Anda di halaman 1dari 2

Di pojok belakang ruangan sebuah SMU, saat proses belajar-mengajar berlangsung, beberapa siswa

tampak cekikikan, dan sesekali terdiam, saat ibu guru menoleh ke arah mereka. Dari raut muka
mereka menunjukkan ada sesuatu yang disembunyikan dan membuat sedikit curiga ibu guru. Tetapi
ibu guru hanya mendiamkan saja. Ia membatin, paling mereka hanya bercanda dengan sesama
temannya. Selang beberapa hari beredar kabar, bahwa banyak siswa yang menyimpan film porno (blue
film) dalam memory card hp (handphone) mereka.

Mendengar semilir kabar tersebut, ibu guru mengingat kejadian tempo hari di kelasnya. Ia
mengaitkannya dengan desas-desus tersebut. Kemudian ibu guru tersebut langsung membicarakan
dugaannya kepada kepala sekolah. Satu hari kemudian, menjelang istirahat, ada pengumuman dari
kantor BP, agar setiap guru memeriksa tas setiap siswa. Setelah acara razia berlangsung, ternyata
banyak ditemukan HP yang menyimpan film polos dari tas beberapa siswa-siswi.

Kejadian ini bukan rekaan semata, tetapi sungguh terjadi di salah satu sekolah di Yogyakarta. Kasus
di atas setidaknya membawa kita untuk berfikir bahwa inilah satu sisi negatif dampak globalisasi,
walau pada sisi lain membawa nilai positif. Perangkat teknologi multimedia mutakhir telah menjadikan
sesuatu serba mungkin; dan menghadirkan sesuatu di hadapan Anda tanpa membutuhkan banyak
ruang dan waktu.

Memahami Globalisasi
Makanan apa sebenarnya globalisasi itu? Sehingga semua orang mengamini �ideologi’ ini. Istilah
Marshal Mc Luhan mengupamakan dunia ini sebagai desa buana (global village), dimana desa buana ini
ditandai dengan hilangnya semua batas yang ada di dunia. Entah itu batas ruang, waktu, budaya, nilai,
moral, agama, dll. Misalnya kita dapat melihat bagaimana remaja usia belia berasyik masyuk
mengakses pornografi di warnet. Sejak mulai ia mengakses hardcore (pesta seks berpasangan),
softcore (tanpa pasangan) sex machine (pesta seks dengan perangkat mesin), sadomasochist (seks
dengan variasi kekerasan), sampai seks yang melibatkan manusia dengan binatang.

Di sini hilang sudah batas dunia usia dewasa, remaja, dan anak-anak. Pornografi yang sangat gamblang
disajikan melalui teknologi multimedia ini memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk
mengaksesnya tanpa halangan batas-batas umur.

Hilangnya batas budaya juga sangat kentara revolusinya. Hal ini dapat kita saksikan, bagaimana
proses penyeragaman pakaian, gaya rambut, bahkan kepribadian remaja di dunia berlangsung.
Mengusung selebritis yang dijadikan idola melalui media, dengan style pakaian, rambut, gaya hidup
tertentu, cukup ampuh membuat remaja tersihir mengikuti trend tersebut. Jangan heran jika apa
yang dipakai Britney Spears hari ini saat konser di Amerika, lusa sudah jutaan remaja Indonesia
“copy-an� Britney Spears tersebar di jalan-jalan, dan mal-mal di negeri ini.

Efek dari pudarnya batas-batas tersebut, menjurus kepada proses penyeragaman mondial, yang
mengakibatkan kepada punahnya khazanah budaya regional, maupun lokal, yang menjadi ciri
kepribadian sebuah bangsa, termasuk juga agama.

Sebagian orang menunjuk bahwa dalang penyeragaman ini adalah Amerika. Argumennya merujuk
kepada penanaman ideologi kapitalisme yang dibangun melalui media, ilmu pengetahuan; entah itu
melalui film, kontes-kontes, dan acara rendezvous lainnya.

Sebagian orang memilih bahwa tidak ada dalang dalam proses penyeragaman ini. Layaknya hukum yang
berlaku dalam globalisasi, yang ada hanyalah persaingan budaya yang serba ketat dan cepat. Hukum
persaingannya sudah melampaui persaingan ala Darwinian yang berujar siapa yang mampu bertahan
merekalah yang akan terus hidup (survival of the fites). Tetapi capainnya sudah pada siapa yang
mampu menyerang dialah yang akan terus hidup (homo homini lupus).

Dalam persaingan ini kadang bisa saja tawaran budaya dari dunia Barat tidak mempunyai tempat, dan
belahan dunia lain (Asia Tenggara) mampu menjadi icon budaya yang diamini sebagian besar remaja di
dunia. Kasus ini dapat kita temukan pada gaya rambut rebounding yang meniru gaya F4 yang berasal
dari Taiwan; merebaknya celana ala korea, kartun Jepang yang beredar di pasar-pasar Indonesia;
dan musik gamelan, mocopat yang digemari oleh remaja di New York Amerika Serikat.

Sikap Kita
Contoh-contoh di atas memberi pengertian kepada kita bahwa dalam globalisasi hukum persaingan,
transparansi, sangat dominan. Selain itu, proses penyeragaman dan pertukaran budaya antar masing-
masing bangsa tengah berlangsung. Jadi sudah sepantasnya kita sebagai remaja muslim dan warga
negara Indonesia mempertahankan apa yang menjadi milik budaya kita. Seperti diutarakan
Sejarawan Senior Kuntowijoyo, bahwa budaya adalah identitas, dan agama adalah nilai dan makna
dalam hidup. Sudah seharusnya kita menjadi tuan bagi budaya kita, dan sebatas penonton bagi
budaya bangsa lain.

Kita tidak bisa dengan buta meniru budaya orang lain, karena kita selamanya akan terasing (alienasi)
dari diri pribadi yang menganut budaya, agama, dan norma sangat berlainan dengan orang lain.
Mengapa terasing? Karena kita tidak pernah memutuskan terhadap diri kita, pribadi kita hanya
bentuk jelmaan dari idola-idola yang telah diseting di pentas. Dan di belakang para idola adalah
mereka para pemodal-pemodal yang menginginkan pakaian dan kosmetik mereka terjual, dan sasaran
konsumennya adalah kita. Itulah yang disebut kapitalisme.

Anda mungkin juga menyukai