Anda di halaman 1dari 2

DEMAM INVESTASI DI ACEH

Juni Prananta

Investasi, agaknya suku kata ini menjadi sering didengungkan di Aceh dalam
beberapa tahun ini. Niat pemerintah Aceh dalam mewujudkan cita-cita pembangunan
mendasar di Aceh yaitu pertumbuhan keswadayaan masyarakat, perluasan lapangan kerja
serta pemerataan pendapatan memang patut mendapatkan apresiasi baik. Banyak hal
yang telah dilakukan termasuk membuka kran investasi pengelolaan tanah dan sumber
daya alam Aceh. Seiring dengan alur sejarah investasi yang terjadi di Aceh selama
beberapa dekade kebelakang membuktikan bahwa iklim investasi di Aceh yang sebagian
besar dimotivasi oleh penguasaan sektoral sumber daya alam menjadikan provinsi ini
miskin dan rawan konflik. Disini penulis mencoba melihat dari sisi yang berbeda dimana
jika peluang investasi yang saat ini terbuka dan hampir tak terbendung oleh peraturan
serta kebijakan yang jelas maka lambat laun ini akan berdampak buruk bagi rakyat Aceh.
Jika kita mau mengingat sedikit latar belakang dari munculnya gejolak social di Aceh
salah satunya adalah tidak adanya pemerataan pendapatan dari hasil investasi asing ke
bumi serambi mekah ini. Persoalan bermunculan dimana para jargon-jargon investasi
bersama petinggi-petinggi pemerintahan (termasuk di daerah) saat itu sudah cukup puas
menikmati hasil eksploitasi sumber daya alam di Aceh. Tercatat saat itu perusahaan-
perusahaan besar yang berinvestasi terhadap pengolahan gas diperut bumi Aceh termasuk
pengolahan produk-produk turunannya saat ini sudah mulai hengkang dari Aceh dengan
record sebagai perusahaan yang meraih laba terbesar dipapan dunia. Exxon mobil
misalnya, dalam laporan pendapatannya tahun 2007 exxon mencatat keuntungan
perusahaan sebesar US$ 40,6 milyar (modus aceh edisi juni 2008). Exxon juga tercatat
sebagai salah satu jargon hidrokarbon asia yang dalam beberapa decade menguasai
hidrokarbon Indonesia. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM dan perusakan
lingkungan yang terjadi di Aceh yang itu dilakukan secara terang-terangan di Aceh oleh
perusahaan raksasa ini. Konflik horizontal serta vertical yang muncul sebagai dampak
dari penguasaan sumber daya alam Aceh dimasa lalu setidaknya menjadi salah satu dari
substansi besar sebagai ujung pangkal konflik yang berkepanjangan di Aceh.
Daerah kaya inipun seakan menjadi wilayah yang hasil alamnya seperti tidak membekas
sama sekali. Uang aceh menjadi zat volatile yang setiap saat menguap ke daerah-daerah
lain. Ketergantungan pangan serta energi terhadap daerah luar, buruknya akuntabilitas
serta transparansi kepemerintahan menjadi pemicu dari kecemburuan social yang
semakin lama membentuk hegemoni penindasan yang tersistem. Akhirnya rakyat Aceh
akan menjadi “buya krueng teudoeng-doeng” di negerinya sendiri. Implikasi dari realita
yang terjadi akan menjadikan masyarakat Aceh dengan karakter yang tak pernah kenal
kompromi terhadap penindasan akan melahirkan konflik berkepanjangan yang
menyengsarakan rakyat kecil.
Apakah sejarah ini belum cukup menyadarkan pola pikir kita tentang persepsi investasi
asing ? Puluhan ribu hektar lahan Aceh disinyalir akan menjadi lahan sawit yang modal
pengelolaannya bersumber dari investasi asing. Pertanyaannya kemudian apakah ini
benar-benar dapat menjawab permasalahan rakyat kecil atau malah mengulang sejarah
hitam tentang investasi pengelolaan sumber daya alam di Aceh? Menurut Tokman, 1982
kegiatan produksi yang berproduktivitas tinggi telah menyaingi kegiatan produksi dengan
berproduktivitas rendah yang umumnya didominasi oleh masyarakat grass root (akar
rumput). Sehingga terjadi structural heterogeneity akibat adanya perbedaan yang
mencolok (kesenjangan) antar sector dan intrasektor produksi. Persaingan modal, human
capital, acces serta technology knowledge menjadikan kesenjangan ini berdampak
terhadap tatanan kehidupan social di Aceh nantinya. Dominasi sepihak terhadap beberapa
capital utama ini lambat laun menjadi pemicu terhadap terjadinya konflik yang lagi-lagi
akan menyengsarakan rakyat kecil.
Investasi dapat dilakukan apabila regulasi yang ditetapkan dalam kebijakan pemerintah
Aceh yang tentunya transparan dan akuntable jelas memihak pada rakyat kecil. Karena
kedepannya lapangan investasi adalah pada sector pertanian maka pelibatan petani
sebagai perencana dari konsep investasi tersebut sangat penting untuk dilakukan sehingga
partsipasi petani sebagai stake holders dari kebijakan investasi ini akan menjadi acuan
bagi pelaksanaan termasuk control usaha-usaha ini kedepannya. Jika ini tidak dilakukan
maka dapat diprediksikan bahwa kita bersama saat ini menggiring Aceh kearah sejarah
hitam yang pernah kita alami dahulu
Penulis adalah direktur eksekutif
lembaga penerapan teknologi tepat guna JINGKI institute.

Anda mungkin juga menyukai