Anda di halaman 1dari 59

I.

ISLAM, HUKUM ISLAM DAN RUANG LINGKUP


A. PENGERTIAN ISLAM
Agama Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh para nabi
berdasarkan Wahyu dari Allah Swt yang disempurnakan dan diakhiri
dengan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan
Rasul terkahir.
Istilah Islam sebagai Dienul terdapat dalam al Qur’an Surat Al Imran
ayat 19.
Kaum Orientalis mengatakan yang dimaksud Islam is not merely a
Religion. It is also a way of life and a whole civilization. ( Islam bukan
hanya sebuah agama saja, Islam juga merupakan gaya dan cara hidup
bermasyarakat , bernegara serta mempunyai peradaban yang lengkap).
Ciri-ciri Dienul Islam
1. Mempunyai hubungan yang erat dengan agama-agama sebelumnya,
2. Mengajarkan Ketauhidan (Keesaan ),
3. Keseimbangan antara dunia dan akhirat,
4. Fleksibel dan rasional,
5. Tidak terbatas pada ibadah ritual,
6. Tidak memisahkan agama dan Ilmu,
7. Memberikan kebebasan berpikir

Ruang Lingkup Dienul Islam


Islam terdiri dari :
1. Aqidah, yang berarti kepercayaan Islam, yang merupakan pokok-
pokok agama Islam ( Ushul Ad –din )
Hal ini sering disebut dengan istilah Rukun Iman yaitu :
1) Iman Kepada Allah Swt
2) Iman Kepada para Malaikat
3) Iman Kepada para Nabi dan Rasul

1
4) Iman Kepada Kitab-Kitab Allah Swt
5) Iman Kepada Hari Akhir
6) Iman Kepada Qadha dan Qadar

2. Syariah
Menurut loghat berarti jalan, maksudnya jalan ke mata air atau jalan
yang harus dituruti. Demikian pentingnya syariat bagi umat Islam seperti
pentingnya jalan ke mata air bagi orang Arab.
Syariat terdiri atas :
1) Ibadah Mahdah ( Rukun Islam) mengatur hubungan manusia dengan
Khalik-Nya.
2) Muamalah , mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan benda. ( Siasyah (politik), muamalat
(ekonomi), Fiqh (hukum), social, budaya, pertahanan teknologi, dan
lain-lain ).

3. Akhlak meliputi :
1) Akhlak Kepada Allah Swt
2) Akhlak Kepada para Malaikat
3) Akhlak Kepada para Nabi dan Rasul
4) Akhlak Kepada sesama Manusia
5) Akhlak Kepada diri sendiri
6) Akhlak Kepada Lingkungan terdiri atas :
a. Pelestarian Alam meliputi :
1) Akhlak Kepada Air
2) Akhlak Kepada Tumbuhan
3) Akhlak Hewan
b. Masalah Perburuan

B. PENGERTIAN FIKIH, SYARI’AH DAN HUKUM ISLAM

2
Di kalangan para penulis tentang Hukum Islam sering dikatakan
bahwa pengertian “ Syari’ah “ sama ( sinonim ) dengan pengertian Fiqh
, sedang pengertian “ Syari’ah “ pada masa sekarang lebih luas daripada
pengertian fiqh.
Dalam perkembangannya lebih lanjut pengertian Hukum Islam
di negara-negara mayoritas beragama Islam misalnya di Indonesia
banyak yang mengaktualisasikan Hukum Islam dalam pengertian
Syari’ah diambil menjadi Hukum positif ( hukum yang berlaku pada suatu
tempat pada suatu waktu tertentu ). Salah satunya dibentuk peraturan
perundang-undangan
Untuk itu akan diuraikan pengertian Fiqh, Syariah dan Hukum Islam
dari para Ahli .

1. Pengertian Fiqh.
Menurut etimologi ( bahasa ), fiqih adalah paham, seperti pernyataan
saya paham pelajaran itu. Arti ini antara lain sesuai dengan arti fiqh
dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang
artinya :
“ Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik di sisi-
Nya, niscaya diberikan kepadanya pemahaman ( yang mendalam )
dalam pengetahuan ilmu agama “
menurut terminologi , fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan
yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak,
maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti Syari’ah Islamiyah.
Namun pada perkembangan selanjutnya . Fiqh diartikan sebagai bagian
dari Syari’ah Islamiyah , yaitu pengetahuan tentang hukum Syari’ah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa
dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Masih banyak definisi fiqh lainnya yang dikemukakan para ulama,
ada yang mendefinisikan sebagai himpunan dalil yang mendasar
ketentuan hukum Islam. Ada pula yang menekankan bahwa fiqh adalah

3
hukum Syari’ah yang diambil dari dalilnya. Namun demikian pendapat
yang menarik untuk dikaji adalah pernyataan Imam Haramain bahwa fiqh
merupakan pengetahuan hukum Syara’ dengan jalan ijtihad. Demikian
pula pendapat Al-Amidi’ bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan
hukum dalam fiqh adalah melalui kajian dari penalaran ( nadzar dan
istidhah ). Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad ( kajian ), tetapi
bersifat dharuri, seperti shalat lima waktu wajib, zina haram fiqh., dan
masalah-masalah qath’i lainnya tidak termasuk fiqh Hal itu
menunjukkan bahwa fiqh bersifat ijtihad atau zhanni. Pada perkembangan
selanjutnya, istilah fiqh sering dirangkaikan dengan kata Al-Islami
sehingga terangkai Al-Fiqh Al Islami, yang sering diterjemahkan dengan
hukum Islam yang memiliki cakupan sangat luas, Pada akhirnya para
ulama fiqh membagi fiqh menjadi beberapa bidang salah satunya fiqh
dusturiyah ( hukum tata negara ) . Jadi dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fiqh bagian dari Syari’ah . Syari’ah bagian dari ajaran
Islam. Sedangkan Syari’ah meliputi bidang Siasyah ( politik ), Muamalah
( ekonomi ), Fiqh ( hukum ) dan lain-lain

2. Pengertian Syari’at Islam.


Pengertian Syari’at Islam sering disamakan dengan pengertian
fiqh, dan hukum Islam. Kertiganya memang sama-sama merupakan jalan
yang berasal dari Allah, tetapi dari perkembangan sejarah Islam,
ketiganya telah mengalami diferensiasi makna. Syari’at Islam secara
umum adalah keseluruhan teks al-Qur’an dan as Sunnah sebagai
ketentuan Allah yang seharusnya menjadi pegangan hidup manusia.
Abdullah Yusuf Ali menyebutkan sebagai “ the right Way of Religion
“ ( jalan agama yang benar ) sebagian dari jalan tersebut menyangkut
hubungan khusus antara individu dan Allah dan sebagian menyangkut
pengaturan antar individu dalam kehidupan masyarakat. Bagian yang
kedua , sebagiannya memerlukan kekuasaaan negara untuk menjamnin
pelaksanaannya dan sebagian lagi mernyangkut norma akhlak etika, dan

4
lain-lain yang diserahkan kepada ketaatan indvidu. Dengan demikian
Syari’at Islam lebih luas dari fiqh
Sejalan dengan itu. Mohammad Daud Ali berpendapat yang
dimaksud dengan Syari’at atau ditulis syari’ah., secara harfiah adalah
jalan ke sumber
(mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syari’at
merupakan jalan hidup muslim .
Syari’at memuat ketetapan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-
Nya, baik berupa larangan maupun suruhan meliputi seluruh aspek hidup
dan kehidupan manusia. Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at merupakan
hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam
berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak , baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan benda
dalam masyarakat. Dengan kata lain mempunyai hubungan vertikal atau
yang disebut dengan hablumminallah dan hubungan horisontal yang
disebut dengan hablumminannas.
3. Pengertian Hukum Islam.
Masalah pengertian Hukum Islam penulis akan mencoba
mengemukakan pendapat dari para ahli dan hasil Loka karya Hukum
Islam di Jakarta sebagai berikut :
M.C. Donald memberi batasan tentang Hukum Islam adalah
Islamic of Law science of allthing human and divine artinya bahwa Hukum
Islam adalah keseluruhan Ilmu Pengetahuan yang membahas tentang
Ilmu ketuhanan dan kemanusian.
Sedangkan Ahmad Rofiq dan Hasby ash-Shiddieqy sebagai pakar
Syari’ah dan Guru besar Syari’ah berpendapat :
Ahmad Rofiq mengatakan bahwa Hukum Islam sebagai suatu
produk kerja intelektual, perlu dipahami tidak hanya terbatas pada fiqh.
Persepsi yang tidak proposional dalam memandang eksistensi Hukum
Islam sering melahirkan kekeliruan persepsi baru dalam mmemandang

5
perkembangan atau perubahan yang terjadi dalam Hukum Islam itu
sendiri.
Selain Fiqh, setidaknya ada tiga produk pemikiran Hukum Islam, yaitu
fatwa, Keputusan pengadilan, dan perundang-undangan. Pemahaman
yang tidak proporsional tersebut misalnya, ia dipahami hanya sebagai fiqh
saja, maka kesan yang akan diperoleh adalah bahwa Hukum Islam
mengalami stagnasi atau jumud dan tidak memiliki kesanggupan untuk
menjawab tantangan perubahan.
Hasby ash-Shiddieqy mengatakan Hukum Islam adalah koleksi
daya upaya ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan
masyarakat.

Loka Karya Hukum Islam di Jakarta Tahun 1975 berpendapat


bahwa Hukum Islam adalah Fiqih muammalat dalam arti luas yakni
pengertian manusia tentang kaidah-kaidah ( norma )
kemasyarakatann yang bersumber kepada
1) Al Qur’an,
2) Al hadist
3) Akal manusia.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam itu
bersumber pada Wahyu Allah Swt ( Al Qur’an ) , Al Hadist dan pemikiran-
pemikiran manusia yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Al
Hadist.

C. KARETERISTIK HUKUM ISLAM


Hukum Islam mempunyai kareteristik yang berbeda dengan Hukum

Barat dan Hukum Adat.. Karakteristik tersebut adalah :

6
1. Robbaniah
Hukum Islam itu bukan buatan manusia , tetapi merupakan wahyu
Allah Swt. Dasar hukumnya dapat dilihat dalam Al Qur’an Surat Al
Haqqah ayat 40-43.
2. General ( Syanil Mutakamil )
Artinya Hukum Islam tidak hanya membahas Ibadah Ritual saja ,
akan tetapi juga membahas masalah Aqidah , Muammamlat ,dll .
Dasar hukumnya dalam Al- Q ur’an surat Ad Dzariyat ayat 56 .
3. Universal ( Insaniyyah Alamiyah )
Hukum Islam tidak terbatas wilayah , suku ras ,dll . Dasar hukumnya
dapat dilihat dalam Al Qur’an surat Al Hujarat ayat 10-13
4. Orisinil dan Abadi ( Tsabat )
Hukum Islam telah dijamin oleh Alloh SWT sampai akhir zaman akan
tetap stabil tidak akan hilang dan terpengaruh apapun. Hal ini dapat
kita temukan dalam Al Qur’an Surat Al Hijr ayat 9.
5. Mudah dan Tidak Mempersulit ( Al Basathah )
Hukum Islam diterapkan kepada manusia tidak untuk membebani
manusia itu sendiri, sebagai mana Alloh SWT berfirman “ Allah tidak
membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya “ . Dasar
Hukumnya dapat dilihat Dalam Al- Qur’an Surat Al Baqarah ayat
185 dan ayat 286 .
6. Mengutamakan Kemaslahatan / Kepentingan masyarakat
Dalam Hukum Islam kepentingan masyarakat banyak lebih
diutamakan daripada kepentingan individu dan kepentingan golongan
atau kepentingan kelompok.
7. Sanksinya Rangkap / Ganda
Berbeda dengan Hukum, Hukum Islam dalam pelaksanaannya
mengenal sanksi yang rangkap artinya setiap tindak pidana yang
dilakukan akan mendapat balasan /ganjaran di dunia dan akhirat,
tidak seperti hukum yang sanksinya hanya dijatuhkan di dunia saja
(oleh negara sebagai lembaga yang berwenang )

7
8. Persamaan dan Keadilan.
Dalam Hukum Islam juga dikenal istilah Equality before the law yang
artinya bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
yang sama , begitu juga dengan masalah keadilan , Apalagi masa
sekarang adanya Hak Asasi Manusia ( HAM ).
Sedangkan Mohammad Daud Ali berpendapat bahwa ciri-ciri
hukum Islam sebagai berikut :
1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan
dari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.
3. Mempunyai dua istilah kunci (a) syari’at dan (b) fiqih.
4. Terdiri dari dua bidang utama yakni (a) ibadah dan (b) muamalah.
5. Strukturnya berlapis terdiri dari (a) nash atau teks Al-Qur’an (b)
Sunnah Nabi Muhammad SAW (c) hasil ijtihad manusia yang
memenuhi syarat tentang wahyu dan Sunnah (d) pelaksnaannya
dalam praktik (i) berupa keputusan hakim, maupun (ii) berupa amalan-
amalan umat Islam dalam masyarakat.
6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amalan dari pahala.
7. Dapat dibagi menjadi (a) hukum taklif yakni al-ahkam al-
khamsah yaitu lima hujum yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib dan
haram (b) hukum wadh’i yang mengandung sebab, syarat, halangan
terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.
Menurut H.A. Djazuli selain kareteristik di atas ciri hukum Islam
dalam prakteknya yang berbentuk peraturan perundang-undangan dapat
dikategorikan sebagai berikut :
1. Dalam perkembangan lebih lanjut , Kareteristik Hukum Islam dalam
bentuk peraturan perundang-undangan ada yang bersifat Universal.
Pengertian Universal artinya bahwa Hukum Islam materinya dapat
dibentuk dalam bentuk umum ( tidak berlebel Islam ), dimana
berlakunya dapat diberlakukan kepada seluruh warga Negara,
misalnya masalah perjudian , narkoba, Miras dan lain-lain.

8
2. Di samping yang bersifat Universal , ada juga kareteristik Hukum
Islam yang bersifat Identitas ( ciri khas ), artinya walaupun kemajuan
zaman dan teknologi kareteristik hukum Islam tidak bisa
dirubah.misalnya masalah zakat lahirnya Undang-undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, masalah Haji lahinya
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, dan lain-lain.

D. POSISI HUKUM ISLAM DALAM PERKEMBANGAN HUKUM


INTERNASIONAL

Prof Dr. Endang saefullah,S.H.LL.M. ( Guru besar Hukum


Internasional Unpad ) mengatakan dalam ceramah umumnya yang
berjudul Hukum internasional dan perkembangannya. Beliau
mengatakan bahwa Perkembangan lain yang berdampak pada
perkembangan Hukum Internasional adalah bidang poltik
internasional, sosila ekonomi internasional.
Bahwa Ekonomi Islam sudah banyak di terapkan di berbagai Negara
di dunia pada saat ini.
Gejala lain terbukti dengan pernyataan Judge S Schwebel, mantan
Presiden ICJ, mengatakan di depan Majelis Umum PBB tahun
1999.
“ perfoce , The PCIJ was Euro-centered. The ICJ today is universal in
its elintele” ( S. Rosenne , The Perflexities of Modern International
Law ); Jadi HI yang digunakan oleh PCIJ berorientasi ke Eropa,
sedang ICJ sekarang benar-benar bersifat universal. Hal ini jelas pada
putusan tribunal yang menetapkan bahwa sengketa antara Eritrea vs
Yaman. Tentang batas maritime tidak lagi menerapkan konsep Eropa
tentang akusisi kedaulatan territorial di wilayah di mana konsep islam
berlaku, yang telah menjadi bagian dari kerajaan Ottoman. Ini

9
merupakan maslah baru bagi HI yang benar-benar universal yang
harus mengakomodasikan konsep regional/sektoral.

E. RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM


Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena
merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya. Hukum
Islam berlaku bagi semua orang Islam dimanapun berada. Hukum Islam
meliputi
1. Ibadah
Pembicaraan tentang Ibadah meliputi :
a. bab-bab Thaharah yang terdiri dari ; suci dari kotoran,wudlu,mandi,
dan tayammum,
b. Shalat dengan segala macam dan caranya , Zakat, Haji , Jihad ,
Sumpah , Nazar, Korban, Sembelihan , Berburu , Aqiqah ,
Makanan dan Minuman.
c. Puasa,
d. Z akat
e. Haji

2. Hukum Keluarga ( family of Law )

Yaitu hukum yang mengatur hubungan seorang pria dengan


isteri dan anak-anaknya.
Setelah perkembangan lebih lanjut , membahas juga masalah-
masalah :
a. Hukum Perkawinan ( Munakahat ), membicarakan tentang
kedudukan ( hukum ) perkawinan , pinangan, persetujuan
calon-calon mempelai, syarat-syarat perkawianan, wanita yang
tidak boleh dinikahi, hak-hak suami isteri, macam-macam

10
pemutusan dan sebagainya, iddah dan macam-macamnya, ruju’,
perdamaian (hakam ); ila; dhihar dan li’an.
b. Hukum Waris ( Faraidh )
Hukum yang mengatur pemindahan hak dari pewaris kepada ahli
waris , siapa-siapa yang menjadi ahli waris , dan menentukan
berapa bagian-bagian yang harus diterima ahli waris.
c. Wasiat
Pesan dari seseorang untuk menyisihkan sebagian hartanya
kepada seseorang atau badan hukum setelah orang tersebut
meninngal dunia.
d. Wakaf.
Penyisihan sebagian harta benda untuk maksud-maksud
kebaikan dan penyisihan tersebut di lakukan sewaktu pemberi
wakaf masih hidup .
3. Hukum Privaat
Hukum Privaat dikenal juga dengan Fiqih muammalat yang khusus
menyangkut masalah kebendaan yang meliputi :
a. Hukum Perdata ( Privat of Law /Ahkam al Madniyah )
Hukum Perdata terdiri dari :
1) Jual Beli ( Al Buyu/Trading )
Jual beli adalah tukar menukar barang dengan barang yang
lain/uang dengan cara yang tertentu ( akad )
Rukun Jual beli yaitu :
 Penjual dan pembeli,
 Uang dan benda yang dibeli,
 Baliq,
 Lafaz jual beli.
2) Khiyar ( The Choice )
Artinya memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau
mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli )
Khiyar ada tiga macam :

11
 Khiyar Majelis artinya si pembeli dan si
penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya
masih tetap berada di tempat jual beli,
 Khiyar syarat artinya khiyar itu
dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau salah seorang,
seperti kata si penjual “ saya jual barang ini dengan harga sekian
dengan syarat khiyar selama tiga hari atau kurang dari tiga hari “,
 Khiyar ‘aibit ( cacat ) artinya si pembeli
boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang
itu terdapat suatu cacat yang mengurangi harganya, sedangkan
biasanya barang yang sperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya
itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu, atau terjadi sesudah
akad, yaitu sebelum diterimanya.
3) Salam.( Selling without showed / menjual tanpa barang )
Menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya hanya ditentukan
dengan sifat barang itu ada dalam pengakuan ( tanggungan ) si
penjual.
4) Serikat ( perseroan/Union )
Serikat ada dua macam yaitu :
 Serikat ‘Inan ( serikat harta )
 Artinya akad di antara dua atau lebih untuk berserikat harta
yang ditentukan oleh keduanya dengan maksud mendapat
keuntungan untuk mereka yang berserikat tersebut,
 Serikat Kerja
 Artinya dua orang atau lebih bermufakat atas suatu pekerjaan
supaya keduanya sama-sama mengerjakan pekerjaan itu.
Penghasilannya ditujukan untuk mereka bersama sesuai
dengan perjanjian di antara mereka.
5) Qiradh ( investasi modal/invenity )

12
Ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk
modal usaha , sedangkan keuntungan dibagi di antara keduanya
menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad
6) Musaqah ( Paroan Kebun/Harvest )
Ialah pemilik kebun yang memberikan kebunya kepada tukang
kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang di dapat dari
kebun dibagi antara keduanya.
7) Muzaraah ( Paroan sawah/ ladang )
Ialah paroan sawah atau ladang , seperdua, sepertiga atau lebih
atau kurang , sedangkan benihnya dari petani ( penggarap )
8) Mukhbarah ( paroan sawah atau ladang )
Ialah paroan sawah atau ladang , seperdua,sepertiga, atau lebih
atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya tanah.
9) Ijarah ( sewa menyewa/ rent and lease )
Ialah akad atas manfaat (jasa ) yang dimaksud lagi diketahui,
dengan tukaran yang diketahui menurut syarat-syarat yang akan
datang .
10)Ji’alah ( mengembalikan barang hilang /returning missing thing )
Meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran
ditentukan.
11)Jaminan ( rungguhan/ gararanty )
Ialah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat
kepercayaan dalam utang piutang.
12)Hiwalah ( Pemindahan utang/ over credit )
Ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan orang lain.
13)Daman ( menangung/to garrant )
Ialah menangung ( menjamin ) utang, menghandirkan barang atau
orang ke tempat yang ditentukan.
14 ) Hajru

13
Ialah melarang atau menahan seseorang dari membelanjakan
hartanya.
15) Shulhu ( perdamaian/peace )
Ialah akad perjanjian yang menghilangkan rasa dendam,
permusuhan atau perbantahan,
16) Iqrar ( pengakuan/Confession)
Ialah mengakui kebenaran sesuatu yang bersangkutan dengan
dirinya untuk orang lain.
17) Berwakil ( work by some one )
Ialah menyerahkan pekerjaan yang diserahkan pada yang lain,
agar dikerjakan semasa hidupnya.
18) Ariyah ( pinjam-meminjam/Hire-purcase )
Ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain
untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar
dapat dikembalikan zat barang itu.
19) Hibah ( Prize )
Ialah memberikan barang dengan tidak ada tukarannya dan tidak
ada sebabnya.
20) Wadi’ah ( titipan/entrusted good )
Menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dia dapat
memelihara dan menjaganya sebagaimana mestinya.
21) Luqathah ( barang temuan/founded thing)
Ialah barang-barang yang di dapat dari tempat ya gtidak dimiliki
seorangpun
22) Ihyat-ul Mawat ( membuka lahan baru/ re opened new land )
Ialah tanah yang belum pernah dikerjakan oleh siapun berarti tanah
itu belum dipunyai orang atau tidak diketahui siapa pemiliknya.
23) Syuf’ah ( rebut paksa/take forced )
Ialah hak yang diambil dengan paksa oleh serikat lama dari
serikat baru.
24) Khasbu ( merampas/stealing )

14
Ialah mengambil hak orang lain dengan cara paksa dan aniaya.
Hukumnya Haram dan dosa besar.

b. Hukum Dagang
Hukum Dagang adalah kumpulan aturan –aturan yang mengatur
hubungan-hubungan dagang antara lain mengenai kedudukan
sarikat- sarikat dagang , pembukuan, commisioner, kertas-kertas
dagang ( check, giro, wesel, dsb ) , failit ( bangkrut ), dan akibat-
akibatnya.

c. Hukum Acara Perdata ( Civil Law of Procedure )


Hukum Acara dibicarakan oleh fuqaha-fuqaha Islam dalam bab-bab
“ Peradilan ( Al-Qadla ), gugatan ( Ad-da’wa ), dan persaksian ( As-
Syahadat ).
Persoalan yang dibicarakan antara lain ialah tentang syarat-syarat
seorang hakim, cara memeriksa perkara, gugatan, obyek-obyek
gugutan, jalannya gugatan dalam pemeriksaan, orang yang bisa
menjadi penggugat dan tergugat alat-lat pembuktian seperti
pengakuan, saksi, sumpah, bukti-bukti tulisan, keadaan yang
menyertai sesuatu peristiwa, pelaksanaan keputusan hakim.
4. Hukum Pidana ( Criminal Law )
Hukum Pidana Islam ialah kumpulan aturan yang mengatur cara
melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan
masyarakat ( negara ) dan anggota-anggotanya , dari perbuatan-
perbuatan yang tidak dibenarkan. Hukum Pidana Islam terbagi dua
yakni :
a. Kitab Jinayat meliputi beberapa hokum yaitu membunuh orang,
melukai, memotong anggota tubuh, dan menghilngkan manfaat
badan

15
b. Kitab Hudud ialah hukuman yang diberikan terhadap orang
yang melakukan larangan-larangan seperti berzina, mencuri,
minuman keras, berjudi, bughah, dan Riddah.

5. Hukum Tata Negara ( Siasah Syar’iyyah/ Constitusional Islamic


of law )
Yang menjadi pembicaraan lapangan siasah syar’iyyah ialah
hubungan antar negara dan pemerintah dengan warga
negaranya ( penduduknya ). Disebut juga “Al Fiqhud Dusturi “,
juga membicarakan soal Imamah ( pimpinan negara )
menegakkan pemerintah Islam , teori-teori tentang timbulnya
negara, negara dan syarat-syarat diadakannya , serta kewajiban-
kewajibannya. Hubungan antara rakyat dengan penguasa dalam
berbagai lapangan hidup. Menurut Prof H.A. Djajuli,M.A. istilah
Fiqhul dusturiyah disebut juga dengan Siyasah Dusturiyah
6. Hukum Administrasi Dan Keuangan.( Administration Law )
Hukum Administrasi (al fiqhul Idari } ialah kumpulan aturan-
aturan yang mengatur kegiatan penguasa eksekutif, dan
dibidang ini mencakup bidang keuangan ( al Fiqhul Mali), karena
salah satu kegiatannya ialah pengurusan dalam bidang
Keuangan.

7. Hukum Internasional ( Fiqul Dauli/International Law )


Hukum Internasional ada dua yaitu :
a. Hukum Perdata Internasional
Kumpulan aturan yang menentukan hukum mana yang
berlaku diantara 2 sistem hukum / lebih apabila terdapat
unsur asing dalam persoalan hukum tersebut.
b. Hukum Publik Internasional
Yaitu hukum yang mengatur antar lain :
- hubungan negara Islam dengan negara-negara lain

16
- hubungan antara warga negara Islam dengan warga negara
non Islam ( Non Muslim ).
-
Menurut H.A. Dajazuli. dalam perkembangan sekarang materi
Hukum Islam dalam bidang Fiqih terdapat penambahan yaitu :
8. Hukum Lingkungan Islam
Hukum lingkungan Islam hukum yang mengatur masalah
pengelolaan lingkungan yang dalam Islam diambil dari ajaran
tentang Akhlak dan konsep Perilaku moral yang baik ( al-Akhlak
al-Karimah ). Perilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam
hubungan manusia, antara umat dan antara bangsa di dunia ini,
selain itu prinsip ini pun diterapkan terhadap seluruh makhluk Allah
di muka bumi, termasuk flora dan fauna, alam nabati dan alam
hewani, budi baik ini tercermin antara lain di dalam kasih saying
seperti ditegaskan di dalam hadits
“ kasih sayangilah yang di bumi, akan menyayangi Allah Swt.”
Memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lemah, termasuk
bangsa yang lemah dan miskin
Serta mau menempati janji. Allah berfirman :
“ Wahai orang-orang beriman tepatilah perjanjian-perjanjianmu.”
Tepatilah janji sesungguhnya janji itu diminta tanggung jawabDengan
kata lain konsep ini disebut dengan Hifdzu al-Ummah.
9. Hak Asasi Dalam Islam
Masalah Hak Asasi Manusia ( HAM ) dalam Islam, belum banyak
dikaji oleh para fukaha-fukaha Islam. Padahal dalam Konstitusi
Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW banyak
bertebaran dalam pasal-pasal misalnya prinsip persatuan dan
persaudaraan, prinsip bertetangga dengan baik, prinsip kebebasan
dan lain-lain. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an pun banyak menyebutkan
tentang Hak Asasi Manusia

17
E. TUJUAN HUKUM ISLAM
Imam al-Syatibi telah melakukan istiqra ( penelitian ) yang digali dari
Al Qur’an maupun Sunnah, yang menyimpulkan bahwa tujuan hukum
Islam ( maqashid al-syari’ah ) di dunia ada lima hal, yang dikenal
dengan al-maqashid al syari’ah yaitu :
1. Memelihara agama ( Hifdz al-Din ). Yang dimaksud dengan
agama di sini adalah agama dalam
arti sempit ( ibadah mahdhah ) yaitu hubungan manusia dengan Allah
Swt, termasuk di dalamnya aturan tentang syahadat, shalat, zakat, puasa,
haji dan aturan lainnya yang meliputi hubungan manusia dengan Allah St,
dan larangan untuk meninggalkannya.;
2. Memelihara diri ( Hifdz al Nafs ) termasuk di dalam bagian
kedua ini, larangan membunuh diri sendiri dan membunuh orang
lain, larangan menghina dan lain sebagainya, dan kewajiban
menjaga diri ;
3. Memelihara keturunan dan kehormatanan ( Hifdz al-nas )
seperti aturan-aturan tentang pernikahan, larangan perzinahan dan
lain-lain ;
4. Memelihara harta ( Hifdz al mal ) termasuk bagian ini
kewajiban kasb al-halal, larangan mencuri, dan menghasab harta
orang lain ;
5. Memelihara akal ( Hifdz al ‘Aql ) termasuk di dalamnya
larangan meminum minuman keras, dan kewajiban menuntut ilmu.

18
F. KAIDAH FIKH ( PENILAIAN SYARIAT )
Di antara asas hukum atau kaedah ushul al Fiqh yang penting ialah “
Ahkam al Khamsah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh itu. Bila di dalam
teori hokum seperti Romawi, dasar penilaian (hukum) terhadap tingkah
laku manusia dalam masyarakat itu ialah perintah dan larangan maka
dalam ushuk al fiqh terdapat lima hokum/ nilai-nilai syariat/ ahkam
alkhamsah yaitu :
Bersifat perintah 1. Fardh atau wajib perintah mutlak yang terdiri dari :
a. fardhu’ain dan
b. Fardhu kifayah.
2. Sunat
Bersifat larangan 3. haram ( larangan mutlak )
4…Makruh ( tidak mutlak )
Yang bersifat indifferent :
5. Djaiz/Mubah ( tidak diperintahkan dan tidak
dilarang )
Kelima hukum atau nilai-nilai syariat pokok ini yaitu :
1. Fardhu atau wajib adalah satu perintah yang harus dilakukan oleh
seorang muslim . Apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila
tidak dilakukan ia berdosa , wajib dibagi menjadi dua yaitu :
a. Farhdu ‘ain ( ain=orang ) adalah perintah yang ditujukan kepada
setiap orang , seperti perintah wajib Shalat, Zakat , Puasa ,dll.
b. Fardhu Kipayah ( kafa=cukup ) adalah perintah yang ditujukan
kepada satu kumpulan ( kolektivitas ). Apabila kewajiban
tersebut tidak ada yang melaksanakannya, maka setiap orang
warga kolektivitas itu berdosa, tetapi bila ada sebagian saja yang
melakukannya, maka kewajiban setiap orang dianggap telah
tertunaikan contohnya menyelenggarakan pengurusan jenazah.
2. Sunat adalah perintah yang bersifat tidak mutlak. Apabila perintah itu
dilakukan ,maka seorang mendapat pahala dan tidak dilakukan tidak
berdosa contoh mengeluarkan shadaqoh ( sedekah ).

19
3. Haram ialah suatu larangan yang mutlak. Apabila seorang muslim
mentaati larangan ini ia akan mendapat pahala, apabila dikerjakan
maka ia akan berdosa, contoh mengkonsumsi Narkoba.
4. Makruh adalah bentuk larangan yang tidak mutlak, apabila seorang
muslim mentaati larangan ini ia mendapat pahala, sedangkan apabila
larangan ini dikerjakan ia tidak berdosa misalnya merokok.
5. Djaiz/Mubah adalah hal-hal yang tidak dihiraukan tidak diperintahkan
dan tidak pula dilarangnya , tidak berpahala dan tidak berdosa
apabila mengerjakannya misalnya gerak badan di pagi hari.

G. SUMBER HUKUM ISLAM


Dalam Surat An Nisa ayat 59 yang artinya :
“ Wahai orang-orang beriman, patuhilah akan Allah, patuhilah RasulNya,
dan patuhilah orang-orang yang memerintah di antara kamu “
Kalau kita simpulkan ayat di tas, maka sumber Hukum Islam menurut
Saidus Syahar adalah :
Sumber utama : Yakni wahyu, yang dapat dibagi dalam :
1. wahyu langsung (Al Qur’an)
2. wahyu tiddak langsung ( Al Hadits ).
Deduction atau kesimpulan yang ditarik dari wahyu, yang dibagi dalam :
1. Qiyas (analogi ) Hasil penarikan kesimpulan seorang
mujtahid.
2. Ijma (persamaan pendapat dari beberapa mujtahid ).
3. dan lain-lain

1. Al Qur’an
Qur’an bahasa Arab berasal dari kata kerja “qara-a” yang berarti
membaca. Jadi Al Qur’an berarti bacaan. Secara tekhnis (fiqih ) berarti

20
Kitab suci Islam berasal dari wahyu Allah Swt yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW,semasa kenabiaannya.
a. Garis-garis besar Al Qur’an
Garis-garis besar Al Qur’an meliputi :
1) Tauhid, kepercayaan terhadap Rukun Iman yang enam,
2) Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid’
3) Janji dan ancaman’
4) Hukum yang dihayati dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan
bernegara’
5) Inti sejarah misalnya jatuhnya Persia pada perang ke II oleh Romawi,
dalam perang Khaibar umat Muslim akan menang.
6) Ilmu Pengetahuan dan teknologi.

b. Dasar al Qur’an dalam membuat hukum :


1. tidak memberatkan
dasar hukumnya al Baqarah ayat 185, 286
2. berangsur-angsur
al Baqarah ayat 219 , kemudian an Nisa ayat 43, akhirnya Al Maidah
ayat 90

c. Watak Al Qur’an
Dari segi historis, watak dari isi Al Qur’an itu dapat dibagi dalam dua
periode yaitu :
1. Periode Mekkah, ayat-ayatnya disebut ayat-ayat Makkiyah,
2. Periode Madinah, ayat-ayatnya disebut ayat-ayat Madaniyah.
Ayat-ayat Makkiyah ialah ayat-ayat yang diturunkan semasa nabi masih
menetap di Mekkah lebih kurang 12 tahun ( 610-622 M ).
Ayat-ayat Makkiyah mempunyai karakter tersendiri yaitu lebih banyak
berisikan ajaran-ajaran ketauhidan dan kesusilaan.( bersifat rohaniyah )
Ayat-ayat Madaniyah diturunkan pada masa nabi Muhammad SAW
berada di Madinah, hingga pada masa wafatnya nabi tahun 632 M.

21
Ayat-ayat Madaniyah bersifat lahiriyah mengenai peraturan tingkah laku
manusia.

d. Penafsiran Al Qur’an
Ayat-ayat Al Qur’an bersifat mujmal ( umum), dan untuk menerangkannya
selama nabi masih hidup diterangkan oleh nabi sendiri. Setelah nabi wafat
dijelaskan oleh para sahabat nabi, dan mengingat perkembangan
selanjutnya karena dirasakan kebutuhannya timbullah suatu ilmu baru
yang berfungsi sebagai pencari penjelasan isi Al Qur’an yaitu ilmu Tafsir
Untuk mentafsirkan isi Al Qur’an digunakan :
1. Dari segi bahasa/Gramatikal,
2. Latar belakang sejarah/histories ( asbabun Nuzul )
3. Penafsiran logis, hubungan antara ayat yang satu dengan ayat
yang lain,
4. Bantuan Hadits

2. Sunnah ( Al hadits )
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.
Sunnah menurut istilah syara ialah perkataan nabi Muhammad SAW,
perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau
diperbuat oleh sahabat kemudian ditetapkan oleh nabi, tidak ditegur
sebagai bukti bahwa perbuatan itu tidak terlarang hukumnya.
Sunnah dibagi menjadi :
a. Sunnah Qauliyah
Ialah perkataan Nabi SAW yang menerangkan hukum-hukum agama dan
maksud isi Al Qur’an serat berisi peradaban, hikmah, ilmu
pengetahuandan juga menganjurkan akhlak yang mulia.
b. Sunnah Fi’iliyah
yaitu perbuatan Nabi yang menerangkan cara melaksanakan ibadah
dibagi menjadi :

22
1) pekerjaan nabi yabg bersifat gerakan jiwa, gerakan tubuh, dan
gerakan hati misalnya cara duduk, berjalan ( tidak bersifat perintah
dan larangan )
2) perbuatan nabi berupa kebiasaan misalnya cara makan, cara tidur,
3) perbuatan nabi yang khusus untuk beliau misalnya puasa tidak
berbuka,
4) pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal seperti cara
shalat, cara haji.

c. Sunnah Taqririyah
diamnya Nabi ketika melihat sesuatu perbuatan para sahabat , baik
mereka kerjakan dihadapannya atau bukan dan sampai beritanya kepada
beliau
misalnya : mempergunakan uang yang dipakai non muslim dll.
Ilmu hadits yaitu mulai dengan metode untuk memisahkan dan meneliti
hadits yang palsu dari yang sehat ( syah ), ilmu itu disebut musthalah
hadits
Penilaian hadits dilakukan dengan cara :
Ke I. dengan mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang menjadi
landasan ( bahas arabanya sanad ) daripada hadits itu, sehinga penilaian
atas dasar ini disebut penilaian atas dasar sanadnya.
Orang yang menjadi sanad daripada jalanya hadits harus memenuhi
beberapa syarat yaitu :
a) jujur, cerdas, kuat daya ingatnya ( hafalannya ),
b) hadir sendiri ditempat dimana hadits tersebut dipindahkan ceritanya.

Ke II. Dengan mengadakan penelitian atas materi atau isi daripada


hadits itu sendiri. Cara penelitian ini disebut penelitian atas matnya )

23
Dengan adanya penilaian tersebut maka terdapatlah tingkatan-tingkatan
hadits yang pada umunya dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu :

1) hadits Maudhu ( hadits palsu ),


2) hadits dha’if ( hadits lemah ),
3) hadits Shahih ( hadits sehat ).
Hadits yang shahih harus memenuhi syarat-syarat , baik dinilai dari
sanadnya maupun matnya.
Pada masa sekarang kita dapat menemukan kumpulan hadits yang
disusun oleh beberapa ahli yang terkenal, yaitu :
1) susunan dari Imam Buchori disebut Shahih Buchori ( wafat 256 M),
2) susunan dari Imam Muslim yang disebut shahih Muslim,
3) Himpunan dari Abu Dawud disebut shahih Dawud ( wafat 274 M ),
4) Himpunan dari Tirmizi disebut shahih Tirmizi ( wafat 278 M ),
5) Himpunan dari Ibn Majah disebut shahih Ibn Majah ( wafat 282 M ),
6) Himpunan dari Nasai disebut shahih Nasai ( wafat 302 M )
Keenam hadits ini dikenal dengan sebutan Kutub al Sittah yang artinya
Kitab yang enam.

3. Ijma (consencus) .
Ijma menurut bahasa artinya setuju atau sepakat. sedangkan menurut
istilah artinya :
“Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat nabi Muhammad, sesudah
wafatnya pada suatu masa tentang suatu perkara”
Pembagian Ijma yaitu :
1) ijma Qauli ( Consescus )
. yaitu ijma dimana para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik
dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuan atas
pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma ini disebut juga ijma qath’i
2) Ijma Sukuti ( Silent Consescus )

24
Ialah ijma di mana para ulama ijtihad berdiam diri tidak mengeluarkan
pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut
atau malu, ijma ini disebut juga ijma dhanni.

Subyek Ijma
Pendapat yang kuat ialah yang mengatakan bahwa yang dapat
melakukan ijma itu hanyalah Mujtahid. Mujtahid yaitu orang-orang yang
memenuhi syarat-syarat seperti mengetahui menddalam tentang Al
Qur’an, Taikh, ilmu masyarakat dan sebagainya, serta orang bermoral
tinggi dan adil.
Dalam ilmu ushul fiqih dari Imam Syafi’i dalam” Al-Risalah” dikenal
beberapa tingkatan mujtahid sebagai berikut :
1) Mujtahid mutlak ialah para imam Mazhab yang
kebebasannya melakukan ijtihad hampit tidak terbatas,
2) Mujtahid Mazhab ialah mujtahid yang kebebasan
ijtihadnya terbatas pada mazhabnya, yaitu kebebasan berijtihadnya
mengenai materi yang belum ada dalam mazhabnya,
3) Mujtahid Fatwa ialah ulama penganut sesuatu
mazhab dalam menghadapi berbagai pendapat ulama yang berbeda-
beda mengenai suatu materi dalam mazhabnya, maka ia berwenang
menyatakan pilihannya .
Landasan Pembenar Ijma
Sebagai landasan untuk membenarkan ijma sebagai sumber hokum Islam
dikemukakan :
1) Al Qur’an Surat 4 ayat 115.
2) Al Quran Surat An Nisa ayat 59,
3) Al hadits,
4) Logika.

4. . Qiyas

25
qiyas menurut bahasa artinya mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya.
Menurut istilah ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada
kententuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum yang sudah
ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.

Landasan Pembenar Qiyas.


Landasan pembenar ( justification ) daripada qiyas adalah :
1) Al Qur’an surat Al Hasyr ayat 2,
2) Al Qur’an surat An Nisa ayat 59,
3) Hadits yang shahih yang terdapat dalam
shahih Muslim yang meriwayatkan , bahwa suatu ketika Nabi
Muhammad SAW mengutus salah seorang sahabatnya bernama
Muadh bin Jabbal keYaman.
Ketika Muadh menerima amanat dari nabi , Nabi bertanya :
Nabi : dengan apakah kamu memutus suatu perkara,
Muadh : dengan Kitabullah ( Al Qur’an ),
Nabi : bagaimana apabila hal itu tidak terdapat dalam al Qur’an’
Muadh : saya gunakan Sunah nabiku,
Nabi : bagaimana kalau tida ada pada sunahKu,
Muadh : lalu akan aku gunakan pikiranku ( berasaskan Al Qur’an dan Al
Hadits )
Nabi : alangkah bangganya Aku mempunyai sahabat seperti mu.

Rukun QIyas
Rukun qiyas ada empat yaitu :
1) Ashal ( pangkal ) yang menjadi ukuran,
2) Far’un ( cabang ) yang diukurnya,
3) Illat yaitu yang menghubungkan pangkal dan cabang,
4) Hukum, yang ditetapkan pada Far’i sesudah tetap pada ashal ‘

26
Contoh.
Allah Swt telah mengharamkan arak, karena merusak akal ,
membinasakan badan, menghabiskan harta,maka segala minuman yang
memabukkan dihukum haram juga.
1) segala minuman yang memabukkan yang diukurnya ialah Far’un
( cabang ),
2) Arak ialah yang manjadi ukurannya ( Ashal ),
3) Mabuk , merusak akal, ialah illat penghubung ashal dan cabang.
4) Hukum : segala yang memabukkan hukumnya haram.

5. Istid-lal
Menurut bahasa artinya mencari dalil,
Menurut istilah artinya mempergunakan alasan yang bukan dari AlQur’an,
Al Hadits, Ijma dan Qiyas.
Istid-lal meliputi :
1) Istish hab.
Ialah melanjutkan berlakunya hokum yang telah tetap di masa lalu,
diteruskan sampai akan datang, selama tidak terdapat yang merubahnya.
Contoh seorang yang sudah Wudlu, kemudian datang keraguan hatinya
bahwa ia sudah batal atau tidak , maka menurut istish hab dihukum punya
wudlu.

2) Maslahat mursalah.
Ialah memelihara maksud syara dengan jalan menolak segala yang
merusakkanya.
Syarat-syarat nya yaitu :
a. Berlakunya hanya dalam bidang muammalah,

27
b. Tidak bertentangan dengan hukum Islam,
c. Kemaslahatan diperlukan untuk kepentingan umum.
Contoh :
Dalam pernikahan mengadakan persyaratan adanya surat nikah.

3) Saddudz Dzara-i
Ialah menghindarkan sesuatu perbuatan yang tidak dilarang hokum Islam,
tetapi sebenarnya perbuatan itu dapat mendatangkan kerusakan,
Misalnya melarang meminum seteguk minuman keras, padahal seteguk
itu tidak memabukkan.

4) Dalalah Iqtiran
Ialah dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu sama hukumnya dengan
sesuatu yang disebut bersama-sama.
Misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 196
“ Dan sempurnakan haji dan umrah karena Allah “
Menurut Imam syafe’i Umrah menjadi wajib karena disebut bersama-sama
dengan ibadah Haji.

5) Istishan
Ialah mengecualikan ( memindahkan ) hukum sesuatu peristiwa dari
hukum peristiwa-peristiwa lain sejenisnya dan memberikan kepadanya
hokum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian
tersebut. Istishan kebalikan dari Qiyas.

6) Urf ( kebiasaan/Adat )
Dari segi bahasa arti ‘Urf “ ialah mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik dan diterima akal sehat
Kata-kata Urf dikenal dalam Al Qur’an misalnya dalam Surat Al A’raf
ayat 199 )

28
Dalam istilah Fuqaha iastilaf urf berarti kebiasaan. Dari pengertian ini kita
mengetahui bahwa urf dalam sesuatu perkara tidak terwujud kecuali
apabila urf itu mesti berlaku pada perkara tersebut.
Contoh :
Kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan ialah bahwa keluarga
dari pihak calon mempelai laki-laki datang ke tempat orang tua calon
mempelai perempuan untuk meminangnya.

7) Syari’at Sebelum Islam


Syariat agama yang ada sebelum timbulnya Islam, seperti zaman Nabi
Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan lainnya.
Contoh
Masalah khitanan
Puasa nabi Daud

H. ASAS-ASAS HUKUM ISLAM

Pengertian Asas

Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar,


basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang
dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar.
Oleh karena itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1)
dasar, alas, pondamen (Poerwadarminta, 1976:60). Asas dalam
pengerian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang disesuaikan pada
kata-kata:….”batu ini benar untuk pondamen atau pondasi rumah”; (2)
kebanaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini
terdapat misalnya dalam ungkapan “pernyataan itu bertentangan dengan
asas-asas hukum pidana”; (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi tatu

29
Negara. Hal ini jelas dalam kalimat: “Dasar Negara Republik Indonesia
adalah Pancasila.”
Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan
asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan
alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
Asas hukum pidana, misalnya, seperti disinggung di atas adalah tolak
ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya
berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang
berkenaan dengan hukum.
Asas hukum Islam berasal dari sumber hukum Islam terutama
Al Quran dan Al Hadist, yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum Islam banyak,
disamping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan
lapangan mempunyai asasnya sendiri-sendiri.

Beberapa Asas Hukum Islam

Yang dibicarakan dalam kesempatan ini hanya beberapa asas


hukum Islam. Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984
(Laporan 1983/1984:14-27) menyebut beberapa asas hukum Islam yang
(1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, dan (3) dalam
lapangan hukum perdata, sebagai contoh. Asas-asas hukum di lapangan
hukum tata Negara, Internasional dan lapangan-lapangan hukum Islam
lainnya tidak disebutkan dalam laporan itu.

Sebagai sumbangan dalam penyusunan asas-asas hukum nasional,


Tim itu hanya mengedepankan:
1. Asas-asas umum
Asas-asas umum hukum Islam yang meliputi semua bidang dan
segala lapangan hukum Islam, yaitu:

30
 Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangant penting dalam hukum
Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai
asas semua asas hukum Islam. Di dalam Al Quran, karena
pentingnya kedudukan dan fungsi kata itu, keadilan lebih dari 1000
kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan (A.M.
Saefuddin 1983:45). Banyak ayat-ayat yang menyuruh manusia
berlaku adil dan menegakkan keadilan. Dalam suarat Sad (38) ayat
26, Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai
khalifah di bumi menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku
adil terhadap semua manusia, tanpa, misalnya memandang
kedudukan, asal-usul dan keyakinan yang dipeluk pencari keadilan
itu. Dalam Al Quran surat An-Nisa (45) ayat 135, Tuhan
memerintahkan agar manusia menegakkan keadilan, menjadi saksi
yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dan keluarga
dekat. Di dalam surat lain yakni Al Maidah (5) ayat 8 Tuhan
menegaskan agar manusia berlaku adil sebagai saksi, berlaku
lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun ada tekanan,
ancaman atau rayuan dalam bentuk apapun juga. Di dalam ayat itu
juga diingatkan para penegak hukum agar kebenciannya terhadap
seseorang atau sesuatu golongan tidak menyebabkan ia tidak
berlaku adil dalam penyelenggaraan hukum. Dari uraian singkat ini
dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah asas, titik tolak, proses
dan sasaran hukum Islam
 Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum, antara lain disebut secara umum dalam
kalimat terakhir suarat Bani Israil (17) ayat 15 yang terjemahannya
sebagai berikut “…dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman,
kecuali setelah Kami mengutus seorang rasul untuk menjelaskan
(aturan dan ancaman) hukuman itu…”. Selanjutnya di dalam surat
Al Maidah (5) ayat 95 terdapat penegasan Ilahi yang menyataklan

31
bahwa Allah memaafkan apa yang terjadi di masa yang lalu. Dari
kedua bagian ayat –ayat tersebut disimpulkan asas kepastian
hukum yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun
dapat dihukum kecuali atas kekuatan hukum atau peraturan
perundang-perundangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu.
Asas ini sangat penting dalam ajaran hukum Islam (Anwar Harjono,
1968:155)
 Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan
asas kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas keadilan dan
kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangakan asas
kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi
kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukuman
mati terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan, misalnya,
dapat dipertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu bagi
diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukuman mati
yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat, hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak
menjatuhkan hukuman mati lebih bermanfaat bagi terdakwa sendiri
dan keluarga atau saksi korban, ancaman hukuman mati itu dapat
diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga
terbunuh. Asas ini ditarik dari Al Quran surat Al Baqarah (2) ayat
178.
2. Asas-asas dalam lapangan hukum pidana
Asas-asas dalam lapangan hukum pidana Islam antara lain adalah:
 Asas legalitas
Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang
menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman
sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini diatur
dalam surat Al Isra (17) ayat 15 tersebut diatas, dihubungkan
dengan anak kalimat dalam surat Al An’am (6) ayat 19 yang

32
berbunyi “….Al Quran ini diwahyukan kepadaku, agar (dengannya)
aku (Muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk
aturan dan ancaman hukuman) kepadamu…”. Asas legalitas ini
telah ada dalam hukum Islam sejak Al Quran diturunkan.
 Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang
lain
Asas ini terdapat dalam berbagai surat dan ayat Al Quran (6:164,
35:18, 39:7, 52:38, 74:38). Di dalam ayat 38 surat Al Muddatstsir
(74), misalnya, dinaytakan bahwa setiap jiwa terikat pada apa yang
dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikuo dosa atau
kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Di bagian ayt 164 surat Al
An’am (6), Alah menyatakan bahwa setiap pribadi yang melakukan
sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang
dilakukannya. Ini berarti bahwa tidak boleh sekali-kali beban (dosa)
seseorang dijadikan beban (dosa) orang lain. Dari ayat-ayat yang
disebut jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung
jawab mengenai kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh
orang lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual
sifatnya, kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada
orang lain.

 Asas praduga tak bersalah


Dari ayat-ayat yang menjadi sumber asas legalitas tersebut diatas
dan asas tidak boleh memindahkan kesalahan kapada orang lain,
dapat ditari juga asas praduga tidak bersalah. Seseorang yang
dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah
sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan
dengan tegas kesalahan orang itu.

33
3. Asas-asas dalam lapangan hukum perdata
Asas-asas dalam lapangan hukum perdata Islam antara lain:
 Asas kebolehan atau Mubah
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan
perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan
itu tidak dilarang oleh Al Quran dan As-Sunnah. Dengan kata lain,
pada dasarnya segala bentuk hubungan perdata adalah boleh
dilakukan, kecuali kalau telah ditentukan lain dalam Al Quran dan
As- Sunnah. Ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas
kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan
macam hubungan perdata sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan masyarakat. Tuhan memudahkan dan tidak
menyempitkan kehidupan manusia seperti yang dinyatakan-Nya
antara lain dalam surat Al Baqarah (2) ayat 185, 286
 Asas kemaslahatan hidup
Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang mendatangkan
kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan. Asas kemaslahatan
hidup adalah asas yang mengandung makna bahwa hubungan
perdata apa pun juga dapat dilakukan asal hubungan itu
mendatangkan kebaikan, bergunda serta berfaedah bagi kehidupan
manusia pribadi dan masyarakat, kendatipun tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan As Sunnah. Asas ini sangat
berguna untuk pengembangan berbagai lembaga hubungan
perdata dan dalam menilai lembaga-lembaga hukum non-Islam
yang ada dalam sesuatu masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah
(1263-1328 M) setiap norma atau lembaga non-Islam yang bersifat
cultural yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat Islam harus
dilihat manfaat atau mudarat yang akan di bawanya. Jika
bermanfaat, lembaga itu dapat diterima, jika merusai atau

34
merugikan masyarakat lembaga demikian harus ditolak. Untuk
menentukan itu, peran ijtihad penting sekali. Melalui asas ini kaidah
hukum al-’adatu muhakkamat, kebiasaan yang baik dalam suatu
masyarakat, berlaku sebagai hukum (Islam) bagi umat Islam,
mendapat pembenaran.
 Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata
harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak
para pihak yang melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus
senantiasa diperhatikan. Asas ini juga mengandung arti bahwa
selama teks Al Quran dan As Sunnah tidak mengatur suatu
hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas mengaturnya
atas dasar kesukarelaan masing-masing. Asas ini bersumber dari
Al Quran surat An Nisa (4) ayat 29.
 Asas menolak mudarat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk
hubungan perdata yang mendatangkan kerugian (mudarat) dan
mengembangkan (hubungan perdata) yang bermanfaat bagi diri
sendiri dan masyarakat. Dalam asas ini terkandung juga pengertian
bahwa menghindari kerusakan harus diutamakan dari memperoleh
keuntungan dalam suatu transaksi seperti perdagangan narkotika,
prostitusi, dan mengadakan perjudian misalnya. (A. Azhar Basjir,
1983:11)

 Asas kebajikan
Asas ini mengandung arti setiap hubungan perdata seyogyanya
mendatangkan kebajikan kepada kedua belah pihak dan pihak
ketiga dalam masyarakat. Kebajikan yang akan diperoleh
seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran pengembangan
kebaikan dalam rangka kekeluargaan (QS Al Maidah (5) :90).

35
 Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang
sederajat
Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat adalah
asas hubungan perdata yang disandarkan pada hormat
menghormati, kasih mengasihi serta tolong menolong dalam
mencapai tujuan bersama. Asas ini menunjukkan suatu hubungan
perdata antara para pihak yang menganggap diri masing-masing
sebagai anggota satu keluarga, kendatipun, pada hakikatnya,
bukan keluarga. Asas ini dialirkan dari bagian ayat 2 surat Al
Maidah dan hadist yang menyatakan bahwa umat manusia berasal
dari satu keluarga.
 Asas adil dan berimbang
Asas keadilan mengandung makna bahwa hubungan perdata tidal
boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan,
pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang
kesempitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil yang
diperoleh harus berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang
dilakukan.
 Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan
perdata, para pihak harus mengutamakan penunaian kewajibannya
lebih dahulu dari menuntut haknya, misalnya mendapat imbalan
(pahala), setelah ia menunaikan kewajibannya lebih dahulu. Asas
penunaian kewajiban lebih dahulu dari penuntutan hak merupakan
kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau
ingkar janji.
 Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengadakan
hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendiri dan orang lain
dalam hubungan perdatanya. Merusak harta, kendatipun tidak
merugikan diri sendiri, tetapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan

36
dalam hukum Islam. Ini berarti bahwa menghancurkan atau
memusnahkan barang, untuk mencapai kemantapan harga atau
keseimbangan pasar, tidak dibenarkan oleh hukum Islam (QS
2:188, 2:195, 3:130, 4:2, 4:29, 5:2, 66:6).

 Asas kemampuan berbuat atau bertindak


Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam
hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak
mengadakan hubungan itu. Dalam hukum Islam, manusia yang
dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan
perdata adalah mereka yang mukallaf, yaitu mereka yang mempu
memikul kewajiban dan hak, sehat jasmani dan rohaninya.
Hubungan yang dibuat oleh orang yang tidak mampu memikul
kewajiban dan hak, dianggap melanggar asas ini, karena itu
hubungan perdatanya batal karena dipandang bertentangan
dengan salah satu asas hukum Islam.
 Asas kebebasan berusaha
Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya setiap orang
bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi
dirinya sendiri dan keluarganya. Asas ini juga mengandung arti
bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
berusaha tanpa batasan, kecuali yang telah ditentukan batasannya
oleh hukum Islam.
 Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapat
hak, misalnya, berdasarkan usaha dan jasa, baik yang
dilakukannya sendiri maupun yang diusahakannya bersama-sama
orang lain. Usaha dan jasa haruslah usaha dan jasa yang baik
yang mengandung kebajikan, bukan usaha dan jasa yang
mengandung unsure kejahatan, kekejian, dan kekotoran tidak
dibenarkan oleh hukum Islam. Asas ini bersumber dari Al Quran

37
antara lain surat 6:164, 8:26, 16:72, 17:15, 17:19, 35:18, 39:7,
40:64, 53:38, 53:59.
 Asas perlindungan hak
Asas ini mengandung arti bahwa semua hak yang diperoleh
seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi. Bila hak itu
dilanggar oleh salah satu pihak dalam hubungan perdata, pihak
yang dirugikan berhak untuk menuntut pengembalian hak itu atau
menutut kerugian pada pihak yang merugikannya.
 Asas hak milik berfungsi sosial
Asas ini menyangkut pemanfaatan hak milik yang dipunyai oleh
seseorang. Menurut ajaran Islam, hak milik tidak boleh
dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja,
tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial. Agama Islam mengajarkan bahwa harta yang telah dapat
dikumpulkan oleh seseorang dalam jumlah tertentu, wajib, dalam
jangka waktu tertentu, dikeluarkan zakatnya untuk kepentingan
delapan golongan masyarakat yang berhak juga atas kekayaan
seseorang (QS Al Taubah(9) :60). Fungsi sosial hak milik dengan
tegas pula disebutkan Allah dalam bagian surat Al Hasyr (59) ayat
7 yang terjemahannya berbunyi ”…agar harta benda (seseorang)
tidak hanya beredar di antara (dalam kekuasaan) orang-orang kaya
saja. Karena di dalam harta kekayaan (orang yang punya) terdapat
hak peminta-minta dan (orang) terlantar” (QS Al Dzarriyat (51):19)
 Asas yang beritikad baik harus dilindungi
Asas ini erat kaitannya dengan asas lain yang menyatakan bahwa
orang yang melakukan perbuatan tertentu bertanggung jawa atau
menanggung resiko perbuatannya. Namum, juka ada pihak yang
melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang
tersembunyi dan mempunyai itikad baik dalam hubungan perdata,
kepentingannya harus dilindungi dan berhak untuk menuntut
sesuatu jika ia dirugikan karena itikad baiknya.

38
 Asas risiko dibebankan pada harta, tidak pada
pekerja
Asas ini mengandung penilaian yang tinggi terhadap pekerja dan
pekerjaan, berlaku terutama di perusahaan-perusahaan yang
merupakan persekutuan antara pemilik modal (harta) dan pemilik
tenaga (kerja). Jika perusahaan merugi maka, menurut asas ini,
kerugian hanya dibebankan pada pemilik modal atau harta saja,
tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin
haknya untuk mendapatkan upah, sekurang-kurangnya untuk
jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita
kerugian.
 Asas mengatur dan memberi petunjuk
Sesuai dengan sifat hukum keperdataan pada umumnya, dalam
hukum Islam berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan-
ketentuan hukum perdata, kecuali yang bersifat ijbari karena
ketentuannya telah qath’I, hanyalah bersifat mengatur dan memberi
petunjuk saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya
dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak dapat memilih
ketentuan lain berdasarkan kesukarelaan, asal saja ketentuan itu
tidak bertentangan dengan hukum Islam.
 Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
Asas ini mengandung arti bahwa hubungan perdata selayaknya
dituangkan dalam perjanjian tertulis di hadapan saksi-saksi (QS Al
Baqarah (2) :282). Namun, dalam keadaan tertentu, perjanjian itu
dapat saja dilakukan secara lisan di hadapan saksi-saksi yang
memenuhi syarat baik mengenai jumlahnya maupun mengenai
kualitas orangnya.

Asas-asas Hukum Perkawinan

39
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci)
antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi
perdata berlaku beberapa asas, di antaranya adalah:
 Asas Kesukarelaan
Asas ini merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam.
Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon
suami-istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak.
Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita,
merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Dalam berbagai hadist
nabi, asas ini dinyatakan dengan tegas.
 Asas Persetujuan kedua belah pihak
Asas ini merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi. Ini berarti
bahwa tidak boleh ada paksaan dala melangsungkan perkawinan.
Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang
pemuda, misalnya, harus diminta lebih dahulu oleh wali atau orang
tuanya. Menurut Sunnah nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan
dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai Sunnah juga dapat
diketahui, bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa
persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh pengadilan.
 Asas Kebebasan Memilih
Asas ini juga disebutkan dalam Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu
Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah
menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan
oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah
mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah)
dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang
tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya
dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang
yang disukainya.
 Asas Kemitraan Suami-Istri

40
Asas kemitraan suami-istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda
karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam Al
Quran surat An Nisa (4) ayat 34 dan surat Al Baqarah (2) ayat 187.
kemitraan ini menyebebkan kedudukan suami-istri dalam beberapa
hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi kepala
keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan
rumah tangga, misalnya.

 Asas Untuk selama-lamanya


Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk
melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang
selama hidup (QS Ar Rum (30) :21). Karena asas ini pula maka
perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-
senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam
masyarakat Arab Jahiliyyah dahulu dan beberapa waktu setelah
Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad.
 Asas Monogami Terbuka
Asas ini disimpulkan dari Al Quran surat An Nisa (4) ayat 3 jo. ayat
129. Di dalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria Muslim
dibolehkan atau boleh beristri lebih dari satu orang, asal memenuhi
beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mempu
berlaku adiol terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam
ayat 129 surat yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia tidak
mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin
berbuat demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil
terhadap istr-istrinya itu maka Allah menegaskan bahwa seorang
laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita saja. Ini berarti
bahwa beristri lebih dari seorang merupakan jalan darurat yag baru
boleh dilalui oleh seorang laki-laki Muslim jika terjadi bahaya,
antara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau,

41
istrinya, misalnya, tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai
istri.
Selain asas perkawinan di atas, asas dalam bidang hukum perdata
yang perlu diketahui juga adalah asas hukum kewarisan.
Asas hukum ‘kewarisan’ Islam yang dapat disalurkan dari Al Quran
dan Al Hadist diantaranya adalah:
 Ijbari

Ijbari terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti

bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli


warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah,
tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
Unsur keharusan (ijbari = compulsory) dalam hukum kewarisan
Islam terutama terlihat dari segi: ahli waris harus (tidak boleh tidak)
menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan
jumlah yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, calon
pewaris yaitu orang yang meninggal dunia pada suatu ketika, tidak
perlu merencanakan enggunaan hartanya setelah ia meninggal
dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartnya
akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah
dipastikan. Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat
dari beberapa segi lain yaitu:

a. Dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang


meninggal dunia;

b. dari jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing


ahli waris;

c. Dari mereka yang akan menerima peralihan harta


peninggalan, yang sudah ditentukan dengan pasti yakni

42
mereka yang mempunyaihubungan darah dan ikatan
perkawinan dengan pewaris.
 Bilateral
Asas ini berarti bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan
dari pihak kerabat keturunan perempuan. Asas ini terlihat dalam
surat An Nisa (4) ayat7, 11, 12, dan 176. Di dalam ayat 7 surat
tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat
warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya
dengan perempuan. Ia berhak mendapat warisan dalam kewarisan
bilateral. Secara terinci asas itu disebutkan juga dalam ayat-ayat
lain di atas.
 Individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada
mesing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
pelaksanaannya seluruh harta warisan dinytakan dalam nilai
tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam
hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing
sudah ditentukan. Bentuk kewarisan kolektif yang terdapat dalam
masyarakat tertentu, karena itu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sebab, dalam pelaksanaan sistem kewarisan kolektif itu, mungkin
terdapat harta anak yatim yang dkhawatirkan akan termakan,
sedang memakan harta anak yatim merupakan perbuatan yang
sangat dilarang oleh ajaran Islam.
 Keadilan berimbang
Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang
diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding

43
dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kawarisan
Islam, harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris
pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris
terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang
diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan
perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.
Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga,
mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya (QS 2:233) menurut
kemampuannya (QS 65:7). Tanggung jawab itu merupakan
kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari
persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan
bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain, tanggung jawab seorang
laki-laki hanyalah tambahan saja, sunnah hukumnya, kalua ia mau
dan mampu melaksanakannya. Berdasarkan keseimbangan antara
hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan,
sesungguhnya apa yang diperoleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan dari harta peninggalan, manfaatnya akan sama mereka
rasakan.
 Akibat kematian
Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau
ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-
mata sebagai ‘akibat kematian’ seseorang. Menurut ketentuan
hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kapda orang
lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang
yang mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta
seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut
sebagai harta kewarisan, selama orang yang mempunyai harta
masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara
langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah

44
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut
hukum Islam. Ini berarti bahwa kewarisan Islam adalah akibat
kematian seseorang atau yang disebut dalam hukum kewarisan
perdata Barat kewarisan ab intestate dan tidak mengenal
kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat seseorang pada waktu ia
masih hidup yang disebut dalam hukum perdata Barat dengan
istilah kewarisan secara testament. Asas ini mempunyai kaitan
dengan asas ijbari tersebut di atas yakni seseorang tidak
sekehendaknya saja menentukan penggunaan hartanya setelah ia
mati kelak. Melalui wasiat, menurut hukum Islam. Dalam batas-
batas tertentu, seseorang memang dapat menentukan
pemanfaatan harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, tetapi
wasiat mempunyai ketentuan tersendiri terpisah dari ketentuan
hukum kewarisan Islam. Dalam kitab hukum fiqih Islam, wasiat
dibahas tersendiri di luar hukum kewarisan (Amir Syarifuddin, 1984:
18-25).

45
II. HUKUM ISLAM DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Mengenai hal ini akan dikemukakan dari pendapat ahli Hukum
dan ahli Syariah yaitu :
1. Jimly Asshiddiqie49
Dalam Sebuah Makalahnya50 yang berjudul Hukum Islam dan
Reformasi Hukum Nasional beliau mengemukakan beberapa indikator
pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia antara lain :
a. Institusi Peradilan dan Lembaga Hukum Islam
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah
dikukuhkan dengan berdirinya system peradilan agama diakui dalam
sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya
Undang-Undang tentang Peradilan Agama tahun 1989, kedudukan
Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi
dengan ditetapkannya Ketatapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi
yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan
diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung, timbul
keragu-raguan di beberapa kalangan mengenai eksistensi pengadilan

49
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Mahkamah Konstitusi.
50
Makalah Disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam
Dalam Reformasi system Nasional diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, di Jakarta, 27 September 2000.

46
agama terutama dari kalangan pejabat di lingkungan Departemen Agama
yang mengkhawatirkan kehilangan kendali administaratif atas lembaga
pengadilan agama. Pembinaan kemandirian lembaga peradilan di bawah
Mahkamah Agung itu memang dilakukan bertahap, yaitu dengan jadwal
waktu lima tahun. Tetapi dalam masa lima tahun itu penelitian mengenai
baik buruknya pembinaan administaratif pengadilan agama di bawah
Departemen Agama atau di bawah Mahkamah Agung perlu mendapat
perhatian yang seksama..
b. Perkembangan Praktek Hukum Mu’amalat.
Pemberlakuan Hukum Islam di bidang mu’amalt tersebut dapat
dikatakan telah mempunyai kedudukannya yang tersendiri. Sebelum
berlakunya Undang-Undang Perbankan Tahun 1992, ketentuan Hukum
Islam di bidang perbankan belum diakui dalam kerangka sistem hukum
nasional. Akan tetapi sejak diberlakunnya UU tentang Perbankan 1992
yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Tahun 1993 dalam
rangka pelaksanaan UU Perbankan tersebut. System operasi Bank
Mu’amalat Indonesia berdasarkan syari’at Islam diakui secara hukum.
Sejak itu berkembang luas praktek penerapan sistem mu’amalat itu dalam
sistem perekonomian nasional dan praktek dunia usaha. Secara berturut-
turut dapat dikemukakan perkembangan Bank Perkreditan Syari’ah yang
berjumlah ratusan. Meskipun konsep pokoknya sendiri, yaitu konsep
hukum mu’amalat dalam sistem operasional Bank Perkreditan Rakyat
( BPR ) tersebut telah memperlihatkan kenyataan mengenai pembentukan
aspek hukum syariatnya..
Di samping Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syari’at itu,
dewasa ini telah pula berhasil dikembanngkan sebanyak lebih dari 3.000-
an lembaga-lembaga pembiayaan mikro di seluruh Indonesia, yang juga
menjalankan prinsip mu’amalat berdasarkan syari’at Islam. Lembaga-
lembaga pembiayaan ini disebut Baitul Maal wa al-Tamwil ( BMT ) yang
kadang-kadang di beberapa daerah disebut Balai Usaha Mandiri Terpadu
yang dibina dan dikembangkan oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil

47
( PINBUK ) yang bernaung di bawah Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
( YINBUK ). Yayasan ini didirikan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia ( ICMI ) bersama dengan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) dan
Bank Mu’amalat Indonesia ( BMI ). Di samping itu, atas prakarsa
Pengurus ICMI telah pula didirikan usaha asuransi yang menjalankan
prinsip syari’at ( takaful ) dengan nama Takaful Umum dan Takaful
Keluarga yang berdiri berdasarkan sistem syari’at Islam. Bahkan,
Pemerintah sendiri telah pula mengembangkan Bank Pemerintah
tersendiri yang menggunakan sistem syari’ah, yaitu dengan berdirinya
Bank Syari’ah Mandiri.
Untuk lebih mengukuhkan lagi kedududukan hukum mu’amalat ini,
UU Perbakan Tahun 1992 telah pula diperbaharui dengan UU tentang
Perbankan tahun 1998 yang makin mempertegas pemberlakuan sistem
Hukum Islam di bidang perbankan. Bahkan di lingkungan Bank Indonesia
juga telah diadakan Dewan Syariah.
c. Otononi Daerah dan Desentralisasi Sitem Hukum
Dalam pasal 18 ayat (5) Perubahan kedua UUD 1945 dinyatakan :
“ Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat. Dalam ayat (6) pasal tersebut dinyatakan pula “
Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. “.
Bahkan dalam pasal 18B ayat (1) dinyatakan pula “ Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.”
Artinya UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum
dalam masyarakat. Meskipun sistem peradilan nasional bersifat terstruktur
dalam kerangka sistem nasional, materi hukum yang dijadikan pegangan
oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Bahkan secara

48
historis, sistem hukum nasional Indonesia seperti dikenal sejak lama
memang bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem hukum
barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam ditambah praktek-
praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional
sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan
oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari
dunia internasional.
d. Hirarki Makna mengenai Hukum Islam
Sehubungan dengan digunakannya istilah-istilah hukum Islam,
syari’at Islam, fiqh Islam, dan Qanun Islam tersebut di atas, penting
disadari adanya ‘hirarki makna’ dalam konsep-konsep mengenai hukum
Islam tersebut. Melalui pendekatan hirarki makna ini, kita akan
mengetahui bahwa istilah-istilah yang biasa digunakan dalam hubungan
dengan terminologi hukum Islam itu, tidak saja mengandung perbedaan
pengertian semantik, tetapi memang berbeda secara konseptual dan
maknawi karena perkembangan sejarah. Pada hirarki pertama, pengertian
kita tentang norma atau kaedah hukum Islam itu bersifat konkrit dan
kontan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Allah Swt melalui
Rasulullah SAW yang langsung menjadi jawaban atas pertanyaan yang
timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan yang
terjadi di masa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pada waktu itu, maka
setiap wahyu yang mengandung norma hukum baik yang berisi kaedah
larangan ( haromat ), kewajiban ( fardu atau wajibat ), anjuran positif (
sunnat ), anjuran negatif ( makruh ), ataupun kebolehan ( ibadah ),
dapat langsung kita sebut sebagai norma hukum ( al-ahkaam ) yang
dikemudian hari, ketika umat Islam membutuhkan identitas pembeda
disebut dengan Hukum Islam.
Pada hirarki makna kedua, pengertian hukum Islam itu dapat
dikaitkan dengan masa sepeninggal Rasulullah SAW ketika dibutuhkan
usaha pengumpulan dan penulisan wahyu Ilahi itu ke dalam satu naskah.
e. Bentuk Peraturan Hukum ( Qanun )

49
Dengan pemberlakuan Syaria’at Islam di Aceh telah pula
ditetapkan Undang-Undang yang bersifat khusus yang memungkinkan hal
itu dilaksanakan segera. Karena itu, sejak berlakunya kebijakan otonomi
daerah dan undang-undang khusus tersebut, pembentukan Peraruran
Daerah yang berisi materi hukum syari’at Islam sudah dapat segera
dilakukan di Aceh. Tinggal lagi tugas para pakar membantu Gubernur dan
para anggota DPRD di Aceh untuk menyusun agenda perancangan yang
rinci berkenaan dengan pembentukan Peraturan Daerah tersebut.
Idealnya, Peraturan Daerah itu tidak lagi mengatur hokum Syari’at Islam
dalam judul besarnya melainkan sudah mengatur hal-hal yang rinci dan
spesifik. Misalnya ada Perda khusus berkenaan dengan sistem perbankan
Syari’at, ada Perda tentang Hakam dan Arbitrase Mu’amalat, ada Perda
tentang Tijaroh, ada Perda tentang waqaf, ada Perda tentang Wisata
Ziarah, ada Perda tentang Sandang Pangan, dan sebagainya. Semuanya
memuat substansi tentang hukum Sayri’at Islam secara konkrit. Dalam
sistem Hukum Islam, status peraturan daerah itu sama dengan “qanun “
yang merupakan pelembagaan resmi materi Fiqh Islam.

f. Pembinaan Kesadaran Hukum Masyarakat


Pembinaan kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat itu
perlu dikembangkan, baik melalui saluran pendidikan masyarakat dalam
arti yang seluas-luasnya maupun melalui saluran media komunikasi
massa dan sistem informasi yang menunjang upaya pemasyarakatan dan
pembudayaan kesadaran hukum yang luas. Sudah saatnya semua pihak
menanamkan keyakinan yang sungguh-sungguh mengenai pentingnya
menempatkan hukum sebagai ‘kalimatun sawa’ atau ‘ pegangan normatif “
tertinggi dalam kehidupan bersama.
Pengakuan terhadap sistem Hukum Islam, sebagai bagian tak
terpisahkan dari sistem hukum nasional , akan berdampak sangat positif
terhadap upaya pembinaan hukum nasional setidak-tidaknya , kita dapat

50
memastikan bahwa di kalangan sebagian terbesar masyarakat Indonesia
yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kesadaran kognitif dan pola perilaku
mereka dapat dengan mudah memberikan dukungan terhadap norma-
norma yang sesuai dengan kesadaran dalam menjalankan syariat
agama. Dengan demikian dalam upaya membangun sistem supremasi
hukum di masa yang akan datang hal itu akan sangat berbeda jika norma-
norma hukum yang diberlakukan justru bersumber dan berasal dari luar
kesadaran hukum masyarakat.
b. Pembenaran Filosofis dan Ketatanegaraan.
Perkembangan kearah adopsi yang makin luas terhadap sistem
Hukum Islam yang bersesuaian dengan dinamika kesadaran hukum
dalam masyarakat kita, yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan serta diwujudkan dalam esensi kelembagaan
hukum yang dikembangakan dapat dikaitkan pula dengan pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat filosofis dan ketatanegaraan . Secara umum
dapat diakui bahwa UUD 1945 mengakui dan menganut ide ke-Tuhanan
Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Ide Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak saja ditegaskan dalam
rumusan Pembukaan UUD yang menyebut secara eksplisit adanya
pengakuan ini, tetapi juga dengan tegas mencantumkan ide Ketuhanan
Yang Maha Esa itu sebagai sila pertama dan utama dalam rumusan
Pancasila. Bahkan, dalam pasal 29 UUD 1945, ditegaskan pula bahwa
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam pasal 9
ditentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku
jabatan diwajibkan untuk bersumpah “ Demi Allah “
Ide Ke-Maha Esaan Tuhan itu bahkan dikaitkan pula dengan ide Ke-
Maha Kuasaan Tuhan yang tidak lain merupakan gagasan Kedaulatan
Tuhan dalam pemikiran kenegaraan Indonesia, Namun prinsip Kedaulatan
Tuhan itu berbeda dari paham teokrasi barat yang dijelmakan dalam
kekuasaan raja, maka dalam sistem pemikiran ketatanegaraan
berdasarkan UUD 1945, hal itu dijelmakan dalam prinsip-prinsip

51
kedaulatan rakyat. Selanjutnya prinsip kedaulatan rakyat dijelmakan ke
dalam system kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR )
yang selanjutnya akan menentukan haluan-haluan dalam
penyelenggaraan negara berupa produk-produk hokum tertinggi, yang
akan menjadi sumber bagi penataan dan pembinaan system hokum
nasional MPRlah yang dijadikan sumber kewenangan hukum bagi upaya
pemberlakuan sistem hukum Islam itu dalam kerangka sistem hukum
nasional.
Dari perspektif Hukum islam, proses pemikiran demikian dapat
dikaitkan dengan pemahaman mengenai konsep ‘theistic democracy’
yang berdasar atas hokum ataupun konsep ‘divine nomocracy’ yang
demokratis yang berhubungan erat dengan penafsiran inovatif terhadap
51
terhadapa ayat al Qur’an yang mewajibkan ketaatan kepada Allah,
kepada Rasulullah, dan kepada ‘ullil amri’ Pengertian ulil amri seringkali
disalahpahami sebagai konsep mengenai ‘pemimpin’( ‘waliyu al amri’),
justru dipahami sebagai konsep mengenai ‘pemimpin’ atau ‘para
pemimpin yang mewakili rakyat ( ulul amri ). Karena itu, konsep parlemen
dalam pengertian modern dapat diterima dalam kerangka pemikiran
hokum Islam, melalui mana norma-norma hukum Islam itu diberlakukan
dengan dukungan otoritas kekuasaan umum, yaitu melalui
pelembagaannya menjadi ‘qanun’ atau peraturan perundang-undangan
Negara. Karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Hukum Islam dalam
kerangka sistem Hukum Nasional Indonesia sangat kuat kedudukannya,
baik secara filosofis, sosiologis, politis, maupun yuridis. Meluasnya
kesadaran mengenai reformasi hukum nasional dewasa ini justru
memberikan peluang yang makin luas bagi sistem Hukum Islam untuk
berkembang makin luas dalam upaya memberikan sumbangan terhadap
perwujudan cita-cita menegakkan supremasi hukum sesuai amanat
reformasi.

51
TQs :al-Qur’an Surat An Nisaa ayat 59.

52
2. H.A. Djazuli 52
Menurut beliau Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia dapat
dilihat dari beberapa Pentaqninan yaitu :
a. Dalam Bidang Al-Ahwal al-Syakhskiyah ( Hukum Keluarga )
Pentaqninan dibidang Hukum keluarga ini merupakan contoh di
mana pengaruh hukum Barat terhadap materi hukum Islam relatif kecil
bahkan tidak ada, dan merupakan benteng terakhir yang diterapkan
pemerintah kolonial di dunia Islam yang merupakan daerah jajahannya.
Di Indonesia dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik, mendorong kebutuhan untuk
pentaqninan di dalam hukum keluarga, di tambah dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan..dengan
amandemen nomor 3 tahun 2006
Kenyataan di lapangan hukum Islam yang ditetapkan di lingkungan
Peradilan agama yang menuju kepada kitab-kitab fiqig terdapat banyak
perbedaan pendapat di kalangan ulama, untuk mengatasi hal ini
diperlukan adanya satu buku-buku hukum yang menghimpun semua
hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yang dapat
dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya,
sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastiann hukum. 53.
Di bidang Wakaf sekarang telah keluar Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf, tanggal 27 Oktober 2004, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159. Perkembangan benda yang
diwakafkan di Indonesia jelas dari yang asalnya hanya tanah ( PP nomor
28 tahun 1977 ) kemudian di samping tanah juga benda bergerak ( Inpres
Nomor 1 tahun 1991 ), dan selanjutnya rincian benda bergerak, dalam hal
ini yang menarik adalah wakaf uang dan kekayaan intelektual, yang

52
Guru Besar Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, wawancara, pada tanggal
28 Februari 2006, Hari Selasa, pada jam 16.00.
53
Kompilasi hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat
Jenderal Pembinaan Agama Islam, Departemen Agama, 1991/1992.

53
keduanya diawali dengan Fatwa MUI, hal ini mengandung arti bahwa hasil
fatwa yaitu fiqh tetap menjadi bahan untuk pentaqninan di samping bahan-
bahan yang sudah ada di dalam kitab-kitab Fiqih.
Di bidang Zakat di Indonesia belum ada Undang-Undang Zakat yang
ada baru Undang-Undang tentang pengelolaan zakat yaitu Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999, dan pelaksanaannya yaitu dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999, dengan demikian
maka aturan zakatnya yang terperinci mmasih tersebar di dalam kitab-
kitab fiqih dan fatwa ulama sampai sekarang, meskipun beberapa istilah
( pasal 1 ) dan harta yang wajib di zakati sudah disinggung Undang-
Undang nomor 38 Tahun 1999 barangkali lebih tepat disebut
pengadministrasian zakat di Indonesia.

b. Pentaqninan di Bidang Mua’malah


Di Indonesia baru tahun 1992 didirikan Bank Muamalah Indonesia,
dan kemudian bermunculan Bank Syari’ah lain di Indonesia seperti Bank
Sayri’ah Mandiri, BNI syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah,
Bank JFJ Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah.
Sedangkan Bank Pembangunan Daerah yang pertama mendirikan
Unit Syari’ah adalah Bank Jabar Syari’ah yang diresmikan oleh HR
Nuriana, Gubernur Jawa Barat pada tanggal 20 Mei 2000, dan sekarang
sudah mulai bermunculan Bank Syari’ah pada Bank Pembangunan
Daerah seperti Bank Syari’ah Riau, Bank Pembangunan Aceh, dan Bank
Syari’ah DKI Jakarta yang baru diresmikan pada tahun 2004.
Perbankan Syari’ah dipertegas dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 , Kemudian disusul dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/Kep/Dir tentang Bank Umum. Pada
Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 (m) disebutkan tentang Dewan Syari’ah
Nasional dan Dewan Pengawas syari’ah.
Setelah keluarnya undang-undang tersebut ternyata perkembangan
perbakan syari’ah cukup pesat, dalam jaringan perbankan syari’ah

54
maupun dalam jumlah asset dan pembiayaan. Dalam tahun 1992 jumlah
kantor bank baru 1 tahun 1999 jumlah kantor Bank menjadi 40, tahun
2002 jumlah kantor menjadi 138, tahun 2003 menjadi 255 jumlah asset
tahun 2000 sekitar 2 triliun, tahun 2001 sekitar 3 triliun, tahun 2002 sekitar
4triliun dan tahun 2003 sekitar 8 triliun, sedangkan di bidang pembiayaan
tahun 2000 baru sekitar 1 triliun, tahun 2002 sekitar 3 triliun, dan tahun
2003 sekitar 5 triliun.
Pada tanggal 27 Juli 1993, ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa
bersama Bank Muammalat Indonesia ( BMI ) dan perusahaan Asuransi
Tugu Mandiri sepakat memprakarsai pendirian Asuransi Takaful dengan
menyusun Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia ( Tepati ).
Sedangkan pada tahun 2003 didirikan pegadaian Syari’ah.
Pada tanggal 14 Maret 2003 Pasar Modal Syari’ah diresmikan oleh
Menkeu Boediono didampingi Ketua Bapepam Herwidayatmo, wakil dari
MUI, wakil dari DSN pada direksi SRO, diresksi perusahaan efek,
pengurus organisasi pelaku, dan asosiasi profesi di pasar modal
Indonesia.
Hadirnya Bank Mu’amalat , Asuransi Takaful, dan tumbuhnya
lembaga keuangan syari’ah menimbulkan sikap optimis meningkatnya
gairah investor yang berbasis pada investor muslim. Bapepam mulai
melakukan inisiatif untuk mewadahi investor muslim, maka mulai tahun
1997 dihadirkan reksadana Sayri’ah. Kemudian disusul dengan lahirnya
Obligasi Syari’ah dan LC Syari’ah.
c. Di bidang Fiqih Dusturiyah
Beda dengan Pakistan, Majelis Syura di Pakistan sama dengan
parlemen. Di beberapa Negara di dunia Islam ada menyebutkan Islam
sebagai agama resmi Negara ( din al-daulah ) misalnya Saudi Arabia,
Libya dan Mesir, ada juga yang mensyaratkan kepala negaranya
beragama Islam seperti Syiria,
Di Indonesia Islam tidak dijadikan sebagai agama resmi atau agama
kepala Negara, akan tetapi di dalam Pancasila sila pertamanya adalah

55
Ketuhanan yang Maha Esa. Selain itu di dalam bab XI Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaan itu.
d. Di bidang Qadla
Pada tahun 1989 lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
3/2006/ 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama sebagai perwujudan
dari salah satu Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.. Adapun tentang
tingkatan Lembaga peradilan pada umumnya sama, yaitu tingkat
pertama , tingkat banding dan tingkat terakhir tingkat adalah kasasi.
Pengadilan Agama pada tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama
adalah tingkat banding, dan terkahir Mahkamah Agung untuk tingkat
Kasasi. Pengadilan Agama berkedudukan di kota atau ibu kota
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota dan kabupaten,
Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi provinsi.
Atas prakarsa MUI telah menandatangani pendirian Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia ( BAMUI ) pada tanggal 21 Oktober 1993, kemudian
dengan SK Nomor 09/MUI/XII/2003 tanggal 30 syawal 1424 H/ 24
Desember 2003 M, telah menetapkan :
1) mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia menjadi
Badan Arbitrase syari’ah Nasional ( Basyarnas ) ,
2) mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi
badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat
organisasi MUI,
3) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga
hokum Badan Arbitrase Syariah Nasional bersifat otonom dan
independent.
e. Di bidang Jinayah

56
Di banyak Negara di Dunia islam yang pernah di jajah oleh negara-
negara barat , sampai sekarang masih menggunakan hukum pidana
dari Negara yang menjajahnya, kasus Indonesia misalnya, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana berasal dari Wetboek van Strafrecht
Voor Indonesia. Ada keinginan untuk menyusun Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan yang lama.
Pemerintah Indonesia sekitar tahun 2001 telah memuat rancangan
undang-undang tentang Kiatab Undang-Undang Hukum Pidana ini
terdiri dari 647 Pasal, dan telah didiskusikan di berbagai lembaga
pendidikan perguruan tinggi, lembaga keumatan dan MUI, termasuk
MUI Jawa Barat pada tanggal 27 Juni 2002 yang merekomendasikan
antara lain ;
1)diterapkan lagi pidana mati sebagai hukuman pokok dalam
pembunuhan dan kejahatan-kejahatan yang berbahaya bagi
masyarakat,
2)penindakan yang sama terhadap seluruh warga Negara tanpa
memandang jabatan/posisi social, politik, ekonomi,
3)diakuinya sanksi kompensasi jika pihak korban memberi
pemaafan,
4)di dalam tindak pidana susila, sifat sanksi tidak alternatif tapi harus
komulatif,
5)sanksi dikenakan terhadap semua pihak yang terkait dalam
kejahatan susila.
Di dalam pidana Islam menanggulangi kejahatan dilakukan secara
lebih komprehensif dari mulai memperkokoh keimanan, memperbaiki
akhlak masyarakat sampai menghilangkan sebab timbulnya kejahatan
seperti kemiskinan,dan keterbelakangan dan memberi sanksi yang
memiliki daya preventif dan represip ( al-raddu wa al-jazzu )
Sedangkan kejahatan-kejahatan yang sangat menganggu
ketertiban hidup masyarakat yang disebut jarimah Hudud dan Qishash
Diyat adalah pembunuhan , perlukaan , pencurian, perampokan,

57
pemabukan, perzinahan, pemberontakan, yang dijelaskan sanksinya
dalam al Qur’an dan al Hadits. Sedangkan kejahatan-kejahatan lainnya
sanksinya diserahkan kepada Ulil Amri.
Dari uraian sub judul pembelakuan Hukum Islam di Indonesia
dalam bab ini penulis mencoba menggambarkanya dalam sebuah Tabel
Tabel 1
Ruang Lingkup Hukum Islam Pentaqninan
1. ibadah
2. Bidang Hukum UU No.1 tahun 1974 , KHI Inpres
Keluarga yaitu : No.1 tahun 1991.
a. Hukum Buku II KHI Inpres No.1/1991.
Perkawinan ( Fiqih
Munakahat ) PP No. 28 tentang Perwakafan
b. Hukum Buku III Hukum Perwakafan
Kewarusan ( Fiqih Mawaris ) Inpres
c. Hukum No. 1 tahun 1991.uu
Perwakafan.

3. Bidang Mu’amalat Perma nomo2 tahun 2008 tentang


yaitu : KHES
a. Perbankan UU No. 21 Tahun 2008.
Syariah dan BPR
Syariah UU No.2 tahun 1992
b. Asuransi PP No. 10 Tahun 1990
Syariah Kebijakan Pemerintah
c. Pegadaian Fatwa MUI dan Pedoman Menteri
Syariah Keuangan
d. Pasar Fatwa Dewan Syariah Nasional
Modal Syariah No.
e. Reksadana 20/DSN-MUI/IV/2001.

58
Syariah Pasal 29 UUD 1945
UU. No.7 tahun 1989 diubah nomor
f. Obligasi 3 tahun 2006
Syariah perda
UU. No 5 tahun 2004.
4. Bidang Siyasah
5. Bidang Qadla yaitu : SK. No. 09/MUI/XII/2003
a. Pengadilan Agama dan Kitab Undang-Undang Hukum
peradilan syariat di aceh Pidana ( KUHP )

b. Badan Arbitrase Syariah


Nasional ( Basyarnas )
5. Bidang Jinayah

Sumber Dari Wawancara dengan H.A. Djazuli


Guru Besar Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung Jawa Barat

59

Anda mungkin juga menyukai