Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Ilmu ekonomi dan antropologi ekonomi adalah dua disiplin ilmu yang

berbeda dalam mempelajari gejala pertukaran. Ilmu ekonomi mengkaji dan

mempelajari pertukaran apabila pertukaran itu menggunakan mekanisme uang,

sedangkan antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya lebih banyak

berurusan dengan gejala pertukaran tradisional yang tidak menggunakan

mekanisme uang. Pertukaran yang tidak menggunakan uang tersebut banyak

terdapat pada masyarakat tradisional, misalnya pertukaran hadiah (gift exchange),

perdagangan kula, dan potlatch. Kurangnya perhatian ahli antropologi terhadap

gejala pertukaran yang menggunakan mekanisme uang dipengaruhi oleh kondisi

awal perkembangan antropologi ekonomi itu sendiri, dimana antropologi pada

saat itu menaruh perhatian kepada masyarakat tradisional dan pedesaan dengan

sistem perekonomian subsisten1 mereka.

Studi antropologi ekonomi, melihat pertukaran sebagai gejala kebudayaan

yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi

juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial (Dalton dalam

Sairin,2001;39).

Antropologi ekonomi menempatkan gejala pertukaran sebagai persoalan

yang berdimensi luas, akan tetapi seperti yang diuraikan di awal disiplin ilmu ini

pada mulanya kurang menaruh perhatian kepada pertukaran yang menggunakan


1
Pengertian Subsisten, menurut Wharthon (19..;..) ada dua, yaitu sebagai tingkat hidup dan sebagai suatu
bentuk perekonomian. Pengertian pertama menggambarkan suatu kondisi ekonomi yang berfungsi sekedar
untuk dapat bertahan hidup, sedangkan pengertian kedua merupakan suatu sistem produksi yang hasilnya
untuk kebutuhan sendiri, tidak dipasarkan, sedangkan11 kalau ada produksi yang dipasarkan tidak
dimaksudkan untuk keuntungan komersil.
Universitas Sumatera Utara
mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Kondisi tersebut saat ini mulai

berubah, para ahli antropologi ekonomi mulai menaruh perhatian kepada

permasalahan atau gejala pertukaran yang menggunakan mekanisme uang (pasar).

Perhatian ini dirasa perlu sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi

tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat.

Masuknya antropologi ekonomi ke dalam penelitian yang berorientasi pasar

bukanlah berarti antropologi mengurusi permasalahan-permasalahan ekonomi

pasar sepenuhnya. Antropologi tetap pada tugasnya yaitu menganalisa dimensi-

dimensi sosial budaya yang muncul pada proses ekonomi pasar tersebut. Hal ini

dilakukan karena ilmu ekonomi cendrung mengabaikan variabel-variabel sosial

budaya dalam menganalisis permasalahan ekonomi (Dalton dalam

Sairin,2001;40).

Beranjak dari pernyataan tersebut kemudian penulis merasa tertarik untuk

melihat dan membahas lebih jauh gejala-gejala sosial budaya terutama gejala

pertukaran yang ada di salah satu lembaga ekonomi yang menggunakan

mekanisme uang (pasar), yaitu lembaga ekonomi syari’ah.

Lembaga ekonomi syari’ah adalah lembaga ekonomi yang dalam

operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip dan aturan ajaran Islam. Lembaga

ini kemudian dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu lembaga ekonomi keuangan

Bank dan lembaga ekonomi keuangan bukan bank. Lembaga keuangan Bank

seperti Bank Syari’ah, dan lembaga keuangan syari’ah bukan bank seperti baitul

maal, pegadaian syari’ah, asuransi syari’ah dan juga koperasi syari’ah

(www.dakwatuna.com).

12
Universitas Sumatera Utara
Ada hal menarik dalam sistem ekonomi syari’ah yang di praktikkan oleh

lembaga ekonomi syari’ah, pada dasarnya sistem ekonomi syari’ah tersebut

memiliki tujuan yang sama yaitu pemerataan distribusi kekayaan. Islam memang

tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam juga

tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Sebab Islam memandang

individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya

secara menyeluruh.

Sebagai buktinya, banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang memerintahkan

manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir,

miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj (22): 28; al-Baqarah (2): 177,

184, 215; al-Insan (76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah (5): 89. Al-Quran

menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt.

berfirman:

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-
minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS adz-Dzariyat
(51): 19).

Islam juga mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-

orang kaya, sementara kelompok lainnya (miskin) tidak memperoleh bagian.

Allah Swt. berfirman:

Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya


saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme

penyaluran kekayaan. Pertama: mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi

akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya

13
Universitas Sumatera Utara
(http://hayanmahdi.multiply.com/journal/item/9). Di antara dalil absahnya

mekanisme ini adalah firman Allah Swt.:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta


sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa’ [4]:
29).

Tidak sekadar diizinkan Islam juga menggariskan berbagai hukum yang

mengatur mekanisme ini, antara lain adanya larangan berbagai praktik yang

merusak mekanisme pasar. Islam melarang praktik penimbunan barang (al-

ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat

langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya,

namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan

perak, hal ini sesuai dengan dalil yang ada pada Al-Qur’an, dimana Allah

berfirman : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak

menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa

mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S.9:34). Kedua logam mulia itu

dalam mekanisme pasar berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange), oleh

karenanya sebagai alat tukar (emas dan perak) memiliki kedudukan sangat

strategis. Akibatnya, jika emas dan perak ditarik dari pasar akan berakibat pada

sulitnya pertukaran barang dan jasa atau bahkan terhentinya kegiatan

perekonomian.

Praktik penipuan juga berdampak buruk, baik penipuan pada komoditas dan

alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy).

Praktik curang itu juga akan menciptakan ketimpangan harga, karena pada

14
Universitas Sumatera Utara
umumnya seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada

unsur kesetaraan. Itulah sebabnya, harga barang ditentukan oleh kualitas barang,

namun akibat praktik at-tadlîs yakni menutupi keburukan atau cacat pada

komoditas serta menampakkannya seolah-olah baik barang yang seharusnya

berharga murah itu melonjak harganya. Demikian pula al-ghabn al-fâhisy

(penipuan harga), pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan

transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Hal ini menyebabkan,

penjual atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah

atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan harga yang

tidak stabil.

Apabila berbagai hukum (baik itu larangan dan perintah) itu dipraktikkan,

akan tercipta pasar yang benar-benar bersih dan baik. Produsen yang

menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi barang yang

benar-benar berkualitas, bukan dengan jalan menimbun dan menipu yang

akhirnya merugikan pihak lain.

Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang

tersingkir dari mekanisme pasar itu dengan berbagai sebab, seperti cacat fisik

maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit,

tertimpa musibah, dan sebagainya. kondisi yang demikian menyebabkan mereka

tidak bisa ‘menjual’ sesuatu, maka mereka pun tidak bisa memperoleh hasil

(pendapatan). Padahal kebutuhan primer mereka tetap harus dipenuhi,

pertanyaannya dari manakah mereka memperoleh pendapatan?

15
Universitas Sumatera Utara
Itulah sebabnya untuk menjawab pertanyaan tadi Islam memberikan solusi,

di samping mekanisme pasar Islam juga menyediakan mekanisme kedua: yaitu

mekanisme nonpasar, yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari

transaksi pertukaran barang dan jasa

(http://hayanmahdi.multiply.com/journal/item/9). Barang dan jasa mengalir dari

satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme ini

diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Hadirnya

mekanisme tersebut, diharapkan akan membantu mereka yang kurang mampu

dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, mereka diharapkan

dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan modal

dari mekanisme nonpasar itu.

Aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar cukup banyak

dalam Islam, contohnya adalah zakat, dan pinjaman (qardh), dan qardhul hasan.

Islam mewajibkan orang kaya membayar zakat, zakat itu kemudian disalurkan

kepada orang yang berhak dimana sebahagian besarnya adalah orang-orang

miskin dan membutuhkan pertolongan. Selain zakat, ada juga infak dan sedekah

yang disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap

pengembalian (imbalan). Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat termasuk pula

pembagian harta waris (http://hayanmahdi.multiply.com/journal/item/9). Adanya

dua mekanisme itulah (yaitu mekanisme pasar dan nonpasar) yang dapat

menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap umat Islam.

16
Universitas Sumatera Utara
Mengingat banyaknya lembaga syari’ah yang ada, maka penelitian ini

nantinya akan difokuskan pada salah satu lembaga syari’ah dan lembaga syari’ah

yang menjadi pilihan penulis adalah lembaga koperasi syari’ah. Dipilihnya

koperasi syari’ah sebagai fokus penelitian bukanlah tanpa alasan, alasan yang

pertama koperasi merupakan salah satu lembaga yang paling cocok dengan

semangat Undang-undang dasar 1945, alasan kedua yang melatarbelakanginya

adalah koperasi khususnya syari’ah di kota Medan mulai menunjukkan

perkembangan yang berarti, alasan ketiga adalah sistem yang dipakai di setiap

lembaga ekonomi syari’ah adalah sama yaitu sistem ekonomi Islam yang

sumbernya Al-Qur’an dan As-Sunnah.

I.2. Rumusan Masalah

Dari Uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut maka penelitian

ini akan memfokuskan penelitian mengenai gejala pertukaran di lembaga koperasi

syari’ah yaitu pada saat koperasi syari’ah melaksanakan kegiatan operasionalnya,

karena pada saat kegiatan operasional inilah dijumpai mekanisme pasar dan non-

pasar.

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan

gambaran mengenai prosesi pertukaran yang terjadi di koperasi syari’ah, di mana

pertukaran tersebut menjadi suatu kekuatan yang menjadikan koperasi syari’ah

berjalan dengan baik dan menjadi harapan perbaikan kondisi ekonomi para

anggotanya.

17
Universitas Sumatera Utara
I.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah memberikan

sumbangan pengetahuan bagi semua pihak, kemudian diharapkan hasil dari

penelitian ini menjadi referensi bagi dunia antropologi dalam memahami koperasi

syari’ah dan perekonomian serta hubungannya dengan antropologi ekonomi.

Penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan analisis bagi pemerintah untuk

menata dan mengembangkan konsep ekonomi syari’ah yang berbasis masyarakat.

I.5. Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dibatasi hanya pada proses pertukaran yang berlangsung di

koperasi syari’ah. Proses pertukaran tersebut akan penulis lihat pada kegiatan

operasional yang dilaksanakan di koperasi syari’ah, dan penulis akan

menghubungkannya dengan beberapa teori pertukaran yang ada pada tinjauan

pustaka.

Untuk mempermudah penelitian ini penulis memilih lokasi penelitian di

sekitar kota Medan, lebih khususnya lagi peneliti melakukan kajian pada koperasi

syari’ah yang berada di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara yaitu Koperasi

Syari’ah Berkah Mandiri (KSBM). Ada tiga alasan utama mengapa penelitian ini

dilakukan pada satu koperasi saja, alasan pertama adalah mempermudah fokus

kajian penelitian, yang kedua adalah pada prinsipnya penerapan aturan syari’ah di

setiap koperasi syari’ah adalah sama karena sumber utama dari aturan tersebut

adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang ketiga adalah koperasi ini merupakan

satu-satunya koperasi di Sumatera Utara yang didirikan dan dikelola oleh

mahasiswa.

18
Universitas Sumatera Utara
I.6. Tinjauan Pustaka

Perhatian para ahli antropologi terhadap berbagai macam sistem mata

pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat

tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan

suatu suku bangsa secara holistik. Berbagai sistem tersebut adalah : (i) berburu

dan meramu; (ii) beternak; (iii) bercocok tanam di ladang; (iv) menangkap ikan;

dan (v) bercocok tanam menetap dengan irigasi (Koentjaraningrat,2000;358).

Koentjaraningrat (2000) lebih lanjut menyatakan saat ini kondisi tersebut

mulai mengalami perubahan, para ahli antropologi mulai menaruh perhatian

terhadap penelitian mengenai soal anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah

tangga yang biasanya terlupakan oleh para ahli ekonomi. Akhir-akhir ini ada pula

beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli antropologi terhadap aktivitas-

aktivitas perdagangan di kota, yang terkadang meliputi daerah distribusi yang

luas, tetapi biasanya para ahli antropologi membatasi diri terhadap aktivitas

perdagangan yang berdasarkan volume modal yang terbatas. Ahli antropologi di

Indonesia sekarang juga ada yang mempelajari pedagang kaki lima, atau para

pedagang pasar. Berangkat dari hal itulah kemudian penulis berkeinginan

menambah referensi mengenai aktivitas perdagangan yang ada di kota, namun

memiliki volume modal yang terbatas dan pilihannya jatuh kepada lembaga

koperasi syari’ah yang ada di kalangan mahasiswa dan masyarakat kota, terutama

yang kegiatan operasionalnya berpusat pada golongan ekonomi menengah ke

bawah.

19
Universitas Sumatera Utara
Ilmu ekononomi dan antropologi ekonomi merupakan dua hal yang berbeda.

Ilmu ekonomi hanya berurusan dengan pertukaran yang menggunakan mekanisme

uang. Antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya, lebih banyak

berurusan dengan gejala pertukaran tradisional yang tidak menggunakan

mekanisme uang (Sairin,2001:38).

Studi antropologi ekonomi melihat pertukaran sebagai gejala kebudayaan

yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi

juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial (Dalton dalam

Sairin,2001;39).

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Marcell Mauss (1992),

menurutnya sistem tukar menukar merupakan suatu sistem yang menyeluruh

(total system) dimana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di

dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Setiap

pemberian dalam tukar menuukar tersebut harus dikembalikan dalam suatu cara

khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-

habisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian

barang yang telah diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah

diterima karena bersamaan dengan pemberian tersebut adalah nilai kehormatan

dari kelompok yang bersangkutan, apa yang saling dipertukarkan dilihat oleh

Mauss sebagai sebuah prestasi.

Saling tukar-menukar pemberian prestasi, yang biasanya terwujud sebagai

saling tukar-menukar pemberian hadiah, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1.

pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian itu

20
Universitas Sumatera Utara
diterima tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan adat kebiasaan yang

berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada saat yang sama, maka namanya

barter, 2. pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang

sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai

nilai sedikit lebih tinggi dari hadiah yang diterima atau setidak-tidaknya nilainya

sama, 3. benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam

nilai harfiahnya, tetapi sebagai mana atau prestasi (Mauss dalam

Suparlan,1992;xx).

Homans dalam bukunya “Elementary forms of Social Behavior,1974

mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan

yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu

memperoleh imbalan, makin cendrung orang tersebut menampilkan tindakan

tertentu tadi”. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan

tertentu akan berulang jika disertai dengan imbalan

(http://meiliemma.wordpress.com/2008/01/27/teori-pertukaran-sosial/ 10/08/2009 10:52).

Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin

tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan

perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran

sosial adalah “distibutive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah

imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan

dengan prinsip tersebut berbunyi “seseorang dalam hubungan pertukaran dengan

orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak

sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tinggi

21
Universitas Sumatera Utara
pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh

setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin

tinggi keuntungan (http://meiliemma.wordpress.com/2008/01/27/teori-pertukaran-sosial/

10/08/2009 10:52).

Masih seputar proses pertukaran, dalam kajian ilmu antropologi ekonomi

berbagai pertukaran yang terdapat dalam masyarakat tradisional yang tidak

menggunakan uang tersebut sering diungkapkan dengan istilah resiprositas dan

redistribusi (Sairin,2001;39).

Menurut Sahlins (Dalam Sairin,2001), ada tiga macam resiprositas, yaitu :

resiprositas umum (generalized resiprocity), resiprositas sebanding (balanced

resiprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity). Resiprositas yang

terakhir ini, yaitu resiprositas negatif sebenarnya kata lain dari sistem pertukaran

pasar atau jual beli. Berikut penjelasan ringkas mengenai tiga macam resiprositas

tersebut.

1. Resiprositas Umum
Resiprositas umum ini berarti individu atau kelompok memberikan barang

dan jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu

pengembalian. Resiprositas umum ini tidak mengenal hukum-hukum yang dengan

ketat mengontrol seseorang untuk memberikan atau mengembalikan. Moral saja

yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas

umum sebagai kebenaran dan tidak boleh dilanggar.

Sistem resiprositas umum dapat menjamin individu-individu terpenuhi

kebutuhannya pada waktu mereka tidak mampu membayar atau

mengembalikannya secara langsung atas apa yang mereka terima dan pakai.

22
Universitas Sumatera Utara
Sistem ini biasanya berlaku di lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan

kerabat yang dekat (Swartz dan Jordan dalam Sairin,2001;50).

Resiprositas umum pada masyarakat industri tetap berlaku dikalangan orang

yang sekerabat, namun resiprositas yang cocok untuk masyarakat tersebut adalah

resiprositas simbolik. Resiprositas simbolik merupakan suatu adat kebiasaan

memberi atau menerima sebagai sarana untuk menjalin hubungan persahabatan

semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan

ekonomi.

Resiprositas umum pada masyarakat sederhana cenderung memusat di

kalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat, pada masyarakat

agraris resiprositas umum antarkerabat sangat penting sebab mereka terikat oleh

harta warisan yang merupakan sumber mata pecaharian hidup mereka.

Dalam koperasi syari’ah hal ini dapat kita lihat nantinya pada proses

mudharabah (sistem bagi hasil).

2. Resiprositas Sebanding

Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan

mempunyai nilai yang sebanding, kemudian disertai pula dengan perjanjian kapan

pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan.

Ciri resiprositas sebanding yaitu adanya norma-norma, aturan-aturan, atau

sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan

transaksi. Ciri lainnya adalah keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas

berada di tangan masing-masing individu dan individu-individu yang melakukan

kerja sama resiprositas tidak mau rugi. Fungsi resiprositas sebanding adalah

23
Universitas Sumatera Utara
membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus

mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Resiprositas sebanding ini

dapat kita lihat nantinya di koperasi syari’ah pada saat terjadinya transaksi

murabahah (jual beli) dan musyarakah (kerjasama dalam hal modal).

3. Resiprositas Negatif
Dalam sejarah ekonomi, resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang

muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan

kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang

(Nash, 1966), contohnya disini adalah hilangnya budaya gotong royong yang

diganti dengan sistem uang (Sairin,2001;49-63). Resiprositas sering dinilai

sebagai bentuk pertukaran yang manusiawi jika dibandingkan dengan pertukaran

pasar, prinsip kekeluargaan dan kesetiakawanan merupakan bukti dari hal

tersebut. Wajah resiprositas yang bersifat manusiawi itu, dilain pihak sering

dipakai para politisi untuk memobilisasi sumber daya dalam masyarakat.

Masuknya sistem ekonomi uang inilah yang dimaksudkan dengan resiprositas

negatif, atau dengan kata lain resiprositas negatif adalah resiprositas yang sudah

terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar.

Lain resiprositas lain lagi redistribusi, redistribusi berarti suatu proses

perpindahan hak dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu kelompok ke

kelompok yang lain, biasanya yang berpindah adalah barang dan jasa

(Sairin,2001;68). Hal yang membedakan redistribusi dan resiprositas adalah pada

hal pelaksanaannya, dimana redistribusi memang murni penyaluran suatu barang

24
Universitas Sumatera Utara
atau jasa tanpa ada maksud apa-apa di balik penyaluran barang dan jasa tersebut

sedangkan resiprositas masih ada unsur balas jasa dalam hal pelaksanaannya.

Contoh lain dalam sistem pertukaran ini adalah seperti apa yang pernah

digambarkan oleh Malinowsky, ketika meneliti sistem perdagangan kula pada

masyarakat Trobriand. Sistem kula terebut pada dasarnya adalah sistem barter

atau pertukaran, yang memperebutkan Sulava (kalung-kalung kerang yang beredar

ke satu arah mengikuti arah jarum jam) dan Mwali (gelang-gelang kerang yang

beredar berlawanan dengan arah jarum jam), yaitu dua buah benda yang sangat

tinggi nilainya di mata penduduk Trobriand (Koentjaraningrat,1987 ;164-165).

Sistem pertukaran lain yang sempat populer dan menjadi bahan penelitian

antropologi adalah potlatch. Dalam kamus istilah antropologi potlatch adalah

pesta adat orang Indian di daerah barat laut Amerika Utara dimana dipamerkan

harta kekayaan sebagai tanda gengsi yang kemudian dibagi-bagikan atau dirusak

(Koentjaraningrat,dkk,2005;194-195). Perkataan potlatch dalam bahasa Inggris-

Amerika dapat dihubungkan dengan pesta atau berdagang, di mana dalam

pengertian terakhir tercakup juga pengertian jual dengan harga, tetapi dalam arti

teknis antropologi perkataan tersebut menunjukkan suatu pranata yang kompleks

dari pengumpulan dan penyebaran kekayaan barang-barang upacara yang

diketemukan dalam berbagai bentuk diantara kelompok-kelompok budaya yang

berada di Pantai Barat laut Amerika Utara (Cyril S. Belshaw,1981;26-27).

Penyebaran kekayaan itulah yang sebenarnya juga ada di dalam koperasi

syari’ah, karena dengan motif ekonomi dan sosialnya, tujuan koperasi sendiri

nantinya adalah mensejahterakan anggotanya, dan kesejahteraan anggota koperasi

25
Universitas Sumatera Utara
syari’ah didapatkan karena adanya proses penyebaran kekayaan atau lebih

tepatnya pendistribusian kekayaan.

Koperasi berasal dari kata cooperation (Inggris), secara sederhana koperasi

berarti kerja sama. Kata koperasi mempunyai padanan makna dengan kata syirkah

dalam bahasa arab. Syirkah ini merupakan wadah kemitraan, kerja sama,

kekeluargaan, baik dan halal yang sangat terpuji dalam Islam. Menurut Bahasa

koperasi didefinisikan sebagai wadah perkumpulan (asosiasi) sekelompok orang

untuk tujuan kerjasama dalam bidang bisnis yang saling menguntungkan di antara

anggota perkumpulan (Muhammad,2007;93).

Bibit koperasi di Indonesia tumbuh di Purwokerto pada tahun 1896 yang

dipelopori oleh seorang pamong praja bernama R.Aria Wiria Atmaja yang

mendirikan sebuah bank yang diberi nama “Hulph-en Spaar Bank” (Bank

Pertolongan dan Simpanan). Bank itu dimaksudkan untuk menolong para priyayi

(pegawai negeri) yang terjerat hutang pada lintah darat. Fungsi utama dari bank

itu adalah meminjamkan dana kepada para pegawai negeri atau usaha ini

semacam koperasi simpan pinjam pada saat itu (Anoraga dalam Atozisochi

Daeli,2002:10-11).

Pengertian dari Koperasi menurut Undang-Undang No.25 tahun 1992 adalah

suatu badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau kumpulan dari beberapa

koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluargaan (Modul Pelatihan Koperasi,2005;3). Tidak berbeda

dengan koperasi umum, koperasi syari’ah juga memiliki pengertian yang sama.

26
Universitas Sumatera Utara
Syari’ah sendiri mengandung arti ajaran atau tuntunan hukum agama (Muhammad

Ali,1994;388).

Oleh karena itu secara garis besar koperasi syari’ah memiliki aturan yang

sama dengan koperasi umum, namun yang membedakannya adalah produk-

produk yang ada di koperasi umum diganti dan disesuaikan nama dan sistemnya

dengan tuntunan dan ajaran agama Islam. Sebagai contoh produk jual beli dalam

koperasi umum diganti namanya dengan istilah murabahah, produk simpan

pinjam dalam koperasi umum diganti namanya dengan mudharabah (Modul

Pelatihan Koperasi,2005;68). Tidak hanya perubahan nama, sistem operasional

yang digunakan juga berubah, dari sistem konvesional (biasa) ke sistem syari’ah

yang sesuai dengan aturan Islam.

Ada tiga Landasan koperasi syari’ah yaitu: koperasi syari’ah berlandaskan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, koperasi syari’ah berazaskan

kekeluargaan, koperasi syari’ah berlandaskan syari’ah Islam yaitu Al-Qur’an dan

As-Sunnah dengan saling tolong menolong dan saling menguatkan

(http://www.koperasisyariah.com/category/koperasi-syariah/page/2, 10/08/2009 10:37).

Ada dua prinsip dasar pada koperasi syari’ah, yaitu:

A. Koperasi syari’ah menegakkan prinsip-prinsip ekonomi Islam, sebagai

berikut:

1. Kekayaan adalah amanah Allah SWT yang tidak dapat dimiliki oleh

siapapun secara mutlak;

2. Manusia diberi kebebasan dalam mu’amalah selama tidak melanggar

ketentuan syari’ah;

27
Universitas Sumatera Utara
3. Manusia merupakan wakil Allah dan pemakmur di bumi;

4. menjunjung tinggi keadilan serta menolak setiap bentuk ribawi dan

pemusatan sumber dana ekonomi pada segelintir orang atau

sekelompok orang saja.

B. Koperasi syari’ah dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan pada

prinsip-prinsip syari’ah Islam sebagai berikut:

1. Keanggaotaan bersifat sukarela dan terbuka;

2. Keputusan ditetapkan secara musyawarah dan dilaksanakan secara

konsisten dan konsekuen;

3. Pengelolaan dilakukan secara transparan dan profesional;

4. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil, sesuai dengan

besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

5. Pemberian balas jasa modal dilakukan secara terbatas dan

profesional menurut sistem bagi hasil;

6. Jujur, amanah, dan mandiri;

7. Mengembangkan sumber daya manusia, sumber daya ekonomi dan

sumber daya informasi secara optimal;

8. Menjalin dan menguatkan kerjasama diantara anggota, antar koperasi

dan atau lembaga lainnya.

(http://www.koperasisyariah.com/category/koperasi-syariah/page/2)

Perbedaan lain antara koperasi syari’ah dengan koperasi biasa terletak dalam

hal bunga, dimana koperasi syari’ah tidak memakai sistem bunga melainkan

28
Universitas Sumatera Utara
memakai sistem bagi hasil. Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan sistem

bunga dan bagi hasil ini akan diterangkan pada bab selanjutnya.

Saat ini koperasi syari’ah di Indonesia berdiri semakin kokoh, hal ini

dilandasi oleh keluarnya keputusan menteri (Kepmen) Koperasi dan UKM

Republik Indonesia Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 10 September

2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan

Syariah. Harapan dikeluarkannya keputusan ini adalah untuk memacu semangat

pertumbuhan koperasi yang berbasis syari’ah sehingga dapat membantu

pertumbuhan ekonomi negara ini.

I.7. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang

nantinya bersifat deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan di

lapangan antara lain :

I.7.1. Teknik Observasi

Teknik observasi ini dilakukan peneliti untuk mengamati kondisi umum dari

kegiatan ekonomi di perkoperasian, baik itu proses pada saat koperasi ini dirintis,

maupun sesudah koperasi tersebut terbentuk dan menjalankan kegiatan

operasionalnya. Kegiatan operasional tersebut antara lain proses transaksi, proses

konsultasi dan kegiatan-kegiatan umum yang dilakasanakan oleh koperasi selama

jam kerja. Proses operasional tersebut akan didokumetasikan menggunakan alat

bantu kamera dan diharapkan dengan bantuan kamera tersebut peneliti dapat

29
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan kondisi umum yang terjadi di koperasi pada saat terjadinya interaksi

antara para pegawai koperasi dengan para mitra atau nasabahnya.

I.7.2. Teknik Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh keterangan dari anggota

mengenai pengalaman mereka selama bergabung di koperasi, sehingga nantinya

akan membantu penulis dalam mengungkapkan dan menggambarkan proses

pertukaran pada koperasi syari’ah. Penulis juga ingin mengetahui sejauhmana

sebenarnya manfaat yang sudah dirasakan para anggota terhadap berdirinya

koperasi tersebut, apakah sebanding atau sama balasan dari koperasi atas

pengorbanan yang dilakukan anggota untuk kemajuan koperasi begitu juga

sebaliknya apakah yang telah diberikan koperasi untuk anggota juga sudah

menjadikan para anggota tersebut loyal kepada koperasi, dan apakah dengan

adanya koperasi tersebut dapat menjadi solusi bagi pembangunan perekonomian

para nasabah (anggotanya).

Informan yang penulis wawancarai dibagi kepada tiga tingkatan, yaitu

informan pokok, informan kunci dan informan biasa. Informan pokok dalam

penelitian ini adalah ketua koperasi, Informan kunci dalam penelitian ini adalah

para pengurus koperasi dan para pendiri koperasi syari’ah, sedangkan informan

biasa dalam penelitian ini adalah para anggota biasa Koperasi Syari’ah Berkah

Mandiri.

30
Universitas Sumatera Utara
I.7.3. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan diperlukan penulis untuk mengetahui beberapa konsep

dasar yang berkenaan dengan koperasi syari’ah, dan konsep dasar inilah yang

akan dipergunakan dalam melakukan penelitian ke lapangan. Fungsi lainnya studi

kepustakaan ini akan digunakan sebagai bahan tambahan dalam melengkapi

laporan hasil penelitian di lapangan.

I.7.4. Analisa Data

Setiap data maupun informasi yang telah diperoleh di lapangan nantinya

akan diteliti kembali , hal ini dilakukan untuk melihat kelengkapan hasil dari

wawancara atau observasi dan menyesuaikan jawaban yang satu dan yang lainnya.

Setelah itu akan disusun secara sistematis dan dikelompokkan berdasarkan

kategori atau item-item masalah yang telah ditetapkan. Analisa yang dilakukan

secara kualitatif, proses akhir dalam kegiatan ini adalah pendesainan penulisan

sehingga menghasilkan sebuah karya ilmiah yang saling berkaitan dan terintegrasi

antara satu data dengan data yang lainnya.

31
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai