PENDAHULUAN
1
Program atau proyek pemberdayaan masyarakat diluncurkan masing-
masing sektor, seperti: IDT, PKT, P3DT, P4K, dan lain-lain.
2
mengherankan kerap timbul kecenderungan untuk sekadar program
terlaksana, dana terbagi habis, dan dana yang terbagi habis dimakan
masyarakat.
3
BAB II
PERMASALAHAN
4
BAB III
PEMBAHASAN
5
mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di
lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya,
serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah
kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan
kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem
pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran
pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana
sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan
jaringan kemitraan dalam pembangunan.
Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan,
strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan
rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan
sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan
kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi, dan strategi yang
dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih menekankan
pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui
PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan
tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan
keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui
Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
6
B. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
“If you have come to help me, you can go home again. But if you
see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work
together”
(Jika Anda datang untuk membantu saya, Anda bisa pulang lagi. Tetapi
jika Anda melihat perjuangan saya sebagai bagian dari kelangsungan
hidup anda sendiri maka mungkin kita bisa bekerja sama)
(Seorang Wanita Aborigin)
7
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan
mereka.
8
menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat nasional maupun
daerah diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan
(dana, prasarana/sarana, tenaga ahli, dan lain-lain) yang terbatas
secara nasional maupun pada tingkat daerah dialokasikan sesuai
dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat miskin tersebut.
9
3. Pendampingan pada PNPM Mandiri Perdesaan ditinjau dari
prinsip-prinsip Pemberdayaan Jim Ife
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perdesaan, merupakan program pemerintah yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin
di perdesaan dengan membangun kemandirian dalam pengambilan
keputusan dan pengelolaan pembangunan. Artinya pemulihan hak-hak
masyarakat dalam pembangunan menjadi koridor pencapaian tujuan.
Dengan demikian pulihnya hak-hak masyarakat (Human rights) dalam
pembangunan di setiap desa lokasi PNPM Mandiri Perdesaan merupakan
suatu proses yang menunjukkan tercapai tidaknya tujuan program.
Proses dan koridor tersebut telah menempatkan PNPM Mandiri
Perdesaan menggunakan perubahan sosial sebagai perspektif yang
melandasi kerangka berpikir logis pelaksanaannya. Menurut Selo
Sumarjan, Perubahan Sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap
dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Kemandirian masyarakat bukan diindikasikan meningkatnya
pendapatan saja, tetapi seberapa jauh mereka mampu menguasai
sumber-sumber ekonomi baru. Sehingga tidak kesementaraan
pendapatan meningkat, tetapi kepercayaan hidup selanjutnya
didapatkan kemandirian sosial ekonomi tersebut wajib dipahami. Di
sinilah, peran pendamping/fasilitator menyelenggarakan dialog dengan
masyarakat untuk menggali kebutuhan-kebutuhan nyata, menggali
sumber-sumber potensi yang tersedia, mendorong masyarakat untuk
menemukan spesifikasi masalah yang harus dipecahkan dan
mengorganisir mereka untuk mengambil tindakan yang tepat (Belle,
1976).
Di kebanyakan negara, kegagalan proses dan hasil pembangunan
disebabkan oleh orientasi yang berlebihan pada negara dan
pemerintah. Sebaliknya, masyarakat dan manusia sebagai objek
pembangunan seringkali dilupakan. Atas dasar itu, pemberdayaan
10
masyarakat sebagai salah satu pilar pembangunan harus meletakkan
fokus pembangunan pada manusia (people centered development).
Penyelenggaraan pembangunan difokuskan kepada pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan setiap warga masyarakat di segala bidang
(fisik – non fisik), dengan memposisikan masyarakat sebagai “subyek
dan pemanfaat (obyek)” pembangunan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh, adil dan merata.
Salah satu strategi yang umum dipakai dalam proses
pemberdayaan masyarakat adalah pendampingan. Menurut
Sumodiningrat (2009:106), pendampingan merupakan kegiatan yang
diyakini mampu mendorong terjadinya pemberdayaan masyarakat
kurang mampu secara optimal. Perlunya pendampingan
dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan pemahaman diantara pihak
yang memberikan bantuan dengan sasaran penerima bantuan.
Kesenjangan dapat disebabkan oleh berbagai perbedaan dan
keterbatasan kondisi sosial, budaya dan ekonomi. Dalam melaksanakan
tugasnya, para pendamping memposisikan dirinya sebagai perencana,
pembimbing, pemberi informasi, motivator, penghubung, fasilitator, dan
sekaligus evaluator.
Dalam strategi pemberdayaan masyarakat, upaya yang dilakukan
adalah dengan meningkatkan kemampuan atau kapasitas masyarakat
khususnya masyarakat miskin. Meningkatkan kemampuan dan
kapasitas masyarakat ini disebut juga dengan penguatan kapasitas
(capacity building). Penguatan kapasitas ini merupakan suatu proses
dalam pemberdayaan masyarakat dengan meningkatkan atau merubah
pola perilaku individu, organisasi, dan sistem yang ada di masyarakat
untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien.
Melalui penguatan kapasitas ini, maka masyarakat dapat memahami
dan mengoptimalkan potensi yang mereka miliki untuk mencapai tujuan
pemberdayaan, yaitu kesejahteraan hidup masyarakat. Strategi yang
digunakan dalam penguatan kapasitas ini adalah melalui
pendampingan. Jadi, strategi pendampingan sangat efektif dan efisien
dalam proses pemberdayaan masyarakat, karena dengan adanya
11
pendampingan maka kapasitas masyarakat dapat dikembangkan atau
diberdayakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehingga
pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat
dan secara tidak langsung dapat membantu pemerintah dalam
mengurangi tingkat kemiskinan.
Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses
dan tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas
mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan
kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan
sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya.
Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh
dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan
pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan
dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Dalam program
penanganan masalah kemiskinan, misalnya, masyarakat miskin yang
dibantu seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena
hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari
lingkungannya.
Merujuk pada prinsip-prinsip pemberdayaan Jim Ife
“empowerment“ yaitu membantu komunitas dengan sumberdaya,
kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas
intelektual dan fisik meningkat sehingga dapat berpartisipasi dalam
menentukan masad depannya sendiri. Sejalan dengan prinsip
empowerment tersebut para pendamping masyarakat tidak
memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan
tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan mereka dipandang sebagai
sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi
proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan sosial
adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien
memanfaatkan hal itu.
Pendampingan memiliki peran yang sangat menentukan
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan
prinsip pemberdayaan, PM sangat perlu memperhatikan pentingnya
12
partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan seorang
pekerja sosial atau pendamping masyarakat seringkali diwujudkan
dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh
atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Mereka
biasanya terlibat dalam penguatan partisipasi rakyat dalam proses
perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program
kegiatannya.
Para pendamping memungkinkan warga masyarakat mampu
mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka,
maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di
sekitarnya. Pendamping juga biasanya membantu membangun dan
memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Para pendamping
masyarakat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai
bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat
lokal, maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat
dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.
Sebuah Riset di 17 provinsi di Indonesia (Suharto, 2004: 61-62)
menunjukkan bahwa ketika masyarakat miskin ditanya mengenai
kriteria pendamping yang diharapkan, mereka menjawab bahwa selain
memiliki kapasitas profesional, seperti memiliki pengetahuan dan
keterampilan mengenai program dan penanganan permasalahan
masyarakat setempat, pendamping juga dituntut memiliki beberapa
sikap humanis, seperti sabar dan peka terhadap situasi, kreatif, mau
mendengar dan tidak mendominasi, terbuka dan mau menghargai
pendapat orang lain, akrab, tidak menggurui, berwibawa, tidak menilai
dan memihak, bersikap positif dan mau belajar dari pengalaman.
Partisipasi yang keliru adalah melibatkan masyarakat dalam
pembangunan hanya untuk didengar suaranya tanpa betul-betul
memberi peluang bagi mereka untuk ikut mengambil keputusan.
Pengambilan keputusan yang partisipatif tidak selalu harmonis dan
seringkali ada banyak prioritas yang harus dipilih. Disinilah perlunya
prinsip Consensus yang bertujuan untuk menghasilkan solusi guna
13
mengelola ketidak-sepakatan dan menghasilkan persetujuan sebagai
milik bersama masyarakat.
Perhatian terhadap masyarakat perdesaan yang lebih bernuansa
community development, didasarkan atas beberapa pertimbangan.
Pertama, sebagian besar penduduk, terutama negara-negara
berkembang, berada di perdesaan dengan kondisi dan taraf hidup yang
rendah. kedua, adanya paritas sosial dan ekonomi yang mencolok
antara desa dan kota. Kenyataan yang ada kebijakan pembangunan
lebih diarahkan dan memperhatikan masyarakat kota. Padahal
keberhasilan pembangunan itu salah satu diantaranya sangat
ditentukan oleh adanya keseimbangan antara sektor perdesaan, dan
perkotaan. Ketiga, secara obyektif masyarakat perdesaan tidak segera
mampu menunjukkan prakarsa sendiri yang berarti membangun dirinya
sendiri. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kultur dan
struktur masyarakat perdesaan itu sendiri yang memang tidak
menunjang.
Karena itu, program sarjana masuk desa (pendamping/fasilitator)
merupakan suatu usaha berencana untuk memungkinkan partisipasi
individual dari masyarakat perdesaan dalam memecahkan berbagai
masalah komunitas secara demokratis melalui pendidikan dan pelatihan
pembangunan. Apa yang dilakukan harus merupakan kegiatan yang
berupa pendidikan untuk bertindak, di mana masyarakat disiapkan
untuk mewujudkan tujuan masyarakat secara demokratis.
Dengan demikian para pendamping/fasilitator tersebut sebetulnya
harus lebih berperan sebagai agen untuk membentuk pengalaman
belajar bagi masyarakat yang didampinginya ketimbang sebagai
penggerak sasaran program.
Melalui konsep community development dengan pendekatan
societal: memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan
sasaran seluruh lapisan masyarakat hendaklah bermotifkan pendidikan,
sehingga mampu membangkitkan kemampuan self-reliance.
Mengapa pendidikan? Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (modernisasi) yang
14
mengacu pada cara berpikir, bersikap, berperilaku, maka bidang
pendidikan merupakan titik strategis yang harus diperbarui dan
diperluas (Weiner, 1966). Sehingga esensi dari community development
terutama di perdesaan adalah pendidikan masyarakat, yang meliputi
pendidikan dasar, keaksaraan, keterampilan dan penyuluhan
perkoperasian, pertanian dan sebagainya, seperti ditegaskan Belle
(1976).
Hadirnya para pendamping/ fasilitator bukanlah aktor yang serba
mumpuni, ia tak lebih dari sekadar penggerak, pendorong dan
pembelajar. Karena itu para pendamping/fasilitator ini lebih pada upaya
menaikkan daya ungkit masyarakat dalam pengentasan kemiskinan.
Tampaknya masyarakat sulit menghindari ketergantungan dari pelaku
perubahan, seperti pendamping. Sulit menemukan adanya tindakan
masyarakat perdesaan yang betul-betul mandiri tanpa adanya
intervensi pihak ketiga. Karena itu orientasi dan kemandirian bukanlah
satu-satunya alternatif dalam community development, Jim Ife,
menyarankan agar community development lebih diarahkan pada
tujuan yang lebih material dan kepemilikan pada proses serta struktur
yang ada. Prinsip ini tentunya dapat diukur secara nyata, yang dapat
meningkatkan produksi dan standar kehidupan.
Diperlukan sebagai sebuah acuan bagi setiap warga masyarakat:
membuat mereka termotivasi, tergerak dan terlibat langsung baik
ketika ada atau tidak ada pemeriksanaan atau tinjauan pejabat.
Terpenting memesona bagi masyarakatnya miskin itu sendiri, dan bagi
pihak-pihak lain. Bahkan, membuat orang-orang lain yang berkunjung,
singgah dan berinvestasi ke desa-desa, menikmati kehirukpikukan
masyarakat dalam melakukan, memelihara dan mengevaluasi program
secara holistik dari hulu hingga hilir.
Kesuksesan, keterbukaan dan dinamika masyarakat terjaga
melalui eksotika program pendampingan PNPM-MP, sehingga pihak lain
yang datang dan pulang ke tempat mereka masing-masing berkisah
sukses dan prestasi mereka dan kemudian berkunjung, singgah dan
15
berinvestasi lagi dan lagi atau sebagai buyer dari produk dan teknologi
nyang dihasilkan di desa-desa.
Terpenting lagi, terjadi penaikan penyadaran akan perang
melawan kemiskinan sesuai aturan yang berlaku, bukan melahirkan
budak-budak baru pembangunan. Transformasi kematangan sosiokultur
masyarakat menjadi sangat penting dalam konteks ini. Dalam
pengembangan masyarakat hendaknya diperhatikan juga bahwa
masyarakat punya tradisi, dan punya adat-istiadat, yang kemungkinan
sebagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial.
Upaya-upaya pengentasan kemiskinan semestinya dipahami
sebagai transformasi dari ketergantungan menuju kemandirian. Wujud
kemandirian tercermin dari tingkat kepedulian dan partisipasi atau
memudarnya ketergantungan kepada pemerintah. Pengertian ini bisa
dipahami sebagai sikap mental dan perilaku rasional, kompetitif dan
menolak ketergantungan sesuai dengan prinsip independence from the
state. Dengan demikian akan semakin mendekatkan masyarakat pada
kesejahteraan dan kemandirian sebagaimana tujuan akhir (outcome)
dari pemberdayaan tersebut.
16
BAB IV
PENUTUP
17
swasta harus memberikan arahan dan dukungan, tapi yang lebih
penting dari itu adalah kedua stakeholder ini (pemerintah dan swasta)
mampu dan mau menciptakan iklim usaha yang fair.
18
DAFTAR PUSTAKA
19