Pasang Surut Hubungan Tionghoa
Pasang Surut Hubungan Tionghoa
Discussion Board
Topic View
Reply to Topic
Wisely 白马王子
Pada tahun 671 Pendeta I-tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya.
Seluruh pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei
Fa Ch"uan dan Ta T"ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch"uan. Pendeta I Tsing mengembara
di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada pertengahan
musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan membawa pulang
4.000 naskah yang terdiri dari lima ratus ribu sloka. Dari tahun 700 sampai 712 ia
menterjemahkan 56 buku dalam 230 julid. Hingga abad ke VII hanya pendeta
Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya.
Akhirnya mereka beranak pinak dan membaur dengan penduduk setempat dan
saling mempengaruhi dalam proses percampuran budaya, tradisi dan kebiasaan-
kebiasaan lainnya termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan, dsbnya.
Pada tahun 1293 Kaisar Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (Mongol, 1280-1367)
mengirim pasukannya untuk memberi pelajaran kepada Raja Kertanegara dari
Singosari yang telah menghinanya dengan merusak muka utusannya, Meng Chi. Ia
mengirim pasukannya yang besar yang terdiri dari 20.000 orang tentara Tionghoa
yang direkrut dari Hokkian, Kiangsi dan Hukuang. Namun ketika pasukannya yang
dipimpin Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Mese tiba di Tuban kemudian memasuki kali
Sedayu dan kali Mas, mereka berhasil dibujuk dan dikelabui oleh Raden Wijaya,
menantu Kertanegara untuk membantunya menggulingkan Raja Jayakatwang dari
Kediri. Setelah Kerajaan Kediri berhasil dikalahkan, Raden Wijaya kemudian
mengusir pasukan Kubilai Khan keluar dari Jawa dan mendirikan Kerajaan Majapahit
dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama.
Ribuan anggota pasukan Mongol tewas di pulau Jawa dan banyak yang ditawan
atau tinggal dengan sukarela untuk menghindari pelayaran kembali ke daratan
Tiongkok yang keras dan berbahaya membuktikan bahwa sebelum kedatangan
armada Laksamana Cheng Ho, di Palembang dan Sambas telah ada orang-orang
Tionghoa yang menetap.
Ekspedisi pertama Cheng Ho pada tahun 1405 singgah di pelabuhan Samudra Pasai
dan bertemu dengan Sultan Zainal Abidin Bahian Sjah. Kedatangannya di Samudra
Pasai dalam rangka membangun hubungan politik dan dagang antara kedua
negara. Setelah terbentuk hubungan baik antara Tiongkok dan Samudra Pasai,
semakin banyak pedagang-pedagang Tionghoa yang datang ke Pasai dan banyak di
antaranya yang beragama Islam dan mengawini perempuan-perempuan setempat
kemudian menetap dan berbaur di sana.
Pada tahun 1410 dan 1416 Laksamana Cheng Ho dan armada yang dipimpinnya
mendarat di pantai Simongan, Semarang, selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo
untuk mengunjungi Raja Majapahit ia juga membawa misi untuk menyebarkan
agama Islam di pulau Jawa.
Pengiriman armada Dinasti Ming yang dipimpin Laksmana Cheng Ho dan Ma Huan
juga bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang (Asia
Tenggara) yang banyak diganggu bajak laut orang-orang Hokkian dipimpin Lin Tao-
ch"ien yang telah menguasai Pattani, sebuah pelabuhan di selatan Siam (Thailand)
dan Kukang (Palembang). Seorang pemimpin bajak laut lainnya yang berasal dari
Canton bernama Tan Tjo Gi berhasil menguasai kota Palembang dan dari sana
melakukan perompakan terhadap kapal-kapal yang melalui Selat Malaka yang
sempit. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah Palembang sangat lemah karena
berkali-kali mendapatkan serangan dari kerajaan di Jawa, sehingga Palembang
berhasil dikuasai gerombolan perompak Tionghoa tersebut beberapa tahun
sebelum kedatangan Cheng Ho yang kemudian berhasil menumpasnya. Tan Tjo Gi
berhasil ditangkap, dirantai kemudian dibawa ke Peking. Disana ia dipancung
dimuka umum sebagai peringatan kepada orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh
Nanyang.
Pelayaran ini merupakan suatu ekspedisi yang menakjubkan, bahkan bila diukur
dengan standar Abad ke XX sekalipun. Tiap armada terdiri dari 62 buah kapal yang
disebut bao chuan atau kapal harta, yang paling besar berukuran panjang 132
meter dan lebar 54 meter dan membawa 27.800 orang prajurit dan sejumlah besar
emas, porselen,barang-barang tembikar, karya-karya seni yang indah dan kain
sutera untuk ditukar dengan gading gajah,cula badak,kulit penyu, bahan obat-
obatan,rempah-rempah, sarang burung wallet, mutiara dan batu-batu permata. Di
samping kapal penumpang untuk mengangkut pasukan dan kapal kargo, armada ini
juga terdiri dari kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk pasukan kavaleri,
kapal-kapal tempur dan kapal patroli cepat yang mempunyai banyak dayung.
Klenteng Sam Po Kong inilah yang menjadi salah satu sumber bahan-bahan
penelitian mengenai sejarah kota Semarang dan peranan orang Tionghoa dalam
penyebaran agama Islam di Jawa. Peranan orang Tionghoa dalam penyebaran
agama Islam di Jawa banyak ditulis para haji Tionghoa, antara lain Haji Ma Huan
yang menulis buku Ying Yai Sheng Lan dan Haji Feh Tsing yang menulis buku Tsing
Tsa Sheng Lan pada tahun 1431. Kedua haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng
Ho yang pandai berbahasa Arab dan bertindak sebagai penerjemah dan mencatat
segala sesuatu tentang negara-negara yang dikunjunginya.
Gan Eng Cu juga mempunyai seorang putera yang murtad (bukan Islam) bernama
Gan Si Cang yang bersama Kin San alias Raden Kusen anak Swan Liong alias Arya
Damar mengembangkan galangan kapal di Semarang yang dibangun Laksamana
Cheng Ho. Dengan meniru kapal milik Ja Tik Su (Jafar Sidik gelar Sunan Kudus)
orang Ta Cih yang sedang berlabuh di galangan kapal di Semarang karena
mengalami kerusakan. Mereka berdua memimpin pembuatan jung-jung besar yang
mempunyai kecepatan tinggi. Jung-jung yang diperlengkapi meriam-meriam besar
buatan Kin San inilah yang pada tahun 1521 digunakan armada Kesultanan Demak
untuk menyerang Portugis di Malaka.
Pada tahun 1481 atas desakan para tukang kayu di galangan kapal di Semarang,
Gan Si Tjang selaku kapten Tionghoa menyampaikan permohonan kepada Kin San
sebagai Bupati Semarang untuk ikut menyelesaikan pembangunan Mesjid Agung
Demak. Permintaan ini diteruskan kepada Jin Bun sebagai penguasa tertinggi di
Demak. Jin Bun menyetujuinya dan dengan demikian pembangunan Mesjid Agung
Demak diselesaikan oleh para tukang kayu dari galangan kapal di Semarang di
bawah pimpinan Gan Si Cang. Saka tatal Mesjid Agung Demak dibuat dengan
mempergunakan teknik konstruksi tiang kapal,tersusun dari kepingan-kepingan
kayu yang sangat tepat dan rapi. Tiang tatal yang demikian itu lebih kuat menahan
angin laut atau taufan dari pada tiang utuh. Ternyata Sunan kali Jaga atau Raden
Said adalah Gan Si Cang anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, kapten Tionghoa di
Tuban, mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel.
Raden Patah yang dikenal sebagai Sultan Demak pertama yang merupakan
kesultanan Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun anak Kung Ta Bu Mi
(Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan
puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (babah Bantong). Semasa
kanak-kanaknya Jin Bun dipelihara oleh Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San
(Raden Kusen) di Palembang. Jin Bun meninggal pada tahun 1518 dalam usia 63
tahun.
Kin San adalah ahli pembuat petasan dan mesiu yang dipelajarinya dari ayahnya,
Swan Liong yang pernah menjadi kepala pabrik mesiu di Semarang, Setelah Jin Bun
berhasil merebut Majapahit pada tahun1478, Kin San diangkat menjadi Bupati
Semarang.
Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus) adalah Yat
Sun putera Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal karena pada tahun 1521 berani
menyerang Portugis di kota Malaka yang telah didudukinya sejak tahun 1511,
sehingga ia dijuluki Pangeran Sabrang Lor. Adipati Unus hanya memerintah tiga
tahun karena meninggal dunia dan digantikan oleh saudaranya Tung Ka Lo alias
Pangeran Trenggana yang memerintah selama 40 tahun. Pangeran Trenggana
digantikan oleh puteranya Muk Ming yang sebelumnya menggantikan Kin San
menjadi Bupati Semarang.
Menurut buku-buku ceritera orang Jawa,Muk Ming membunuh saudara tuanya yang
menjadi putera mahkota agar bisa menjadi Sultan Demak. Kemudian Muk Ming
digulingkan oleh keponakannya, Arya Panangsang dari Kerajaan Jipang yang
membalas kematian ayahnya, sang putera mahkota yang kemudian disebut
Panegran Seda Ing Lepen atau "gugur di sungai".
Kecuali mesjid, seluruh kota dan Kraton Demak musnah. Karena tidak kuat
menahan serangan pasukan Jipang,prajurit Demak mundur ke Semarang dan
terjepit di kapal-kapal yang kemudian berhasil dihancurkan. Demikian juga kota
Semarang diporak-porandakan, galangan kapal habis dibakar dan banyak orang-
orang Tionghoa non Islam yang dibunuh oleh prajurit Jipang yang membuat
sebagian besar masyarakat Tionghoa Semarang marah dan tidak bersimpati
kepada pasukan Jipang. Inilah awal dari surutnya para pengikut Islam Tionghoa di
daerah Semarang dan di pesisir utara Jawa Tengah. Mereka akhirnya kemudian
berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan asalnya Khonghucu dan
Tao.
Dengan demikian Kesultanan Cirebon pada tahun 1522 didirikan oleh Haji Tan Eng
Hoat alias Mohamad Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat
Fatahillah atau Faletehan) yang pernah menjadi Panglima tentara Kesultanan
Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Banten dengan didukung oleh orang-
orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan pertama
Kesultanan Islam Cirebon dengan mendirikan kraton Kesepuhan.
Kemudian pada tahun 1553 Sunan Gunung Jati menikahi puteri Haji Tan Eng Hoat,
Ong Tin yang terkenal dengan sebutan Puteri Cina. Upacara iring-iringan mempelai
Pueri Cina dari Sembung sampai ke Kraton Kesepuhan berlangsung laksana upacara
raja-raja di Tiongkok dengan pengiring sepupunya sendiri bernama Tan Sam Cay
alias Muhammad Syafei gelar Tumenggung Arya Dipawiracula. Tan Sam Cay inilah
yang kelak menjadi bendahara dan wali dari Sultan ke-2 Kesultanan Cirebon, karena
ketika Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1570, putera dari hasil
perkawinannya dengan Puteri Cina yang walaupun masih sangat muda itu diangkat
sebagai penggantinya.
Tan Sam Cay besar jasanya membantu Sunan Gunung Jati dan Haji Tan Eng Hoat
dalam mengembangkan agama Islam ke Priangan Timur sampai ke Garut. Tetapi di
kemudian hari Tan Sam Cay murtad dan kembali ke agama asalnya dan mengubah
mesjid Talang menjadi sebuah klenteng agama Khonghucu dan Tao. Orang-orang
Tionghoa Islam akhirnya perlahan-lahan menyusut dan kembali menjadi pengikut
agama Khonghucu dan Tao.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat secara de fakto Tan Sam Cay lah yang menguasai
Kesultanan Cirebon. Yang berani melawannya hanya Haji Kung Sem Pak alias
Muhammad Marjani, seorang keturunan Haji Kung Wu Ping yang menjadi kuncen
makam di Gunung Sembung. Tan Sam Cay ingin meniru Sultan Turki,membangun
istana Suniaragi ayng terkenal dengan gua buatan yang dikelilingi danau buatan
untuk menyimpan harem yang cantik-cantik.
Ketika Tan Sam Cay meninggal akibat memakan racun di Istana Suniaragi,oleh Haji
Kung Sem Pak jenasahnya ditolak untuk dimakamkan di kompleks makam pejabat-
pejabat Kesultanan Cirebon di Sembung. Di bawah hujan lebat jenasah Tan Sam
Cay dibawa kembali ke Cirebon dan atas permintaan istrinya Nurleila binti Abdullah
Nazir Loa Sek Cong dimakamkan secara agama Islam di rumahnya sendiri.
Namun atas permintaan mayrakat Tionghoa non Islam, di klenteng Talang diadakan
pula upacara naik arwah untuk mendiang Tan Sam Cay. Namanya ditulis di atas
kain merah dan disimpan di klenteng Talang untuk selamanya. Tan Sam Cay
dijadikan dewa dengan nama Sam Cay Kong dan dipuja.disembahyangi oleh para
peziarah yang percaya guna meminta berkat dan rezeki.
Sunan Gunung Jati sendiri adalah Toh A Bo (Pangeran Timur) putera Sultan
Trenggana (Tung Ka Lo) putera Jin Bun (Raden Patah). Padahl pandangan yang
selama ini berkembang di tengah masyarakat dan dalam buku-buku sejarah
tentang Sunan Gunung Jati sampai saat ini masih mengacu kepada pendapat
Prof.Husain Djajadiningrat dalam bukunya " Pemandangan Kritis atas Sedjarah
Banten " yang terbit di negeri Belanda pada tahun 1913. dalam buku tersebut ia
menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Faletehan, seorang ulama dari Pasai.
Ketika Pasai diserbu Portugis dari Malaka, ia meninggalkan Pasai menuju Mekkah
dan bermukim di sana selama hampir tiga tahun untuk memperdalam soal-soal
agama Islam. Ia kemudian kembali ke Pasai untuk mengajar agama Islam.Karena
dikuasai Portugis, Faletehan meninggalkan Pasai dan menetap di Demak. Di Demak
ia disayang oleh Sultan Trenggana dan dikawinkan de sekali diabaikan atau
dikesampingkan dan tidak pernah dijadikan bahan acuan.
Padahal menurut Prof. Liang Liji, ahli sejarah dan bahasa dari Universitas Beijing
dalam ceramah yang diselenggarakan Perhimpunan INTI di Omni Batavia hotel
tanggal 15 Desember 1999, berbagai catatan atau naskah Tionghoa itu sangat
akurat dan rapi, baik dalam mencatat tahun-tahun kejadian maupun nama-nama
dan kejadian-kejadian yang diceriterakan.
Lim Tzu
Sejarah Indonesia bagi banyak orang,tidak boleh dinodai dengan nama2
Tionghoa,meski dibahas juga tidak diakui.Bahkan sampai era reformasi,sejarah
Indonesia tidak mau dikotori dengan semua yang berbau RRT & Tionghoa.
Wisely 白马王子
makanya sebenarnya kaga fair tuh etnis tionghua kaga ada yg masuk dalam
sejarah NKRI
Wisely 白马王子
bukan gitu bro jaman penjajahan dulu emank pernah di bentuk "pho an tui"
itu pemuda2 tionghua di persenjatai ama belanda utk menjaga keamanan mrk
sendiri bukan jadi antek2 belanda.
di bentuknya "pho an tui" krn pada saat perang kemardekaan etnis tionghua
banyak di jarah di rampok rmh nya di bakar n malah byk yg di bunuh ama milisi pro
kemerdekaan yg non TNI krn mrk punya senjata jadi sempat terjadi pembunuhan
massal etnis tionghua di berbagai daerah malah TNI sempat menurunkan polisi
militer utk ngamanin tapi useless.<-----infonya gua tau dari metro tv jadi bisa di
pertanggung jawabkan.
jadi sejak adanya pho an tui yaitu pemuda2 etnis tionghua yg di persenjatai n di
latih secara militer etnis tionghua jadi aman damai tenteram di negara kita ini.
Daniel Q'bi
Darmawan Pontjonoto
Wisely 白马王子
@atas thanks bro atas masukannya
nice article..
kalau ditelusuri, bisa jadi wali songo itu dari etnis tionghoa, karena sampai sekarang
mesjid2 di pulau jawa ada bedugnya, sama dengan fungsi bedug di klenteng untuk
memulai suatu upacara keagamaan, kalau walisongo berasal dari pasai atau
gujarat, tidak mungkin ada bedug di mesjid (di timur tengah juga tdk ada)
Surya Jaya
Wisely 白马王子
wali songo adalah sembilan wali yg pertama kali menyebarkan agama islam di
tanah jawa.
sedangkan di semarang masih ada mesjid peninggalan cheng ho dan oleh etnis
tionghua juga di jadi kan kelenteng.
(cmiiw)
peace
Fae' Ahmad
Lim Tzu
http://www.facebook.com/group.php?
gid=208517409785&ref=search&sid=100000575828835.1770802751..1
Wisely 白马王子
Lim Tzu
Awalnya nama grup itu "Singkek Cina-lah yang meng-Islamkan Indonesia (Bikin
Bangkrut Negara, Pribumi jadi budak Arab gara2 Singkek!)" tetapi karena banyak
etnis arab & etnis lainnya memaki - maki karena grup itu menghina etnis
arab,digantilah nama grup tersebut supaya tidak menyinggung orang menjadi
"Terkutuklah Singkek Cina Wali Songo Peruntuh Kemuliaan JAWA Majapahit!"
Fae' Ahmad
dari mana pun asalnya sang wali bukanlah suatu masalah. yang terpenting adalah
ia membawa nilai-nilai kebaikan luhur yang menjadi warisan untuk seluruh umat
manusia di negeri ini!!!^^
Top of Form
Reply
(post is too long by 1 characters)
Post reply
Bottom of Form
Create an Ad
Share the Facebook experience with more of your friends. Use our simple invite
tools to start connecting.
More Ads