Anda di halaman 1dari 13

PASANG SURUT HUBUNGAN TIONGHOA-ISLAM DALAM PANGGUNG SEJARAH

INDONESIA, Awal kedatangan orang Tionghoa I

Back to TiongHoa Indonesia

Discussion Board

Topic View

Topic: PASANG SURUT HUBUNGAN TIONGHOA-ISLAM DALAM PANGGUNG SEJARAH

INDONESIA, Awal kedatangan orang Tionghoa I

Reply to Topic

Displaying all 18 posts.

Wisely 白马王子

Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara sebenarnya


tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno
seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan
Kalimatan Barat maupun yang disimpan di berbagai kraton dan genderang (genta)
perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.

Fa Hian seorang pendeta dari Tiongkok mengunjungi pulau Jawa dalam


perjalanannya ke India antara tahun 399 sampai 414.. Pengalamannya di tulis
dalam buku Fahuek,seratus tahun kemudian Sun Yun dan Hwui Ning mengikutinya
dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India.

Pada tahun 671 Pendeta I-tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya.
Seluruh pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei
Fa Ch"uan dan Ta T"ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch"uan. Pendeta I Tsing mengembara
di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada pertengahan
musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan membawa pulang
4.000 naskah yang terdiri dari lima ratus ribu sloka. Dari tahun 700 sampai 712 ia
menterjemahkan 56 buku dalam 230 julid. Hingga abad ke VII hanya pendeta
Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya.

Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia


pada abad ke IX yaitu pada zaman dinasti Tang untuk berdagang dengan membawa
barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera, teh, alat-alat
pertukangan, pertanian dsbnya untuk ditukar dengan hasil-hasil pertanian terutama
rempah-rempah, sarang burung walet,gambir, bahan obat-obatan dsbnya. Mereka
yang sebelumnya hanya menunggu pedagang-pedagang asing yang datang ke
Canton dengan menggunakan kapal-kapal Persia kemudian tertarik untuk
melakukan perdagangn sendiri ke negara-negara Laut Selatan (Nanyang).

Mereka datang dengan jung-jung melalui perjalanan panjang menghadapi


gelombang laut dan perompak yang ganas. Mereka harus tinggal berbulan-bulan
menunggu bergantinya musim dan angin yang akan membawa mereka kembali ke
daratan Tiongkok. Sudah tentu yang datang ketika itu hanya laki-laki saja karena
perjalanan tersebut sangat berbahaya. Emigrasi secara besar-besaran termasuk
perempuan-perempuan Tiongkok baru dimulai pada pertengahan abad ke XIX dan
permulaan abad ke XX bertalian dengan berkembangnya fasilitas kapal motor dan
dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar dinasti Ching.Karena
tertarik akan keindahan dan kesuburan daerah-daerah yang mereka kunjungi dan
keramahan penduduk setempat, sebagian dari mereka menetap dan mengawini
perempuan-perempuan setempat. Mereka pada umumnya menjadi petani, tukang
dan pedagang pengumpul hasil-hasil pertanian dan hasil hutan untuk di tukar
dengan barang-barang dari daratan Tiongkok.

Akhirnya mereka beranak pinak dan membaur dengan penduduk setempat dan
saling mempengaruhi dalam proses percampuran budaya, tradisi dan kebiasaan-
kebiasaan lainnya termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan, dsbnya.

Pada tahun 1293 Kaisar Kubilai Khan dari Dinasti Yuan (Mongol, 1280-1367)
mengirim pasukannya untuk memberi pelajaran kepada Raja Kertanegara dari
Singosari yang telah menghinanya dengan merusak muka utusannya, Meng Chi. Ia
mengirim pasukannya yang besar yang terdiri dari 20.000 orang tentara Tionghoa
yang direkrut dari Hokkian, Kiangsi dan Hukuang. Namun ketika pasukannya yang
dipimpin Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Mese tiba di Tuban kemudian memasuki kali
Sedayu dan kali Mas, mereka berhasil dibujuk dan dikelabui oleh Raden Wijaya,
menantu Kertanegara untuk membantunya menggulingkan Raja Jayakatwang dari
Kediri. Setelah Kerajaan Kediri berhasil dikalahkan, Raden Wijaya kemudian
mengusir pasukan Kubilai Khan keluar dari Jawa dan mendirikan Kerajaan Majapahit
dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama.

Ribuan anggota pasukan Mongol tewas di pulau Jawa dan banyak yang ditawan
atau tinggal dengan sukarela untuk menghindari pelayaran kembali ke daratan
Tiongkok yang keras dan berbahaya membuktikan bahwa sebelum kedatangan
armada Laksamana Cheng Ho, di Palembang dan Sambas telah ada orang-orang
Tionghoa yang menetap.

Ekspedisi pertama Cheng Ho pada tahun 1405 singgah di pelabuhan Samudra Pasai
dan bertemu dengan Sultan Zainal Abidin Bahian Sjah. Kedatangannya di Samudra
Pasai dalam rangka membangun hubungan politik dan dagang antara kedua
negara. Setelah terbentuk hubungan baik antara Tiongkok dan Samudra Pasai,
semakin banyak pedagang-pedagang Tionghoa yang datang ke Pasai dan banyak di
antaranya yang beragama Islam dan mengawini perempuan-perempuan setempat
kemudian menetap dan berbaur di sana.

Pada tahun 1410 dan 1416 Laksamana Cheng Ho dan armada yang dipimpinnya
mendarat di pantai Simongan, Semarang, selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo
untuk mengunjungi Raja Majapahit ia juga membawa misi untuk menyebarkan
agama Islam di pulau Jawa.

Pengiriman armada Dinasti Ming yang dipimpin Laksmana Cheng Ho dan Ma Huan
juga bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang (Asia
Tenggara) yang banyak diganggu bajak laut orang-orang Hokkian dipimpin Lin Tao-
ch"ien yang telah menguasai Pattani, sebuah pelabuhan di selatan Siam (Thailand)
dan Kukang (Palembang). Seorang pemimpin bajak laut lainnya yang berasal dari
Canton bernama Tan Tjo Gi berhasil menguasai kota Palembang dan dari sana
melakukan perompakan terhadap kapal-kapal yang melalui Selat Malaka yang
sempit. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah Palembang sangat lemah karena
berkali-kali mendapatkan serangan dari kerajaan di Jawa, sehingga Palembang
berhasil dikuasai gerombolan perompak Tionghoa tersebut beberapa tahun
sebelum kedatangan Cheng Ho yang kemudian berhasil menumpasnya. Tan Tjo Gi
berhasil ditangkap, dirantai kemudian dibawa ke Peking. Disana ia dipancung
dimuka umum sebagai peringatan kepada orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh
Nanyang.

Di antara tahun 1405-1433 Kaisar Yung Lo dan penggantinya memerintahkan


sampai tujuh kali ekspedisi pelayaran kekaisaran yang spektakuler menuju laut
Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia. Tujuan ekspedisi itu adalah untuk menjalin
persahabatan dan perdagangan dengan negara-negara lain. Di samping itu
penduduk sepanjang pantai Tiongkok dilarang merantau ke luar negeri tanpa
ijin.Maksudnya agar perompak-perompak Jepang yang sering mengganggu
keamanan pantai Tiongkok menjadi terkucil. Di samping itu Kaisar Ming meminta
perhatian kepada para perantau Tionghoa di negeri asing, yang terpaksa
meninggalkan tempat asalnya karena kemiskinan atau sebab lainnya Mereka
diharapkan menjadi penduduk yang baik di negeri tempat mereka menetap. Namun
dibalik semuanya itu pelayaran tersebut juga bertujuan menunjukkan kejayaan
Dinasti Ming (show of force) dan mengembangkan pengaruh politik dan militernya
di negara-negara Asia-Afrika di samping utnuk mengamankan jalur pelayaran niaga
Tiongkok dengan menumpas para perompak yang selalu mengganggu kapal-kapal
niaga di jalur tersebut.

Pelayaran ini merupakan suatu ekspedisi yang menakjubkan, bahkan bila diukur
dengan standar Abad ke XX sekalipun. Tiap armada terdiri dari 62 buah kapal yang
disebut bao chuan atau kapal harta, yang paling besar berukuran panjang 132
meter dan lebar 54 meter dan membawa 27.800 orang prajurit dan sejumlah besar
emas, porselen,barang-barang tembikar, karya-karya seni yang indah dan kain
sutera untuk ditukar dengan gading gajah,cula badak,kulit penyu, bahan obat-
obatan,rempah-rempah, sarang burung wallet, mutiara dan batu-batu permata. Di
samping kapal penumpang untuk mengangkut pasukan dan kapal kargo, armada ini
juga terdiri dari kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk pasukan kavaleri,
kapal-kapal tempur dan kapal patroli cepat yang mempunyai banyak dayung.

Kapal-kapal harta Cheng Ho menimbulkan rasa hormat bercampur rasa takjub,


kagum dan takut. Epik pelayarannya memasuki ingatan hampir separuh bangsa di
dunia, seabad sebelum era besar eksplorasi dan ekspansi bangsa Eropa. Ini
merupakan armada yang unik dalam sejarah Tiongkok dan - juga sejarah dunia-,
tidak ada bandingannya sampai invasi kapal-kapal peran menghormati Laksamana
Cheng Ho, di Semarang dibangun klenteng Gedong Batu (Sam Po Kong) yang konon
asalnya sebuah mesjid. Klenteng ini terasa sangat unik karena diziarahi baik oleh
orang Tionghoa maupun oleh orang muslim Jawa. Di Klenteng Sam Po Kong juga
terdapat sebuah jangkar kapal yang konon adalah jangkar kapal Cheng Ho. Jangkar
ini oleh orang yang mempercayainya disembah dan disembahyangi guna
mendapatkan berkat dan rezeki. Di dekat gua di klenteng Sam Po Kong terdapat
makam Dampu Awang yang menurut ceritera merupakan juru mudi yang piawai
Laksamana Cheng Ho. Makam Dampu Awang ini ramai diziarahi kaum muslim
Jawa.Kuncennya pun seorang muslim Jawa.

Klenteng Sam Po Kong inilah yang menjadi salah satu sumber bahan-bahan
penelitian mengenai sejarah kota Semarang dan peranan orang Tionghoa dalam
penyebaran agama Islam di Jawa. Peranan orang Tionghoa dalam penyebaran
agama Islam di Jawa banyak ditulis para haji Tionghoa, antara lain Haji Ma Huan
yang menulis buku Ying Yai Sheng Lan dan Haji Feh Tsing yang menulis buku Tsing
Tsa Sheng Lan pada tahun 1431. Kedua haji ini adalah pembantu Laksamana Cheng
Ho yang pandai berbahasa Arab dan bertindak sebagai penerjemah dan mencatat
segala sesuatu tentang negara-negara yang dikunjunginya.

Tetapi bukti paling spektakuler adalah dengan dirampasnya tulisan-tulisan Tionghoa


yang disimpan di klenteng Sam Po Kong selama 400-500 tahun oleh Residen
Poortman. Pada tahun 1928 dengan alasan menumpas komunis dengan dibantu
polisi, ia melakukan penggeledahan di klenteng Sam Po Kong dan berhasil
merampas 3 gerobak berbagai catatan berbahasa Tionghoa yang menceriterakan
peranan orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan
sejumlah kerajaan Islam di Jawa terutama kerajaan Islam pertama di Demak dengan
rajanya Raden Pateh alias Jin Bun yang akan merupakan cikal bakal kerajaan
Mataram. Inilah yang menjadi tujuan utama Residen Poortman. Namun banyak
peneliti yang meragukan hal ini karena ditinjau dari denah dan tata letak ruang-
ruang di klenteng Sam Po Kong, sulit dapat dipercaya kalau selama ratusan tahun
di tempat tersebut telah disimpan dengan aman dokumen sebanyak itu.

Nah, berangkat dari sinilah dimulai penelitian Prof.Dr.Slamet Muljana mengenai


peranan orang-orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam di Jawa yang
ditulisnya dalam buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2
Islam di Nusantara yang kemudian dilarang oleh pemerintah Orde Baru.

Ternyata sebagian besar anggota Walisongo adalah orang-orang Tionghoa antara


lain Sunan Ngampel yang nama aslinya Bong Swi Hoo alias Raden Rachmat. Bong
Swi Hoo berasal dari Yunnan cucu penguasa tertinggi di Campa, Bong Tak Keng.
Bong Tak Keng ditempatkan Laksamana Cheng Ho di Campa untuk memimpin
komunitas Tionghoa Islam (Hanafi) yang merupakan komunitas Tionghoa terbesar
di pantai-pantai Nanyang.Bong Swi Hoo datang ke Jawa tanpa istri pada tahun 1447
dan menikah dengan Ni Ageng Manila puteri Haji Gan Eng Cu alias Arya Teja,
kapten Tionghoa yang berkedudukan di Tuban. Ia kemudian ditempatkan Gan Eng
Cu menjadi kapten Tionghoa Islam di Bangil. Gan Eng Cu sebelumnya ditempatkan
Bong Tak Keng di Manila dan menikah dengan perempuan setempat dan
mempunyai puteri yang diberi nama Ni Ageng Manila. Di samping memindahkan
Gan Eng Cu ke Tuban untuk memimpin komunitas Tionghoa Islam yang sedang
berkembang di Nanyang Selatan termasuk Jawa,Palembang dan Sambas, Bong Tak
Keng juga menempatkan menantunya Ma Hong Fu untuk menjadi duta besar
Tiongkok di pusat Kerajaan Majapahit (1424-1449).

Namun karena armada Tiongkok (dinasti Ming) menguasai seluruh perairan


Nanyang, Haji Gan Eng Cu de fakto yang melayani kraton Majapahit dari pelabuhan
Tuban dan ia diberi gelar "A Lu Ya" oleh Su King Ta raja Majapahit yang memerintah
dari tahun 1427 sampai tahun 1447.Pada tahun 1430 Laksamana Cheng Ho
merebut daerah Tu Ma Pan (Tumapel) di Jawa Timur dan menyerahkannya kepada
Raja Su King Ta. Kemudian Gan Eng Wan saudara Gan Eng Cu diangkat menjadi
bupati di Tu Ma Pan. Gan Eng Wan (Aria Suganda) adalah bupati Islam pertama di
Kerajaan Maj Bong Tak Keng dari Campa.

Gan Eng Cu juga mempunyai seorang putera yang murtad (bukan Islam) bernama
Gan Si Cang yang bersama Kin San alias Raden Kusen anak Swan Liong alias Arya
Damar mengembangkan galangan kapal di Semarang yang dibangun Laksamana
Cheng Ho. Dengan meniru kapal milik Ja Tik Su (Jafar Sidik gelar Sunan Kudus)
orang Ta Cih yang sedang berlabuh di galangan kapal di Semarang karena
mengalami kerusakan. Mereka berdua memimpin pembuatan jung-jung besar yang
mempunyai kecepatan tinggi. Jung-jung yang diperlengkapi meriam-meriam besar
buatan Kin San inilah yang pada tahun 1521 digunakan armada Kesultanan Demak
untuk menyerang Portugis di Malaka.

Pada tahun 1481 atas desakan para tukang kayu di galangan kapal di Semarang,
Gan Si Tjang selaku kapten Tionghoa menyampaikan permohonan kepada Kin San
sebagai Bupati Semarang untuk ikut menyelesaikan pembangunan Mesjid Agung
Demak. Permintaan ini diteruskan kepada Jin Bun sebagai penguasa tertinggi di
Demak. Jin Bun menyetujuinya dan dengan demikian pembangunan Mesjid Agung
Demak diselesaikan oleh para tukang kayu dari galangan kapal di Semarang di
bawah pimpinan Gan Si Cang. Saka tatal Mesjid Agung Demak dibuat dengan
mempergunakan teknik konstruksi tiang kapal,tersusun dari kepingan-kepingan
kayu yang sangat tepat dan rapi. Tiang tatal yang demikian itu lebih kuat menahan
angin laut atau taufan dari pada tiang utuh. Ternyata Sunan kali Jaga atau Raden
Said adalah Gan Si Cang anak Gan Eng Cu alias Arya Teja, kapten Tionghoa di
Tuban, mertua Bong Swi Hoo atau Sunan Ngampel.

Raden Patah yang dikenal sebagai Sultan Demak pertama yang merupakan
kesultanan Islam pertama di Jawa sebenarnya adalah Jin Bun anak Kung Ta Bu Mi
(Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan
puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (babah Bantong). Semasa
kanak-kanaknya Jin Bun dipelihara oleh Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San
(Raden Kusen) di Palembang. Jin Bun meninggal pada tahun 1518 dalam usia 63
tahun.

Kin San adalah ahli pembuat petasan dan mesiu yang dipelajarinya dari ayahnya,
Swan Liong yang pernah menjadi kepala pabrik mesiu di Semarang, Setelah Jin Bun
berhasil merebut Majapahit pada tahun1478, Kin San diangkat menjadi Bupati
Semarang.

Demikian juga Sultan Demak yang kedua, Sultan Yunus (Adipati Unus) adalah Yat
Sun putera Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal karena pada tahun 1521 berani
menyerang Portugis di kota Malaka yang telah didudukinya sejak tahun 1511,
sehingga ia dijuluki Pangeran Sabrang Lor. Adipati Unus hanya memerintah tiga
tahun karena meninggal dunia dan digantikan oleh saudaranya Tung Ka Lo alias
Pangeran Trenggana yang memerintah selama 40 tahun. Pangeran Trenggana
digantikan oleh puteranya Muk Ming yang sebelumnya menggantikan Kin San
menjadi Bupati Semarang.

Menurut buku-buku ceritera orang Jawa,Muk Ming membunuh saudara tuanya yang
menjadi putera mahkota agar bisa menjadi Sultan Demak. Kemudian Muk Ming
digulingkan oleh keponakannya, Arya Panangsang dari Kerajaan Jipang yang
membalas kematian ayahnya, sang putera mahkota yang kemudian disebut
Panegran Seda Ing Lepen atau "gugur di sungai".

Kecuali mesjid, seluruh kota dan Kraton Demak musnah. Karena tidak kuat
menahan serangan pasukan Jipang,prajurit Demak mundur ke Semarang dan
terjepit di kapal-kapal yang kemudian berhasil dihancurkan. Demikian juga kota
Semarang diporak-porandakan, galangan kapal habis dibakar dan banyak orang-
orang Tionghoa non Islam yang dibunuh oleh prajurit Jipang yang membuat
sebagian besar masyarakat Tionghoa Semarang marah dan tidak bersimpati
kepada pasukan Jipang. Inilah awal dari surutnya para pengikut Islam Tionghoa di
daerah Semarang dan di pesisir utara Jawa Tengah. Mereka akhirnya kemudian
berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan asalnya Khonghucu dan
Tao.

Selanjutnya pasukan Jipang dikalahkan pasukan Pajang yang pada masa


pemerintahannya kurang memperhatikan masalah maritim. Kemudian lahirlah
Kerajaan Mataram yang berada di pedalaman yang makin menggeser kekuatan
politik dari pantai utar mulai terdesak oleh orang-orang Tionghoa non Islam. Kedua
hal inilah yang mendorong ia meyakinkan Fatahillah untuk mendirikan Kesultanan
Islam di Kesepuhan, Cirebon.

Dengan demikian Kesultanan Cirebon pada tahun 1522 didirikan oleh Haji Tan Eng
Hoat alias Mohamad Ifdil Hanafi bersama Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat
Fatahillah atau Faletehan) yang pernah menjadi Panglima tentara Kesultanan
Demak dan mantan Raja Kesultanan Islam Banten dengan didukung oleh orang-
orang Tionghoa Islam di Sembung. Sunan Gunung Jati menjadi Sultan pertama
Kesultanan Islam Cirebon dengan mendirikan kraton Kesepuhan.

Kemudian pada tahun 1553 Sunan Gunung Jati menikahi puteri Haji Tan Eng Hoat,
Ong Tin yang terkenal dengan sebutan Puteri Cina. Upacara iring-iringan mempelai
Pueri Cina dari Sembung sampai ke Kraton Kesepuhan berlangsung laksana upacara
raja-raja di Tiongkok dengan pengiring sepupunya sendiri bernama Tan Sam Cay
alias Muhammad Syafei gelar Tumenggung Arya Dipawiracula. Tan Sam Cay inilah
yang kelak menjadi bendahara dan wali dari Sultan ke-2 Kesultanan Cirebon, karena
ketika Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1570, putera dari hasil
perkawinannya dengan Puteri Cina yang walaupun masih sangat muda itu diangkat
sebagai penggantinya.

Tan Sam Cay besar jasanya membantu Sunan Gunung Jati dan Haji Tan Eng Hoat
dalam mengembangkan agama Islam ke Priangan Timur sampai ke Garut. Tetapi di
kemudian hari Tan Sam Cay murtad dan kembali ke agama asalnya dan mengubah
mesjid Talang menjadi sebuah klenteng agama Khonghucu dan Tao. Orang-orang
Tionghoa Islam akhirnya perlahan-lahan menyusut dan kembali menjadi pengikut
agama Khonghucu dan Tao.

Setelah Sunan Gunung Jati wafat secara de fakto Tan Sam Cay lah yang menguasai
Kesultanan Cirebon. Yang berani melawannya hanya Haji Kung Sem Pak alias
Muhammad Marjani, seorang keturunan Haji Kung Wu Ping yang menjadi kuncen
makam di Gunung Sembung. Tan Sam Cay ingin meniru Sultan Turki,membangun
istana Suniaragi ayng terkenal dengan gua buatan yang dikelilingi danau buatan
untuk menyimpan harem yang cantik-cantik.
Ketika Tan Sam Cay meninggal akibat memakan racun di Istana Suniaragi,oleh Haji
Kung Sem Pak jenasahnya ditolak untuk dimakamkan di kompleks makam pejabat-
pejabat Kesultanan Cirebon di Sembung. Di bawah hujan lebat jenasah Tan Sam
Cay dibawa kembali ke Cirebon dan atas permintaan istrinya Nurleila binti Abdullah
Nazir Loa Sek Cong dimakamkan secara agama Islam di rumahnya sendiri.

Namun atas permintaan mayrakat Tionghoa non Islam, di klenteng Talang diadakan
pula upacara naik arwah untuk mendiang Tan Sam Cay. Namanya ditulis di atas
kain merah dan disimpan di klenteng Talang untuk selamanya. Tan Sam Cay
dijadikan dewa dengan nama Sam Cay Kong dan dipuja.disembahyangi oleh para
peziarah yang percaya guna meminta berkat dan rezeki.

Dari klenteng Talang, Residen Poortman juga merampas seluruh catatan-catatan


dalam bahasa Tionghoa yang telah tersimpan selama ratusan tahun yang
menceriterakan perkembangan Kesultanan dan penyebaran agama Islam di daerah
sekitarnya. Kain merah bertuliskan nama Tan Sam Cay termasuk yang dirampas
Poortman dan akhirnya ditempatkan di musium etnologi di Leiden, Belanda.

Sunan Gunung Jati sendiri adalah Toh A Bo (Pangeran Timur) putera Sultan
Trenggana (Tung Ka Lo) putera Jin Bun (Raden Patah). Padahl pandangan yang
selama ini berkembang di tengah masyarakat dan dalam buku-buku sejarah
tentang Sunan Gunung Jati sampai saat ini masih mengacu kepada pendapat
Prof.Husain Djajadiningrat dalam bukunya " Pemandangan Kritis atas Sedjarah
Banten " yang terbit di negeri Belanda pada tahun 1913. dalam buku tersebut ia
menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Faletehan, seorang ulama dari Pasai.

Ketika Pasai diserbu Portugis dari Malaka, ia meninggalkan Pasai menuju Mekkah
dan bermukim di sana selama hampir tiga tahun untuk memperdalam soal-soal
agama Islam. Ia kemudian kembali ke Pasai untuk mengajar agama Islam.Karena
dikuasai Portugis, Faletehan meninggalkan Pasai dan menetap di Demak. Di Demak
ia disayang oleh Sultan Trenggana dan dikawinkan de sekali diabaikan atau
dikesampingkan dan tidak pernah dijadikan bahan acuan.

Padahal menurut Prof. Liang Liji, ahli sejarah dan bahasa dari Universitas Beijing
dalam ceramah yang diselenggarakan Perhimpunan INTI di Omni Batavia hotel
tanggal 15 Desember 1999, berbagai catatan atau naskah Tionghoa itu sangat
akurat dan rapi, baik dalam mencatat tahun-tahun kejadian maupun nama-nama
dan kejadian-kejadian yang diceriterakan.

about 10 months ago · Report

Lim Tzu
Sejarah Indonesia bagi banyak orang,tidak boleh dinodai dengan nama2
Tionghoa,meski dibahas juga tidak diakui.Bahkan sampai era reformasi,sejarah
Indonesia tidak mau dikotori dengan semua yang berbau RRT & Tionghoa.

about 10 months ago · Report

Wisely 白马王子

makanya sebenarnya kaga fair tuh etnis tionghua kaga ada yg masuk dalam
sejarah NKRI

about 10 months ago · Report

Wisely 白马王子

bukan gitu bro jaman penjajahan dulu emank pernah di bentuk "pho an tui"
itu pemuda2 tionghua di persenjatai ama belanda utk menjaga keamanan mrk
sendiri bukan jadi antek2 belanda.

di bentuknya "pho an tui" krn pada saat perang kemardekaan etnis tionghua
banyak di jarah di rampok rmh nya di bakar n malah byk yg di bunuh ama milisi pro
kemerdekaan yg non TNI krn mrk punya senjata jadi sempat terjadi pembunuhan
massal etnis tionghua di berbagai daerah malah TNI sempat menurunkan polisi
militer utk ngamanin tapi useless.<-----infonya gua tau dari metro tv jadi bisa di
pertanggung jawabkan.

jadi sejak adanya pho an tui yaitu pemuda2 etnis tionghua yg di persenjatai n di
latih secara militer etnis tionghua jadi aman damai tenteram di negara kita ini.

about 10 months ago · Report

Daniel Q'bi

Haha... iya... mending ngomongin yang laen....


komentarnya gue apus aja ya bro...

about 10 months ago · Report

Darmawan Pontjonoto

ikutan beri saran pak


sejarah kota lasem tolong diteliti lebih dahulu
salah satunya klenteng lasem tertua diantara klenteng diseluruh pulau jawa yang
sampai sekarang masih terjaga kondisinya

about 10 months ago · Report

Wisely 白马王子
@atas thanks bro atas masukannya

about 10 months ago · Report

Dildaar Ahmad Dartono

nice article..

about 10 months ago · Report

Pwee Cun 锺坤利 Cpckl

kalau ditelusuri, bisa jadi wali songo itu dari etnis tionghoa, karena sampai sekarang
mesjid2 di pulau jawa ada bedugnya, sama dengan fungsi bedug di klenteng untuk
memulai suatu upacara keagamaan, kalau walisongo berasal dari pasai atau
gujarat, tidak mungkin ada bedug di mesjid (di timur tengah juga tdk ada)

about 10 months ago · Report

Surya Jaya

3-4 dr walisongo katanya memang keturunan orng chinese... jd yg mengenalkan


islam pertama kali di indo itu adalah orng chinese( cheng ho)

about 10 months ago · Report

Wisely 白马王子

wali songo adalah sembilan wali yg pertama kali menyebarkan agama islam di
tanah jawa.

cheng ho=laksamana tangguh yg juga ikut menyebarkan agama islam di indo n


bukan hanya di pulau jawa tapi juga di sekitar malaka.
bahkan di banda aceh sampe sekarang masih berdiri kokoh longceng peninggalan
chengho.

sedangkan di semarang masih ada mesjid peninggalan cheng ho dan oleh etnis
tionghua juga di jadi kan kelenteng.

(cmiiw)
peace

about 10 months ago · Report

Fae' Ahmad

salam kenal before^^ artikel yang bagus untuk disimak...


sejarah perkembangan islam diindonesia emang gak jauh kok dari unsur-unsur
tionghua (meskipun ada juga unsur arab,india dan melayu) selain ditemukan
beberapa masjid yang bernuansa (desainnya) tionghua juga ada beberapa lagi,
seperti baju "koko" baju yang dipakai muslim diindonesia hingga sekarang....dan
lain-lain....

about 10 months ago · Report

Ferdinandus Wilman Setia

artikel bagus nie

about 9 months ago · Report

Lim Tzu

http://www.facebook.com/group.php?
gid=208517409785&ref=search&sid=100000575828835.1770802751..1

Ada grup yang berpendapat lain...

about 9 months ago · Report

Wisely 白马王子

@atas mrk tuh kan jawa konservatif


semua artikel kan ada pro n kontra.
btw yg masuk group itu semuanya pro tuh kayanya

about 9 months ago · Report

Lim Tzu

Awalnya nama grup itu "Singkek Cina-lah yang meng-Islamkan Indonesia (Bikin
Bangkrut Negara, Pribumi jadi budak Arab gara2 Singkek!)" tetapi karena banyak
etnis arab & etnis lainnya memaki - maki karena grup itu menghina etnis
arab,digantilah nama grup tersebut supaya tidak menyinggung orang menjadi
"Terkutuklah Singkek Cina Wali Songo Peruntuh Kemuliaan JAWA Majapahit!"

about 9 months ago · Report

Fae' Ahmad

dari mana pun asalnya sang wali bukanlah suatu masalah. yang terpenting adalah
ia membawa nilai-nilai kebaikan luhur yang menjadi warisan untuk seluruh umat
manusia di negeri ini!!!^^

about 9 months ago · Report


Fitri Itou

hmm... ada kajian lebih mendalam soal sinkretisme islam-konghucu-budha?


saya baca di wiki katanya cheng ho adalah penganut sinkretisme, yang pernah
beberapa kali memberi persembahan untuk dewa-dewa dalam persinggahannya

about 9 months ago · Report

Top of Form

€,´,€,´,水,? ,? yBw Di ea0eafc17bd6fc8

Reply
(post is too long by 1 characters)

Post reply

Bottom of Form

Create an Ad

Connect With More Friends

Share the Facebook experience with more of your friends. Use our simple invite
tools to start connecting.

More Ads

Facebook © 2010 · English (US)

About · Advertising · Developers · Careers · Privacy · Terms · Help

Anda mungkin juga menyukai