Anda di halaman 1dari 6

Potret Dunia di Tengah Krisis: Neoliberalisme Menindas Rakyat Miskin

Ditulis oleh: M. Helmi Rosyadi

Pendahuluan: Krisis Kapitalisme


Saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk meninjau kembali tema-tema besar seperti krisis global, ekonomi
neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan. Kini, di tengah krisis kapitalisme global, tiba-tiba mengemuka isu ekonomi
kerakyatan. Ini adalah gambaran betapa krisis ekonomi hebat 1997-1998 dan 2008-2009 saat ini betul-betul berdampak
keras, disamping semakin banyaknya jumlah kaum miskin di Indonesia dan semakin tingginya kesenjangan sosial antara
kaum kaya yang semakin kaya dan mayoritas kaum miskin yang terus membesar jumlahnya. Ketidakpuasan akan
ketidakadilan sistemik mulai meluas dan semakin disadari banyak pihak. Dan biang kerok dari semua itu kini disadari
adalah dari paradigma neoliberal tersebut.
Krisis saat ini mengingatkan orang akan krisis 1997-1998, yang dipicu oleh aktor-aktor spekulan keuangan global. Kalau
krisis 10 tahun yang lalu melanda negara-negara emerging markets terutama di Asia, kini terjadi di Amerika Serikat,
yang dengan cepat melanda negara-negara Eropa. Krisis yang semula hanya krisis kredit perumahan kelas dua, kini
berubah menjadi krisis sektor keuangan hebat yang menghancurkan para agen-agen keuangan raksasa, dan yang telah
berubah menjadi krisis sektor riil.
UNCTAD, sebuah organisasi PBB di bidang perdagangan dan pembangunan, pada tanggal 7 Oktober 2008
mengeluarkan pernyataannya yang menilai krisis ini sebagai hasil dari inovasi keuangan besar-besaran yang lalu berubah
menjadi “senjata penghancur massal keuangan”, mengutip istilah milyarder Warren Buffet, yang menyebabkan
terjadinya apa yang dinamakan sebuah “krisis abad ini”. Menurut UNCTAD, adanya sistem rekayasa keuangan modern
yang canggih kini terbukti merupakan kesalahan besar, karena hampir semua aktor di setiap tahap rekayasa keuangan,
telah terjangkit eforia akan mendapat keuntungan besar, sehingga melupakan risiko terjadinya gagal bayar dari para
pengutang.
Rekayasa keuangan tanpa aturan yang ketat ini sebenarnya sudah berlangsung lama di AS. Ini adalah hasil dari
disahkannya Gramm-Leach-Bliley Act tahun 1999 oleh Kongres AS yang didominasi Republik dan disahkan menjadi
UU oleh Bill Clinton untuk mengganti Glass-Steagall Act tahun 1933 yang menetapkan berbagai peraturan yang
membatasi industri keuangan setelah depresi besar tahun 1929.
Glass-Steagal Act ini melarang sebuah perusahaan keuangan untuk bermain di berbagai layanan keuangan, terutama
tidak dibolehkan menjadi sebuah bank investasi dan sekaligus bank komersial, maupun sekaligus bank asuransi. Hal ini
yang sekarang dilabrak oleh deregulasi mazhab neoliberal, terutama lewat operasi keuangan baru semacam hedge funds
dan private equity fund. Korporasi-korporasi keuangan kini bermain sekaligus sebagai bank komersial, bank investasi
serta bank asuransi tanpa kontrol siapapun.
UNCTAD juga mengatakan bahwa argumen dari para fundamentalis pasar yang menolak regulasi atas pasar keuangan
dan menyatakan bahwa pasar akan mampu mendisiplinkan tingkah laku para pelaku keuangan dan perbankan secara
efektif, nyatanya terbukti gagal. Kini negara lah yang harus kembali turun tangan mengatasi akibat-akibat pasar yang tak
terkendali ini.
Kini, dunia benar-benar dilanda resesi dimana pertumbuhan ekonomi yang didewa-dewakan tak kunjung datang. Dunia
juga dilanda deflasi, yaitu barang-barang yang diobral murah tetap tak laku karena banyak orang sudah tidak punya
uang. Di lain pihak, stimulus dan dana talangan yang diberikan, bisa jadi menguap entah kemana. Karena itu
Presiden Obama marah-marah, karena ternyata AIG membagikan bonus kepada para eksekutifnya sebesar hampir US$
7 milyar, sementara AIG ditalangi penuh oleh pemerintah.
Pertemuan G-20 yang merupakan pertemuan kelompok ekonomi besar, baik dari negara-negara pusat (center) maupun
negara-negara pinggiran (periferi), yang digagas sejak tahun 1999 untuk meredam krisis keuangan, diadakan kembali di
London tanggal 2 April 2009. G-20 seringkali dianggap sebagai “Bretton Woods” baru (Konperensi Bretton Woods
di New Hampshire tahun 1944 yang menghasilkan Bretton Woods Institutions (BWIs): Bank Dunia, IMF dan GATT).
Akan tetapi sebagaimana dikatakan Walden Bello, sangat kontras perbedaan antara G-20 sekarang dengan Konperensi
Bretton Woods. G-20 hanya berlangsung 1 hari, sedangkan Konperensi Bretton Woods selama 21 hari kerja penuh;
G-20 bersifat eksklusif dan mengatasnamakan 172 negara lainnya di dunia yang bukan anggota, dengan Konperensi
Bretton Woods yang diikuti 44 negara di tengah-tengah situasi perang; serta Konperensi Bretton Woods menghasilkan
institusi-institusi baru yang mengatur dunia pasca-perang, sementara G-20 hanya mendaur-ulang institusi-institusi yang
sudah gagal, yaitu G-20 sendiri, Financial Stability Forum (FSF), Bank of International Settlement dan Basel-II, dan
IMF (yang sudah 65 tahun umurnya). Beberapa lembaga itu dilahirkan oleh G-7 setelah krisis Asia 1997, yang mantra-
mantranya terbukti gagal, yaitu: capital control itu jelek untuk negara berkembang; short-selling atau aksi spekulasi itu
adalah operasi pasar yang sah; dan bahwa transaksi derivatives itu menyempurnakan pasar.
Semuanya ternyata kini adalah sumber dari krisis. Karena itu Bello menyatakan sambil menyindir, “institutions that
were part of the problem are now being asked to become the central part of the solution. Unwittingly, the G20 are
following Marx’s maxim that history first repeats itself as tragedy, then as farce”. Pertemuan G-20 kembali
memperlihatkan keengganan negara-negara besar untuk menjawab masalah krisis secara mendasar. Baik proposal AS
untuk memberikan stimulus besar-besaran maupun proposal Perancis dan Jerman untuk melakukan pengaturan
lembaga-lembaga keuangan; dua-duanya tidak menjawab masalah dasar krisis, yaitu semakin amburadulnya tatanan
kapitalisme global neoliberal itu sendiri. Yang diperlukan adalah upaya perubahan fundamental.
Salah satu upaya G-20 adalah mencegah terjadinya proteksionisme di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang
semakin menurun atau bahkan negatif. Gordon Brown, PM Inggris, dalam kunjungan persiapan menjelang KTT G-20
di London, menyatakan, “One of the messages that must come from next week’s summit is that we will reject
protectionist countries, we will monitor those countries and name and shame if necessary countries that are not
following free trade practices”. Pernyataan ini mengulang-ulang kembali pengkambing-hitaman neoliberal atas
proteksionisme. Tapi pertanyaan lebih mendasar: siapa yang sesungguhnya proteksionis? Ini sama saja dengan maling
teriak maling. Sebagaimana kita ketahui bersama, justru negara-negara maju G-20 yang saat ini tanpa malu-malu
melakukan berbagai upaya proteksionisme, seperti “buy American product” dan “buy French product”. Belum lagi kita
ketahui bersama, bahwa sengketa di WTO yang tidak terselesaikan sampai sekarang lewat Putaran Doha adalah
keengganan atau ketidakmauan AS dan Uni-Eropa untuk memotong atau menghapus subsidi-subsidi domestik dan
ekspor mereka, yang membuat barang-barang mereka menjadi jauh lebih murah dari barang-barang negara lain.
Dengan keadaan ini, kita tahu bahwa negara-negara kapitalisme maju masih memainkan lagu lama mereka, yaitu
“proteksionisme baik untuk diri sendiri, dan free trade baik untuk dipaksakan ke negara-negara lain”. Ini adalah prinsip
klasik yang penting untuk diketahui guna memahami argumen pengelabuan yang diputarbalikkan untuk mengecam
proteksionisme yang sebenarnya baik dan mempromosikan perdagangan bebas yang sebenarnya jahat. Dan kini, mereka
tidak bisa lagi lari dari krisis yang mereka buat sendiri, yang justru diakibatkan oleh kapitalisme neoliberal yang sebebas-
bebasnya dan anarkis. Kaum neoliberal mirip para perampok yang saling berkelahi memperebutkan harta benda hasil
rampokan sambil menyalahkan para korban yang membela diri dari perampokan tersebut dan tanpa malu bersikeras
membenarkan situasi kacau dari perampokan tersebut.
Masalah Dasar: Penindasan Neoliberalisme
Apa Itu Neoliberalisme
Untuk memahami globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu memahami neoliberalisme. Inilah ideologi
mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut
Margaret Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, neoliberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek
negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO. neoliberal tidak
lain adalah antitesa welfare state, antitesa neoklasik, dan antitesa Keynesian. Dengan kata lain antitesa kaum liberal
sendiri, yaitu liberal baru atau kaum kanan baru (new rightist).
Sejarah neoliberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek (1899-1992) yang bisa
disebut sebagai pencetus neoliberal. Hayek terkenal juga dengan julukan ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah
Milton Friedman, pencetus monetarisme.
Kala itu adalah masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh John Maynard Keynes. Keynesian
dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi besar tahun 1929-1930. Terutama, setelah diadopsi oleh
Presiden Roosevelt dengan program “New-Deal” maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah
Perang Dunia ke-II, Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu terkenal
sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian. Dasar pokok dari ajaran Keynes adalah
kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan ekonomi. Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah
mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih
besar. Dalam bukunya yang terkenal di tahun 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Katanya,
“Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan
perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu bersesuaian dengan kepentingan umum”. Keynesianisme masih
tetap menjadi dominant economy sampai tahun 1970-an.
Sementara itu, neoliberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan sudah merasa gelisah dengan
mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan semacam neoliberal sama sekali tidak populer. Meskipun begitu
mereka membangun basis di tiga universitas utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan
Institut Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang kemudian
setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neoliberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin, Pertemuan mereka yang pertama
di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh bankir-bankir Swiss.
Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan terkemuka, Fortune, Newsweek dan
Reader’s Digest. Lembaga ini merupakan “semacam freemansory neoliberal, sangat terorganisir baik dan berkehendak
untuk menyebarluaskan kredo kaum neoliberal, lewat pertemuan-pertemuan internasional secara reguler”. Pandangan
neoliberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah “The Road to Serfdom” (Jalan ke
Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku tersebut kemudian menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di
Reader’s Digest di tahun 1945. Ada kalimat di dalam buku tersebut: “Pada masa lalu, penundukan manusia kepada
kekuatan impersonal pasar merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban; sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa
itu. Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam membangun sesuatu yang lebih
besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami”. Neoliberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan
kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari
pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan
pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu akan dapat
memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk
memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat
tidak perlu ditransmisikan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka neoliberal juga tidak percaya
pada serikat buruh atau organisasi masyarakat lainnya.
Dengan demikian, neoliberal secara politik terus terang membela politik otoriter. Ini ditunjukkan oleh Hayek ketika
mengomentari rejim Pinochet di Chili, “Seorang diktator dapat saja berkuasa secara liberal, sama seperti mungkinnya
demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensi personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang
memilih pemerintahan demokratis yang tidak punya liberalisme”. Demokrasi politik, menurut neoliberal, dengan
demikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam
transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat.
Bahkan, salah seorang pentolan neoliberal, William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau
banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila
terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, mereka memilih untuk mengorbankan
demokrasi.
Salah satu benteng neoliberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ antara tahun 1950 sampai
1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya. Karena itu, mereka juga terkenal sebagai “Chicago
School”. Buku Friedman adalah “The Counter Revolution in Monetary Theory”, yang menurutnya, telah dapat
menyingkap hukum moneter yang telah diamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum ilmu
alam. Friedman percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan demikian,
neoliberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Pertumbuhan
konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-mata dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan
individu atas dasar kebebasan memilih dan persaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi
pada segelintir kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neoliberal. Karenanya, demokrasi ekonomi tidak ada di dalam
agenda kaum neoliberal.
Pandangan kaum neoliberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka anti terhadap welfare state
(negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi. Tetapi mengapa mereka bisa berjaya sekarang? Susan George
menjawab bahwa mereka berasal dari sebuah kelompok kecil rahasia dan mereka sangat percaya pada doktrin tersebut,
yang kemudian dengan bantuan para penyandang dananya, membangun jaringan yayasan-yayasan internasional yang
besar, lembaga-lembaga, pusat-pusat riset, berbagai publikasi, para akademisi, para penulis, serta humas yang
mengembangkan, mengemas dan mempromosikan ide dan doktrin tersebut tanpa henti. Kata Susan, “Mereka
membangun kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya karena mereka memahami apa yang disampaikan oleh
pemikir marxis Itali Antonio Gramsci ketika ia berbicara tentang konsep hegemoni kultural. Bila kamu dapat menguasai
kepala orang, maka hati dan tangan mereka akan ikut”.
Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah Anthony Fisher, seorang pengusaha sukses yang kemudian
mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA) pada tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya.
Tujuan lembaga ini adalah “menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai lembaga
pendidikan mapan lainnya”. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada Margaret Thatcher, seperti
dikatakan Milton Friedman, “Tanpa adanya IEA, maka saya meragukan akan bisa terjadi revolusi Thatcherite”. Salah
satu koran yang menjadi corong neo-Liberal di Inggris adalah The Daily Telegraph. Lembaga lain juga didirikan, yaitu
Centre for Policy Studies (CPS) di tahun 1974 yang sangat berpengaruh kepada para politisi di Inggeris. IEA kemudian
melahirkan Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976. Kerjasama mereka dengan Heritage Foundation, didirikan di
Washington tahun 1973 oleh lulusan LSE “guna membuat hal yang sama bagi politik Amerika yang dilakukan oleh CPS
kepada politik Inggeris”. Anthony Fisher kemudian menjadi presiden pertama dari lembaga Fraser Institute di Kanada
di tahun 1974. Di tahun 1977, ia mendirikan International Centre for Economic Policy Studies di New York, di mana
salah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang kemudian menjadi Direktur CIA.
Tahun 1979, Fisher mendirikan Institute for Public Policy di San Francisco. Fisher juga terlibat dalam mendirikan
Centre for International Studies (CIS) di Australia, dimana direkturnya, Greg Lindsay, merupakan kontibutor penting
berkembangnya ide pasar bebas di politik Australia. Dalam rangka memudahkan mengelola berbagai lembaga tersebut,
Fisher mendirikan Atlas Economic Research Foundation yang menyediakan struktur kelembagaan pusat, yang di tahun
1991 mengklaim membantu, mendirikan, dan membiayai sekitar 78 lembaga serta mempunyai hubungan dengan 81
lembaga lainnya, di 51 negara. Ketika tembok Berlin rubuh, maka banyak personelnya yang pindah ke Eropa Timur
guna “merubah ekonomi-ekonomi yang sakit menjadi kapitalisme”.
Para ekonom neoliberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di tahun 1974, Hayek
dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1976. Juga Maurice Allais,
seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal
mulai berkibar. Sejak itu pula seluruh paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal,
termasuk ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO).
D e n g a n demikian, Margaret Thatcher menjadi pengikut dari Hayek, sedangkan murid dari Friedman adalah Ronald
Reagan. Inilah yang menghantar neoliberal menjadi ekonomi mainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan
Reaganomics. Thatcher sebenarnya adalah seorang socialdarwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan
kemudian menjadi salah satu pengikutnya. Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi-kompetisi di antara
negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu. Kompetisi adalah
keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi dalam pasar bebas pasti baik dan
bijaksana. Kata Thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk terus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa
bakat dan kemampuan diberikan jalan keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu
khawatir ada yang tertinggal dalam persaingan kompetitif karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan
tetapi, ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada semua orang. Hasilnya,
di Inggris, sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup di bawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang
dianggap miskin; dan satu anak dari tiga anak dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk
memperlemah kekuatan serikat buruh.
Dengan privatisasi atas sektor publik, Thatcher sekaligus memperlemah serikat-serikat buruh di perusahaan-perusahaan
publik yang merupakan terkuat di Inggris. Dari tahun 1979 sampai 1994, jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang
menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%). Pemerintah juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar
pajak) untuk menghapus hutang dan merekapitalisasi perusahaan publik sebelum dilempar ke pasar. Contohnya,
perusahaan air minum mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untuk
membuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta. Demikian pula di Amerika, kebijakan neoliberal Reagan telah
membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang. Selama dekade 1980an, 10% teratas meningkat
pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar
50%. Ini berkebalikan dengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke titik nadir,
kehilangan pendapatan 15%.
Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang dunia ketiga, paham neoliberal menjadi paham kebijakan badan-
badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO. Tiga poin dasar neoliberal dalam multilateral ini adalah: pasar
bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu, kredo neoliberal telah
memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard
dari neoliberal, yaitu: deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum mafia Berkeley yang dulu
neoklasik, kini juga berpindah paham menjadi neoliberal. Sekarang ini praktis kredo neoliberal telah dipeluk oleh
pemerintah Indonesia dari masa ke masa. Menteri-menterinya juga satu paham dengan IMF, Bank Dunia dan ADB.
Kejahatan Korporasi dan Rejim Keuangan
Sangat menarik melihat terungkapnya skandal Madoff. Bernard Madoff adalah pemilik perusahaan sekuritas investasi
Bernard L. Madoff Investment Securities LLC, yang telah berdiri sejak tahun 1960, disamping juga sebagai hedge fund.
Madoff kini dijuluki sebagai penipu terbesar abad ini. Ia memang benar-benar penipu super komplet dari kapitalisme
global. Madoff ditangkap pada 11 Desember 2008 dengan tuduhan mengadakan penipuan besar-besaran sebesar US$
50 milyar dengan “skema Ponzi”. Skema Ponzi adalah semacam investasi yang membayarkan keuntungan besar kepada
para investornya, yang sesungguhnya berasal dari uang yang dibayarkan oleh investor lainnya yang bergabung
belakangan. Para investor percaya karena pembayarannya terus dilakukan tanpa ada masalah. Lagipula Madoff adalah
orang terhormat dalam jajaran kapitalisme. Ia adalah bekas ketua bursa saham Nasdaq, dan sampai sekarang masih
menjabat anggota salah satu komite Nasdaq OMX Group. Madoff juga pernah menjadi anggota S&EC (Securities and
Exchange Commission), badan pengawas usaha di AS. Perusahaannya termasuk pemimpin pasar dari 350 bursa
Nasdaq, dimana di dalamnya termasuk perusahaan besar semacam Apple, EBay dan Dell. Ketika bursa saham
berjatuhan, dan para investornya meminta balik uangnya, ia tidak bisa lagi membayari seluruh nasabahnya. Terbukalah
kedok Madoff yang sebenarnya. Ini sungguhsungguh kejadian yang tak masuk di akal tapi benar-benar terjadi di dalam
sistem kapitalisme.
Madoff mungkin kasus ekstrim dari kejahatan korporasi yang membuat malu kalangan kapitalis. Akan tetapi,
sebenarnya, kegiatan dan operasi korporasi-korporasi besar kaum kapitalis di seluruh dunia tidak jauh beda dengan
skandal Madoff. Kapitalisme didasarkan atas skema penipuan, terutama penipuan terhadap tenaga kerja. Akan tetapi
penipuan tersebut dilegalkan sebagai cara produksi yang sah dan menutup kritik. Dalam perkembangannya, khususnya
di Dunia Ketiga, kapitalisme melakukan penipuan yang lebih besar lagi, yaitu lewat teori pertumbuhan ekonomi dan
teori “trickle down effects”. Hasilnya, sejak dijalankannya teori tersebut sebagai teori pembangunan sampai sekarang
(globalisasi), hampir sebagian besar penduduk dunia tertipu mentah-mentah. Pertumbuhan ekonomi dan PDB yang
bersifat agregat nyatanya berasal dari pertumbuhan korporasi-korporasi yang diklaim sebagai pertumbuhan bersama.
Teori “kueh yang dibesarkan dulu baru dibagi” atau “tetesan ke bawah” nyatanya hanya skema penipuan. Korporasi-
korporasi tumbuh besar, dan hanya sebagian kecil yang dibagikan ke rakyat lewat proyek kehumasan CSR (corporate
social responsibility) atau dana-dana sosial yang tidak ada artinya. Dalam banyak kasus, mereka tidak memberikannya ke
rakyat tapi dipakai untuk membayar “ekonomi biaya tinggi” yang merupakan dana untuk pembayaran rente, suap dan
biaya lobby dengan para pejabat/birokrat pemerintah.
Perdagangan Bebas
Modus operandi yang sekarang paling banyak dipakai untuk ekspansi kapitalisme neo-liberal adalah melalui
perdagangan bebas. Perjanjian Perdagangan Bebas di tingkat multilateral (diikat oleh banyak negara) dikenal sebagai
WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Trade and Tariff),
sementara di tingkat bilateral dan kawasan (regional) disebut sebagai FTA (Free Trade Agreement). Perdagangan bebas
sebenarnya adalah penyebab krisis. Dengan FTA, setiap negara yang terikat FTA harus meliberalisasi pasar mereka agar
terbuka sepenuhnya untuk dimasuki barang dan jasa (terutama sektor keuangan) dari luar. Dengan WTO dan FTA,
dilestarikanlah penjajahan tidak langsung. Kalau kita ingat diktum perdagangan masa lalu yang menyatakan “if goods
can not enter the boundaries, soldier does”; maka pada saat ini tidak diperlukan lagi invasi tentara asing demi
meluaskan perdagangan, tetapi cukup dilakukan lewat perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Dengan perjajian ini,
Indonesia sudah diikat leher, tangan dan kakinya untuk menurut pada kepentingan ekspansi pasar global.
Seluruh strategi pembangunan ekonomi di sebuah negara sekarang dihapus dan diganti oleh perjanjian perdagangan
bebas. Lagi-lagi, Indonesia adalah contoh klasik bagaimana sebuah negara dipreteli atau dilucuti kedaulatan ekonominya
lewat IMF, sehingga sejak 1998 Indonesia tidak punya lagi Repelita dan GBHN, yang artinya tidak punya lagi strategi
dasar pembangunan ekonomi. Sejak itu, perencanaan diserahkan sepenuhnya pada ketentuan dan kemauan pasar bebas.
Ditambah lagi amandemen ke-4 UUD 45 tahun 2002 yang memasukkan kata ‘efisiensi’ dalam pasal 33 dan menghapus
penjelasan UUD 45. Seluruh UU sektoral, sejak itu, juga dirubah menjadi UU yang neoliberal dan ramah pasar. Lalu
dengan terikat kepada WTO sejak 1994 dan FTA (pertamakali lewat AFTA tahun 2002, China-ASEAN FTA tahun
2004 dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007), perlahan tapi pasti Indonesia dibuka lebar-lebar bagi invasi ekonomi
asing. Tidak perlu lagi invasi tentara asing. Cukup memasukkan segala ketentuan perdagangan bebas dan pasal-pasal
neolliberal ke dalam semua hukum positif kita maka habislah sudah kedaulatan ekonomi kita.
Sejak krisis 1997-1998 hingga krisis 2008-2009 sekarang ini, Indonesia terus-menerus memelihara krisis, karena
penyebab krisis tetap dipertahankan. Rejim devisa bebas dan sistem keuangan yang sangat liberal menyebabkan
Indonesia terus berada dalam cengkeraman krisis. Liberalisasi oleh IMF yang sifatnya sebagai pembuka pintu, kini
dikunci ke dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Aturan-aturan perdagangan barang (dan pertanian), jasa,
investasi, HAKI, belanja pemerintah, kebijakan kompetisi, fasilitasi perdagangan terus masuk dalam berbagai FTA.
Di tingkat ASEAN sudah dibuat payungnya bernama AEC (ASEAN Economic Community) yang memayungi semua
perjanjian perdagangan bebas. Didalamnya ada AFTA yang sekarang menjadi ATIGA (ASEAN Trade in Goods
Agreement), AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) dan ACIA (ASEAN Comprehensive Investment
Agreement). Di tingkat FTA sudah ada ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Jepang FTA, Indonesia-
Jepang EPA, dan ASEAN-Australia/NZ FTA. Sedang dirundingkan pula FTA dengan India, FTA dengan Uni-Eropa,
FTA dengan AS, FTA dengan EFTA (European Free Trade Area) yang non-Uni-Eropa, dan lainnya. Semua ini
mengarah kepada “single market and production base” serta “free flow of goods, capital, services, and skilled labor”.
Indonesia adalah pasar terbesar di ASEAN, tetapi tunduk penuh pada kepentingan negara liberal yang kecil seperti
Singapura. Dengan rejim perdagangan bebas ini, maka pasar kita yang besar dan usaha-usaha perekonomian kita
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Tidak ada yang tersisa untuk rakyat.
Keditaktoran Rejim Orba dan Ekonom Neoliberal (ortodoks)
Dalam konteks di Indonesia, kapitalisme neoliberal beroperasi lebih jahat dan lebih brutal. Kapitalisme global
(neoliberal) kawin dengan otoriterisme, militerisme, renteisme, mafioso, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Hasilnya adalah sebuah “Kapitalisme primitif ala Indonesia”. Marx bicara tentang kapitalisme primitif yang
menggunakan cara-cara ekstra ekonomi sebagai tahap awal ke arah kapitalisme modern. Di Indonesia, kapitalisme
primitif tidak beranjak ke kapitalisme modern karena cara-cara ekstra ekonomi terus dilestarikan. Singkatnya,
kapitalisme neoliberal yang kawin dengan rejim orde baru menghasilkan Kapitalisme pinggiran-birokrat-komprador
yang tidak beradab dan terbelakang.
Pemerintahan saat ini secara substantif masihlah orde baru. Jadi orde reformasi itu hanya bohong-bohongan, kepura-
puraan; karena sampai sekarang yang berkuasa tetap rejim orba. Rejim sekarang tepat bila disebut sebagai rejim orba
jilid-2 atau neo-orba. Rejim neo-orba ini adalah regenerasi dan reproduksi dari sebelumnya. Mengapa disebut rejim neo-
orba? Karena rejim ini masih berdiri di atas dasar-dasar orba, yaitu partai-partai politik milik elit-elit orde baru; TNI
tetap dominan dan tidak tersentuh hukum; konglomerat kroni orba tidak tersentuh hukum; kerjasama erat dengan para
korporasi multinasional (TNC) yang masih menguasai Indonesia; serta berkuasanya Bank Dunia, IMF, ADB, WTO dan
lainnya dalam perumusan dan pengambilan kebijakan.
Disamping itu adalah kuatnya cengkeraman mafia berkeley–istilah untuk ekonom-ekonom orba yang menjaga rejim
sistem ekonomi neoliberal di Indonesia. Tidak heran kalau alm. Prof. Mubyarto menyampaikan kecamannya terhadap
ekonom-ekonom neoliberal tersebut:
“Selama pakar-pakar ekonomi Indonesia yang ke-barat-baratan dan menganut paham neoliberal tidak mengakui
kekeliruan-kekeliruan ini, dan terus-menerus bersikukuh menyarankan dan menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi
konvensional yang terlalu tunduk pada hukum-hukum ekonomi global-neoliberal, yang jelas-jelas lebih menguntungkan
negara-negara industri maju, dan merugikan ekonomi rakyat kita, maka selama itu pula ekonomi nasional Indonesia akan
tetap rapuh, dan pembangunan nasional yang menyejahterakan rakyat tidak akan terwujud”.

Bahkan Kwik Kian Gie, Menko Perekonomian di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang mengecam para ekonom
neoliberal itu, mengatakan secara blak-blakan:
“Dalam setiap jaman selalu ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan dengan senang
hati menyediakan dirinya untuk melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan
rakyatnya sendiri. Dalam bidang ekonomi, kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan
nasional maupun internasional. Mereka adalah mafia berkeley. ... Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama jaman
orde baru. Dalam era pemerintahan Abdurrahman Wahid, mereka melekatkan diri melalui pembentukan berbagai dewan
penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan dipaksakan kepada Abdurrahman Wahid oleh kekuatan-
kekuatan internasional. Dalam era pemerintahan Megawati, mereka bahkan mengendalikan banyak Eselon I dan II dari
semua departemen dengan organisasi tanpa bentuk yang rapi bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada
Presiden Megawati, tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa bentuk pula, tetapi de
facto yang berkuasa atas bagian-bagian penting dari birokrasi resmi. Bagaimana caranya? Slogan para komprador itu
adalah bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras.
Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun
juga untuk melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual
kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya liberalisasi
total, globalisasi total, dan asingisasi total.

Arthur MacEwan, “The Greed Fallacy”, September 18, 2008, dalam http://www.dollarsandsense.org/blog/
Lihat Walden Bello, U-20: Will the Global Economy Resurface? A Perspective on the G-20 “Solution” to the Global Financial
Crisis, dalam website global research, http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=13004
Brown to urge G20 to fight protectionists, AFP, dalam Lihat dalam Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of
Global Finance, Pluto Press, 1999, hlm. 178-182; Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998, hlm. 36-39.
Susan George, “A Short History of Neoliberalism”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal Malhotra (ed.), Global Finance:
New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, Zed Books, 2000, hlm. 28-29.
Ted Wheelwright, “How neo-Liberal Ideology Triumphed”, Third World Resurgence, No. 99/1998, hlm. 11-12.
Susan George, Ibid., hlm. 29-31.
“Bernard Madoff arrested over alleged $50 billion fraud”, oleh Edith Honan, Dan Wilchins Edith Honan dan Dan Wilchins – Fri
Dec 12, 12:40 am ET Reuters, di http://news.yahoo.com/s/nm/20081212/bs_nm/us_madoff_arrest
Prof. Mubyarto, Semangat Sumpah Pemuda Menggugat Budaya NeoLiberal, Jurnal Ekonomi Rakyat, dalam
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_2.htm diakses tanggal 18 Mei 2006
Kwik Kian Gie, “Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa’, tulisan dalam rangka memperingati 100 tahun Bung
Hatta, 19 Agustus 2002, hlm. 4.

Anda mungkin juga menyukai