Anda di halaman 1dari 2

Perilaku Kepemimpinan Inovatif dan Pengaruhnya Pada Mutu Institusi Pendidikan

(Studi pada institusi pendidikan tenaga kesehatan jenjang pendidikan tinggi Departermen
Kesehatan di Propinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta)
dr.H.Wimmy Ario Kuntjahjo,M.Kes.

Fakta membuktikan bahwa tidak mudah pimpinan institusi pendidikan untuk dapat
menerima suatu “top-down model innovation” karena sering dianggap sebagai beban
yang merepotkan atau ‘pemaksaan struktural’ yang mau tidak mau harus dilaksanakan
dan dianggap bukannya memecahkan masalah justru menimbulkan masalah, sedangkan
‘bottom-up model innovation’ sering dianggap akan menggoyahkan kedudukan sang
direktur atau setidaknya dapat membuat ‘instabilitas’ atau gejolak yang tidak diinginkan.

Untuk mangatasi permasalahan diatas, diperlukan pemimpin institusi pendidikan yang


mempunyai kemampuan menciptakan/kreatif, yang mempunyai kepribadian matang,
yang berani mengambil risiko dari segala tindakannya, yang mempunyai kepribadian
matang, yang berani mengambil risiko dari segala tindakannya, yang mempunyai
kemampuan mengkoordinasikan ide-ide inovatif baik ‘top-down innovation’ maupun
‘buttom-up innovation’, yang memungkinkan keretbukaan bagi pengaruh profesional
luar. Perilaku seperti tersebut diatas peneliti nyatakan sebagai “Perilaku Kepemimpinan
Inovatif” dan ini diyakini peneliti mempunyai pengaruh terhadap “Mutu Institusi
pendidikan”.

Berdasarkan studi kepustakaan, peneliti menemukan ada beberapa faktor yang


mempegaruhi perilaku kepemimpinan inovatif, yaitu (a) motivasi; (b) perilaku inovatif
dan (c) gaya kepemimpinan, sedangkan untuk kontrol penelitian ini adalah (a) pendidikan
responden; (b) posisi responden; (c) jenis kelamin responden; (d) lokasi institusi
pendidikan; (e) pemilikan institusi pendidikan; (f) kemampuan responden dalam
berbahasa Inggris; dan (g) kemampuan responden dalam mengoperasikan internet.

Pada akhirnya penelitian ini membuktikan bahwa :


Pertama, top-down model innovation masih dibutuhkan untuk dapat meningkatkan mutu
institusi pendidikan, dengan demikian hendaknya tidak dianggap sebagai beban yang
merepotkan atau pemaksaan struktural yang harus dilaksanakan oleh institusi pendidikan,
disisi lain buttom-up model innovation, harus terus ditumbuhkan apalagi menghadapi era
desentralisasi yang semuanya menjadi kewenangan di daerah.

Kedua, dalam tingkatan pengaruh yang berbeda, motivasi, perilaku inovatif dan gaya
kepemimpinan berpengaruh terhadap perilaku kepemimpinan inovatif maupun terhadap
mutu institusi pendidikan, lebih lanjut penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku
kepemimpinan inovatif mempunyai pengaruh secara langsung dan positif terhadap mutu
institusi pendidikan.

Ketiga, ditinjau dari besaran koefisien determinasi (R2) berbagai kontrol terhadap
variabel dependen menunjukkan bahwa ‘wanita dengan tiga bintang’ diyakini
mempunyai perilaku kepemimpinan inovatif yang tinggi yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi peningkatan mutu institusi pendidikan, sedangkan ‘pria dengan tiga
bintang’ diyakini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk secara langsung
meningkatkan mutu institusi pendidikan.

Keempat, dengan demikian pria maupun wanita yang mempunyai kemampuan “tiga
bintang” diyakini peneliti berkaitan erat dengan perilaku kepemimpinan inovatif dan
pada akhirnya baik secara langsung maupun tidak langsung akan dapat meningkatkan
mutu instirusi pendidikan. Tiga bintang yang dimaksud, adalah (a) berpendidikan S2-S3
yang sesuai dengan bakat dan menunjang proses pembelajaran; (b) mempunyai
kemampuan dalam berbahasa Inggris dan (c) mempunyai kemampuan
mengoperasionalkan internet.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan kesimpulan tersebut diatas maka dengan berani
peneliti menyatakan bahwa keterlibatan pemerintah pusat dalam arti adanya ‘political
will’ berkaitan dengan “Proyek tiga bintang”adalah sangat serius, karena dalam rangka
globalisasi kalau pemerintah tidak menghendaki ketertinggalan lebih berlarut khususnya
sumber daya manusia di bidang pendidikan, maka pelaksanaan proyek tiga bintang harus
menjadi perhatian dan segera harus dilaksanakan.

Keterlibatan pemerintah pusat adalah berkaitan dengan payung hukum, artinya


pemerintah pusat berkewajiban membuat peraturan-peraturan yang memudahkan
masyarakat khususnya pelajar-anak didik bangsa Indonesia untuk dapat menggapai “tiga
bintang’. Ketegasan ini hendaknya dimulai dari upaya dicantumkannya proyek tiga
bintang ini dalam Undang-Undang Pendidikan yang berkaitan dengan ‘Sistem
Pendidikan Nasional’, hal yang paling mendasar adalah perlunya dicantumkan kata
“Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional kedua setelah bahasa Indonesia”.

Anda mungkin juga menyukai