Anda di halaman 1dari 5

Asuhan Keperawatan Kepada Pasien Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TB/TBC) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh


bakteri bernama Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru-paru merupakan
suatu penyakit yang paling sering ditemui terutama di sebagian besar Asia dan
Afrika. Penularan penyaki ini dapat terjadi ketika tetesan seorang individu yang
telah terinfeksi TB paru-paru dihembus dengan kuat ke udara sewaktu batuk atau
bersin. Kemudian, individu yang beresiko untuk terinfeksi salah satunya adalah
individu yang berada dekat untuk dapat menghirup tetesan tersebut. Gejala yang
timbul pun belum tentu ditunjukkan oleh individu yang terinfeksi TB, bahkan
sering setelah bertahun-tahun individu terinfeksi TB baru dapat muncul gejala
tersebut. Hal inilah yang menyebabkan individu dengan terinfeksi TB cenderung
membutuhkan asuhan keperawatan dimulai dari tahapan pengembalian kondisi
kesehatan individu hingga tahap rehabilitasi yang dijalani individu TB. Serta,
tindakan preventif bagi individu yang mengadakan kontak langsung terhadap
individu yang terinfeksi TB.
Program preventif terhadap penderita TB dapat dibagi menjadi dua bentuk,
yaitu pemberian vaksinasi BCG dan kemoprofilaksis. Pertama, pemberian
vaksinasi BCG adalah bentuk preventif terhadap adanya infeksi penyakit TB yang
diberikan kepada manusia dengan vaksin BCG. Vaksin BCG adalah vaksin hidup
yang memberi sedikit perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak
mencegah sepenuhnya terhadap penyerangan penyakit TB, melainkan
memungkinkan infeksi TB menjadi kecil atau bukan menyebabkan TB yang parah
dan mengancam keselamatan individu tersebut.
Vaksin BCG dapat membutuhkan waktu sekitar 6-12 minggu untuk
menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya dan akan memberikan kekebalan
sebesar 50-60% terhadap TB bagi individu tersebut. Meski secara umum
memberikan kekebalan sebesar 50-60%, semua bergantung kepada waktu dan
individu. Keefektifan vaksin tersebut akan berkurang seiring dengan waktu, yaitu
dalam waktu 5-15 tahun. Pemberian vaksin BCG dapat dilakukan melalui
penyuntikan secara intrakutan atau intradermal yang dilakukan pada lengan
bagian atas. Selain itu, pemberian vaksin BCG juga dapat dilakukan secara injeksi
perkutan terutama bagi bayi dengan usia muda. Hal ini disebabkan bayi dengan
usia muda memiliki kemungkinan sulit untuk menerima injeksi intradermal. Dosis
yang diberikan pada infant atau bayi dengan umur kurang dari 12 bulan yaitu
untuk satu dosis sebanyak 0,05 ml (0,05mg) dan dosis untuk anak-anak dengan
umur di atas 12 bulan dan juga dewasa untuk satu dosis vaksin yaitu 0,1 ml (0,1
mg).
Program preventif lainnya yang diberikan yaitu melalui kemoprofilaksis
(Sudoyo, 2006). Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah
tersendiri dalam penanggulangan tuberkulosis paru (Sudoyo, 2006). Di dalam
kemoprofilaksis metode yang digunakan adalah penggunaan isoniazid. Isoniazid
banyak dipakai disebabkan tidak hanya memiliki harga yang murah melainkan
juga efek samping yang dapat terjadinya sedikit (terbanyak hepatitis dengan
frekuensi 1%, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah 2%). Selain
penggunaan dengan isoniazid, di dalam kemoprofilaksis juga dapat menggunakan
rifampisin. Rifampisin dapat menurunkan insiden tuberkulosis sampai 55-83%
dan yang memiliki kepatuhan dalam minum obat tersebut meningkatkan angka
penurunan insiden tuberkulosis yaitu sebesar 90% (Sudoyo, 2006). Lama
profilaksis pun dapat memakan waktu 6-12 bulan. Anjuran kemoprofilaksis
diberikan kepada individu dengan latarbelakang HIV positif dan pasien yang
mendapatkan terapi imunosupresi (Sudoyo, 2006).
Kemudian, untuk program rehabilitasi meliputi tiga program utama, yaitu
kemoterapi dan home health care. Pertama, melalui kemoterapi yang berprinsip
pada pemberian obat kepada pasien TB. Pemberian obat pada pasien TB pun telah
berkembang dari tahun ke tahun. Kemoterapi pertama kali menggunakan strep-
tomisin yang merupakan obat antituberkulosis. Lalu, penemuan obat baru yaitu
rifampisin menyebabkan adanya perubahan dalam penggunaan obat untuk
kemoterapi. Hal ini disebabkan penggunaan obat rifampisin dapat mempersingkat
waktu kemoterapi menjadi 6-9 bulan (Sudoyo, 2006). Tujuan program kemoterapi
ini yaitu (1) mengobati pasien dengan sesedikit mungkin mengganggu aktivitas
hariannya, dalam periode pendek, tidak memandang apakah dia peka atau resisten
terhadap obat yang ada, (2) Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat
penyakitnya, (3) mencegah kambuh, (4) mencegah munculnya resistensi obat, dan
(5) mencegah lingkungannya dari penularan.
Prinsip pengobatannya pun pada pasien TB terdapat dua dasar. Pertama,
obat yang diberikan minimal dua jenis dengan dua jenis resimen, yaitu obat lapis
pertama dan lapis kedua. Obat lapis pertama mencakup isoniazid (INH),
Rifampisin, Pyrazinamide, Ethambutol, dan Streptomycin yang obat tersebut
memiliki fungsi untuk melakukan penghentian pertumbuhan basil, pengurangan
basil dorman, dan pencegahan terjadi resistensi (Sudoyo, 2006). Sedangkan obat
lapis kedua mencakup Rifabutin, Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic
acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones yang
tujuan pemberiannya pun sama dengan obat lapis pertama (Sudoyo, 2006).
Di dalam program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi dua fase, yaitu:
fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan) (Sudoyo, 2006). Obat
yang bersifat bakterisidal awal belum tentu merupakan obat sterilisator terbaik
dan obat yang efektif pada fase sterilisator pun belum tentu obat bakterisidal yang
paling aktif. Hal ini juga menjadi latarbelakang pemberian minimal dua jenis obat
dalam pengobatan tuberkulosis.
Pada program kemoterapi tersebut, isoniazid (INH) mempunyai kemampuan
bakterisidal TB yang terkuat. Mekanismenya yaitu menghambat cell-wall
biosynthesis pathway. Selain itu, obat tersebut juga merupakan salah satu jenis
obat yang aman, efek samoing utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer
karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin (Sudoyo, 2006).
Selain isoniazid (INH), rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh
dengan mekanismenya yaitu menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic
acid (RNA) M. Tuberculosis (Sudoyo, 2006).
Program rehabilitasi ketiga yaitu home health care. Pada home health care
berfokus pada pemberian edukasi kesehatan berkaitan penanganan TB kepada
pasien maupun keluarga pasien. Edukasi kesehatan tersebut meliputi edukasi
tentang efek samping terhadap obat yang diberikan. Penggunaan obat rifampisin
dapat menyebabkan efek samping meliputi perubahan warna pada pengeluaran
cairan tubuh, seperti keringat, urin, saliva, dan air mata menjadi berwarna merah-
orange. Selain itu, hindari penggunaan aspirin dengan masih penggunaan
rifampisin dan penggunaan rifampisin juga dapat menyebabkan demam, gejala
flu, disertai kelelahan, maupun pendarahan yang bila efek tersebut muncul
sebaiknya segera konsultasi dengan doktor (LeMone, 2008). Kemudian, efek
samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obat streptomycin yaitu
meliputi adanya gangguan di dalam pendengaran, pusing maupun penurunan berat
badan (LeMone, 2008).
Selain itu, efek samping penggunaan INH juga dapat memungkinkan
terjadinya hepatitis (LeMone, 2008). Sedangkan untuk penggunaan obat
ethambutol efek samping yang dapat timbul antara lain adanya diskriminasi dalam
warna merah-hijau dan gangguan visual. Oleh karena itu, pasien TB yang
mendapatkan pengobatan dengan ethambutol sebaiknya menghindari atau berhati-
hati dalam mengendarai atau berjalan akibat gangguan atau efek samping tersebut
(LeMone, 2008).
Selain pemberian edukasi efek samping obat yang diberikan pada pasien TB,
edukasi yang diberikan juga mencakup edukasi lingkungan yang tepat dalam
mendukung pemulihan pasien TB maupun pencegahan penularan TB. Hal ini
meliputi pemberian pencahayaan matahari natural ruangan yang cukup dan
ventilasi yang sesuai, adanya akses air bersih yang baik, maupun kebutuhan
individu lainnya. Selain itu, pengurangan akitivitas pasien TB dengan lingkungan
yang padat karena dengan kondisi lingkungan yang tidak padat menyebabkan
resiko penularan TB berkurang serta adanya akses pelayanan kesehatan yang
mudah (LeMone, 2008).
Edukasi yang juga dapat diberikan dalam rangka mencapai keberhasilan
program home health care yaitu edukasi kepada keluarga klien maupun klien
untuk selalu mengkaji status nutrisi yang meliputi pemasukan nutrisi seperti
vitamin D. Selain itu, edukasi dalam pencegahan atau memperkecil resiko
penularan kepada anggota keluarga lainnya dengan menganjurkan melakukan tes
kesehatan berkaitan dengan positif/negatif tuberkulosis.
Serta, edukasi tentang arti pentingnya istirahat yang adekuat dan juga
pengaturan aktivitas yang sesuai dalam rangka proses penyembuhan terhadap
pasien TB. Bedrest merupakan salah satu hal yang penting diberikan kepada
pasien yang baru selesai menjalani perawatan TB di rumah sakit. Bedrest
bertujuan untuk memberikan istirahat kepada fisik pasien. Hal ini disebabkan bila
pasien TB memiliki aktivitas berlebih akan mejadi pemicu gejala-gejala yang baru
(Sudoyo, 2006). Pada waktu dulu, bedrest dilakukan di ruang khusus, yaitu di
sanatorium tetapi saat ini diberi istirahat setempat terhadap fisiknya dan ditunjang
dengan pemberian makanan yang bergizi tinggi sudah cukup membantu
pemulihan pada pasien TB (Sudoyo, 2006).

Referensi :
Anonim. (2003). BCG Vaccination.
http://www.health.nsw.gov.au/resources/publichealth/infectious/tb/pdf/bcg_i
nformation_ind.pdf (diakses tanggal 22 September 2010, pukul 09.10). Hal
1-2.

LeMone, P. & Burke, K. (2008). Medical Surgical: Critical Thinking in Client


Care 4th Ed. New jersey: Pearson Prentice Hall.

Sudoyo, A.W. et.al. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai