Anda di halaman 1dari 3

Swasembada dan Impor Daging Sapi Brasil

Written by Mufid A. Busyairi


Sunday, 26 April 2009 07:26

Salah satu kegemaran Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu adalah membuat target-target
definitif. Ada target swasembada kedelai, swasembada gula, swasembada daging sapi,
swasembada jagung, dan go organic. Tetapi hampir semua target itu meleset. Ketika itu
terjadi dengan mudah, pemerintah mengundurkan tahun pencapaian. Naga-naganya, hal ini
juga akan terjadi pada target swasembada daging sapi pada 2010.

Populasi sapi potong Indonesia terus menurun. Pada 1998, populasi sapi potong masih 12,8
juta ekor, tapi pada 2008 tinggal 10,2 juta ekor. Artinya, rasio sapi dengan penduduk cuma
0,049 ekor per orang, jauh dari rasio di Brasil: 1,75 ekor per orang. Padahal kebutuhan daging
sapi terus meningkat. Data Ditjen Peternakan Departemen Pertanian menunjukkan, neraca
produksi daging sapi pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9 persen kebutuhan atau
masih kurang 135.110 ton (35,1 persen) daging. Kadin mencatat, tiap tahun masyarakat
Indonesia membutuhkan 350-400 ribu ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan 1,7-2,2 juta
ekor sapi potong. Tapi jumlah sapi yang dilahirkan hanya 1,5 juta ekor per tahun. Lambatnya
kelahiran anak sapi inilah penyebab terus menurunnya populasi sapi potong.

Program swasembada daging sapi adalah bagian tak terpisahkan dari program Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang dicanangkan Presiden Yudhoyono pada 11 Juni
2005. Program ditempuh lewat dua pendekatan utama: tanpa upaya percepatan (reguler) dan
dengan percepatan menggunakan aneka terobosan. Targetnya, memenuhi kebutuhan minimal
protein hewani asal daging 10,1 kilogram per kapita per tahun, yang saat ini baru dicapai sekitar
8 kg per kapita per tahun. Sedangkan kontribusi daging sapi baru mencapai 1,84
kg/kapita/tahun (2007). Dari program tersebut diharapkan kontribusi daging sapi akan mencapai
sekitar 2 kg per kapita per tahun pada 2010. Sayangnya, sejak dicanangkan hingga kini,
program tersebut jauh dari membumi alias masih sebatas wacana. Berbagai rencana tindak
program masih bersifat di awang-awang, dan bahkan sulit diimplementasikan.

Dalam kondisi demikian, pemerintah melalui Departemen Pertanian berinisiatif membuka impor
daging sapi dari Brasil dengan mengubah kebijakan dari berbasis negara (country base) jadi
basis zona (
zone base
). Selama ini impor daging dipasok dari Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat. Diduga
pelaku impor melakukan persekongkolan bisnis sehingga terbentuk pasar oligopoli. Indikasinya,
harga daging impor begitu mahal saat dijual di dalam negeri. Tapi apakah ini cukup
valid
jadi alasan untuk mengorbankan peternakan dan keamanan jiwa masyarakat kita? Bukankah
Brasil belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK)? Apa jadinya jika Indonesia yang bebas
PMK kembali tertulari?

Hasil audit Departemen Pertanian (2008) menunjukkan, 16 negara bagian di Brasil bebas PMK
dengan vaksinasi, 1 negara bagian bebas PMK tanpa vaksinasi, dan 14 negara bagian masih
tertular PMK. Mengacu pada standar tingkat risiko yang ditoleransi seperti tertuang dalam SK
Mentan No 260/1986, Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) No. XVII/2008, dan
Permentan No. 61/2007 tentang persyaratan pemasukan karkas, daging, dan jeroan dari luar
negeri, syarat risiko di negara asal harus level risiko yang dapat diabaikan (negligible risk).

1/3
Swasembada dan Impor Daging Sapi Brasil

Written by Mufid A. Busyairi


Sunday, 26 April 2009 07:26

Menurut hasil Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang dibentuk Deptan (2008), impor
daging tanpa tulang dari zona bebas tanpa vaksinasi risikonya amat sangat rendah (
extremely low
), jika dari zona bebas dengan vaksinisasi risikonya sangat rendah (
very low
). Ini menunjukkan, meskipun impor didatangkan dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi
sekalipun, pada hakikatnya risikonya masih tetap ada.

Inilah yang menjadi concern Komisi IV DPR. Untuk memenuhi konsumsi daging domestik tidak
selayaknya pemerintah mengabaikan prinsip kehati-hatian. Sebab, kalau salah mengambil
kebijakan, akibatnya bisa amat fatal bagi peternak, warga, dan ekonomi bangsa. Risikonya
amat serius bagi bangsa, baik secara ekonomi maupun sosial. Atas dasar itulah Komisi IV DPR
meminta Deptan menghentikan semua proses terkait dengan rencana mengubah kebijakan
impor daging sapi: dari berbasis negara menjadi berbasis zona. Deptan juga diminta melibatkan
semua pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan. Apalagi Komisi IV baru saja
menyelesaikan pembahasan RUU Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang bertujuan
melindungi dan mengembangkan usaha peternakan nasional, melindungi kesehatan ternaknya,
dan pasti melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman tertular penyakit yang bersumber
dari ternak.

PMK merupakan penyakit hewan yang ganas dan licik. Penyakit ini menyerang hewan berkuku
genap, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi, gajah, jerapah, dan rusa. Virus bisa
terbawa angin dan menyebar sampai radius 250 kilometer. Ternak yang terserang PMK mulut
dan kuku bisa melepuh, sehingga membuat tingkat konsumsi dan produksi turun. Kerugian
akibat PMK tidak kecil. Sebagai gambaran, dalam kasus PMK di Inggris pada 2001,
dimusnahkan 4,22 juta ekor ternak (582 ribu ekor sapi, 3,487 juta ekor domba, 146 ribu ekor
babi, 3.000 ekor kambing, 1.000 ekor kijang, dan 1.000 ekor ternak lain). Pemerintah Inggris
mengeluarkan biaya US$ 9,2 miliar atau Rp 110,4 triliun (kurs Rp 12 ribu per dolar) untuk
menanggulangi masalah itu (Tim Risk Analysis Deptan, 2008).

PMK di Indonesia pertama kali ditemukan pada sapi perah impor asal Belanda di Malang pada
1887. PMK kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan luar Jawa. Setelah bekerja keras dengan
vaksinasi massal, baru 100 tahun kemudian Indonesia dinyatakan bebas PMK. Ini juga diakui
oleh OIE pada 1990 yang dikukuhkan kembali pada 2008. Kerugian ekonomi menangani PMK
selama 100 tahun, menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar (Rp 19,92
triliun).

Kenaikan harga daging tak selayaknya disikapi dengan membuat kebijakan yang
melempengkan impor. Sebaliknya ini harus dijadikan momentum membangun basis industri
peternakan lokal. Secara ekonomi, impor tak hanya menguras devisa, tapi juga membuat
ketergantungan pada pasokan luar negeri tak pernah diputus. Padahal, setiap impor satu ton
daging dan masuk ke pasar tradisional, kita kehilangan 12 orang pekerja atau buruh (Tawaf,
2009). Tak salah, saat audiensi di DPR, ada peternak berteriak, "Impor sama saja membunuh
kami pelan-pelan." Ketika pemutusan hubungan kerja marak dan jumlah pengangguran tinggi,
seharusnya kita merakit aneka kebijakan yang bisa menciptakan lapangan kerja.

2/3
Swasembada dan Impor Daging Sapi Brasil

Written by Mufid A. Busyairi


Sunday, 26 April 2009 07:26

Pertama, menstimulasi usaha pembibitan dengan breed lokal. Selama ini ada sejumlah kendala
peternak sapi lokal: tingkat pertambahan bobot badan dan pertumbuhan sapi rendah, dan
lamanya jarak beranak sapi. Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang berpotensi
besar dikembangkan. Dibandingkan dengan
breed
lain, perkembangan sapi Bali amat cepat, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan
beradaptasi di lingkungan baru, dan beranak setahun sekali serta mampu beranak sampai 15
kali tanpa loyo. Salah satu yang bisa didorong adalah program LM3 (lembaga mandiri yang
mengakar di masyarakat) berbasis pesantren dan non-pesantren yang telah terbukti.

Kedua, menghindari memotong sapi atau kambing muda. Memang, sapi apalagi kambing yang
muda rasanya lebih lezat. Tapi pemotongan saat muda menyia-nyiakan potensi daging yang
bisa didapat. Ketiga, jika yang muda tidak dipotong dulu, yang betina dilarang dipotong. Tetapi
sangat tidak adil jika pemilik sapi betina hanya dilarang. Pemerintah harus menyediakan dana
untuk membeli ternak betina jika ada yang mau jual untuk keperluan. Keempat, mendiversifikasi
sumber protein dari luar daging sapi. Di luar daging sapi, ada daging ayam telur dan ikan yang
kandungan gizinya tinggi. Dan, last but not least, adalah meningkatkan mutu dan jenis ternak
melalui penelitian untuk memperoleh jenis ternak yang cepat beranak, apalagi bisa beranak
lebih dari satu, cepat besar, tahan penyakit. Ya, seperti penelitian varietas padilah.

Memang perlu direnungkan, siapa yang dirugikan saat harga daging mahal? Rakyat miskin?
Daging sapi hanya dikonsumsi oleh 12,5 persen warga kota dan 3,9 persen warga desa
(Susenas, 2005). Karena itu, mahalnya harga daging sapi tidak perlu disikapi secara panik
dengan membuat kebijakan yang melonggarkan impor daging dari wilayah berisiko. Selayaknya
kita berpegang pada kaidah fikih: dar-ul mafaasid muqoddamun 'alaa jalbilmasholih. Arti
implementatifnya, menghindari kemungkinan masuknya PMK lebih diutamakan daripada impor
daging dari Brasil untuk memenuhi kebutuhan protein.
 Mufid A. Busyairi
Anggota Komisi IV (Pertanian, Kehutanan, Kelautan-Perikanan) Dewan Perwakilan Rakyat dari
Fraksi Kebangkitan Bangsa

3/3

Anda mungkin juga menyukai