Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dalam perjalanan sejarah ekonomi Indonesia, hancurnya struktur ekonomi Indonesia dimulai
dengan masuknya penjajah ke negeri ini. Ketika penjajahan fisik berlalu, para penjajah kemudian
memaksakan penerapan sistem ekonomi kapitalis dalam rangka tetap mempertahankan
penjajahannya terhadap negara Indonesia. Mekanisme dan prinsip ekonomi kapitalis, khususnya
yang terkait dengan APBN adalah:
Dalam konsep ini, dana di dalam negeri dipandang tidak cukup untuk membangun perekonomian
sehingga diperlukan sumber dari luar negeri. Lalu, dengan dalih membantu dan membangun
perekonomian negara-negara bekas jajahannya, negara-negara kapitalis memberikan pinjaman.
Pinjaman ini pada umumnya berbentuk alat atau bantuan tenaga ahli. Akibatnya, utang luar
negeri ini hanya menguntungkan negara-negara pemberi modal. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
(a) adanya net transfer (yang masuk lebih kecil dibandingkan dengan yang keluar) sumber-
sumber keuangan negara-negara penerima utang pada negara-negara kreditor; (b) munculnya
ketergantungan negara-negara peminjam kepada negara kreditor, baik secara finansial maupun
ekonomis. Kondisi ini telah menyebabkan negara Indonesia masuk dalam perangkap utang (debt
trap) yang sangat sulit (mustahil) untuk dibayar. Untuk RAPBN Indonesia tahun 2006, misalnya,
Indonesia harus membayar utang luar negeri sebesar Rp 60.302 triliun.
Turunannya adalah perdagangan bebas dan liberalisasi maupun tekanan untuk melakukan
privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Dampak dari kebijakan ini adalah Pemerintah
kehilangan sumber pendapatan negara yang berasal dari harta milik umum dan milik negara yang
harus diprivatisasikan. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil melalui pajak atau pembagian
laba dari penyertaan modal pada perusahan tersebut. Contoh: penguasaan hutan dan barang
tambang oleh perusahaan swasta. Hutan di Indonesia yang luasnya 143.7 juta hektar dikuasai
sebagian besarnya oleh 12 orang konglomerat. Akibatnya, hasil hutan sebesar US$ 2.5 miliar
pertahun yang masuk ke negara hanya 17%, sisanya 83% masuk ke swasta (1993).
Yang tidak kalah pentingnya, penerapan sistem ekonomi kapitalis yang mengakibatkan defisit
APBN adalah adanya kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara yang disebabkan oleh
praktik kolusi dan korupsi oleh para pejabat negara. Bahkan dalam masalah ini Indonesia
menunjukan ‘prestasi’ yang luar biasa, yaitu menduduki posisi ke-3 besar dalam kelompok
negara yang terkorup.
Syaikh Abdul Qadim Zallum (1983) dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah
(Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber
pemasukan negara. Adapun politik pembiayaan negara telah dibahas secara detail oleh Syaikh
Dr. Abdurrahman al-Maliki (2001) dalam bukunya tersebut di atas.
Dalam buku tersebut dijelaskan sumber-sumber pemasukan Negara Khilafah yang dikumpulkan
oleh lembaga yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan Negara Islam, yang mempunyai
tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.
Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi
5 sumber:
Benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok:
1. Fasilitas umum. Fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia
secara umum; jika tidak ada dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan menyebabkan
kesulitan dan dapat menimbulkan persengketa-an. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll.
2. Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar
termasuk milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak,
besi, tembaga, dll.
3. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini
meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.
Potensi Indonesia untuk pendapatan negara yang berasal dari kepemilikan umum bisa dilihat dari
sebagian sumber-sumber di bawah ini:
Potensi tambang.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki potensi hasil tambang yang cukup besar.
Sebagian potensi hasil tambang Indonesia dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Potensi Hasil Tambang Indonesia
Jenis Tambang Potensi Rata-rata Produksi Pertahun
MinyakGasBatu BaraEmasTimah 9.746.40 juta barel176.60 triliun kubik145.8 miliar ton1.300
ton- 1.252.000 barel3.04 triliun kubik100.625.000126,6 Ton34.247 metrik ton
Tabel 2. Potensi Laut Indonesia.
Jenis Hasil Pertahun
Ikan Laut (Potensi Lestari)Perairan laut dangkal (Budidaya)Lahan Pesisir 6.400.000
ton47.000.000 ton5.000.000 ton
Dari data di atas, untuk nilai emas saja dengan asumsi harga sekarang Rp 140.000 pergram,
dihasilkan pendapatan sebesar Rp 17.640 triliun.
Dari potensi laut tersebut, menurut S. Damanhuri diperkirakan potensi pendapat dari sektor
kelautan adalah sebesar US$ 82 miliar dengan asumsi 1 $ sebesar Rp 10.000. Artinya, dari
potensi laut dapat dihasilkan pendapatan sebesar Rp 820 triliun (1.5 kali lipat lebih dari RAPBN
2006).
Potensi hutan Indonesia juga cukup tinggi. Hasil hutan dalam bentuk kayu saat ini diperkirakan
sebesar US$ 2.5 miliar. Hasil-hasil ekspor tumbuhan dan satwa liar tahun 1999 sebesar US$ 1.5
miliar. Hasil hutan lainnya adalah rotan; Indonesia saat ini memasok sekitar 80 sampai 90%
kebutuhan dunia.
Jenis pendapatan kedua adalah pemanfaatan harta milik negara dan BUMN. Harta milik negara
adalah harta yang bukan milik individu tetapi juga bukan milik umum. Contoh: gedung-gedung
pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, serta aktiva tetap lainnya. Adapun BUMN bisa
merupakan harta milik umum kalau produk/bahan bakunya merupakan milik umum seperti hasil
tambang, hasil hutan, emas, dan lain-lain; bisa juga badan usaha yang produknya bukan
merupakan milik umum seperti Telkom dan Indosat.
Sebagai gambaran, Pemerintah saat ini memiliki BUMN sekitar 160 buah. Jumlah BUMN yang
meraih laba pada tahun 2003 mencapai 103 perusahaan dengan total laba bersih Rp 25.6 triliun.
Akan tetapi, 69 persen dari total laba bersih tersebut disumbangkan oleh 10 BUMN saja.
Kebanyakan BUMN sudah go public sehingga sebagian besar laba tersebut tidak masuk ke
Pemerintah, tetapi ke pemegang saham swasta. Di sisi lain, terdapat 47 BUMN yang merugi
pada tahun 2003 dengan total kerugian Rp 6.08 triliun. Sebanyak 84.4 persen dari total kerugian
BUMN (Rp 5.13 triliun) hanya diakibatkan oleh 10 BUMN.
Kondisi BUMN yang meraup laba maupun yang mengalami kerugian sebenarnya belum
memberikan konstribusi yang optimal kepada negara dan rakyat. Ini disebabkan: Pertama, masih
banyak terjadinya inefesiensi dalam pengelolaan perusahaan, baik dari proses produksi maupun
sistem penggajian. Misal: banyak karyawan asing yang tersebar di berbagai BUMN; mereka
dibayar antara puluhan hingga ratusan kali lipat dibandingkan dengan tenaga lokal meskipun
dengan pekerjaan yang sama. Padahal gaji karyawan BUMN untuk karyawan lokal juga sangat
tinggi dibandingkan dengan gaji PNS. Karyawan baru BUMN menerima gaji sekitar 3.000.000,
sedangkan gaji direksi ada yang sampai ratusan juta rupiah. Kedua, BUMN sering dijadikan sapi
perahaan, baik untuk kepentingan pribadi, kelompok tertentu, maupun partai politik sehingga
korupsi di BUMN sangat tinggi.
Ketiga: Dari Ghanîmah, Kharaj, Fai, Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang.
Kelima jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah sebagai dampak
dari politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim. Ketika Daulah Khilafah
Islamiyah tegak, tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang berasal dari pos ini.
Kelompok yang keempat ini adalah mekanisme distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya non-
ekonomi. Potensi zakat di Indonesia saat ini dengan asumsi yang minimalis diperkirakan sekitar
Rp 103.5 triliun.
Yang masuk dalam kelompok ini adalah pajak, harta ilegal para penguasa dan pejabat, serta harta
denda atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap aturan negara.
Khatimah
Berdasarkan uraian di atas, Negara Islam memiliki mekanisme tersendiri dalam membiayai
kegiatannya, termasuk kegiatan pembangunan. Cara-cara tersebut sangat berbeda dengan cara-
cara negara kapitalis. Dalam negara kapitalis, sumber utama pemasukan negara dibebankan
kepada rakyat dengan jalan menarik pajak. Jika ini tidak memadai, negara dapat mencari dana
dari luar melalui utang luar negeri. Sebaliknya, Negara Islam justru terlebih dulu mengandalkan
pengelolaan sumberdaya alam yang tidak membebani masyarakat. Pajak ditarik bersifat temporer
dan semata-mata untuk menutupi kekurangan saja dan dibebankan atas kaum Muslim saja.
Mengutang ke luar negeri tampaknya tidak akan dilakukan oleh Negara Islam karena banyaknya
bahaya yang akan didapat dari utang luar negeri.