Anda di halaman 1dari 7

Sektor Pertanian Yang Memakmurkan

Oleh
Lala M. Kolopaking

Sampai hari ini dapat dikatakan sektor pertanian tetap menjadi simbol
yang menguatkan pandangan Geertz tentang ”berbagi kemiskinan”.
Perkembangan sektor-bukan pertanian belum berhasil menarik lebih banyak
angkatan kerja. Data Biro Pusat Statistik (2008), menunjukkan peningkatan
pertumbuhan ekonomi 2001-2007 tidak selalu selaras dengan penurunan
jumlah orang miskin. Di samping itu, perkembangan dua indikator ekonomi
tersebut diikuti kecenderungan pertambahan pengangguran (Gambar 1).
Dalam konteks ini juga, angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian terus
berada di atas 40 persen dimana pada Tahun 2007 tercatat 42,6 persen.
Dengan demikian, sektor pertanian lebih dekat pada sektor ekonomi massal
yang dicirikan dengan kemiskinan. Pada akhirnya tidak keliru apabila
pertanian lebih dilihat berkait dengan kemiskinan dibanding kemakmuran.
Memasuki 100 tahun kebangkitan nasional, masih adanya persoalan
pertanian yang identik dengan kemiskinan dapat menjadi ancaman hadirnya
krisis berbangsa dan bernegara. Sebagaimana memperhatikan
perkembangan kenaikan harga pangan dunia yang terjadi akhir-akhir ini,
diperlihatkan hal itu dapat menjadi pemicu kerusuhan sosial di negara-
negara miskin. Oleh karena krisis pangan yang ditandai melambungnya
harga pangan menurunkan kemampuan banyak orang untuk akses karena
berpendapatan rendah. Pertanian kita yang masih dekat dengan kemiskinan
tentu menjadi masalah yang merisaukan.
Padahal di negara-negara lain, misal Thailand, Malaysia dan Vietnam
sebagai tiga negara se-Asean saja dapat membuktikan bahwa sektor
pertanian dapat mendorong kemakmuran. Di tiga negara tersebut,
keberhasilan menyeimbangkan pengembangan pertanian sebagai sektor
yang dapat mendatangkan devisa bagi negara sekaligus memberi kecukupan
pangan bagi orang banyak berhasil dikemas untuk mengembangkan
industrialisasi serta proses peningkatan sumber manusia secara memadai.
Artinya, pengembangan pertanian yang mensejahterakan itu memerlukan
pendekatan dan pengelolaan arah dan tujuan secara multi-dimensi.

Salah Paham Terhadap Pertanian

Pertanian yang dekat dengan kemiskinan terjadi karena kesalahan


berpikir dalam memandang pertanian. Di mana pertanian masih cenderung
dipahami sebagai kegiatan ekonomi produksi yang mengawinkan sejumlah
faktor produksi untuk menghasilkan komoditas tertentu. Faktor-faktor
produksi yang dimaksud pada garis besarnya terbagi dalam tiga kelompok
besar yaitu sumberdaya alam (tanah dan air), sumberdaya buatan (modal uang
dan ragam sarana dan alat produksi), dan sumberdaya manusia (pemilik dan
tenaga kerja).
Dengan cara pandang seperti itu, kegiatan produksi pertanian lalu lebih
dirumuskan dalam suatu model yang sederhana, yaitu "tingkat produksi" (Y)
sebagai fungsi dari sejumlah faktor produksi (xi-n). Dengan pemodelan seperti
itu, sumbangan masing-masing faktor atau keseluruhan faktor terhadap
tingkat produksi dapat diukur. Dari situ lalu dimunculkan rekomendasi yang
sederhana pula: "jika angka produksi hendak ditingkatkan sekian unit, maka
pemakaian faktor produksi Xi harus ditingkatkan sekian unit".

12.00% 19.00%
18.50%
10.00%
18.00%
8.00% 17.50%
17.00%
6.00%
16.50%
4.00% 16.00%
15.50%
2.00%
15.00%
0.00% 14.50%
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Pertumbuhan Pengangguran Kemiskinan

Gambar 1. Trend perkembangan tiga indikator pembangunan: pertumbuhan,


pengangguran dan kemiskinan.

Persoalannya kemudian, pengalaman menunjukkan cara pandang


tersebut dapat menyesatkan. Ketika mengalami kemunduran produktivitas
pertanian di sub-sektor tanaman pangan padi, dan menjadikan status
Indonesia kembali sebagai negara “importir beras” setelah sempat
menyandang kedudukan sebagai "eksportir beras" pada awal 1980-an,
terbukti "resep jitu" untuk peningkatan produktivitas itu keliru. Bahkan, cara
pandang tersebut menjadi sebuah ancaman bagi kesinambungan produktivitas
itu sendiri.
Dari segi kelembagaan dan pengorganisasian petani juga ditemukan
perkembangan yang khas, ternyata peningkatan pendapatan dari peningkatan
produksi tersebut lebih banyak dinikmati oleh golongan minoritas petani besar.
Sedangkan petani kecil dan buruh tani relatif kurang menikmatinya. Pada
tahun-tahun awal peningkatan produktivitas pertanian pangan, Sajogyo (1972)
telah mengungkapkan kenyataan tersebut dan merumuskannya sebagai gejala
modernisasi (pertanian) tanpa pembangunan (ekonomi mayoritas petani kecil
dan buruh tani). Gejala ini bahkan ditandai dengan gejala polarisasi dalam
penguasaan tanah di pedesaan, atau sekurangnya penajaman stratifikasi
sosial, sebagai akibat dan proses transfer penguasaan lahan dari petani kecil
(yang tidak mampu membiayai teknologi intensifikasi) kepada petani besar
(Husken, 1998; Wiradi dan Makali, 1984; Hayami dan Kikuchi, 1981). Proses
semacam itu semakin menguatkan proses pengkerdilan petani, dengan
ditandai oleh peningkatan jumlah petani gurem yang dekat dengan
kemiskinan.
Pemerintah yang sekarang sedang berkuasa sebenarnya telah menyadari
kekeliruan ini. Kemudian ada keinginan untuk bangkit melalui pencanangan dan
pelaksanaan kebijakan revitalisasi pertanian (termasuk perikanan dan
kehutanan). Namun sayangnya, kebijakan tersebut ternyata masih bersandar
pada cara pandang lama, dan terpenjara dengan persoalan pengorganisasian
manajemen pembangunan dari pusat hingga daerah. Padahal sudah terbukti
perspektif keliru tersebut hanya akan menimbulkan krisis. Oleh karena itu,
pertanian yang memakmurkan perlu disandarkan oleh kerangka pikir baru
agar tidak mengulang lagi kesalahan.
Sitorus (2006) menunjukkan, bahwa pertanian perlu dilihat dalam konteks
hubungan manusia, sistem sosial dan sumberdaya alam. Kemudian dipandang
ada tiga unsur dasar yang dapat menggerakkan pertanian, yaitu benih, tanah,
dan tenaga dalam suatu bingkai budaya. Tiga unsur dasar ini tidak boleh bernilai
nol, karena jika ada yang demikian, maka resultannya menjadi nol. Artinya,
tidak ada realisasi kegiatan pertanian apabila unsur tenaga tidak ada, walaupun
benih (untuk ditanam) dan tanah (untuk ditanami) tersedia. Hubungan asli
tiga unsur tadi yang masih dapat dilihat sampai sekarang, antara lain ladang
berpindah orang Dayak di Kalimantan, kebun ubi jalar (hipere) orang Papua di
Papua Barat, dan pertanian alami orang Badui Dalam di Jawa Barat. Pola
pertanian organik yang kini mulai sedang berkembang khususnya di sejumlah
desa di Jawa. Semua hubungan tiga unsur tadi dibingkai dalam budaya
tersendiri, dan tidak menggunakan faktor produksi berupa pupuk dan obat-
obatan kimiawi. Kendati ketiga unsur dasar pertanian tersebut berinteraksi
dalam suatu bingkai budaya. Sebenarnya, budayalah yang memberi bentuk
atau pola pada interaksi antara ketiga unsur dasar tadi. Budaya merumuskan
bagaimana benih harus dihubungkan dengan tanah dan bagaimana tenaga
harus berperan dalam hal itu. Itulah sebabnya mengapa kegiatan pertanian
disebut sebagai kegiatan "budidaya" (Latin: agricola; Inggris: agriculture).
Jika pertanian adalah kegiatan budidaya atau budaya, maka semua
tanaman yang ditanam, lalu tumbuh dan membuahkan hasil di atas tanah
adalah proses sekaligus karya budaya. Sudah pasti, lain budaya lain pula pola
pertaniannya. Karena itu, menurut cara pandang ini, pola pertanian itu sendiri
pada dasamya menunjuk pada suatu "inti budaya" (cultural core). Menurut
Geertz (1963), inti budaya masyarakat petani Jawa misalnya adalah "pertanian
lahan basah" (sawah), dan inti budaya masyarakat petani Luar-Jawa adalah
"pertanian lahan kering". Tetapi tipologi Geertz ini merujuk pada keadaan di
masa kolonial. Sekarang, terutama sejak 1970-an, pertanian pangan sawah
juga sudah sangat berkembang di Luar Jawa, antara lain di Sumatera dan
Sulawesi.
Persoalannya kemudian pembangunan pertanian selama ini dikemas
dengan kerangka pikir tidak mengenal unsur dasar pembentuk “budidaya”,
tetapi hanya mengandalkan sejumlah faktor produksi yang dikelola untuk
menghasilkan produk pertanian. Status benih, tanah, dan tenaga petani tidak
lebih dari sekadar faktor produksi, sama seperti pupuk dan obat-obatan kimiawi
(dan air irigasi). Asumsi yang ditegakkan di sini, dan hal itu sungguh
menyesatkan, adalah "bahwa teknologi pupuk dan obat-obatan dapat mengatasi
keterbatasan benih, tanah, dan tenaga petani". Artinya, tidak masalah jika
benih tidak unggul, tanah tidak subur, dan tenaga petani terbatas karena
semua masalah itu dapat diatasi dengan kemajuan teknologi pupuk dan obat-
obatan. Seperti diungkapkan di atas, anggapan tersebut dapat menyesatkan.
Penyesatan lain adalah berkenaan dengan budaya petani. Dengan
dominasi cara berpikir “produksi” diperlukan kegiatan penyuluhan pertanian
untuk mencerahkan petani. Namun, dalam kenyataannya proses itu justru
merupakan proses "pembodohan" pada petani. Penyuluhan yang
"memaksakan" inovasi pertanian berdasar pengetahuan saintifik, berimplikasi
pembodohan langsung berupa memudarnya kearifan atau pengetahuan
pertanian lokal yang sejak lama sudah teruji sebagai acuan untuk menjalankan
pertanian lestari. Bersamaan dengan itu, kehadiran penyuluh yang (harus)
selalu siap membawakan jawaban untuk masalah pertanian (spesialis ataupun
polivalen) berimplikasi pembodohan tak langsung, tidak lain karena jawaban-
jawaban tersebut adalah inovasi-inovasi pertanian oleh industri dan lembaga
penelitian yang justru membuat petani menjadi "malas berfikir". Kerjasama
lembaga penelitian dan industri hulu pertanian telah mengambil-alih "hak
berfikir" pada petani secara tidak disadari. Jika tanah tandus, pihak lembaga
penelitian dan industri siap memikirkan dan menemukan pupuk yang tepat. Jika
muncul hama atau penyakit tanaman padi tertentu, lembaga penelitian dan
industri siap menemukan racun mujarab. Akibatnya, petani padi kita sekarang
mengalami kemandegan kalau bukan kemerosotan budaya. Bahkan, mungkin,
petani padi tidak lagi memiliki "pertanian" dalam arti yang sejati.
Dalam bentuk rumusan sederhana, apabila pertanian disiapkan untuk
memakmurkan, maka pertanian bukanlah semata-mata dipandang sebagai
ekonomi produksi melainkan suatu gejala kebudayaan dimana pertanian
dipandang berkait dengan kehidupan masyarakat dan desa. Dengan demikian,
prespektif baru yang perlu dikembangkan adalah perspektif yang tidak lagi
melakukan pemborosan sumberdaya buatan (pupuk dan obat-obatan),
pengrusakan sumberdaya alami khususnya tanah, dan pembodohan petani
secara budaya. Pertanian juga perlu dipandang tidak hanya dalam kerangka
ekonomi dan bisnis semata. Melainkan perlu dipahami juga sebagai sebuah
cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar orang yang
menggeluti.
Petani pada umumnya di negara kita lebih diartikan peasant bukan
farmers, bahkan termasuk didalamnya komunitas dalam satuan tribe---yang
masih sedikit bersentuhan dengan “dunia luar”. Meskipun, dinamikanya
tersebut akan tampak dalam keragaman pertanian, yang dalam
perkembangannya sedang menuju bentuk miniatur hutan tropis yang sedang
berubah bentuk secara perlahan akibat pengaruh “dunia luar”. Dengan
demikian, selain pemahaman pertanian perlu diperbaharui, gejala
perkembangan sektor ini di aras mikro perlu juga disadari berhubungan
dengan perkembangan masyarakat di aras makro. Sebuah proses
pembentukan ikatan dan simpul dari struktur (institusi dan tingkatannya)
masyarakat di Indonesia berkait dengan pengaruh kebijakan dari sistem
sosial yang menyeluruh (nasional maupun global).

Pertanian Untuk Kemakmuran: Rekayasa atau Penguatan Modal


Sosial ?

Pertanian yang memakmurkan memerlukan pengembangan yang


spesifik lokal dan berbasis pada kemandirian masyarakat di aras komunitas.
Dengan pendekatan tersebut, maka menjadi penting untuk mengutamakan
peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menguatkan masyarakat
dalam mengelola sumberdaya alam. Untuk itu pengembangan teknologi
pertanian menjadi sebuah langkah yang tidak terpisahkan dari penguatan
struktur sosial masyarakat yang selama ini sering diabaikan. Selain itu,
prosesnya dapat menjadi sarana untuk mengembangkan keterkaitan antara
kondisi masyarakat di aras mikro dengan perkembangan masyarakat di aras
makro.
Cara pikir tersebut sebenarnya selaras dengan konsep pemberdayaan
masyarakat yang menekankan pengembangan teknologi pertanian dengan
pendekatan yang dikenal sebagai teknologi partisipatif (Chambers, 2005).
Dalam arti, penerapan pengembangan teknologi, khususnya teknologi
pertanian perlu menjadi proses yang mampu menjembatani berbagai ikatan
dan simpul sosial pada aras komunitas dengan perkembangan sistem
masyarakat di luar komunitas. Oleh karenanya, menjadi penting adanya
ketersediaan “orang luar”---orang yang meskipun bukan “orang lokal”, yang
dapat berempati dengan konteks lokal dan mampu membangun jejaring
kerjasama multi-pihak di aras kehidupan yang lebih luas. Sejalan untuk
menuju masyarakat yang berbasis jejaring kerjasama (network society
sebagaimana diutarakan oleh Castell, (2001).
Pendekatan seperti itu jauh dari konsep rekayasa (engineering) sosial.
Oleh karena, pola pendekatan tersebut jelas memuncul ada pihak yang
merekayasa (punya kuasa) dan pihak yang direkayasa (tidak berkuasa). Ini
termasuk cara pandang lama yang dapat menyesatkan, dan juga dari
pengalaman selama ini, hasil dari pola pendekatan tersebut memakan waktu
yang lama untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Pengembangan modal sosial dalam pemberdayaan atau penguatan
kapasitas dari kelembagaan masyarakat menjadi lebih tepat untuk
menjadikan pertanian sebagai sektor yang memakmurkan. Lihat pandangan
Fukuyama, (2000) dalam hal ini. Proses yang dikembangkan juga perlu
dibangun dari upaya-upaya empirik penerapan pengembangan teknologi
pertanian secara partisipatif di masyarakat. Kegiatannya diawali dengan
pemetaan komuitas, yang diikuti oleh pelacakan bentuk hubungan antara
komunitas lokal dengan “orang luar”. Dengan mempertimbangkan hubungan
antar pihak dalam kerangka kondisi dan pengembangan nilai-nilai sosial-
budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya tempatan. Selanjutnya, praktek-praktek tersebut perlu
dihubungkan dengan peningkatan taraf hidup mereka yang menjadi
penggerak pertanian itu sendiri.
Artinya, kegiatan untuk menjadikan pertanian sebagai sektor yang
dapat menanggulangi kemiskinan dikembangkan dalam bentuk aksi nyata
yang membuka praktek mengembangkan gerakan revitalisasi budaya, dan
menguatkan sebuah proses strategis dari sendi ekonomi, politik dan pola
pemanfaatan sumberdaya bersama multi-pihak dan masyarakat. Prosesnya
dikembangkan melalui pengelolaan kegiatan secara partisipatif dengan
manajemen berbasis komunitas yang memberi tempat pada proses
perbaikan terus-menerus. Selain itu, prosesnya sekali lagi mensyaratkan
kehadiran “orang luar” (baik dari unsur pemerintahan, swasta, lembaga
bukan pemerintah, atau lembaga lain), tetapi mereka yang terlibat dalam
proses ini tidak sendiri-sendiri, perlu menjadi bagian dari sebuah gerakan
bersama. Mereka ini juga perlu diarahkan menjadi Wirausahawan Sosial,
yang tidak saja hanya mengandalkan perhitungan keuntungan materi, tetapi
juga menimbang manfaat dan kemashalatan untuk orang banyak.

Penutup

Pengembangan pertanian yang memakmurkan memerlukan kepastian


arah kebijakan. Dengan cara ini, maka kelembagaan pembangunan yang
mendukung pencapaiannya dapat digagas. Hal yang pasti, semua
perundang-undangan yang diperlukan agar proses pengembangan pertanian
berpikiran baru perlu diidentifikasi dan dikemas agar sejalan. Pemerintah
sendiri sendiri juga harus jelas menunjukkan pemihakannya, misal seperti
mengutamakan peningkatan mutu produk pangan olahan eksport dan produk
pangan halal agar dapat bersaing dan mengurangi defisit import makanan.
Ada juga kejelasan pengaturan pelaksanaan peningkatan investasi swasta di
sektor pertanian dengan menyiapkan skema-skema keuangan yang jelas.
Skema keuangan untuk investasi ini disediakan oleh pemerintah dalam
jumlah yang cukup dan prosedur yang baik. Selain itu, pola baru kerjasama
dengan asas desentralisasi (kerjasama dengan “pemerintah daerah”) perlu
dilacak, dan penguatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat
khususnya sampai ke pedesaan yang disiapkan dan dilakukan untuk benar-
benar menggerakkan kegiatan bertani. Dengan langkah-langkah itu, maka
berbagai lembaga lain di luar “sektor pertanian” namun masih berkaitan
dengan pembangunan pertanian, seperti perdagangan, kehutanan,
kesehatan, lingkungan hidup, sistem keuangan pemerintah dan perbankan,
lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, serta perguruan tinggi juga
melakukan reorientasi kegiatannya secara konsisten.

DAFTAR RUJUKAN UTAMA :

Castells, Manuel, 2001. The Rise of The Network Society. Oxford Blackwell.
Geertz, C., 1963. Agricultural Involution: The Processes pf Ecological Change
in Indonesia. Berkeley: Univ.of California Press.
Felix M. Sitorus, 2006. Paradigma Ekologi Budaya Untuk Pengembangan
Pertanian Padi Pertanian sebagai Interaksi Berinti Budaya antar Benih,
Tanah dan Tenaga. Makalah Seminar Rutin Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor: PSEKP Balitbang Pertanian,
Deptan RI
Kolopaking, L.M., 2007. Bercermin dan Melacak Pendekatan Pembangunan
Pedesaan Indonesia. Makalah Lokakarya Nasional Pembangunana Yang
Berawal dari Desa. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian, pada 27 Agustus 2007
Sajogyo, 1997. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Mimbar Sosek. Journal of
Agricultural and Resources Socio-Economics. Vol.10 No.2. Departemen
ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian-IPB.
Chambers, Robert, 2005. Participatory Learning and Action Reflection: Future
Directions. Brighton-UK: IDS-University of Sussex.
Fukuyama, F. , 2000. Social Capital and Civil Society. IMF Working Paper
WP/00/74.

Anda mungkin juga menyukai