Anda di halaman 1dari 3

c  

   
c 

   

Menurut Mathis Wackernagel (1996) dalam Supadmo, Arif Sigit (2001), dalam bukunya ³Ecologycal Footprint´ menyatakan bahwa
peningkatan penduduk serta peningkatan konsumsi materi dan energi - menjadi lambang kemakmuran- di satu pihak ; namun di pihak lain
terjadi keterbatasan sumber daya. Di seluruh dunia telah terjadi proses desertifikasi sebesar 6.000.000 ha/tahun. Proses deforestasi
17.000.000 ha/tahun. Proses erosi dan oksidasi tanah 26.000.000.000 ton/tahun serta proses hilangnya spesies-spesies tertentu sebesar
17.000 jenis/tanam.

Dari data di atas dpat kita lihat bahawa pembangunan tidak saja menghasilkan manfaat tetapi juga resiko. Pencemaran dan pengrusakan
adalah dua resiko yang tidak dapat dihindari dalam rangka menjalankan pembangunan. Akibat pembangunan manusia sebagai penghuni
Bumi ini paling tidak saat ini telah berhutang sekitar antara 16 trilyun dollar AS hingga 54 trilyun dollar AS pertahun, atau rata-rata 33 trilyun
dollar AS atau kurang lebih Rp.66.000 trilyun setahun untuk segala materi ³gratis´ seperti udara, air dan pangan, demikian hasil perhitungan
yang dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Robert Constanza dan disponsori oleh National Centre for Ecological Analysis and Synthesis di
Santa Barbara, California (Kompas, 16 Mei 1997). Perkiraan inipun lanjut mereka adalah perkiraan minimum.

Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan
dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukkanya. Perusakan lingkungan adalah
tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan, yang
mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Pencemaran dan
perusakan lingkungan menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan dan kurang nyamannya kehidupan dan bahkan bisa mengancam
kehidupan manusia.

Masalah pencemaran lingkungan yang berakibat kualitas SDA menurun karena pembangunan yang selama ini dilakukan secara
konvesional, dengan cara memacu pertumbuhan dan aktivitas ekonomi sehingga mengakibatkan terjadi peningkatan eksploitasi sumber
daya alam (SDA). Peningkatan eksploitasi SDA akan mengakibatkan kerusakan alam, tanah, air, udara dan keanekaragaman hayati baik
secara langsung maupun bertahap. Dari masalah inilah kemudian orang sadar bahwa perlu adanya pemikiran yang mempertimbangkan
kelestarian SDA dan lingkungan agar pembangunan ini berkelanjutan. Konsep ini dikenal dengan ³pembangunan berkelanjutan´ yang
menyatakan bahwa pembangunan ini harus memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut UU No. 23 Tahun 1997, Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup
termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi yang akan datang.

Saat ini sangat diperlukan pembangunan yang tepat dalam pengelolaan air, sering kali sumber daya air diperlakukan sebagai sumber
mineral sehingga dieksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan konsep pelestariannya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menyebutkan, parahnya krisis sumber daya air akibat penyedotan
air tanah secara berlebihan, lebih khusus di wilayah Jakarta. Dengan tingkat pengambilan air tanah sebesar 33 juta kubik setiap tahun,
diperkirakan pemanfaatan potensi air tanah Jakarta secara aman hanya sampai 10 tahun mendatang.

Mengutip analisis Bank Dunia, jika efisiensi pengelolaan air tidak ditingkatkan, pada musim kemarau akan terjadi defisit air irigasi sebesar 22
milyar meter kubik. Di kawasan Jabotabek, krisis air ditandai dengan rendahnya tingkat pelayanan fasilitas air bersih. Di Jakarta sendiri,
pelayanan fasilitas air bersih baru menjangkau 43 persen dari total penduduk.

2.2 Sumber Daya Air

Berdasarkan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Pengelolaan sumberdaya air
didefinisikan sebagai aplikasi dari cara struktural dan non-struktural untuk mengendalikan sistem sumberdaya air alam dan buatan manusia
untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan (Kodoatie Robert J dkk, 2002).

Sumber daya air merupakan bagian dari sumber daya yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan sumber daya alam lainnya. Air
adalah sumber daya yang terbarui, bersifat dinamis mengikuti siklus hydrologi yang secara alamiah berpindah-pindah serta mengalami
perubahan bentuk dan sifat. Tergantung dari waktu dan lokasinya, air dapat berupa zat padat sebagai es dan salju, dapat berupa air yang
mengalir serta air permukaan. Berada dalam tanah sebagai air tanah, berada di udara sebagai air hujan, berada di laut sebagai air laut, dan
bahkan berupa uap air yang didefinisikan sebagai air udara.

Dewasa ini permasalahan yang cenderung dihadapi oleh pemerintah maupun masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumberdaya air meliputi ; (1) adanya kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan; (2) persaingan dan perebutan air antara
daerah hulu dan hilir atau konflik antara berbagai sektor; (3) penggunaan air yang berlebihan dan kurang efisien; (d) penyempitan dan
pendangkalan sungai, danau karena desakan lahan untuk pemukiman dan industri; (e) pencemaran air permukaan dan air tanah ; (f) erosi
sebagai akibat penggundulan hutan.

Permasalahan air yang semakin komplek ini menuntut kita untuk mengelolah sumberdaya air sehingga dapat menunjang kehidupan
masyarakat dengan baik. Berdasarkan UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air, Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Air

Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan, bahwa :


³Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
secara adil dan merata´. Selanjutnya pasal ini dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
bahwa:
1. Sumber Daya Air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional
2. Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun, dan kebutuhan air yang cenderung meningkat
sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sumberdaya air harus dikelola, dipelihara,
dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya dengan memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan
sumberdaya air.
3. Pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi
dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Pernyataan pasal-pasal kedua undang-undang di atas mengingatkan kepada pengelola sumberdaya air tentang pentingnya peran air bagi
kehidupan manusia dan lingkungannya. Hal tersebut jelas terlihat dalam permasalahan krisis air Jakarta, di mana permasalahan
pengelolaan sumber daya air di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane sebagai pemasok air baku bagi Jakarta sangat berkorelasi dengan
permasalahan ekosistem di wilayah sekitarnya, yaitu Kawasan Jabodetabek-Punjur.

Salah satu cara yang harus diperhatikan dalam pengelolaan air adalah pengelolaan yang berdasarkan pada µwatershed¶ (Daerah Aliran
Sungai/DAS). Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas
di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Dengan pengelolaan air berdasarkan DAS maka diharapkan akan tercipta kesinambungan sumber daya air karena air tidak bisa dilihat satu
bagian wilayah saja. Pengelolaan air pada suatu daerah tidak bisa begitu saja hanya memperhatikan variabel±variabel hidrologis pada
wilayah itu saja. Bahkan, pengelolaan Waduk Saguling untuk keperluan PLTA, misalnya, tidak bisa hanya memperhatikan variabel±variabel
disekitar waduk. Seluruh masalah pengelolaan sumber daya air harus memperhitungkan keseluruhan DAS karena bagaimanapun juga
bahkan sebuah titik di ujung terluar DAS pun memiliki pengaruh terhadap keberadaan dan kualitas air di sungai utama. Jadi Pengelolaan
sumber daya air yang bersifat parsial harus ditinggalkan.

Selain itu, untuk mengelola sumber daya air berbasis DAS ini, kita harus mengacu pada aspek±aspek yang ada dalam DAS tersebut.
³Bukan hanya dibatasi pada aspek fisika saja. Tapi juga sosial±budaya, kualitas air, aktivitas industri, politik, ekonomi, demografi
(kependudukan).

2.4 Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air

Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, RUU SDA mengamanatkan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan di-
pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Atas penguasaan sumber daya air oleh negara tersebut, negara menjamin hak setiap
orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air. Penguasaan negara
atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional daerah setempat.

Seperti yang kita ketahui selama ini air digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan , untuk pertanian rakyat yang berada
dalam sistem irigasi. Pengambilannya tidak memerlukan izin dari pemerintah pusat atau daerah. Dengan tidak diperlukannya izin tersebut,
maka dinas atau instansi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air harus memperhitungkan dengan cermat
kebutuhan air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian, serta sisa ketersediaan air yang ada, sebelum menetapkan dan
memberikan alokasi air untuk keperluan perusahaan dan keperluan lainnya.

Pengusahaan sumberdaya air merupakan salah satu lingkup pendayagunaan sumberdaya air, dengan maksud sebagai upaya pemanfaatan
sumberdaya air untuk tujuan usaha dan atau menunjang kegiatan usaha.

Dalam UU No 7/2004 mengatur bahwa sumberdaya air yang meliputi satu wilayah sungai secara keseluruhan (dari hulu ke hilir) hanya dapat
dilaksanakan oleh BUMN/BUMD pengelolah sumberdaya air atau kerja sama antara keduanya. Dengan ketentuan tersebut tidak mungkin
ada pratek pengalihan, penyerahan atau pelimpahan pengelolaan sumberdaya air suatu secara keseluruhan kepada pihak swasta atau
perorangan. Sebagai contoh, Perum Jasa Tirta I di Malang dan Perum Jasa Tirta II di Purwakarta adalah BUMN pengelolah sumberdaya air
yang dibentuk berdasarkan peraturan peraturan pemerintah. Usaha pengelolaan sumberdaya air juga dapat dilakukan oleh pihak swasta,
usaha perorangan, badan usaha atau kerja sama antar badan usaha (seperti PLN, PDAM). Meskipun demikian peran pengusahaan ini
hanya sebatas pada penggunaan air di lokasi tertentu sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam perizinan yang diberikan pemerintah
pusat atau daerah.

Hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa pemerintah tidak melakukan ³pengalihan saham perusahaan kepada pihak swasta´. Artinya
pihak swasta dan perorangan tidak dapat dikatakan menguasai sumber airnya. Pemerintah akan mengatur alokasi air baku untuk kegiatan
usahanya. Hal ini juga diperkuat dengan adanya kewajiban pengusahaan sumberdaya air untuk melakukan konsultasi publik atas rencana
pengusahaan sumberdaya air yang bersangkutan, sebelum rencana tersebut dimintakan izinnya kepada Pemerintah pusat/daerah.

2.5 Model Pengelolaan Air Di Jepang

Jepang yang terletak di wilayah Sirkum-Pasifik mempunyai keunikan karakteristik sumberdaya air tersendiri. Daerah ini memiliki sungai-
sungai pendek dan tergolong curam mengakibatkan pola distribusi siklus air menjadi sangat unik. Banyaknya gunung dan bukit serta sungai
yang sempit dan curam tersebut mengakibatkan hujan yang jatuh di daerah hulu mengalir dengan cepat ke laut dan yang terserap kedalam
tanah hanya dalam jumlah yang terbatas. Rata-rata curah hujan di Jepang setiap tahunnya di atas 1600 mm, yang terjadi pada musim hujan
antara bulan Juni-Oktober. Faktor curah hujan yang tergolong tinggi serta tingkat kemampuan menahan air tanah yang rendah
mengharuskan pemerintah Jepang membuat bangunan penangkap/penahan air dalam jumlah besar, mulai dari bendungan raksasa sampai
ke kolam-kolam penampungan air skala mikro.
Pemerintah Jepang telah menghabiskan banyak biaya untuk pembangunan bendungan dan kolam penampungan air dalam upayanya untuk
memaksimalkan penangkapan air hujan. Menurut hasil survey saat ini tercatat lebih dari 2.650 dam (ketinggian >15 m) telah dibangun di
Jepang, dengan daya tampung air mencapai 26.9 milyar meter kubik. Selain dam, embung penampung air juga banyak dibangun dengan
peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan waduk dalam jumlah besar tersebut menempatkan Jepang sebagai
negara ketiga terbesar di benua Asia dalam hal jumlah bendungan setelah China dan India, atau peringkat pertama dalam hal rasio antara
jumlah bendungan per luas wilayah. Pembangunan bendungan dalam jumlah besar tersebut tidak hanya ditujukan untuk keperluan
penampungan air saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pengendalian banjir, tempat pemeliharaan ikan, rekreasi dan lain-lain.
Pembangunan bendungan dan kolam penampungan air di Jepang pada satu sisi memberi keuntungan dalam kaitannya dengan pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan air untuk aktifitas pertanian, industri maupun perumahan.
Proses distribusi air di Jepang didukung oleh jaringan irigasi yang mantap dengan disertai kesadaran yang tinggi dari para petani dalam
kegiatan irigasinya. Jaringan irigasi di Jepang sebagian besar terdiri dari line canal dimana semua struktur salurannya dibuat dari beton dan
dirancang khusus untuk tahan gempa. Secara umum, bangunan irigasinya terdiri dari bendung yang berfungsi untuk menaikkan air pada
ketinggian tertentu untuk kemudian dialirkan ke saluran irigasi melalui bangunan bagi. Bangunan irigasi di Jepang juga dilengkapi dengan
sarana drainase yang berfungsi untuk membuang kelebihan air.

Rancangan fasilitas irigasi dan drainase yang sangat kokoh dan lengkap tersebut tentu saja membawa konsekuensi pada meningkatnya
jumlah saluran dan biaya konstruksi dan pemeliharaan saluran-saluran tersebut. Berdasarkan hasil survei keberadaan fasilitas irigasi pada
tahun 1995, didapatkan bahwa panjang saluran utama dari bangunan irigasi di Jepang tercatat sebesar 40.000 km, dan apabila saluran
tersier ikut dimasukkan menjadi 400.000 km . Panjang saluran tersebut tercatat tiga kali lebih besar dari total panjang sungai di Jepang dan
dua kali panjang jalan tol negara dan jalan prefektur.

Namun demikian terlepas dari keberhasilan tersebut usahatani di Jepang juga dihadapkan pada permasalahan kelangkaan tenaga kerja di
bidang pertanian serta meningkatnya beban petani untuk mengelola aset irigasi yang berbiaya tinggi. Biaya pengelolaan aset irigasi tersebut
akan terus membengkak seiring menuanya umur fasilitas tersebut. Oleh karena itu dalam menyiasati permasalahan tersebut, manajemen
irigasi di Jepang saat ini lebih diarahkan kepada pemeliharaan dan perawatan aset-aset yang ada dengan disertai perbaikan efisiensi
penggunaan air. Selain itu juga dilakukan upaya rasionalisasi terhadap aset yang akan diperbaiki dengan terlebih dahulu
mempertimbangkan tingkat keuntungan yang diperoleh terhadap biaya pengeluaran untuk perbaikan fasilitas.

 
 

   
 

    


 




Anda mungkin juga menyukai