Anda di halaman 1dari 4

Asmara Nababan*

Komisi Yudisial dan Gerakan Demokrasi di

Indonesia

Pendahuluan

Dimulainya era reformasi tahun 1998 menandai babak baru dalam perjalanan
demokrasi di Indonesia. Orang pada umumnya berharap akan dimulainya upaya
bertahap untuk merevitalisasi atmosfir demo-krasi di Indonesia, sesuatu yang nyaris
hilang ditelan pemerintahan otoritarian Soeharto selama lebih dari 32 tahun.
Setelah reformasi berjalan selama lebih dari delapan tahun, memang terjadi beberapa
perubahan signifikan. Sejumlah kebebasan fundamental sipil, yang dulu 'mahal' untuk
dinikmati, secara umum telah menjadi bagian hidup masyarakat. Orang lebih bebas untuk
berserikat/berorganisasi, mengemukakan pendapat di muka umum, tanpa takut
dimasukkan ke dalam bui dengan tuduhan melakukan pidana haatzai artikelen, atau lebih
berat lagi pidana subversif. Setelah pemilihan umum 2004 ber-langsung secara damai dan
relatif lancar, orang mulai mencoba terbiasa untuk berpolitik. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa ada berbagai perkembangan positif yang terjadi saat revitalisasi
demokrasi berlangsung di Indonesia.
Namun, apa betul demokratisasi di Indonesia sudah berjalan lancar? Bagaimana
dengan realita penegakan hukum, akses masyarakat terhadap keadilan, serta integritas
dan inde-pendensi lembaga peradilan jika dikaitkan dengan gerakan demo-kratisasi di
Indonesia?
Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan pertanyaan-per-tanyaan tersebut di
atas dengan merefleksikan peran Komisi Yudisial dalam proses demokratisasi dan
penegakan hukum di Indonesia.

Demokrasi Berbasis Hak Asasi Manusia yang Bermakna

Demokrasi berasal dari Bahasa Latin, gabungan dari dua kata demos (rakyat, people) dan
kratos (kedaulat-an, power). Secara sederhana, demo-krasi dapat diartikan sebagai
ke-daulatan rakyat. Dalam konteks negara, demokrasi berarti pelak-sanaan fungsi-fungsi
kenegaraan yang mengedepankan aspirasi/kehendak rakyat.
Dalam dunia akademis, ada ber-bagai definisi operasional yang dipakai untuk
memaknai demokrasi. Salah satu yang sedang terus-menerus dikembangkan adalah
'demokrasi berbasis hak asasi ma-nusia yang lebih bermakna'. Teori ini dikembangkan
oleh David Beetham (Inggris) yang berpendapat bahwa tujuan demokrasi adalah kontrol
rakyat terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan politik. Tujuan ini
mensyaratkan partisipasi semua orang, otoritas wakil rakyat dan pejabat terpilih yang
mewakili berbagai aliran dan komposisi sosial masyarakat. Juga perlu adanya tanggung
jawab dan transparansi wakil rakyat dan pejabat atas apa saja yang mereka lakukan.
Singkatnya, rakyat harus bisa memanfaatkan instrumen-instru-men demokrasi yang
tersedia sehing-ga bisa menjadi bermakna dalam arti meningkatkan kualitas hidup
mere-ka. Instrumen kebebasan berpen-dapat dan berorganisasi sedemikian rupa harus
dapat dimanfaatkan untuk menjamin hak-hak sosial-ekonomi ( hak atas pendidikan,
kesehatan, perumahan). Demikian pula, instrumen lembaga peradilan idealnya dapat
dimanfaatkan publik untuk menjamin perlindungan terhadap kebebasan sipil-politik
serta perlindungan sosial-ekonomi rak-yat. Dengan demikian jelas bahwa demokrasi
bukan hanya soal kebe-basan sipil dan politik, tetapi mutlak mensyaratkan adanya rule of
law. Hukum dibutuhkan untuk memas-tikan adanya jaminan kapasitas kontrol rakyat
terhadap berbagai urusan publik. Lebih dari itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya
praktek penegakan hukum yang jelas dan tegas. Tanpa kedua hal tersebut, maka
demokrasi hanya akan menjadi sekadar proyek libe-ralisasi politik, tak bermakna, dan
kehilangan esensi keberadaannya.

Defisit Demokrasi: Kebebasan Sipil-Politik vs Rule of Law

Dalam studi “Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia”


(Demos:2005)1, dite-mukan fakta bahwa ada kemajuan situasi kebebasan sipil dan politik
di Indonesia seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:
Namun, sayangnya kebebasan sipil-politik itu tidak diikuti dengan aspek-aspek
demokrasi lainnya. Berbagai hak dan institusi demokrasi yang vital untuk menjalankan
kebebasan-kebebasan tersebut di atas, ternyata menunjukkan kinerja dan cakupan kerja
yang buruk. Maka terjadi defisit demokrasi; demokrasi yang merugi karena kebanyakan
instrumen pelaksananya tidak ber-operasi sebagaimana mestinya. Defisit demokrasi juga
terjadi pada aspek-aspek demokrasi yang ber-kaitan dengan isu penegakan hu-kum. Data
studi Demos menunjuk-kan sebagai berikut:
Dengan kondisi seperti ini, jelas rule of law masih jauh dari kualitas dan cakupan yang
memadai untuk membuat demokrasi menjadi ber-makna. Mewujudkan rule of law dalam
proses politik, ekonomi, dan sosial menjadi satu kondisi yang niscaya dalam kerangka
kerja politik demokrasi.

Fungsi Komisi Yudisial: Mendemokratisasi Lembaga Kehakiman

Secara legal formal, pendirian Komisi Yudisial Republik Indonesia pada bulan Agustus
2005 didasarkan pada pasal 24, 24A, dan 24B UUD 1945 (perubahan ketiga UUD 1945)
guna mewujudkan “kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 13 UU No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial menetapkan dua wewenang utama dari Komisi Yudisial adalah:
a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan b) menegakkan
kehor-matan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Konsideran butir b
UU No. 22 tahun 2004 menegaskan bahwa Komisi Yudisial diharapkan dapat memainkan
peran-an penting untuk “mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan
hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna
mene-gakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim”.
Secara sosio-politik, pendirian Komisi Yudisial merupakan sebuah upaya untuk
menanggulangi realita buruknya praktek penegakan hu-kum dan keadilan di Indonesia.
Umumnya orang berharap bahwa kehadiran Komisi Yudisial dapat membantu
mengembalikan kewiba-waan dan kepercayaan publik pada lembaga peradilan. Bahkan
Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi RI, berharap pemben-tukan Komisi
Yudisial dapat mem-perkuat agenda pemberantasan korupsi di lingkungan peradilan,
terutama dengan memastikan dilak-sanakan fungsi kehakiman secara berwibawa, adil,
bersih, dan trans-paran.2
Jika memperhatikan alasan-alasan pembentukan Komisi Yudi-sial tersebut di atas,
jelas bahwa Komisi Yudisial memiliki dua fungsi penting dalam upaya penegakan
hukum dan keadilan di Indonesia: pertama, Komisi Yudisial berfungsi untuk
merepresentasikan kontrol publik ke dalam lembaga peradilan. Ini adalah langkah
spektakuler, pertama kali dalam sejarah di Indonesia sejak 1945, lembaga pera-dilan
tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang terbiasa eksklusif, steril, dan untouchable dari
penga-wasan publik. Itu sebabnya, para anggota Komisi Yudisial adalah mereka yang
dinilai memiliki integritas pribadi, kepekaan sosial-politik, serta wawasan hukum
yang luas. Para anggota Komisi Yudisial diharapkan dapat merepresen-tasikan
kepentingan bagi terwu-judnya akses hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Kedua, bersama-sama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial ber-peran untuk 'membentuk' (reshaping) peradilan di Indonesia.
Mengembalikan rasa percaya pu-blik pada kemampuan lembaga peradilan sebagai
benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan. Berbeda dengan Mahkamah
Kons-titusi yang bertanggung jawab atas penegakan konstitusi dalam setiap produk
hukum, Komisi Yudisial diberi tanggung jawab konstitu-sional untuk mengontrol
kinerja dan perilaku para hakim; sang ujung tombak penegakan hukum di lembaga
peradilan.
Karena itu, Komisi Yudisial bertanggung jawab secara hukum dan politik
memastikan berlang-sungnya proses demokrasi dalam tubuh lembaga peradilan,
khusus-nya berkenaan dengan person para hakim. Itu sebabnya dalam melak-sanakan
tugasnya, Komisi Yudisial wajib menjadi lebih kreatif dalam menggali rasa keadilan
rakyat; tidak bergantung pada kaidah-kaidah normatif, tetapi secara kritis dan sensitif
mengakomodasi diskursus dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat kini.

Apa yang Harus Dilakukan

Faktanya memang tak mudah bagi Komisi Yudisial untuk men-jalankan


pekerjaannya.
Sejarah ekslusifitas dan sterilnya lembaga kehakiman dari kontrol pihak luar, amat
potensial menim-bulkan perlawanan dan gesekan-gesekan panas. Komisi Yudisial
dapat dianggap sebagai penggang-gu kemapanan eksistensi hakim. Menembus Le
spirit de corps dalam lembaga kehakiman juga meru-pakan kendala tersendiri.
Jika demikian keadaannya, Ko-misi Yudisial harus dengan tegas menyadari bahwa
eksistensinya adalah untuk memastikan bahwa penegakan hukum dan keadilan tidak
dapat diserahkan pada nego-siasi kaum elit dan 'kemurahan' hati segelintir orang
semata. Komisi Yudisial wajib menyadari bahwa esensi keberadaannya adalah untuk
memutus budaya lobby dan jual-beli putusan pengadilan, dengan mendemokratisasi
lembaga pera-dilan. Itulah sebabnya, fungsi Komisi Yudisial adalah fungsi
mempolitisasi mengadakan kon-trol publik secara signifikan ke dalam proses
demokrasi di lem-baga peradilan.
Untuk itu, Komisi Yudisial perlu meluaskan gerakan dukungannya. Sejarah
membuktikan perdebatan dan wacana eksklusif hanya akan menimbulkan antipati
publik atas keberadaan lembaga-lembaga formal baru. Jika Komisi Yudisial tidak
ingin kehilangan dukungan publik, maka ia harus memiliki kemam-puan untuk
meyakinkan publik untuk mendukung tugasnya. Salah satu cara adalah dengan tidak
melokalisir isu kinerja Komisi Yudisial hanya untuk sekelompok orang semata.
Diperlukan kemam-puan untuk menganalisa dan men-terjemahkannya dalam bentuk
isu yang melibatkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Misalnya, isu
pengabaian beberapa rekomendasi Komisi Yudisial hen-daknya dapat diterjemahkan
seba-gai isu buruknya kepatuhan apa-ratur negara terhadap hukum dan mandat
konstitusi.
Di sisi lain, dukungan kelom-pok-kelompok masyarakat sipil hendaknya dapat
dimanfaatkan secara efektif sebagai modal untuk membangun pakta/aliansi yang
berorientasi pada rule of law di Indonesia. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk
mentrans-formasi isu spesifik dalam lingkup kerja Komisi Yudisial menjadi isu
kepentingan-kepentingan faktual menyangkut penegakan hukum dan keadilan yang
penting bagi orang banyak sehingga dukungan terhadap Komisi Yudisial tidak
terbatas pada sekelompok atau golongan orang tertentu saja.

* Direktur Eksekutif Perkumpulan DEMOS, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi. asmara@demos.or.id.
1 Pada tahun 2003-2005, Perkumpulan DEMOS mengadakan studi untuk mengaudit/menilai demokratisasi di
Indonesia pasca 1998. Berbeda dengan studi sejenis lainnya, studi ini mendasarkan analisisnya pada pendapat dan
pandangan reflektif dari sekitar 800 orang aktivis pro-demokrasi yang tersebar di 32 provinsi. Mereka ini adalah
para aktor yang secara luas dikenal dan diakui expertise dan kapasitasnya dalam upaya pemajuan demokrasi wilayah
isu dan lokalnya. Untuk lebih jelasnya, lihat: Demos, “Menjadikan Demokrasi Bermakna, Masalah dan Pilihan di
Indonesia”, Jakarta, 2005.
2 Harian Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2005.

Anda mungkin juga menyukai