Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kebutuhan akan moda transportasi yang cepat dan aman
membawa ke arah ketergantungan terhadap pesawat terbang.
Pesawat terbang menjadi pilihan karena bisa memenuhi dua
faktor kebutuhan tersebut. Dibandingkan dengan moda
transportasi yang lain pesawt terbang masih lebih cepat.
Sedangkan dari faktor safety, kecelakaan per kilometernya jauh
lebih kecil dibandingkan moda transportasi lainnya.
Khusus untuk para bussineessman ketepatan waktu menjadi
faktor utama didalam perjalanan bisnis mereka. Oleh sebab itu
ditawarkan konsep bussiness aircraft agar perjalanan bisnis
mereka tetap bisa dilakukan kapan saja. Berdasarkan
kebutuhan tersebut maka dirancang sebuah pesawat terbang
yang mampu terbang Jakarta-Los Angeles dalam waktu 8-9 jam.
Waktu tersebut lebih kecil dibandingkan dengan airline
komersial yang memerlukan waktu sekitar 20 jam. Jarak Jakarta-
Los Angeles dipilih dengan alasan jika bisa menempuh jarak
tersebut maka tujuan penerbangan yang lain dpaat terpenuhi.

1.2 PERSYARATAN DAN SASARAN PERANCANGAN


1.2.1 UMUM
Syarat perancangan utama adalah mendapatkan
rancangan pesawat udara dengan endurance dan range
yang mampu terbang non stop Jakarta – Los Angeles.

1|Page
Pesawat udara harus reusable dengan misi yang sama
berulang kali.

1.2.2 SUSUNAN INTERNAL


1.2.2.1 PAYLOAD
• Flight deck dirancang untuk dua orang flight
crew yang terdiri dari pilot dan first officer.
• Ruang cabin dirancang nyaman dan leluasa
untuk maksimum 12 penumpang. Kemudian
ruang cabin juga harus terlindungi dari
gangguan lingkungan seperti getaran,
pressurize, dan elektromagnetik.
• Ruang bagasi cukup untuk barang yang dibawa
untuk konfigurasi maksimum penumpang.
1.2.2.2 PRESTASI PESAWAT
• Pesawat harus mampu terbang non stop 8200
[nm] atau 14500 [km].
• Pesawat harus mampu terbang pada
ketinggian minimum 41000 [ft].
• Pesawat harus mampu terbang optimum pada
3500 [Nm] dengan maksimum payload.
• Take-off dan landing di bandara Soekarno-
Hatta dilakukan pada kondisi ISA+20.
• Take-off dan landing di International Los
Angeles Airport.
1.2.2.3 HANDLING QUALITY
Pesawat harus memiliki karakteristik kestabilan
dan pengendalian terbang yang baik.
1.2.2.4 BERAT

2|Page
Pesawat Cirrus-W709 diatur berdasarkan FAR 25.
Pada FAR 25 tidak diatur mengenai maximum
take off weight.
1.2.2.5 BASIS SERTIFIKASI
Pesawat hasil rancangan ini diharapkan dapat
memenuhi persyaratan FAR 25.

1.3 STUDI SPESIFIKASI


Aspek prestasi pesawat yang menjadi keunggulan adalah
kecepatan pesawat yang akan membuat waktu tempuh menjadi
semakin singkat. Kecepatan pesawat yang dipilih adalah 2.2
Mach pada saat supersonic cruise. sehingga rezim aliran berada
pada daerah supersonik. Waktu tempuh pesawat jika terbang
dengan kecepatan tersebut sekitar 7 – 8 jam. Keunggulan yang
lain adalah pesawat Cirrus-W709 relatif lebih hemat bahan
bakar dibandingkan dengan pesawat Concorde. Parameter yang
menjadi perbandingan yaitu perbandingan bahan bakar per
penumpang per kilometer. Perhitungannya dapat dilihat sebagai
berikut:

TABEL 1.1
STUDI PARAMETRIK

W fuel Jumlah Range Speed


Pesawat
[kg] Penumpang [km] [km/hr]

3|Page
Jet Cruzer
760 5 2963 518
500
Boeing
12000 140 3700 238
737-300
Cessna
2450 5 3313 793
Encore +
Cessna CJ3 2136 8 3475 773
Cessna
Citation CJ 1461 3 2408 720
1+
Concorde 96000 92 7250 2330

Berdasarkan tabel tersebut maka dapat dibuat grafik sebagai


berikut:

Gambar 1.1: Grafik Fuel per Pax per Km vs Speed

Dari gambar 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa Pesawat Cirrus-


W709 memiliki design point dibawah trend line pesawat-
pesawat pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi
bahan bakar per penumpang per kilometer pesawat Cirrus-
W709 relatif lebih kecil dibandingkan dengan pesawat-pesawat
Design Point
Cirrus
pembanding. Hasil perhitungan konsumsi bahan bakar W-
per
709
penumpang per kilometer dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL 1.2
KONSUMSI BAHAN BAKAR PER PENUMPANG PER KILOMETER
Konsumsi Bahan Bakar per
Pesawat
Penumpang per Kilometer
Jet Cruzer 500 0.051299359

4|Page
Boeing 737-300 0.023166023
Cessna Encore + 0.147902203
Cessna CJ3 0.076834532

Cessna Citation CJ 1+ 0.202242525

Concorde 0.143928036

Cirrus – W709 0.138313426

Berdasarkan tabel 1.2 terlihat bahwa konsumsi bahan bakar


per penumpang per Km dari pesawat Cirrus-W709 relatif lebih
kecil dibandingkan dengan pesawat Concorde.
Kemudian untuk mengurangi pengaruh noise yang berlebih
maka engine diletakkan dibagian fuselage belakang. Engine
yang digunakan pada Cirrus-W709 berjumlah tiga buah dengan
pertimbangan untuk memperoleh izin terbang tanpa menyusuri
garis pantai seperti yang diatur pada ETOPS (Extended-range
Twin-engine Operational Performance Standards).
Profil misi yang direncanakan yaitu:
Taxi – Take-off – Climb – Subsonic Cruise – Supersonic Cruise –
Loiter – Descent – Fly To Alternate – Landing.
Setelah DRO (Design Requirement and Objective) ditentukan,
maka langkah selanjutnya adalah menentukan design point dari
matching chart.

5|Page
BAB II
PENENTUAN UKURAN AWAL

Tahap awal dalam proses perancangan pesawat udara adalah


tahap perkiraan berat maksimum pesawat udara. Berat ini dapat
dihitung dengan memperkirakan berat pesawat udara saat
melaksanakan take off yang merupakan berat maksimum take off
pesawat. Proses ini mendasari tahap-tahap selanjutnya dalam
menentukan karakteristik ataupun prestasi terbang sehingga
mampu memenuhi DRO yang telah ditetapkan sebelumnya.

2.1 Menentukan Berat Take Off Pesawat


Dalam perhitungan berat maksimum pesawta udara terlebih
dahulu dapat diketahui komponen-komponennya yang
termasuk dalam berat take off sebagai berikut:
WTO = WOE + WF + WPL (2.1.1)
WOE = WE + WTF + WCREW (2.1.2)
Keterangan:

6|Page
WOE : Berat kosong operasi
WF : Berat bahan bakar
WPL : Berat payload
WE : Berat kosong
WTF : Berat trap-fuel
WCREW : Berat kru

2.1.1 Berat Payload dan Kru


Untuk menentukan berat tinggal landas sesuai dengan
persamaan (2.1.1) dan (2.1.2) maka diperlukan
komponen-komponen yang terkandung dalam berat
tinggal landas tersebut. Berat tinggal landas tersebut
diperoleh dari berat payload sebesar 1200 [kg] dan berat
kru sebesar 200 [kg].

2.1.2 Penentuan Berat Take Off


Untuk menghitung berat tinggal landas, menurut Jan
Roskam dapat dilakukan estimasi fuel dengan membagi
misi penerbangan menjadi beberap fase fraksi bahan.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Step 1
Menentukan berat payload.
WPL = jumlah penumpang*(berat penumpang + bagasi)
WPL = 12*(80+20) = 1200 [kg] atau 2645 [lbm]

Step 2
Menebak take-off weight gross pesawat rancangan.

7|Page
Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
a. Mengumpulkan data berat payload, berat take-off,
kecepatan, dan range dari pesawat pembanding yang
dipilih.
b. Berdasarkan data tersebut maka dapat ditentukan
empty weight dari masing-masing pesawat
pembanding. Kemudian harga rata-rata dari empty
weight tersebut ditambahkan dengan berat payload
pesawat rancangan, sehingga menghasilkan tebakan
awal dari berat take-off .

TABEL 2.1
DATA PESAWAT PEMBANDING
Vcruise
Tipe Pesawat WPL [kg] WTO [kg] Range [nm]
(max) [Ma]
Concorde 12000 185070 2.04 3912
Aerion 1000 40824 1.6 4000
Tu-144 14000 180000 2.16 3500

Berdasarkan data pembanding di atas maka berat take-


off dipilih sebesar 100000 [kg] atau 220460 [lbm].

Step 3
Menentukan berat bahan bakar.
Berdasarkan tabel 1 diatas maka berat bahan bakar dipilih
sebesar 65000 [kg] atau 143300 [lbm].

Step 4
Menentukan mission profile.
Mission profile yang dipilih adalah sebagai berikut:

8|Page
Taxi – Take-off – Climb – Subsonic Cruise – Step Climb –
Supersonic Cruise – Loiter – Descent – Fly To Alternate –
Landing.
Fly alternate: Climb – Cruise – Step descent – Landing
Fly alternate dipilih jika bandara tujuan tidak bisa didarati,
sehingga harus mendarat pada bandara alternatif
terdekat yang dapat didarati.

5 6 7 1
0
4

1 3 8 9

Gambar 2.1: Profil Misi Pesawat Cirrus-W709


Keterangan:
1 : Warm up
2 : Taxi
3 : Take-off
4 : Climb
5 : Subsonic Cruise
6 : Supersonic Cruise
7 : Loiter
8 : Descent
9 : Fly to Alternate
10 : Landing

Untuk lebih jelasnya spesifikasi misi yang dipilih adalah


sebagai berikut:
Payload : 12 penumpang dengan berat 80 [kg]
untuk satu orang penumpang dan

9|Page
20 [kg] bagasi untuk satu orang
penumpang.
Kru : 1 orang pilot dan 1 orang first officer
dengan berat 80 [kg] untuk satu
orang kru dan 20 [kg] bagasi untuk
satu orang kru.

Range : 8000 [nm] atau 14500 [km] yang


diikuti dengan 10 menit loiter.

Altitude : 50000 ft
Cruise Speed : 0.8 Mach untuk subsonic cruise dan
2.5 Mach untuk supersonic cruise.
Climb : Climb sampai dengan subsonic
altitude dan cruise dengan
kecepatan subsonic. Selanjutnya
step climb ke supersonic altitude
kemudian cruise dengan kecepatan
supersonic.
Take off & Landing : Mengacu kepada FAR 25 Field
Length.
Sistem Propulsi : 3 Engine tipe turbofan.
Pressurization : Tekanan 5000 ft pada cabin pada
50000 ft.
Basis Sertifikasi : FAR 25

Step 5
Menentukan fuel fraction.
Untuk dapat menentukan berat fuel prosedur yang
dilakukan adalah sebagai berikut:

10 | P a g e
a. Fase 1 : Engine Start and Warm up
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan WTO. Berat
akhir adalah W1. Tipikal rasio berat pada fase ini adalah
W1/WTO = 0.990 untuk pesawat supersonik cruise.
b. Fase 2 : Taxi
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W1. Berat
akhir adalah W2. Tipikal rasio berat pada fase ini adalah
W2/W1 = 0.995 untuk pesawat supersonik cruise.
c. Fase 3 : Take-off
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W2. Berat
akhir adalah W3. Tipikal rasio berat pada fase ini adalah
W3/W2 = 0.995 untuk pesawat supersonik cruise.
d. Fase 4 : Climb to subsonic cruise altitude
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W3. Berat
akhir adalah W4. Tipikal rasio berat pada fase ini adalah
W4/W3 = 0.900 untuk pesawat supersonik cruise.
e. Fase 5 : Subsonic Cruise
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W4. Berat
akhir adalah W5. Rasio berat pada fase ini ditentukan
oleh formula pada Raymer “Aircraft Design – A
Conceptual Approach” (halaman 27) sebagai
berikut:
W5W4=e(-R.CV.LD)
Dimana:
Rcr=1000 [nm]
Vcr=0.85 [Ma]
Cj=0.0001389 [NNs]

11 | P a g e
LDmax=8
LD=0.866*LDmax
Sehingga dari persamaan di atas dapat diperoleh rasio
berat sebagai berikut:
W5/W4 = 0.837
f. Fase 6 : Supersonic Cruise
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W5. Berat
akhir adalah W6. Rasio berat pada fase ini ditentukan
oleh formula pada Raymer “Aircraft Design – A
Conceptual Approach” (halaman 27) sebagai
berikut:
W6W5=e(-R.CV.LD)
Dimana:
Rcr=6000 [nm]
Vcr=2.2 [Ma]
Cj=0.0001389 [NNs]
LDmax=8
LD=0.866*LDmax
Sehingga dari persamaan di atas dapat diperoleh rasio
berat sebagai berikut:
W6/W5 = 0.662
g. Fase 7 : Loiter
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W6. Berat
akhir adalah W7. Berdasarkan Raymer “Aircraft
Design – A Conceptual Approach” (halaman 27)
maka fraksi berat pada fase ini diatur oleh persamaan
berikut:
W7W6=e(-E.CLD)
Dengan E (endurance) sebesar 10 menit.

12 | P a g e
Sehingga dari persamaan di atas dapat diperoleh rasio
berat sebagai berikut:
W7/W6 = 0.993
h. Fase 8 : Descent
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W7. Berat
akhir adalah W8. Oleh karena tidak harga yang pasti
dari rasio berat pada fase ini maka diambil pendekatan
sebesar W9/W8 = 0.985 berdasarkan Jan Roskam
“Airplane Design” (halaman 24 – Tabel 2.1).
i. Fase 9 : Fly to alternate
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W8. Berat
akhir adalah W9. Oleh karena tidak harga yang pasti
dari rasio berat pada fase ini maka diambil pendekatan
sebesar W9/W8 = 0.965 berdasarkan Jan Roskam
“Airplane Design” (halaman 24 – Tabel 2.1).
j. Fase 10 : Landing, Taxi, Shutdown
Pada fase ini berat pesawat dimulai dengan W9. Berat
akhir adalah W10. Tipikal rasio berat pada fase ini
adalah W10/W9 = 0.992 untuk pesawat supersonik
cruise.
Total fuel fraction dari keseluruhan profil misi dapat
dihitung melalui formula sebagai berikut:
Mff=W10W9W9W10W8W7W7W6W6W5W5W4W4W3W3W2
W2W1W1WTO
Mff=0.458
Bahan bakar yang digunakan sepanjang fasa 1 sampai
dengan fasa 10 adalah sebesar:
WFused=1-0.458WTO
WFused=0.542 WTO

13 | P a g e
Oleh karena fuel reserve telah dimasukkan kedalam
perhitungan maka dapat diperoleh hubungan sebagai
berikut:
WFWTO=0.542

Step 6
Berdasarkan harga berat take-off, berat fuel, dan berat
payload maka dapat ditentukan berat operational
empty.
WOEtent=WTO-WFused-Wpayload
WOEtent=100000 kg-0.542*100000 [kg]-1200 [kg]
WOEtent=44600 [kg]

Step 7
Berdasarkan informasi berat operational empty dan
berat flight crew maka dapat ditentukan berat kosong
pesawat sebagai berikut:
WEtent=WOEtent-Wcrew
WEtent=49400 kg-200 kg
WEtent=44400 [kg]

Step 8
Harga empty weight yang diizinkan diatur oleh
persamaan berikut:
WE=inv log10log10WTO-A/B
Koefisien A dan B diperoleh berdasarkan referensi Jan
Roskam “Airplane Design” (tabel 2.15-halaman 47).
Harga koefisien A dan B untuk pesawat supersonic
cruise adalah 0.4221 dan 0.9876.

14 | P a g e
Untuk iterasi berat dipilih berdasarkan Raymer
“Aircraft Design – A Conceptual Approach”. Pada
buku ini yang diiterasi adalah berat take off. Setelah
dilakukan iterasi maka diperoleh berat take off sebesar
45380 [kg] atau 100045 [lbm]. Selisih antara berat
take off estimasi dengan berat take off calculated
diperoleh kurang dari 400 [kg].
Berikut akan ditampilkan hasil iterasi dari proses initial
sizing yang telah dilakukan:

TABEL 2.2
HASIL ITERASI INITIAL SIZING
WTO 45380 [kg]
WPAYLOAD 1200 [kg]
WOE 19584 [kg]
WE 19384 [kg]
WFLIGHTCREW 200 [kg]
WFUEL 24596 [kg]
L/D (maximum) 8
SFC 0.6 [N/Nkg]
Persentase Berat Bahan Bakar
54%
dari Berat Take-Off

Berikut ditampilkan gambar tiga pandangan dari


pesawat pembanding yang dipilih:

15 | P a g e
Gambar 2.2: Gambar Tiga Pandangan Pesawat
Concorde

Gambar 2.3: Gambar Tiga Pandangan Pesawat Aerion

16 | P a g e
Gambar 2.4: Gambar Tiga Pandangan Pesawat Tu-
144

2.2 PERKIRAAN (W/S)TO DAN (T/W)TO


Luas sayap dan thrust yang dibutuhkan dapat ditentukan
dengan menentukan terlebih wing loading (W/S) dan thrust
loading (T/W) berdasarkan titik desain. Titik desain harus
memenuhi berbagai persyaratan seperti jarak tinggal landas

17 | P a g e
dan mendarat yang diinginkan, syarat terbang jelajah pada
ketinggian jelajah, dan kecepatan jelajah maksimal serta
persyaratan tinggal landas dan mendarat sesuai dengan FAR.
Menurut DRO pesawat diharapkan dapat memenuhi FAR 25.
Pada FAR 25 ini persyaratan mengenai besarnya MTOW tidak
diatur, sehingga desainer bebas menentukan besar dari MTOW.
2.2.1 Persyaratan Tinggal Landas
Untuk dapat menentukan besarnya wing loading dan
thrust loading pada saat tinggal landas, maka parameter
yang digunakan adalah:
2.1.1.1 Take-off parameter berdasarkan FAR 25
(TOP25)
Take-off parameter ini dapat dicari dengan
menggunakan formula sebagai berikut:
TOP25=TOFL37.5
Pada persamaan tersebut, koefisien 37.5
diperoleh dari statistik data-data pesawat FAR 25.
Sedangkan besarnya TOFL adalah 6000 [ft].
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan
maka diperoleh harga TOP25 sebesar 160 [ft].
2.1.1.2 Take-off Field Length
Take-off Field Length adalah jarak dari pesawat
mulai taxi hingga pesawat climb mencapai
ketinggian 35 ft. Tinggal landas dilakukan di
bandara Soekarno-Hatta yang memiliki panjang
runway 12000 [ft] atau 3600 [m]. Berdasarkan
panjang runway tersebut maka TOFL pesawat
hasil rancangan diperoleh sebesar 6000 [ft] atau
2000 [m].

18 | P a g e
2.1.1.3 Koefisien Gaya Angkat Pada Saat
Tinggal Landas (CLTO)
Harga koefisien gaya angkat yang digunakan
untuk menghitung thrust loading pada saat
tinggal landas bervariasi pada kisaran 1.6 sampai
dengan 2.0.
2.1.1.4 Wing Loading Pada Saat Tinggal Landas
Harga Wing Loading yang digunakan untuk
menghitung thrust loading pesawat hasil
rancangan adalah antara 45 [lb/ft22] sampai
dengan 155 [lb/ft2]. Hasil perhitungan thrust
loading dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL 2.3
PERHITUNGAN PERSYARATAN TINGGAL LANDAS
Variasi CL max
(W/S)TO
1.6 1.7 1.8 1.9 2
0.17578 0.16544 0.14802 0.14062
45 0.15625
1 1 6 5
0.21484 0.20220 0.19097 0.18092 0.17187
55
4 6 2 1 5
0.25390 0.23897 0.22569 0.21381 0.20312
65
6 1 4 6 5
0.29296 0.27573 0.26041 0.24671 0.23437
75
9 5 7 1 5
0.33203 0.29513 0.27960 0.26562
85 0.3125
1 9 5 5
0.37109 0.34926 0.32986 0.29687
95 0.3125
4 5 1 5

19 | P a g e
0.41015 0.38602 0.36458 0.34539 0.32812
105
6 9 3 5 5
0.44921 0.42279 0.39930 0.37828 0.35937
115
9 4 6 9 5
0.48828 0.45955 0.43402 0.41118 0.39062
125
1 9 8 4 5
0.52734 0.49632 0.44407 0.42187
135 0.46875
4 4 9 5
0.56640 0.53308 0.50347 0.47697 0.45312
145
6 8 2 4 5
0.60546 0.56985 0.53819 0.50986 0.48437
155
9 3 4 8 5

2.2.2 Persyaratan Mendarat


Ketentuan dan persyaratan untuk kondisi mendarat dapat
dijelaskan sebagai berikut:
2.2.2.1 Landing Field Length
Landing Field Length (LFL) adalah jarak dari
ketinggian 35 [ft] sampai dengan pesawat
berhenti. Landing Field Length untuk pesawat
hasil rancangan adalah sebesar 6000 [ft].

2.2.2.2 Kecepatan Approach


Kecepatan approach merupakan kecepatan
pesawat pada saat ketinggian 35 [ft] dari runway
saat ingin mendarat. Kecepatan approach dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
VA=LFL0.3
Dari persamaan tersebut keceptan approach
dipengaruhi oleh koefisien 0.3. Koefisien ini

20 | P a g e
diperoleh dari data-data statistik pesawat FAR 25.
Sehingga diperoleh kecepatan approach pesawat
hasil rancangan sebesar 142 [kts].
2.2.2.3 Kecepatan Stall Pada Saat Mendarat
Kecepatan stall pada saat mendarat dapat
diperoleh dengan menggunakan persamaan
berikut:
VS=VA1.3
Sehingga diperoleh besarnya kecepatan stall
sebesar 109 [kts].
2.2.2.4 Wing Loading Pada Saat Mendarat
Wing Loading pada saat mendarat untuk pesawat
hasil rancangan dapat diperoleh dengan
menggunakan persamaan berikut:
(W/S)L=40.09 CLmax
Persamaan tersebut merupakan persamaan atur
untuk wing loading pada pesawat supersonic.
2.2.2.5 Wing Loading Pada Saat Tinggal Landas
Wing loading pada saat tinggal landas dapat
diperoleh dengan menggunakan formula berikut:
(W/S)TO=47.16 CLmax
Hasil perhitungan wing loading pada saat tinggal
landas dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL 2.4
PERHITUNGAN PERSYARATAN MENDARAT

Clmax
1.8 1.9 2 2.1 2.2
landing

21 | P a g e
(W/S)TO 84.90311 89.61995 94.33679 99.05363 103.7705

Perhitungan tersebut menggunakan maksimum


landing weight sebesar 45% dari maksimum take
off weight.

2.2.3 Perhitungan Gaya Hambat Polar Awal


2.2.3.1 Berat Take-Off (WTO)
Berdasarkan proses iterasi (estimasi berat awal)
pada perhitungan berat dieroleh berat take-off
pesawat sebesar 72500 [kg] atau 160000 [lbm].
2.2.3.2 Persamaan Drag Polar
Gaya hambat polar untuk pesawat hasil
rancangan dapat diperoleh dengan mengikuti
persamaan berikut:
CD=CD0+CL2πAe
CD=0.00875+0.10704 CL2
2.2.3.3 Penambahan Gaya Hambat
Penambahan gaya hambat bervariasi terhadap
konfigurasi fase penerbangan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL 2.5
PENAMBAHAN GAYA HAMBAT
Konfigurasi ∆CD0 e (bilangan oswald)
Flap tinggal landas 0.023 0.8
Flap mendarat 0.06875 0.75

22 | P a g e
Drag Polar pesawat adalah:
• Gear up, take-off flaps CD=0.023+0.1327 CL2
• Gear down, take-off flaps CD=0.06875+0.1415
CL2
2.2.4 Persyaratan Regulasi Untuk Terbang Pada
Kecepatan Rendah
Regulasi dari FAR 25 untuk terbang pada kecepatan
rendah yang dipilih adalah FAR 25.121 OEI (one engine
inoperating).
2.2.5 Perhitungan (T/W)req Pada Persyaratan
Kecepatan Jelajah
Perhitungan mengenai persyaratan terbang pada
kecepatan jelajah dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL 2.6
PERHITUNGAN PERSYARATAN TERBANG JELAJAH MAKSIMAL
(W/S)TO (T/W)req (T/W)TO
20 20 0.5973
40 40 0.303061
60 60 0.206941
80 80 0.160352
100 100 0.133574
120 120 0.116703
140 140 0.105492
160 160 0.097819
180 180 0.092504
200 200 0.08884
220 220 0.086378

2.2.6 Pemilihan Titik Desain


Pemilihan titik desai didasarkan pada kurva (T/W)TO vs
(W/S)TO sebagai barikut:

23 | P a g e
Gambar 2.5: Matching Chart

Berdasarkan kurva (T/W)TO vs (W/S)TO, maka dipilih titik


desain sebagai berikut:

TABEL 2.7
PEMILIHAN TITIK DESAIN
WTO 100045 lbm
(T/W)TO 0.57
T 57025 lbm
(W/S)TO 104
S 962 ft2
AR 3
B 54 ft
L/D max 8
CL max cruise 0.12
CL max TO 1.2
CL max L 2.2
MLW 45 % MTOW

2.3 Pemilihan Sistem Propulsi


Berdasarkan kebutuhan Thrust yang diperoleh dari matching
chart maka engine yang dipilih adalah JT8D-217/217A UNITED

24 | P a g e
TECHNOLOGY CORP. Pratt & Whitney Large Comercial Engines,
East Hartford, CT, USA, Spesifikasi mesin tersebut yaitu:

TABEL 2.8
DATA ENGINE
Engine Type Turbofan
Thrust 20850 [lbm]
SFC 0.51 [lb/lbf.hr]
Diameter 49.2 [inch]
Length 154.1 [inch]
Weight 4470 [lbm]

Konfigurasi engine yang dipilih adalah tiga engine yang masing-


masing memberikan thrust sebesar 20850 [lbm]. Sehingga tiga
engine akan memberikan total thrust sebesar 62550 [lbm].

DAFTAR PUSTAKA
Raymer, Daniel p. Aircraft Design: Conseptual Approach. AIAA
Education Series, California: 1989.
Roskam, Dr. Jan. Airplane Design Part I – VII. Roskam Aviation
and Engineering Coorporation, Kansas: 1989.

25 | P a g e
26 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai