c merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan.
Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini,
tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa Ô (ranah, kawasan) dan setiap domain
tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.
À? Ô
? u
!
"
#? £
$
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain
tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu: cipta, rasa,
dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang
berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah
laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga
tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk
mencapai ³pemahaman´ yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan ³pengetahuan´ yang
ada pada tingkatan pertama.
Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian:
Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa
Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6)
£
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram,
arahan, peraturan, dsb. Sebagai contoh, orang di level ini bisa memahami apa yg diuraikan
dalam fish bone diagram, pareto chart, dsb.
u u
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode,
rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang
penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan
mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone
diagram.
u u
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-
bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola
atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari
sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah
penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap
penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.
©
©
Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur
atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data
atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh,
di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat
reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas
produk.
] ]
Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi,
dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai
efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus
mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi,
nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol.
£
6
Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah
laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan
ke dalam tingkah laku.
£
M
£ £
©
Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi
dan gerakan coba-coba.
embiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan
cakap.
c
ÔM
Õerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang
kompleks.
£
u
Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi.
£ M
embuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu.
Bloom, B. S. ed. et al. (1956). c Ô
Ô
. New York: David cKay.
http://mthohir.wordpress.com/2009/01/26/revisi-taksonomi-bloom-sebagai-kompleksitas-
fungsi-otak/
Taksonomi Bloom telah menancapkan akar pengaruhnya yang kuat dalam perkembangan
teknologi pembelajaran di Indonesia selama lebih dari 25 tahun. Teori yang dipakai untuk
memetakan tujuan pembelajaran itu terdiri atas kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam
perkembangannya, pada tahun 2001 Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl menulis
c !c"Ô # $ %
&c
Ô
' yang diterbitkan oleh Longman di New York. Keduanya melakukan
revisi mendasar atas klasifikasi kognitif yang pernah dikembangkan Bloom.
Jika sebelumnya, Bloom mengklasifikan tujuan kognitif dalam enam level, yaitu pengetahuan
( (
Ô), pemahaman ( )" ), aplikasi ())
), analisis (
), sintesis
("), dan evaluasi (
) dalam satu dimensi, maka Anderson dan Kratwohl
merevisinya menjadi dua dimensi, yaitu proses dan isi/jenis. Pada dimensi proses, terdiri atas
mengingat (), memahami (
ÔÔ), menerapkan ())
), menganalisis
(
*), menilai (
), dan berkreasi (). Sedangkan pada dimensi isinya terdiri
atas pengetahuan faktual (
(
(Ô), pengetahuan konseptual ( )
(
Ô), pengetahuan prosedural () Ô
(
Ô), dan pengetahuan metakognisi
( (
Ô).
Penerapan revisi kognitif ini dalam desain pembelajaran, salah satu contohnya, pernah dicoba
oleh Hamdani dengan mengambil setting tujuan pembelajaran agama Islam. Hanya saja
tulisannya yang pernah dimuat dalam w*, jurnal nasional terakreditasi milik Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel itu, belum sampai memberikan analisis kritis, jadi hanya lebih
ke konsep aplikatifnya.
Dalam bab terakhir bukunya, Anderson dan Krathwohl sendiri mengakui bahwa hasil
revisinya ini lebih melihat fungsi otak dalam satu kesatuan ranah (Ô ). Tidak seperti
sebelumnya yang menggunakan klasifikasi dalam tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Pembagian tersebut dikritisi banyak pihak karena cenderung membuat
pendidikan beranggapan bahwa adanya isolasi aspek-aspek dalam sebuah tujuan yang sama.
Pada revisi taksonomi Bloom kali ini, ranah kognitif tidak dianggap terpisah dengan ranah
afektif atau psikomotor, melainkan terkait antara satu dengan yang lain. Karena semua aspek
tersebut merupakan satu bagian utuh dari fungsi kerja otak. Sebagai contoh, pada kategori
pengetahuan metakognitif, di dalamnya juga mencakup ranah kognitif dan afektif, juga
psikomotor.
Saya melhat bahwa revisi ini merupakan bukti fenomena kompleksitas fungsi otak. Weisstein
mengatakan, )
""
)
Ô " (Ô
"
. Sebutan ini cukup wajar karena masalah otak dan fungsinya telah mengundang
beragam teori yang secara tak langsung telah menunjukkan betapa rumitnya kajian
tentangnya.
³ (*«´ begitulah ungkapan yang Saya temukan saat kali pertama membaca
artikel Barry L. Aaronson. Dalam narasi yang lebih sederhana, Saya mencoba mengambil
analog dari gambaran saat seseorang sedang berpikir. Terkadang, dia akan terlihat
mengernyitkan dahi, memegang atau memijit-mijit keningnya. Mrang lain yang melihatnya,
dengan mudah menebak kalau orang dengan tanda-tanda seperti itu sedang melakukan proses
berpikir.
Pasalnya, berpikir tentu saja merupakan aktifitas menggunakan otak. Karena informasi yang
dipikirkan berat, maka reaksi tubuh dan gesture penyerta semacam itu menjadi indikasi
seseorang sedang berpikir. Namun, saat seseorang menyampaikan perasaan atau dengan kata,
³hati-hati di jalan ya!´, mengapa yang dipegang bukanlah kepala, tetapi malah memegang
dada. Bukankah saraf emosi dan perasaan juga berada dalam otak?
Yang jelas, menfungsikan otak berarti menggunakan pikiran atau berpikir. Bartlett (1932)
mengartikan berpikir (thinking) sebagai (1) interpolasi yang memenuhi gap informasi, (2)
ekstrapolasi yang melampaui informasi yang diberikan, dan (3) re-interpretasi yang mengatur
kembali informasi. Terkait dengan hal ini pula, ayer (1977) menyarankan pengertian
berpikir sebagai upaya mengarahkan dan menghasilkan perilaku untuk memecahkan (
)
atau mencari solusi dari suatu masalah. Pengertian ini selevel dengan kategori metakognitif
Anderson dan Krathwohl.
Kompleksitas fungsi otak lainnya terkait dengan berpikir adalah adanya pandangan para ahli
cognitive neuroscientists. arianne Szegedy, misalnya, menegaskan bahwa aktifitas kognitif
manusia dan perilakunya bergantung kepada 95 persen di bawah batas kesadaran manusia
(
(). Hanya 5 persen aktifitas manusia dilakukan berdasarkan kesadaran
penuh (
(). Konsep ini agak sulit disinergikan dengan kalsifikasi Anderson
dan Krathwohl dalam revisi Taksonomi Bloomnya.
Akhirnya, bagaimanapun begitu kompleknya masalah ini, langkah Anderson dan Krathwohl
dalam merevisi yang diakuinya sebagai hasil kontribusi dari advances in cognitive theory itu
patut mendapat a0presiasi tinggi. Setidaknya, demi pencerahan dunia teknologi pembelajaran
ke depan. Semoga!
c c
http://www.hilman.web.id/posting/blog/852/revisi-taksonomi-bloom-atau-revised-bloom-
taxonomy.html
Taksonomi Bloom ini telah direvisi oleh Krathwohl salah satu penggagas taknomi tujuan belajar, agar
lebih cocok dengan istilah yang sering digunakan dalam merumuskan tujuan belajar.
Kita sering mengenalnya dengan C1 s.d. C6
Pada revisi ini , jika dibandingkan dengan taksonomi sebelumnya, ada pertukaran pada posisi C5 dan
C6 dan perubahan nama. Istilah sintesis dihilangkan dan diganting dengan Create.
Berikut ini Struktur dari Dimensi Proses Kognitif menurut Taksonomi yang telah direvisi
1 $ (engingat) , yaitu mendapatkan kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka
panjang.
1.1 $ * (mengenali)
1.2 $
(memanggilan/mengingat kembali)
2 +ÔÔ (emahami), yaitu menentukan makna dari pesan dalam pelajaran-pelajaran meliputi
oral, tertulis ataupun grafik.
2.1 ) (menginterpretasi)
2.2 )
(mencontohkan)
2.3
(mengklasifikasi)
2.4
* (merangkum)
2.5 (menyimpulkan)
2.6 ) (membandingkan)
2.7 )
(menjelaskan)
3 ))
(enerapkan), yaitu mengambil atau menggunakan suatu prosedur tertentu bergantung situasi
yang dihadapi.
3.1
(mengeksekusi)
3.2 )
(mengimplementasi)
4 Analyze (menganalisa), yaitu memecah-mecah materi hingga ke bagian yang lebih kecil dan
mendeteksi bagian apa yang berhubungan satu sama lain menuju satu struktur atau maksud tertentu.
4.1 Differentianting (membedakan)
4.2 Mrganizing (mengelola)
4.3 Attributing (menghubungkan)
5
(mengevaluasi), yaitu membuat pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar.
5.1 " (memeriksa)
5.2,
(mengkritisi)
6 (menciptakan), yaitu menyusun elemen-elemen untuk membentuk sesuatu yang berbeda atau
mempuat produk original.
6.1 - (menghasilkan)
6.2 .
(merencanakan)
6.3 . Ô
(memproduksi)
Proses kognitif meaningful learning atau yang melibatkan proses berpikir kompleks bisa
digambarkan dari struktur ke C2 hingga ke C5.
Sumber
David R. Krathwohl, A Revision of Bloom¶s Taxonomy, An Mverview (Mhio: Theory Into Practice,
vol 41 number 4 : 2002)