainya cukup
dapat dipercaya dan "loyal". Ia mendapatkan dukungan kuat dari Gubernur Orie.
Pada akhir bulan November 1938 Pakubuwono X sakit keras, dan akhirnya wafat pada
tanggal 20 Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg
Stachouwer memilih P. Hangabehi mengganti ayahandanya sebagai Pakubuwono XI.
Pengangkatan P. Hangabehi disertai dengan kontrak politik yang menurunkan kewibawaan raja.
Dalam kontrak politik itu disebutkan bahwa Hangabehi bisa diturunkan dari kedudukan
Susuhunan jika ternyata tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan plus
pemotongan anggaran belanja keraton secara drastis.
Seperti Benedict Andersa pengamat sejarah modern Indonesia, yang mengutip kata
khlayak Jawa. Pakuwono X dianggap sebagai "Susuhunan yang terakhir." Sebagaimana juga kata
seorang penduduk Surakarta, "Rasa hormat dan patuh rasa kagum dan pengabdian kepada raja
yang bertakhta, mulai padam. Orang mulai mengucapkan hal-hal yang sumbang, terutama bila
raja baru itu pergi ke gubernuran untuk rapat! Kata orang-orang keraton: Beliau bukan lagi raja
yang sesungguhnya. Seperti Mangkunegoro saja. Setiap hari beliau pergi mengunjungi gubernur.
Pada zaman Pakubuwono X, raja Surakarta tidak pernah pergi ke gubernuran. Gubernur
Belandalah yang menemui beliau dan harus mengajukan permohonan dulu. Orang mulai berbisik-

11
bisik, bahwa keraton koncatan wahyu -keraton telah kehilangan wahyu. Dapat dikatakan,
tamatnya keraton Solo bukan dalam zaman revolusi tapi di tahun 1939.
Dalam zaman pendudukan Jepang Keraton Surakarta makin kehilangan cahayanya. Inflasi
mengakibatkan keuangan keraton dan bangsawan amat menderita. Pakubuwono XI meninggal
tahun 1944, sedangkan putra penggantinya masih amat muda. Pada tahun itu juga Mangkunegoro
pun meninggal, dan putra penggantinya pun masih muda.
Sekalipun pamor keraton semakin mundur, politisi keraton tetap memikirkan masa
depan. Bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pertemuan-
pertemuan diadakan tempat kediaman Suryohamijoyo, Hadiwijoyo, atau Kusumoyu
membicarakan bentuk negara Indonesia setelah merdeka nanti. Pada suatu hari di akhir bulan
Juli 1945, pertemuan semacam diadakan di rumah Kusumoyudo, yang dihadiri pula oleh pemuka-
pemuka berbagai golongan, termasuk kalangan Islam.
Pada awal zaman kemerdekaan para bangsawan yang pada zaman Belanda dulu dikenal
sebagai kaum politisi keraton segera menjadi "bangsawan revolusioner" yang menggunakan
rumah-rumahnya untuk pertemuan politik dan dengan komandan-komandan gerilya. Di antara
para bangsawan revolusioner termasuk Mr. Sumodiningrat, orang yang mungkin menjadi putra
mahkota seandainya ayahnya, yaitu P. Kusumoyudo, yang diangkat menjadi pengganti
Pakubuwono X. Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Surakarta pun dibentuk (setelah KNI
Pusat terbentuk di Jakarta), diketuai Wuryaningrat, yang dulu dikenal sebagai politisi keraton
yang Belanda. Tapi karena usia dan kesehatannya yang terganggu ia hanya sebentar memegang
kedudukan itu, selanjutnya diganti Mr. Sumodiningrat. Rapat pertama KNI di bawah pimpinan
Sumodiningrat diadakan pada bulan September 1945 di pendapat rumah Wuryaningrat. Pada
bulan September itu juga Sumodiningrat memimpin KNI dan pemuda-pemuda melucuti senjata
tentara Jepang, mengambil alih kekuasaan, dan mulai menjalankan gerakan anti kerajaan.

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/1989/08/19/BK/mbm.19890819.BK23408.id.html

12

Anda mungkin juga menyukai