Anda di halaman 1dari 146

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam setiap masyarakat manusia, keluarga dianggap sebagai komponen

dasar dan utama dalam kehidupan. Keluarga adalah merupakan kelompok primer

yang terpenting dalam masyarakat (Khairuddin, 1997 : 4). Keluarga adalah

sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang tinggal

bersama dan makan dari satu dapur yang tidak terbatas pada orang-orang yang

mempunyai hubungan darah saja, atau seseorang yang mendiami sebagian atau

seluruh bangunan yang mengurus keperluan hidupnya sendiri

(http://www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/kartu_keluarga.htm). Keluarga

mempunyai berbagai macam bentuk, dan dalam masyarakat itu sendiri pasti akan

dijumpai sebuah keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti

tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta

anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga tersebut lazimnya juga disebut

rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan

proses pergaulan hidup. Suatu keluarga batih dianggap sebagai suatu sistem

sosial, oleh karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang pada pokoknya

mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan,

tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas (Soekanto, 2004 : 1).

Formasi keluarga sangatlah beragam. Terdiri dari ayah dan ibu saja tanpa

anak; single parent; ayah, ibu dan banyak anak; ayah, ibu dan satu orang anak;

1
ayah, ibu dan dua orang anak; dan masih banyak lagi. Semuanya itu dapat juga

dikatakan sebagai keluarga inti, karena pada dasarnya formasi tidak

mempengaruhi apa yang ada didalamnya, walaupun sering digambarkan keluarga

inti ideal adalah yang mempunyai formasi ayah, ibu dan dua orang anak (biasanya

laki-laki dan perempuan). Meskipun bentuk keluarga dalam suatu masyarakat

adalah beragam, tetapi pada umumnya adalah serupa karena masyarakat memiliki

budaya tertentu sehingga masyarakat tertentu memiliki pola dalam pembentukan

suatu keluarga. Ciri-ciri pokok keluarga inti yang ideal, pada dasarnya berkisar

pada aspek-aspek logis, etis dan estetis yang dapat dinamakan kebenaran atau

ketepatan, keserasian dan keindahan. Ketiga aspek itu sebenarnya merupakan hal-

hal yang seharusnya serasi dalam kehidupan sehari-hari, yang terwujud (atau

terbukti) dalam tingkah laku sehari-hari manusia (Soekanto, 2004 : 6). Oleh

karena itu, keluarga yang tidak ”utuh” sekalipun dapat juga dikatakan ideal dan

tetap dapat menjalankan kehidupan dengan baik. Serta dapat tetap berprestasi

dengan gemilang, seperti kisah keluarga Jaya Suprana berikut :

Jaya Suprana, orang Tionghoa yang besar dalam budaya Jawa. Pria
bertubuh tambun dan berkacamata tebal yang lahir di Bali, Denpasar, 27
Januari 1949 ini akrab di hadapan publik lewat acara televisi Jaya
Suprana Show di TPI. Mempunyai seorang istri bernama Julia Suprana.
Pada 27 Januari 1990, ia mendirikan Museum Rekor Indonesia (MURI)
sebagai bagian dari visi ke depannya untuk menghimpun semua prestasi,
perilaku, dan kegiatan yang unik, langka, dan kreatif. Berkat kerja keras
dan ketekunannya, ia memperoleh puluhan penghargaan nasional
maupun internasional dalam bidang seni musik (dari Freundeskreis des
Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard,
Belanda), kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), komputer (Best in
Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), industri-
bisnis (The Best Executive Award 1998), prestasi perusahaan (Trade
Leader's Club, Madrid, dan Institut pour Selection de la Qualite, Belgia),
lingkungan hidup (Sahwali Award 1997), kemanusiaan (Duta
Kemanusiaan 1991 - 1992 Palang Merah Indonesia), dan lain-lain.

2
Sebagai kartunis, lulusan Musikhochschule Muenster dan
Folkwanghochschule Essen, Jerman ini telah menggelarkan karyanya di
Jerman, Norwegia, dan Indonesia sendiri. Sedangkan untuk urusan musik,
selama ini Jaya dikenal sebagai komponis dan pianis andal yang sudah
tampil di berbagai negara di Eropa, Amerika, Aljazair, Selandia Baru,
dan lain-lain. Kini, di usianya yang semakin senja, tanpa seorang anak,
Jaya tetap berkarya, berbuat kebaikan dan suka memberi. Ia mengangkat
anak asuh dan mendirikan Panti Asuhan Rotary-Suprana. Di atas tanah
warisan almarhumah ibunya, Lily Suprana, seluas 900 m2 di kawasan
Candi Baru, Semarang, kini tinggal sekitar 10 orang anak. Semuanya
lelaki. Perkembangan panti yang biaya operasionalnya didukung bersama
dengan Yayasan Rotary ini memang bagus karena kebanyakan anak
asuhnya memperoleh ranking di kelasnya masing-masing. Bahkan bagi
anak yang mendapat rangking 1 diberikan hadiah atas prestasinya itu
(http://galeripublik.multiply.com/journal/item/21).

Gambaran tersebut mencerminkan bahwa baik buruknya kehidupan seseorang

tidak dapat diukur dengan hanya sebatas bagaimana bentuk keluarganya saja,

namun banyak faktor lain yang mempengaruhinya. Seperti yang dikemukakan

oleh Rr Susiyati Ma’ruf, Ketua Umum Tim Penggerak PKK Pusat, keluarga ideal

Indonesia yang tediri dari multi etnis dan kemajemukan itu, adalah keluarga yang

mampu menghargai dan memelihara sikap sopan santun, etika dan kebersamaan

tinggi. Selain itu, menghargai adanya perbedaaan-perbedaan baik suku, agama

serta ras. Dimana dalam praktek kehidupannya selalu berusaha memelihara dan

menjaga secara terus menerus sinergi harmonisasi dalam keberagaman perbedaan

yang dihadapi setiap hari (http://www.google.com). Oleh karena itu, sangat jelas

bahwa keidealan sebuah keluarga tidak hanya diukur dari formasi semata, namun

banyak faktor yang mempengaruhinya.

Disamping itu, adanya pergeseran kebudayaan di masyarakat juga

memberi pengaruh terhadap cara pandang masyarakat. Keluarga ideal dahulu

selalu diidentikkan dengan ”banyak anak banyak rejeki”, akan tetapi sekarang

3
pandangan itu berubah dengan banyaknya formasi keluarga yang ada di

masyarakat. Formasi keluarga ideal paling populer adalah ”ayah, ibu dan dua

orang anak (laki-laki dan perempuan)”, yang kemudian seakan menjadi formasi

wajib dalam sebuah keluarga. Citra keluarga ideal tersebut juga diperkuat dengan

adanya pengaruh yang kuat pula dari media, khususnya media televisi.

Seperti dapat kita lihat pada kedua contoh iklan berikut. Dalam iklan

Masako Rasa Sapi episode ”Masak Bakso” tahun 2007, ditampilkan dengan

”Munculnya seorang ibu yang sedang memasak untuk keluarganya, memasak

bakso kesukaan keluarga dengan menggunakan bumbu penyedap masakan

Masako. Si ibu memasak dengan riang gembira, kemudian setelah matang, dia

memanggil seluruh anggota keluarganya. Muncullah sosok si Ayah, si anak laki-

laki, dan si anak perempuan. Mereka datang dengan ekspresi yang terlihat sangat

bahagia. Kemudian, mereka bersama-sama menyantap masakan si Ibu, memuji

kehebatan memasak si Ibu, dan mereka tersenyum gembira, menyiratkan

keluarga mereka yang amat bahagia”. Kemudian sebagai contoh lain, dalam iklan

provider Telkomsel Siaga episode ”Mudik” tahun 2007 lalu, diceritakan bahwa

”Ada sebuah keluarga yang akan mudik ke kampung halaman orang tuanya saat

menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ditampilkan keluarga tersebut ada Ayah, Ibu,

seorang anak laki-laki, dan seorang anak perempuan. Mereka berempat

menyiapkan seluruh kebutuhan dan perlengkapan mudik, salah satunya tidak

lupa memakai provider Telkomsel Siaga, untuk memudahkan mereka di

perjalanan nanti. Kemudian setelah semua siap, mereka lalu berangkat dengan

mengendarai mobil yang dikemudikan oleh si Ayah. Si ibu dan kedua orang

4
anaknya bernyanyi-nyanyi disepanjang perjalanan dengan ekspresi yang sangat

bahagia.”

Setelah mengamati kedua iklan tersebut, dapat dilihat bahwa didalamnya

terdapat sebuah bentuk keluarga yang dapat menimbulkan persepsi dari orang

yang melihatnya. Bentuk keluarga yang ada dalam iklan tersebut terdiri dari

anggota keluarga yang sama, yaitu Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan

perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Dengan adanya iklan-iklan

yang selalu menampilkan formasi dan posisi yang sama (seperti yang terlihat pada

contoh iklan di atas, Ayah digambarkan yang mengemudi kendaraan dan

melindungi, sedangkan si Ibu digambarkan mempunyai sifat keibuan, pintar

memasak dan penyayang). Kita dapat mengatakan seorang laki-laki sebagai Ayah,

jika dia menampilkan ”identitas” diri, kepribadian, perilaku verbal (berbahasa

layaknya seorang ayah), non-verbal (tegas, bisa melindungi, bahasa tubuh dsb)

seperti seorang Ayah seharusnya. Begitupula pada sosok perempuan yang menjadi

seorang Ibu. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa representasi timbul akibat dari

harapan tentang suatu ”identitas” awal. Seperti yang dikemukakan oleh Andreas

Schneider (http://www.boulevard.or.id/?cat=7)). Hal tersebut menimbulkan

kesalahan berpikir di masyarakat (konstruksi sosial yang salah). Lihat saja, mulai

dari iklan produk penyedap masakan sampai iklan provider, mengapa selalu

menampilkan keluarga seperti itu? citra dua orang anak mengapa sangat

mendominasi? Padahal dengan selalu ditayangkan, selalu diulang (repetisi), iklan-

iklan tersebut kemudian membentuk suatu realitas sosial tertentu. Realitas sosial

sendiri berarti seperangkat kebenaran yang diasumsikan perihal keyakinan sosial,

5
hubungan sosial, perbedaan sosial, status dan kekuasaan (Burton, 2007 : 206).

Padahal realitas sosial yang dikonstruksikan oleh media tidak selalu sama dengan

realitas yang ada dalam masyarakat. Iklan merupakan salah satu arena yang

menjadikan realitas sosial terdistorsi.

Pada masyarakat modern, pandangan serta pola pikirnya akan semakin

luas. Timbul anggapan bahwa keluarga yang memiliki dua orang anak adalah

keluarga modern, yang pada akhirnya juga dikaitkan pada status sosial seseorang

di masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Bungin (2001 : 26), iklan televisi

dapat dilihat sebagai bagian dari konstruksi simbol bahasa budaya dalam

masyarakat kapitalis ataupun bahasa kelas sosial. Dengan status sosial tinggi,

maka seseorang dapat mewujudkan keinginan dalam benaknya , yaitu mempunyai

keluarga ideal ”ala iklan” dengan mudah. Hal tersebut dapat tercermin dari

kemampuan mengikuti dan sangat aware terhadap program Keluarga Berencana

(KB) untuk mewujudkan ”dua anak cukup”; memiliki pandangan ke depan dalam

mengikuti perkembangan anak nantinya, seperti pendidikan yang tinggi,

kehidupan yang layak, dan kemudian pasti sangat tidak menyetujui slogan

”banyak anak banyak rejeki”; melakukan teknologi bayi tabung bagi orang tua

yang kurang beruntung dalam memiliki keturunan atau untuk menentukan jenis

kelamin apa yang diinginkan; dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat kita lihat

dengan, bahwa saat ini Indonesia yang berpenduduk 226 juta jiwa masih memiliki

24 juta keluarga miskin dari sekitar 53 juta keluarga yang ada. Dari jumlah

keluarga miskin sebanyak itu, sebagian besar adalah petani kecil atau buruh

serabutan yang tinggal di desa-desa atau perkampungan kumuh di kota tanpa

6
akses untuk berkembang sama sekali. Ironisnya, karena kemiskinannya itu telah

merangsang mereka beranak banyak, lebih banyak dari keluarga-keluarga yang

kesejahteraannya lebih baik. Mungkin itu satu-satunya hiburan yang dapat

menentramkan hatinya, yakni “berkumpul” dengan isteri, tanpa menyadari

masalah kehidupan baru telah menghadang.

Tidak mengherankan bila berbagai kisah tragis terus bermunculan dalam

keluarga-keluarga miskin di negara kita. Bahkan sekitar satu tahun lalu pernah

terjadi peristiwa menggemparkan yang menimpa sebuah keluarga di Bandung,

Jawa Barat. Saat itu, seorang ibu tega menghabisi ketiga anaknya yang masih

kecil-kecil. Alasannya sungguh menghenyakkan semua pihak. Pasalnya, dari bibir

ibu muda yang ternyata berpendidikan dan ekonomi sejahtera itu, keluar

pengakuan tentang ketakutannya terhadap masa depan anak-anaknya yang

mungkin tidak secerah yang diinginkannya

(http://www.bkkbn.go.id/yogya/article_detail.php?aid=2). Sehingga masyarakat

yang masih memiliki banyak anak sekarang ini diidentikkan dengan keluarga

”kuno”, orang tua yang tidak memiliki keturunan dikatakan ”tidak ideal”,

keluarga yang broken home dikatakan ”tidak utuh”. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa idealisasi keluarga juga berkaitan dengan kelas sosial yang

termanifestasikan.

Idealisasi keluarga tersebut kemudian juga telah merasuk ke dalam

kehidupan sehari-hari, karena kadang-kadang pemaknaan terhadap keluarga ideal

dalam iklan televisi tersebut masuk dalam pengalaman keseharian mereka.

Ketidakidealan yang dimiliki menimbulkan perasaan tidak percaya diri pada

7
seseorang, sehingga muncul beberapa perilaku dalam masyarakat seperti yang

telah dikemukakan di atas, juga seperti ketika seorang suami yang tidak dapat

memiliki salah satu anak (laki-laki atau perempuan) tega menceraikan istrinya

demi mendapatkan keturunan yang lengkap, yang dipikirnya bisa didapat dari

wanita lain; Ayah yang menyia-nyiakan anak pertamanya yang ternyata lahir

perempuan, karena yang diidam-idamkannya adalah anak pertama laki-laki; Istri

yang dengan rela meninggalkan suaminya karena dia tidak dapat memberikan

keturunan, dan masih banyak lagi. Itulah gambaran-gambaran tentang fenomena

yang terjadi di dalam masyarakat berkaitan dengan adanya konstruksi sosial

tentang keluarga ideal. Beragam fenomena, baik positif maupun negatif mewarnai

kehidupan masyarakat kita dalam memahami dan memaknai stigma sebuah

”keluarga ideal”.

Iklan, saat ini tidak lagi hanya dapat dipandang sebagai bentuk media yang

memberi informasi kepada konsumen mengenai produk tertentu, tetapi lebih dari

itu, ia menawarkan suatu ideologi, gaya hidup, dan citra. Sebagaimana diketahui,

kata Bungin, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang

telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat.

Sekilas, lanjutnya, wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media

(televisi) dalam mengkonstruksi realitas sosial di masyarakat (Bungin, 2001 : 1).

Bagaimana iklan-iklan tersebut menggambarkan kebenaran parsial (sebagian)

menjadi sebuah kebenaran general (mutlak) tentang sebuah keluarga ideal yang

kemudian diyakini masyarakat sebagai suatu konstruksi sosial adalah merupakan

bentuk suatu fenomena. Fenomena tersebut kemudian berkembang saat

8
masyarakat yang telah mengetahui adanya konstruksi sosial keluarga ideal

tersebut mempunyai berbagai pengalaman tentang konstruksi sosial tersebut

dalam kehidupan keseharian mereka. Fenomenologi adalah sebuah studi dalam

bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu

fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu

ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini

(http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi). Fenomenologi yaitu memahami

perilaku sebagai sesuatu yang dipengaruhi fenomena pengalaman daripada realitas

objektif yang berasal dari luar diri individu.

Iklan memang telah menjadi bagian dari masyarakat yang begitu powerfull

dan sulit untuk dielakkan. Ia menyediakan gambaran tentang realitas, dan

sekaligus mendefinisikan keinginan dan kemauan individu. Ia mendefinisikan apa

itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai kemungkinan atau saran,

melainkan sebagai tujuan yang diinginkan dan tidak bisa untuk dipertanyakan

(Noviani, 2002 : 49). Oleh karena itu, iklan secara tidak langsung membangun

konstruksi sosial atas suatu hal dalam masyarakat. Namun konstruksi sosial

tersebut tidak terbentuk secara tiba-tiba, namun melalui beberapa tahap penting

sebagai berikut (Bungin, 2006 : 203-212): (a) tahap menyiapkan materi

konstruksi, yang merupakan tugas redaksi media massa, dalam hal ini para desk

editor dalam sebuah iklan; (b) tahap sebaran konstruksi, pada umumnya, sebaran

konstruksi sosial menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan

informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali

mengkonsumsi informasi itu; (c) tahap pembentukan konstruksi, setelah sebaran

9
konstruksi, dimana pemberitaan telah sampai pada pemirsanya, yaitu terjadi

pembentukan konstruksi di masyarakat; dan (d) tahap konfirmasi, adalah tahapan

ketika media massa maupun pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas

terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi.

Pada dasarnya iklan-iklan yang telah ditayangkan oleh berbagai media

tersebut memang hanya tertuju pada suatu sasaran atau target market, yaitu

pemirsa yang nantinya diharapkan dapat menjadi konsumen dari produk yang

diiklankan. Namun, iklan juga merupakan salah satu bentuk komunikasi yang

menggunakan bermacam-macam sarana tanda dengan maksud mempengaruhi

pemirsanya, dan agar tujuan utama dibuatnya suatu iklan dapat tercapai, misalnya

agar penjualan dari produk yang diiklankan dapat meningkat (Jefkins, 1997 : 15).

Beberapa macam contoh iklan lain dengan produk yang lain pula yang

menggunakan gambaran keluarga ideal, yaitu iklan bumbu penyedap masakan

(iklan bumbu Sasa Serbaguna episode ”Rieke Dyah Pitaloka”); iklan minyak

goreng (iklan minyak goreng Tropical episode ”Lebaran”); iklan mi instan (iklan

Mi Kare episode ”Ibu Makan Terus”); iklan susu (iklan susu SGM 3 dan 4 episode

minum susu); iklan minuman kesehatan (iklan Vitacharm episode ”Keluarga

Sehat”, iklan VitaZone episode ”Kerjasama dengan IDI”), dan masih banyak lagi.

Tetapi pada dasarnya iklan hanya terbatas pada sifat persuasif kepada

publik. Meskipun begitu, iklan juga mempunyai kekuatan sosial yang besar untuk

dapat membentuk suatu penilaian yang seragam (stereotype) tentang suatu hal

dalam masyarakat. Budaya media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan

dimana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan, telah membantu

10
merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan,

membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi

untuk membentuk identitas suatu hal (Storey, 2007 : 21).

Realitas iklan televisi merupakan gambaran terhadap sebuah dunia yang

hanya dalam televisi. Realitas itu dibangun berdasarkan pada gambaran relitas

seorang copywriter dan visualiser tentang dunia atau citra produk yang

diinginkannya. Ketika televisi dimatikan, penggambaran realitas dalam media itu

kemudian hidup dalam pikiran manusia. Bahkan penggambaran itu mengalami

distorsi yang mampu menciptakan cerita realitas lain yang terus-menerus hidup

dalam pikiran tersebut (Bungin, 2006 : 217). Iklan dapat menimbulkan pengaruh

bagi kehidupan sosial dan budaya dari masyarakat yang melihatnya. Iklan dengan

model keluarga ideal sering bermunculan di televisi sebagai salah satu trend

kebanyakan iklan keluarga. Padahal dalam kehidupan nyata banyak keluarga yang

tidak terdiri dari Ayah, Ibu dan dua orang anak yang masing-masing laki-laki dan

perempuan, melainkan terdiri dari formasi yang berbeda. Penseragaman atau

homogenisasi itulah yang membuat masyarakat pemirsa televisi, sebagai objek,

menjadi terpengaruh. Masyarakat sebagai pemirsa televisi secara tidak langsung

pasti akan mengatahui adanya konstruksi sosial keluarga ideal oleh iklan televisi

tersebut, karena dengan penayangan iklan yang secara konstan, bentuk iklan yang

sebangun, dan melihat bagaimana besarnya kekuatan dan pengaruh yang

ditimbulkan oleh media televisi terhadap pemirsanya, maka dapat disimpulkan

bahwa konstruksi sosial tentang keluarga ideal tersebut telah merasuk dalam diri

masyarakat. Bagaimana masyarakat memaknai keluarga ideal dalam televisi yang

11
kemudian menimbulkan perilaku-perilaku tertentu sebagai bentuk penyikapan

terhadap iklan keluarga dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah hal yang

menarik untuk diteliti. Televisi belum bisa memberikan porsi yang cukup untuk

keluarga dengan formasi yang berbeda dari formasi di atas. Antara kenyataan dan

yang ditampilkan di televisi masih terkesan tidak realistis. Bentuk-bentuk

keluarga lain seharusnya memiliki porsi yang sama dalam iklan televisi, meskipun

formasinya dapat dikatakan tidak ideal, sehingga tidak menimbulkan suatu

konstruksi sosial dalam masyarakat. Televisi melalui iklan sudah terlanjur

membangun konstruksi sosial keluarga ideal tersebut dalam masyarakat, maka

berbagai bentuk pengalaman mungkin timbul dalam keseharian kehidupan

masyarakat. Karena pemaknaan dan pengalaman tentang konstruksi sosial

keluarga ideal antar individu sebagai pemirsa berbeda-beda, maka penelitian ini

dimaksudkan untuk memahami pengalaman yang terjadi dalam kehidupan

mereka.

B. PERUMUSAN MASALAH

Media televisi merupakan bagian dari teknologi. Gambaran yang terbaik

untuk dijelaskan mengenai suatu realitas masyarakat adalah masyarakat dengan

sistem teknologi yang baik atau masyarakat teknologi (Bungin, 2006 : 16). Media

sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai

kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur, 2002 : 30).

Media melalui iklan telah banyak merepresentasikan konstruksi sosial yang ada

dalam masyarakat. Iklan dipercaya mempunyai kekuatan yang besar dalam

12
masyarakat. Iklan mendominasi media, memiliki kekuatan yang sangat besar

dalam membentuk standar-standar sosial, dan iklan merupakan salah satu

kelompok institusi yang sangat terbatas yang melakukan kontrol sosial. Padahal

apapun yang ditampilkan media sebenarnya bukanlah cermin realitas sosial yang

sesungguhnya. Iklan bahkan mampu mendistorsi sebuah realitas sosial.

Tayangan-tayangan iklan keluarga, semakin memperkuat gambaran

keluarga ideal dalam masyarakat. Karena semakin lama sepertinya iklan-iklan

berbagai produk yang harus menampilkan tokoh ”keluarga” selalu saja identik

dengan formasi : Ayah (sebagai kepala keluarga), Ibu, dan dua orang anak

(masing-masing laki-laki dan perempuan). Hal tersebut menimbulkan persepsi

dan interpretasi pada masyarakat mengenai bentuk atau konsep keluarga ideal

yang seakan sepertinya ”harus” dimiliki oleh setiap keluarga di Indonesia agar

keluarganya dapat hidup bahagia. Hal tersebut dapat kita lihat pada banyaknya

fenomena yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan keluarga ideal, yaitu

fenomena tentang bagaimana masyarakat menyikapi tayangan iklan keluarga di

televisi tersebut, karena ada yang menyikapi secara positif, namun banyak juga

yang menyikapinya secara negatif. Sebagai contoh, apabila masyarakat tidak

memiliki keluarga dengan formasi tersebut, maka timbul kepercayaan kepada

mereka bahwa mereka pasti akan merasakan hidup tidak baik dan tidak bahagia

sepanjang hidupnya. Hal itulah yang secara tidak sadar kemudian menjadi momok

bagi seluruh masyarakat, sehingga konstruksi sosial yang dibangun iklan tersebut

menjadi bumerang bagi kelangsungan kehidupan masyarakat Indonesia, karena

13
secara langsung maupun tidak langsung, akan berimplikasi pula terhadap

kehidupan sehari-hari mereka.

Dibalik persepsi masyarakat terhadap keluarga ideal yang ada dalam iklan

keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan dua orang anak (masing-masing laki-laki

dan perempuan), masyarakat juga memiliki gambaran keluarga ideal yang

memiliki konsep lain (tidak harus terdiri dari ayah, Ibu dan dua orang anak yang

masing-masing laki-laki dan perempuan) di dalam kehidupan nyata. Namun

gambaran itu seakan lama-kelamaan luntur dengan sendirinya, karena hampir

setiap hari masyarakat selalu disuguhi gambaran keluarga ideal yang dibangun

oleh iklan. Apalagi dengan kelebihan audio visual yang dimiliki, televisi mampu

menciptakan suatu keadaan yang mereka inginkan dan membuat pemirsa menjadi

larut dalam suasana yang ditampilkan dan dengan segera dapat mengutip pesan-

pesan baik verbal maupun non verbal yang sengaja ditampilkan oleh iklan.

Pada hakikatnya, setiap orang selalu menginginkan sebuah keluarga yang

ideal, seperti yang mereka lihat dalam iklan-iklan di televisi. Representasi

konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun iklan tersebut juga tidak sedikit

menjadi pemicu masyarakat untuk mengekspresikan perasaan yang

ditimbulkannya. Pemaknaan masyarakat tentang konsep keluarga ideal juga

merasuk ke dalam keseharian dan juga pengalaman mereka. Efek-efek yang dapat

terjadi, antara lain adalah timbulnya keinginan dalam diri masyarakat untuk

mempunyai keluarga ideal ”ala iklan” dalam hidupnya, menjadikan keluarga ideal

sebagai cita-cita pencapaian hidup, dan ironisnya, apabila hal tersebut tidak

terwujud maka ada juga sebagian masyarakat yang menghalalkan segala cara

14
untuk mewujudkannya. Berikut berbagai contoh fenomena negatif yang kerap

terjadi di tengah masyarakat kita, yaitu : Seorang suami yang tidak dapat memiliki

salah satu anak (laki-laki atau perempuan) tega menceraikan istrinya demi

mendapatkan keturunan yang lengkap, yang dipikirnya bisa didapat dari wanita

lain; Ayah yang menyia-nyiakan anak pertamanya yang ternyata lahir perempuan,

karena yang diidam-idamkannya adalah anak pertama laki-laki; Istri yang dengan

rela meninggalkan suaminya karena dia tidak dapat memberikan keturunan, dan

masih banyak lagi. Dengan iklan televisi yang selalu menampilkan formasi-

formasi keluarga ideal tersebut maka semakin menyingkirkan bentuk keluarga

lain yang dianggap tidak ideal.

Oleh karena itu, tidak selayaknya standardisasi keidealan sebuah keluarga

dilakukan di ruang publik (yaitu iklan televisi), karena standar keidealan sebuah

keluarga tidak dapat diputuskan hanya dengan tayangan sebuah iklan semata,

namun masih banyak aspek-aspek lainnya. Media televisi hanyalah

mengkonstruksi apa yang seharusnya dan mengklaim adanya budaya universal

yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sosial. Produk-produk yang

ditawarkan serta tampilan media televisi diklaim untuk mengkonstruksi sebuah

bangsa sebagai sebuah entitas homogen secara kultural, walaupun pada

kenyataannya adalah multikultural (Ewen dalam Noviani, 2002 : 17). Karena pada

dasarnya banyak bentuk atau formasi keluarga lain yang bisa juga dianggap ideal,

tergantung dari budaya dan persepsi masyarakat itu sendiri. Namun pada

kenyataannya bentuk keluarga selain keluarga ”ala iklan” semakin terpinggirkan,

selain itu masyarakat sebagai pemirsa televisi juga ikut mengamini adanya

15
konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dibangun oleh iklan televisi. Hal

tersebut kemudian menimbulkan pemaknaan sekaligus pengalaman tentang

konstruksi sosial keluarga ideal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Disinilah

yang menarik untuk dikaji, berdasarkan gambaran-gambaran di atas, penelitian ini

ingin memahami pengalaman yang terjadi dalam masyarakat sebagai pemirsa,

tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman pemirsa tentang

konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.

D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN

D. 1. Signifikansi Teoritis

Secara akademis atau teoritis, studi ini merupakan usaha untuk

mengembangkan pemikiran teoritik tentang family communication dalam

masyarakat Indonesia. Family communication yang dimaksud adalah suatu

pemikiran teoritik baru mengenai bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi

isu-isu tentang keluarga yang berkembang dalam masyarakat, dalam hal ini

adalah mengenai isu konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dibangun iklan

televisi.

16
D. 2. Signifikansi Praktis

Dalam tataran praktis, studi ini diharapkan bisa memberikan penjelasan

tentang pemahaman keluarga ideal yang sebenarnya dalam masyarakat. Di

samping itu, studi ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang

bagaimana masyarakat menyikapi tayangan iklan yang menampilkan keluarga

ideal (keluarga dengan formasi Ayah, Ibu dan dua orang anak, laki-laki dan

perempuan).

D. 3. Signifikansi Sosial

Dalam tataran sosial, studi ini diharapkan mampu memberikan gambaran

mengenai pengalaman tentang bagaimana masyarakat menyikapi tayangan iklan,

yang mana dimaksudkan agar dijadikan referensi bagi masyarakat luas dalam

bagaimana seharusnya menyikapi iklan keluarga khususnya yang menampilkan

bentuk keluarga ideal (Ayah, Ibu dan dua orang anak laki-laki dan perempuan).

E. KERANGKA TEORI

Kehadiran media massa di era teknologi komunikasi tidaklah mungkin

untuk kita batasi. Lebih jauh dikatakan media massa ditengah-tengah masyarakat

memunculkan pengaruh yang lebih kompleks. Media massa bagi masyarakat

urban modern memiliki peran yang penting bahkan mengkonsumsi media massa

telah menjadi bagian dari aktivitas keseharian Pada dasarnya media massa tidak

dapat dilepaskan dari konteks sosialnya, kondisi politik, ekonomi, dan budaya,

dimana media tersebut berada akan berpengaruh terhadap apa yang disajikan oleh

17
media. Media massa termasuk televisi memiliki beberapa fungsi penting. Media

merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang

menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.

Media massa juga merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan

inovasi dalam masyarakat. Media massa seringkali juga berperan sebagai wahana

pengembangan kebudayaan bukan saja dalam pengertian pengembangan tata cara,

mode, gaya hidup dan norma-norma. Selain itu media telah menjadi sumber

dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas

sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif, media

menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan media

dan hiburan (McQuaill, 1996 : 3).

Adanya kenyataan bahwa televisi mempunyai keunggulan dalam

menyajikan pesan dibanding media massa lain pada perkembangan selanjutnya

mendukung televisi sebagai media kontrol sosial, transmitter kebudayaan dan

media hiburan. Televisi juga merupakan salah satu kekuatan yang membentuk

opini publik, bahkan menciptakan citra (image) dalam suatu masyarakat. Industri

media dalam perkembangannya tumbuh sedemikian cepat bersamaan dengan

teknologi komunikasi. Iklan adalah salah satu contoh dari hasil pertumbuhan

industri media. Iklan secara tradisional didefinsikan sebagai pesan yang

menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media.

Lebih jauh, media melalui iklan telah banyak merepresentasikan konstruksi sosial

yang ada dalam masyarakat. Iklan dipercaya mempunyai kekuatan yang besar

dalam masyarakat. Ketika peristiwa tayangan iklan televisi itu ditonton, maka

18
tontonan itu tidak sekedar hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi oleh

pencipta iklan televisi terhadap pemirsa (Bungin, 2001 : 37). Televisi biasanya

dijadikan pilihan pertama untuk mengiklankan produk karena efeknya yang luas

dan lebih memberikan kesan.

Iklan bekerja dengan cara merefleksikan budaya tertentu ke konsumen.

Produk harus menjadi bagian dari cerita budaya. Dalam konteks keluarga dalam

iklan, cerita budaya itu sekarang kebanyakan dibangun dengan simbol-simbol

yang berwujud formasi tertentu yang secara stereotype melekat pada citra

keluarga, seperti formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan).

Iklan adalah cermin yang cenderung mendistorsi, membuat menjadi cemerlang,

melebih-lebihkan, dan melakukan seleksi atas tanda-tanda atau citra-citra. Tanda-

tanda atau citra itu tidak merefleksikan realitas tetapi mengatakan sesuatu tentang

realitas. Isi media juga merupakan hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai

perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan

realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh

bahasa tentang realitas tersebut. Bagaimana iklan-iklan tersebut menggambarkan

kebenaran parsial (sebagian) menjadi sebuah kebenaran general (mutlak) tentang

sebuah keluarga ideal yang kemudian diyakini dan dimaknai masyarakat sebagai

suatu konstruksi sosial dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah merupakan

bentuk suatu fenomena.

19
E. 1. Genre Interpretif sebagai Paradigma Berpikir

Dalam melihat fenomena yang muncul di masyarakat, khususnya melihat

fenomena yang terjadi sebagai akibat dari konstruksi sosial keluarga ideal

dibutuhkan kerangka berpikir yang kuat. Kerangka berpikir inilah yang

disebut dengan paradigma, tidak bisa dipungkiri pula bahwa media massa

membentuk atau merubah paradigma masyarakat. Paradigma menurut Guba

adalah basis kepercayaan (or-metaphysics) utama dalam sistem berpikir, basis

ontologi, epistemologi dan metodologi. Paradigma dalam pandangan filosofis

memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam

orientasi berpikir seseorang (Guba & Lincoln dalam Denzin & Lincoln (ed),

1994 : 107).

Paradigma merupakan sebuah konstruksi manusia (human construction),

yaitu gagasan yang merepresentasikan beragam cara yang dilakukan peneliti

dalam memahami “dunia” (realitas). Peneliti interpretif tidak hanya berasumsi

bahwa realitas bersifat eksternal terhadap manusia, tetapi juga berasumsi bahwa

manusia mengkonstruksikan realitas. Tujuan penelitian interpretif bukan untuk

melakukan prediksi, tetapi memahami dan menerangkan perilaku manusia. Bila

peneliti ilmu sosial cenderung melihat komunikasi dipengaruhi oleh budaya, maka

peneliti interpretif melihat budaya sebagai diciptakan dan dipelihara melalui

komunikasi (Rahardjo. 2007. Dalam Interaksi, Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. I.

Hal. 29). Oleh karena itu, paradigma interpretif sebagai dasar kerangka berpikir,

sangat ideal untuk melihat dan memahami perilaku-perilaku masyarakat yang

20
muncul dalam memaknai dan menginterpretasikan iklan keluarga ideal yang ada

di televisi.

Selain itu, pertimbangan lainnya adalah bahwa gagasan paradigma

interpretif merujuk pada bagaimana menafsirkan interpretasi-interpretasi

masyarakat tersebut, sehingga kita akan memahami dengan lebih baik makna

yang diberikan orang, dalam konteks ini adalah bagaimana masing-masing

individu (masyarakat penonton iklan tentang keluarga, khususnya penonton iklan

“keluarga ideal”) memahami pengalaman komunikasi mereka terkait dengan

pengaruh yang ditimbulkan oleh iklan dan bagaimana setiap individu tersebut

memahami tindakan mereka.

E. 2. Fenomenologi : Usaha Untuk Memahami Pengalaman Subjektif

Sejalan dengan genre interpretif yang digunakan sebagai basis berpikir

dalam studi ini, maka gagasan teoritik yang memiliki ketertarikan dengan genre

interpretif adalah fenomenologi. Fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan

yang berasal dari kesadaran, atau cara dimana orang-orang menjadi paham akan

obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa dengan mengalaminya secara sadar

(Littlejohn, 1998 : 199). Asumsi pokok dari gagasan fenomenologi adalah bahwa

orang secara aktif akan menginterpretasikan pengalaman mereka dengan

memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi, dalam bahasa

Jerman : verstehen (understanding) merupakan proses aktif dalam memberikan

makna terhadap sesuatu yang diamati, seperti misalnya sebuah teks, sebuah

21
tindakan, atau suatu situasi, yang kesemuanya dapat disebut sebagai pengalaman

(experience).

Husserl (dalam Rahardjo, 2005 : 45) mengatakan, bahwa fenomenologi

adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon).

Dengan demikian, seperti yang sudah tersirat di dalam namanya, fenomenologi

mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomen ke

pengalaman subjek. Fenomen dalam pandangan Husserl adalah realitas sendiri

yang tampak.

Para fenomenolog berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk karena

kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya daripada dirinya sendiri. Peneliti

dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-

kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu

(Moleong, 2005 : 16). Fenomenologi diartikan sebagai: 1) pengalaman subjektif

atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari

perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam Moleong, 2005). Hal ini

berangkat dari arti asal kata fenomenologis yaitu “fenomena” atau gejala alamiah.

Jadi fenomenologi berusaha memahami fenomena-fenomena yang melingkupi

subyek yang diamati. Sehingga yang ditekankan adalah aspek subyektif dari

perilaku orang. Fenomenologi berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual

para subyek yang diteliti sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan

bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa

dalam kehidupannya sehari-hari.

22
Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dengan cara melihat dan

memahami bagaimana perilaku sehari-hari masyarakat-sebagai subjek penelitian,

sebagai akibat dari interpretasi masyarakat dalam memahami iklan tentang

keluarga ideal, dapat dilihat dengan menggunakan fenomenologi. Dengan kata

lain, cara seseorang memahami suatu objek atau suatu kejadian merupakan suatu

fenomena. Fenomena sendiri adalah penampakan atau kehadiran dari suatu objek,

kejadian atau kondisi dalam persepsi suatu individu. Jadi apa yang timbul dalam

kesadaran kita adalah suatu fenomena. Dan realitas dalam fenomenologi adalah

cara dari suatu hal yang timbul dalam kesadaran persepsi dari individu.

Hegel memberikan suatu pandangan yang dapat memperkaya pengertian

kita tentang fenomenologi. Ia menyatakan bahwa fenomenologi mengacu pada

pengetahuan sebagaimana pengetahuan itu timbul dalam kesadaran, ilmu yang

menggambarkan apa yang diterima, dirasakan, dan diketahui seseorang dalam

kesadaran dan pengalaman (Moustakas, 1994 : 26). Seperti halnya pengalaman

audiens dalam merasakan dan mengalami suatu fenomena dari adanya

keseragaman bentuk iklan yang menampilkan keluarga (selalu dengan formasi

Ayah, Ibu dan dua orang anak laki-laki dan perempuan) saat ini, dapat dijadikan

sebagai objek untuk melihat bagaimana audiens memaknai pengalaman yang

timbul dalam kesadaran mereka. Fenomena ini menjadi sesuatu yang bernilai

untuk dicermati karena setiap fenomena merepresentasikan suatu titik awal yang

tepat untuk penyelidikan. Karena apa yang ada dalam persepsi kita tentang suatu

hal bukanlah suatu ilusi yang kosong, tetapi tersedia sebagai awal yang esensial

dari suatu pengetahuan yang mencari determinasi yang valid dan terbuka untuk

23
diverifikasi semua orang. Prinsip-prinsip ini membuat objektivitas dalam

fenomenologi berbeda dengan objektivitas dari pendekatan lain. Realitas yang

objektif timbul hanya melalui representasi dalam pikiran (ketika hal tersebut

timbul dalam pikiran subjektif manusia). Sejalan dengan itu, Descartes

menyatakan realitas yang objektif ada dalam realitas subjektif yang sebenarnya

(Manalu. 2007. Dalam Interaksi, Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. I. Hal. 122-123).

E. 3. Kekuatan Media Massa dan Pengaruh Yang Ditimbulkan

Media massa memang semakin lama semakin melekat dalam kehidupan

manusia. Fenomena ini menarik para ilmuwan komunikasi melihat sejauh mana

keterlibatan media massa dalam kehidupan audiens sebagai individu ataupun

sebagai kelompok masyarakat. Mereka juga ingin mengetahui apakah dan

bagaimanakah media massa masuk dan bekerja sama dalam rutinitas kehidupan

sehari-hari tanpa menimbulkan gangguan yang serius. Media massa modern,

khususnya televisi, telah mendominasi komunikasi sehari-hari. Televisi juga

dianggap sebagai agen budaya, yang berfungsi sebagai pembawa dan sirkulator

dari makna. Sebagai media massa, televisi juga dianggap mempunyai fungsi untuk

memproduksi makna dan bahkan penuh dengan makna potensial yang berusaha

untuk mengontrol dan memfokuskan makna tertentu kepada satu makna tunggal

yang menampilkan ideologi dominan (Manalu. 2007. Dalam Interaksi, Jurnal Ilmu

Komunikasi Vol. I. Hal. 120). Televisi merupakan pengalaman yang dimiliki oleh

hampir semua orang, maka televisi mempunyai efek dalam cara memandang

dunia, George Gerbner (Littlejohn, 1998 : 344) menyebutnya sebagai cultivatica,

24
sebab televisi diyakini menjadi homogenizing agent dalam budaya. Cultivation

analysis berkaitan dengan totalitas pola yang dikomunikasikan secara komulatif

oleh televisi dalam suatu periode terpaan yang panjang, lebih dari sekedar melalui

isi yang particular atau efek yang spesifik.

Kekuatan media televisi itu sendiri sebagai media penyampai pesan, sudah

diakui pengaruhnya terhadap masyarakat oleh berbagai penelitian komunikasi

yang pernah dilakukan. Peran televisi sudah demikian penting dalam kehidupan

masyarakat dan sudah memasuki deretan kebutuhan yang bukan saja penting,

tetapi juga mutlak untuk dipenuhi. Daya jangkau yang luas dan kemampuan

penyampaian pesan secara audio visual, membuat hal-hal yang ditampilkan dalam

televisi memiliki pengaruh besar dalam dimensi kognisi maupun afeksi khalayak.

Penggambaran yang ada dalam televisi juga akan dapat menciptakan sensasi

tersendiri dalam pribadi tiap-tiap audiens.

Di satu sisi televisi mempunyai efek atau pengaruh kepada masyarakat,

dimana media menyiarkan gambaran, nilai dan gaya hidup yang mungkin dapat

menjadi preferensi publik. Namun disisi lain manusia ataupun audiens merupakan

makhluk yang memiliki akal pikiran dan rasio untuk memaknai semua yang

dilihat dan diperhatikannya. Pemaknaan audiens terhadap pengalaman-

pengalamannya akan memunculkan suatu pengetahuan yang timbul dari suatu

kesadaran. Hal ini juga akan melahirkan suatu ilmu pengetahuan tentang apa yang

diterima, dirasakan dan diketahui dari kesadaran dan pengalaman seseorang

(Hegel dalam Moustakas, 1994 : 26). Ini akan menimbulkan suatu fenomena.

Menurut Husserl, apa yang timbul dari kesadaran manusia adalah suatu fenomena.

25
Dan setiap fenomena merepresentasikan titik awal yang sangat cocok untuk suatu

penelitian. Apa yang timbul dalam persepsi kita tentang sesuatu adalah

merupakan wujud dari sesuatu itu sendiri, dan bukan merupakan ilusi yang

kosong. Dan hal itu menyajikan permulaan yang penting dari suatu ilmu

pengetahuan yang mencari determinasi yang valid dan terbuka untuk diverifikasi

semua orang (Moustakas,1994: 26). Menurut teori kultivasi, media, khususnya

televisi, merupakan sarana utama untuk belajar tentang masyarakat dan kultur

yang ada. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk

suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan (Littlejohn, 1998 :

344). Oleh karena iklan televisi adalah merupakan homogenizing agent terbesar,

maka dalam kasus iklan keluarga yang selalu menampilkan formasi ayah, ibu dan

dua orang anak (laki-laki dan perempuan) yang selalu ditampilkan oleh iklan

televisi, maka akan membangun sebuah citra realitas tentang formasi keluarga

ideal yang seakan harus dimiliki oleh seluruh masyarakat.

E. 4. Konstruksi Sosial Keluarga Ideal oleh Iklan Televisi dan di Masyarakat

Seperti dikemukakan di atas, media memberi pengaruh sangat besar

terhadap pandangan masyarakat. Dalam studi-studi media, memandang media

sebagai saluran untuk menyampaikan informasi kepada audiens. Media pastilah

menjadi sorotan utama dalam pembahasan komunikasi massa (Littlejohn, 1998 :

327). Media massa adalah media yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Secara global, komunikasi massa adalah suatu proses yang menggambarkan

bagaimana komunikator secara profesional menggunakan teknologi media dalam

26
menyebarluaskan pengalamannya yang melampaui jarak untuk mempengaruhi

khalayak dalam jumlah yang banyak (Winarni, 2003 : 8).

Media melalui iklan telah banyak merepresentasikan konstruksi sosial

yang ada dalam masyarakat. Iklan dipercaya mempunyai kekuatan yang besar

dalam masyarakat. Iklan mendominasi media, memiliki kekuatan yang sangat

besar dalam membentuk standar-standar sosial, dan iklan merupakan salah satu

kelompok institusi yang sangat terbatas yang melakukan kontrol sosial. Iklan

televisi adalah wacana, pengetahuan, atau teks visual yang disebarkan melalui

televisi dan ditonton oleh individu atau kelompok di masyarakat. Ketika peristiwa

tayangan iklan televisi itu ditonton, maka tontonan itu tidak sekedar hiburan,

namun terjadi pula proses konstruksi oleh pencipta iklan televisi terhadap pemirsa

(Bungin, 2001 : 37). Jadi iklan merupakan sebuah usaha untuk membangun,

memperkuat, mengganti, atau menstabilkan makna yang ditangkap orang dari

simbol yang diberikan pengiklan terhadap produk atau jasa. Dari sini, terlihat

bahwa iklan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan kita.

Kemampuan pengiklan dalam menggunakan simbol dan bahasa inilah

yang kemudian membentuk dan mempengaruhi wacana masyarakat terhadap iklan

tersebut. Pengiklan memasukkan pula ideologinya dalam iklan melalui

penggunaan simbol dan bahasa. Ideologi, kata Magnis Suseno, paling umum

dipergunakan dalam arti ”kesadaran palsu”, yakni sebagai klaim yang tidak wajar,

atau sebagai teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada

kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Minimal, ideologi dianggap

27
sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi, entah disadari, entah tidak

(Sobur, 2001:66).

Erving Goffman (dalam Noviani, 2002 : 52), menyatakan bahwa dunia

sosial itu pada dasarnya adalah ambigu, dimana obyek , aktor, kondisi dan

peristiwa tidak memiliki makna yang inheren. Makna diciptakan melalui tindakan

manusia yang mengorganisasi, mengkarakterisasi dan mengidentifikasi

pengalaman dan menggunakan definisi yang dipahami bersama. Makna tersebut

dibatasi dan sifatnya relatif terhadap konteks sosial dimana makna itu diciptakan.

Makna dipelajari melalui proses sosialisasi, orang cenderung bertindak

berdasarkan pada makna tersebut tanpa melakukan penilaian kembali dan tanpa

kesadaran akan kekuatan-kekuatan sosial yang diciptakannya.

Kajian intelektual mengenai realitas sosial dalam kaitannya dengan iklan,

menyatakan bahwa iklan itu bukan sebuah cermin realitas yang jujur. Tapi, iklan

adalah cermin yang cenderung mendistorsi, membuat menjadi cemerlang,

melebih-lebihkan, dan melakukan seleksi atas tanda-tanda atau citra-citra. Tanda-

tanda atau citra itu tidak merefleksikan realitas tetapi mengatakan sesuatu tentang

realitas. Seperti yang dikemukakan oleh Marchand (dalam Noviani, 2002 : 53-54)

”iklan itu adalah sebuah cermin masyarakat, A Mirror on The Wall, yang lebih

menampilkan tipuan-tipuan yang halus dan bersifat terapetik daripada

menampilkan refleksi-refleksi realitas sosial”.

Namun pekerjaan media pada dasarnya adalah mengkonstruksikan realitas.

Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas

yang dipilihnya (Sobur, 2002 : 88). Isi media juga merupakan hasil konstruksi

28
realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja

sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti

apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Deetz (dalam

Littlejohn, 1998 : 200) mengemukakan tiga prinsip dasar dari fenomenologi :

Pengetahuan (knowledge) : sesuatu yang disadari, pengetahuan ditemukan secara

langsung dari pengalaman yang disadari. Makna : dari suatu hal yang berisi

sesuatu yang potensial dalam kehidupan seseorang. Bahasa : sebagai sarana

pengungkap makna, dapat beradaptasi, dan melalui bahasa kita dapat

mendefinisikan dan mengekspresikan pengalaman kita. Akibatnya, media massa

mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan

gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2002 :

88). Sehingga, pemunculan iklan-iklan keluarga tersebut dapat mempengaruhi

makna dan gambaran yang dapat membangun realitas yang dikonstruksikannya.

Seperti yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

dalam analisanya tentang konstruksi sosial realitas. Mereka berpendapat bahwa

dunia sosial adalah produk manusia, ia adalah konstruksi manusia dan bukan

sesuatu yang given (Noviani, 2002 : 51), dan khalayak dalam sebuah proses

komunikasi akan cenderung memandang bahwa sumber komunikasi sedang

mengatakan hal yang sebenarnya ketika klaim-klaim sumber itu konsisten dengan

makna-makna yang dikonstruksi secara sosial yang mereka yakini (2002 : 59).

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) sendiri

pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam

bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise in the

29
Sociological of Knowledge (1996), dia menggambarkan proses sosial melalui

tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus

suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2001 :

10). Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan

tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif.. Karena itu konstruksi

harus dilakukan sendiri, dan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.

Luasnya khalayak komunikasi massa adalah bagi siapa saja yang dapat

menerima pesan tersebut, bukan terbatas bagi orang atau golongan tertentu saja

(Winarni, 2003 : 41). Sehingga, apa yang disampaikan oleh media massa tidak

dapat dibatasi siapa sajakah yang boleh atau tidak boleh menerimanya. Padahal

setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu hal, oleh karena itu

tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan persepsi dan interpretasi oleh

masyarakat terhadap suatu tayangan iklan. Termasuk iklan yang menampilkan

keluarga ideal tersebut. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang

realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan

dalam konteks sosial. Hal ini dianggap sebagai pendapat yang cukup mengejutkan

dan revolusioner, karena hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih

dari merefleksikan realitas yang ada (Sobur, 2002 : 87).

Homogenisasi atau penyeragaman bentuk keluarga ideal di masyarakat

dapat dilihat dengan hampir seluruh iklan yang berbau keluarga selalu

metampilkan sebuah keluarga yang terdiri dari formasi Ayah, ibu dan dua orang

anak (laki-laki dan perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Secara

tidak sadar masyarakat kemudian menjadikan gambaran yang ada dalam iklan itu

30
sebagai kiblat dalam membentuk sebuah keluarga. Sebagaimana diketahui,

menurut Bungin, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang

telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat.

Sekilas, lanjutnya, wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media

(televisi) dalam mengkonstruksi realitas sosial di masyarakat (2001:1).

Penayangan iklan tentang keluarga, yang selalu saja menampilkan keluarga

dengan formasi Ayah, ibu dan dua orang anak (dianggap sebagai keluarga ideal),

menunjukkan wajah yang sama dan sebangun sebagai bentuk iklan keluarga.

Homogenisasi mengenai iklan keluarga dan implikasinya terhadap audiens

sebagai pemirsa televisi adalah hal yang menarik untuk dicermati. Gambaran

keseragaman isi iklan keluarga televisi menunjukkan terjadinya penyeragaman

selera yang ditawarkan televisi kita. Industrialisasi dan komersialisasi media

mempunyai dampak luar biasa terhadap kehidupan publik. Keseragaman bentuk

iklan keluarga yang dihadirkan oleh televisi kita dikhawatirkan akan berdampak

pada masyarakat. Bagaimana tidak, masyarakat yang pada dasarnya berbeda

identitas budayanya dikondisikan untuk menelan sesuatu yang asing bagi dirinya.

Keseragaman bentuk iklan keluarga televisi merupakan suatu fenomena empirik

yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat. Namun selain fenomena yang

bersifat empirik, fenomena ini juga hadir dalam pikiran dan kesadaran audiens

sebagai individu. Keseragaman ini memberikan suatu pengalaman dan

pemahaman tertentu dalam diri individu. Jadi fenomena empirik yang sama itu

dapat menjadi fenomena yang berbeda dalam alam pikiran audiens secara

individu.

31
Implementasi keseragaman tentang bentuk suatu ”keluarga ideal” tersebut

dapat kita lihat pada, bahwa fenomena bentuk dan formasi keluarga ideal pada

masa sekarang ini semakin mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.

Formasi sebuah keluarga ideal yang berisi Ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki

dan perempuan) seakan-akan menjadi formasi wajib dalam sebuah keluarga.

Apalagi ditambah lagi pernyataan dari BKKBN, dalam program Keluarga

Berencana "Dua Anak Cukup!". Slogan ‘Dua Anak Cukup’ tersebut kemudian

dikembangkan menjadi visi ”jumlah anak yang ideal” yang dikemas melalui

pendekatan Keluarga Berkualitas. Memanglah pada mulanya diadakannya

program Keluarga Berencana adalah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk

saja. Konsep ”Keluarga Berkualitas” atau konsep keluarga kecil, bahagia,

sejahtera (NKKBS) memang telah menjadi trademark program Keluarga

Berencana (KB) sejak dicanangkan pada tahun 1970. Akan tetapi sasarannya lebih

pada aspek demografis, yaitu menekan laju pertumbuhan penduduk saja. Namun

pada kenyataannya, lama kelamaan formasi keluarga ideal tersebut malah

mengimplementasi juga ke dalam kehidupan sehari-hari tentang bagaimana

caranya agar dapat hidup bahagia, yaitu salah satunya dengan memiliki keluarga

yang ideal tersebut.

Peran lebih mengacu pada harapan (roles refer to expected) dan tidak

sekedar pada perilaku aktual. Juga bersifat normatif daripada sekedar deskriptif.

Sehingga, karena terlalu seringnya kita disuguhi gambaran sebuah keluarga dalam

iklan dengan sosok-sosok anggota keluarga yang digambarkan sedemikian rupa

32
hingga terlihat sangat ”ideal”, menimbulkan harapan-harapan kita tentang

keinginan untuk memiliki sebuah keluarga seperti itu juga.

Harapan dan keinginan untuk memiliki sebuah keluarga ideal malah

seakan memberi pengaruh buruk bagi mereka. Karena pada awalnya penciptaan

cermin keluarga ideal itu hanya tentang aspek demografis semata, namun lama-

kelamaan masyarakat menjadikan formasi keluarga ideal tersebut sebagai

kacamata ”normalitas”, tanpa tahu bagaimana sebenarnya keluarga ideal itu

seperti apa. Padahal sebenarnya, kualitas adalah yang terpenting dari sebuah

keluarga.

Formasi keluarga ideal yang selalu ditampilkan dalam iklan secara tidak

langsung mengubah kebudayaan dalam masyarakat. Zaman dahulu, lebih dikenal

istilah “banyak anak banyak rejeki”, namun sekarang dengan terus-menerus

ditampilkannya bentuk keluarga yang dikatakan “ideal” itu, maka hal tersebut

menjadi pemicu dalam mengawali pergeseran setiap budaya dalam setiap zaman.

Padahal pada hakikatnya, formasi sebuah keluarga sangatlah beragam. Keluarga

adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah

atau adopsi. Dan anggota-anggotanya ditandai dengan hidup bersama di bawah

satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga (Khairuddin, 1997 : 6).

Sehingga bagaimanapun formasinya, berapapun anggotanya, tetap dapat

dikatakan sebagai sebuah keluarga. Sedangkan keidealan itu sendiri hanya

bersumber pada individu masing-masing, bukan pada formasi yang konkret.

Melalui media, iklan membantu orang melakukan identifikasi terhadap

citra yang ditampilkannya, yang kemudian akan mendorong orang untuk mengejar

33
kondisi ideal yang ditawarkan iklan, yang menjadi mimpi mereka. Sehingga

seperti telah disebutkan di atas, tidak jarang timbul perilaku-perilaku ”negatif”

dari masyarakat untuk dapat meraih keinginan itu. Dan ada pula yang mengaitkan

konstruksi keidealan sebuah keluarga sebagai simbol kelas sosial dalam

masyarakat. Hal ini dibenarkan pula oleh Burhan Bungin dalam bukunya Imaji

Media Massa (2001 : 26), yaitu bahwa Iklan televisi juga dapat dilihat sebagai

bagian dari konstruksi simbol bahasa budaya dalam masyarakat kapitalis ataupun

bahasa kelas sosial.

Karena masyarakat hanya dijadikan penonton untuk iklan-iklan keluarga

ideal tersebut, tanpa mempunyai kekuasaan untuk menolak dan mencerna kembali

apa yang disampaikan dan ditampilkan, masyarakat secara tidak langsung menjadi

khalayak pasif, sehingga dalam pencitraan keluarga ideal tersebut, masyarakat

hanyalah menjadi audiens pasif yang dengan gampangnya terpengaruh dengan

apa yang dilihat dalam iklan tersebut. Padahal, realitas yang dikonstruksikan oleh

media kadangkala berbeda dengan realitas aslinya. Seperti yang dikemukakan

oleh Anto dalam Jurnal Media Watch Kupas (Sobur, 2002 : 89). Manakala

konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat, maka

hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud

melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, atau bahkan pengasaran

fakta. Singkatnya, kekerasan simbolik tak hanya beroperasi lewat bahasa, namun

juga terjadi pada isi bahasa (language contect) itu sendiri, yakni pada apa yang

diucapkan, disampaikan, atau diekspresikan.

34
Theatre of mind merupakan awal dari proses terbetuknya ”realitas sosial

media massa” atau ”realitas media” dan ”kesadaran semu”. Bahwa realitas sosial

media adalah bagian kesadaran semu individu terhadap realitas itu, yang

sebenarnya tidak terjadi dalam realitas sosial nyata, namun dirasakan oleh pemirsa

sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi, atau mungkin akan terjadi di kemudian

hari dalam hidupnya (Bungin, 2001 : 43). Oleh karena itu diperlukan ”kesadaran”

dari pemirsa itu sendiri untuk melihat mana semu dan mana yang nyata.

“Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang

memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita.

Sehingga gambaran konstruksi realitas mengenai bentuk keluarga ideal

tersebut bisa jadi memang diciptakan oleh peran media yang secara tidak sadar

selalu memunculkan bentuk sebuah ”keluarga ideal” dalam iklan televisi di

Indonesia. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan

berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam.

Sehubungan dengan hal itu, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua,

dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh – pengaruh “positif”

maupun “negatif” (Sobur, 2006 : 31). Media massa tidak menunggu peristiwa lalu

mengejar, memahami kebenarannya dan memberitakannya kepada publik. Ia

mendahului semua itu. Ia menciptakan peristiwa. Menafsirkan dan mengarahkan

terbentuknya kebenaran (Sobur, 2006 : 33). Media kerap dituduh bias dalam

memilih informasi untuk dipublikasikan atau disiarkan, hal ini seperti terlihat

pada pemilihan model pada iklan keluarga di Indonesia yang selalu menampilkan

formasi Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan), tidak

35
menampilkan formasi lain. Bias dapat pula diartikan sebagai pengistimewaan

ataupun penekanan. Dan memang dalam pengolahan informasi mereka, bias

bukanlah hal yang mengherankan – bias merupakan sebuah fenomena budaya.

Budaya cenderung melihat dunia dari sudut pandangnya ; budaya disosialisasikan

ke dalam perangkat nilainya, ideologinya (Burton, 2007 : 216). Dan ”piranti”

khusus yang memperbesar bias adalah nominasi (nomination) atau eksnominasi

(exnomination). Istilah ini diusulkan oleh Roland Barthes untuk menggambarkan

kekuatan penamaan dan penganoniman, khususnya berkenaan dengan sumber

kekuasaan (Burton, 2007 : 217).

Inilah yang kemudian mempengaruhi pemaknaan tentang keluarga ideal

dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Sehingga konstruksi sosial yang

dibentuk oleh iklan televisi tentang keluarga ideal itu dapat pula disebut sebagai

suatu pembentukan citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan, seperti

yang telah dikemukakan oleh De Vito (De Vito, 1997 : 527).

E. 5. Makna dan Implikasi Sosial Konstruksi Sosial Keluarga Ideal oleh

Iklan Televisi Terhadap Pemirsa

Pada dasarnya iklan televisi berlangsung pada proses, dimana pemirsa

iklan televisi melakukan decoding terhadap makna dalam iklan tersebut, sebagai

konsekuensi dari proses encoding yang dilakukan iklan terhadap pemirsa. Jadi,

makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang yang berbeda-beda atau

terjadi pada individu yang berbeda-beda berdasarkan pada kemampuan kognitif

pemirsa maupun emosinya. Makna yang dikode oleh pemirsa tersebut, tergantung

36
pada bagaimana individu melakukan dekonstruksi terhadap iklan televisi itu,

karena setiap individu memiliki kebebasan menentukan metode interpretasi apa

yang harus digunakan, termasuk kepentingan-kepentingannya dalam melakukan

dekonstruksi.

Makna yang dikode pemirsa, berhubungan dengan beberapa kategorisasi

pemirsa, yaitu; (a) kelas sosial, (b) gaya hidup, (c) usia individu dan kemampuan

intelektual, (d) perbedaan gender, (e) kebutuhan terhadap produk yang diiklankan

dan (f) kesan individu terhadap iklan (Bungin, 2001 : 200). Makna yang dikode

oleh pemirsa bisa sama atau berbeda dengan citra yang dikonstruksi oleh

copywriter dalam suatu iklan. Perbedaan itu terjadi karena kategorisasi pemirsa

berbeda satu dan lainnya. Namun apabila terjadi kesamaan, maka kesamaan itu

tidak akan jauh dari citra yang dikonstruksi oleh copywriter pada iklan tersebut.

Sehingga kesamaan interpretasi konstruksi sosial keluarga ideal yang diterima

masyarakat sebagai pemirsa televisi tersebut, tidak lain adalah merupakan citra

yang sengaja dikonstruksi oleh media melalui copywriter dan visualiser-nya.

Realitas sosial iklan televisi adalah hiperrealitas yang hanya ada dalam

media, yang hidup dalam dunia maya (Bungin, 2001 : 204). Namun makna dalam

iklan televisi menjadi realitas sosial yang nyata hidup dalam alam pikiran

pemirsanya, serta hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk dari

pengetahuan masyarakat, kesadaran umum, opini maupun wacana publik. Sebagai

bentuk pengetahuan masyarakat, iklan televisi dalam realitas sosial (general),

menempatkan posisi makna iklan sebagai nilai kehidupan masyarakat. Pemaknaan

yang dilakukan melalui iklan televisi telah menempatkan posisi iklan sebagai

37
bagian dari realitas sosial itu sendiri. Iklan kemudian dapat mereproduksi makna

untuk suatu kehidupan sosial. Dan sebaliknya, individu dan masyarakat

mereproduksi iklan sebagai makna dari keberadaan suatu masyarakat.

Kendati demikian, masyarakat tetap mempunyai kekuatan untuk tetap

dapat mengkoreksi tayangan-tayangan iklan televisi di masyarakat. Karena itu

keberadaan iklan selalu memperhatikan realitas sosial pada umumnya.

Sebenarnya makna iklan televisi adalah milik masyarakat secara umum. Karena

itu, masyarakatlah yang menjadi ”penguasa tertinggi” terhadap iklan televisi.

Masyarakat kemudian tidak mempersoalkan apakah realitas makna iklan televisi

itu sekedar ”palsu”. Namun yang penting ”kepalsuan” makna iklan televisi telah

mendukung realitas normatif yang benar-benar nyata di masyarakat. Kondisi

semacam ini pula telah menempatkan posisi makna iklan televisi sebagai medium

legitimasi terhadap medium normatif yang telah lebih dulu hidup di masyarakat

(Bungin, 2001 : 206). Hal ini seperti terlihat pada, pergeseran norma masyarakat

yang tadinya ”banyak anak banyak rejeki” kemudian berubah menjadi ”dua anak

cukup” sekarang ini. Pergeseran norma atau pandangan terhadap stigma keluarga

ideal ini juga berpengaruh terhadap kehidupan pemirsa sehari-hari. Pemirsa yang

telah mengetahui adanya konstruksi sosial baru tentang keluarga ideal tersebut

pasti mempunyai pengalaman tentang suatu fenomena keluarga ideal di

kehidupannya sehari-hari, baik positif maupun negatif. Karena secara tidak sadar,

iklan televisi sebagai produk masyarakat dieksternalisasikan oleh pemirsa ke

dalam dunia sosio-kultural (Bungin, 2001 : 187).

38
F. METODOLOGI PENELITIAN

F. 1. Tipe Penelitian

Penelitian tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun iklan

televisi di Indonesia ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, yang mana penulis

berusaha mengungkap dan memahami pengalaman masyarakat sebagai pemirsa

tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

fenomenologi. Secara khusus penelitian ini berusaha untuk mengungkap dan

memahami fenomena atas pengalaman pemirsa yang terjadi sebagai akibat dari

tayangan iklan keluarga di televisi yang membentuk sebuah konstruksi sosial

keluarga ideal. Bagaimana masyarakat mempunyai pengalaman berkaitan dengan

konstruksi sosial yang telah dibangun oleh iklan tersebut dan melihat sejauh mana

konstruksi sosial itu merasuk dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Fenomenologi adalah salah satu studi yang memandang bahwa

pengetahuan lahir dari kesadaran individu atas suatu cara dimana seseorang

mengerti suatu objek atau kejadian dengan secara sadar mengalaminya. Atau

dengan kata lain, fenomenologi adalah suatu pandangan dalam ilmu sosial yang

menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus dalam

memahami tindakan sosial (Mulyana, 2001 : 20). Fenomenologi termasuk dalam

tradisi penelitian kualitatif yang berasal dari aliran interpretif. Aliran interpretif

menggambarkan proses timbulnya pemahaman dan bertujuan untuk

mengemukakan cara individu mengalami pengalaman dan bertujuan untuk

mengemukakan cara individu mengalami pengalaman mereka sendiri secara

39
aktual. Penelitian dengan pendekatan fenomenologi ini tidak berusaha untuk

menemukan suatu hukum atau asumsi yang dapat digeneralisir untuk semua

situasi, tetapi lebih kepada penyelidikan terhadap pengalaman dan persepsi

individu atau perseorangan. Dengan menggunakan metode penelitian ini, peneliti

ingin mencoba mengungkap dan memahami pengalaman pemirsa tentang

konstruksi sosial yang dibangun melalui iklan televisi.

F. 2. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data penelitian ini terdiri dari :

a. Data primer

 Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian

lapangan.

 Sumber data primer : berupa hasil wawancara dengan responden

tentang bagaimana pengalaman responden terhadap konstruksi sosial yang

dibangun melalui iklan televisi. Responden yang diwawancara adalah

sejumlah pemirsa iklan televisi, dari sejumlah keluarga, yang pernah

melihat tayangan iklan yang menampilkan bentuk keluarga dengan

formasi Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan)-yang

kemudian dikatakan sebagai keluarga ideal. Masyarakat yang dipilih atas

dasar pertimbangan bahwa masyarakat tersebut telah memenuhi kriteria

subjek penelitian yang ditentukan. Kriteria-kriteria yang dimaksudkan

adalah :

40
1. Pria maupun wanita yang telah mencapai usia

dewasa dini yaitu antara 18-40 tahun dan sudah berkeluarga.

Dikarenakan pada masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian

diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial

baru (Hurlock, 1994 : 246). Dengan tingkat pendidikan min. lulus

SMA, dengan asumsi dapat memberikan penilaian sendiri tentang arti

keluarga ideal dan melihat fenomena yang dihasilkan konstruksi sosial

iklan tersebut dalam dirinya sendiri pada khususnya dan masyarakat

pada umumnya. Dari beragam profesi dan beragam latar belakang

sosial dan budayanya.

2. Pernah melihat iklan yang menampilkan keluarga

dengan formasi keluarga ideal, serta masih mengingat bagaimana

bentuk iklan tersebut. Memiliki pengalaman terhadap fenomena dan

secara intens memiliki ketertarikan dalam memahami makna fenomena

tersebut.

3. Mau berpartisipasi dalam proses interview dan

persetujuan pendokumentasian hasil wawancara dan publikasi dalam

hasil penelitian.

Sampling dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menjaring

sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam sumber dan

bangunannya (constructions). Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan

yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik, serta menggali informasi

yang akan menjadi dasar dari rancangan teori yang muncul.

41
b. Data sekunder

 Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari luar subjek penelitian, baik

lisan maupun tulisan.

 Sumber data sekunder : dikumpulkan secara tidak langsung dari sumber

penelitian yaitu berupa tambahan sumber tertulis atau studi kepustakaan,

seperti mencari data pada buku, internet, makalah, artikel, surat kabar atau

referensi lainnya yang mendukung dan berkaitan dengan penelitian yang

sedang dilakukan.

F. 3. Subjek Penelitian

Penentuan subjek penelitian ini adalah pemirsa iklan televisi tentang

keluarga ideal. Penelitian ini akan mengambil 4 (empat) orang partisipan atau

responden penelitian. Yaitu individu yang telah berkeluarga, baik sebagai Ayah

maupun Ibu yang mempunyai keluarga, dan memiliki beragam formasi. Yaitu

keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan),

dan keluarga dengan formasi diluar itu, yang mana kesemuanya pernah melihat

tayangan tayangan iklan yang menampilkan bentuk keluarga dengan formasi

Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan)-yang kemudian

dikatakan sebagai keluarga ideal. Secara konseptual, dipilihnya individu sebagai

responden dari keluarga dengan formasi-formasi tersebut sebagai subjek

penelitian adalah dengan pertimbangan untuk melihat secara acak kehidupan

mereka dalam dua sisi, yaitu individu yang hidup dalam keluarga dengan formasi

“ideal” dan “tidak ideal”. Dan juga dapat memberikan kemudahan bagi peneliti

42
dalam melakukan sebuah penelitian, karena subjek penelitian berada di sekitar

peneliti.

E. 4. Unit Analisis Data

Unit atau satuan analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

hasil interview dengan subjek penelitian, meliputi semua jawaban tentang

pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun

melalui iklan televisi. Yaitu individu-individu yang mempersepsikan pengalaman

mereka dalam menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal (keluarga dengan

formasi ayah, ibu dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan), yang dibangun

iklan di televisi yang berlangsung selama ini. Penelitian ini dilakukan guna

mengungkap dan memahami fenomena atas pengalaman masyarakat dalam

menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.

E. 5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui

wawancara mendalam dengan menggunakan instrumen (indepth interview)

dengan beberapa individu dari keluarga dengan formasi berbeda. Karena

penelitian ini bersifat kualitatif, maka pedoman yang digunakan dalam wawancara

adalah tidak berstruktur, yaitu tidak selalu terpaku pada daftar pertanyaan yang

telah dirancang, tetapi, juga berkembang sesuai dengan jalannya wawancara. Dan

wawancara dalam penelitian ini juga bersifat terbuka, tidak tertutup yang berarti

jawaban pertanyaan sudah disediakan terlebih dahulu dan responden tidak

43
mendapat kesempatan memberikan jawaban lain di luar jawaban yang sudah

disediakan (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 177). Disini responden bebas

memberi jawaban apapun atas semua pertanyaan dari peneliti. Pengumpulan data

dilakukan oleh peneliti sendiri dengan interview guide dan menggunakan alat

perekam tape recorder.

F. 6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah upaya untuk mencari dan menata secara sistematis

catatan wawancara, telaah kepustakaan, dan lainnya untuk meningkatkan

pemahaman peneliti tentang masalah yang diteliti dan menyajikannya sebagai

temuan bagi orang lain. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode analisis data fenomenologi dari Von Ekscartsberg (Moustakas,

1994 : 15-16). Dalam teknik analisis data ini memiliki tahapan – tahapan sebagai

berikut :

a. Permasalahan dan perumusan pertanyaan penelitian (The Problem and

Question Formulation : The Phenomenon).

Peneliti berusaha menggambarkan fokus penelitian dengan merumuskan

pertanyaan ke dalam satu cara yang dapat dimengerti dengan mudah oleh

responden. Secara operasional, peneliti akan menyusun beberapa pertanyaan

yang akan ditanyakan kepada responden yang disusun menjadi sebuah

interview guide, dengan merujuk pada pengelompokan tema atau gambaran

tematis. Pertanyaan yang diberikan akan disesuaikan dengan kondisi keluarga

tersebut, agar mudah dimengerti. Garis besar pertanyaan-pertanyaan yang

44
akan diajukan dalam wawancara tersebut yaitu, bagaimana pengalaman subjek

(individu-individu yang pernah melihat dan masih mengingat iklan yang

menampilkan bentuk keluarga ideal) dalam memberi interpretasi saat melihat

tayangan iklan yang menampilkan keluarga ideal. Selanjutnya, pertanyaan

mengenai bagaimana subjek penelitian memahami pengertian tentang sebuah

keluarga ideal itu sendiri. Dan yang terakhir adalah tentang bagaimana

pengalaman individu sebagai subjek penelitian dalam memahami dan

menyikapi adanya konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan

tersebut dan perwujudannya dalam sikap kehidupan sehari-hari.

b. Data yang menghasilkan situasi : teks pengalaman kehidupan (The Data

Generating Situation : The Protocol Life Text).

Langkah ini dilakukan guna membuat narasi yang bersifat deskriptif

berdasarkan hasil interview (wawancara) dengan subjek penelitian. Dalam

konteks penelitian ini, narasi yang dibuat berasal dari hasil wawancara dengan

subjek (individu-individu yang pernah melihat dan masih mengingat iklan

yang menampilkan bentuk keluarga ideal) yang telah menjelaskan pengalaman

mereka dalam memahami dan menyikapi adanya konstruksi sosial keluarga

ideal yang dibangun oleh iklan televisi tersebut dikelompokkan menjadi

deskripsi struktural dan tekstural per-subjek penelitian

c. Analisis data : eksplikasi dan interpretasi (The Data Analysis : Explicatin and

Interpretation).

Setelah data terkumpul berdasarkan hasil wawancara dengan subjek

penelitian, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh peneliti adalah

45
menyusun deskripsi struktural dan tekstural gabungan dari keseluruhan hasil

wawancara seluruh responden. Kemudian langkah terakhir adalah menarik

dan mengungkapkan sintesis konfigurasi makna serta esensi pengalaman

pemirsa sebagai hasil dari penelitian.

46
BAB II

PERGESERAN BENTUK KELUARGA IDEAL

DALAM MASYARAKAT DAN IKLAN TELEVISI

Bab ini akan menguraikan bagaimana bentuk keluarga khususnya keluarga

ideal dalam masyarakat Indonesia. Diawali dengan penjelasan bagaimanakah

bentuk keluarga ideal pada mulanya, kemudian diikuti oleh perkembangan yang

berkelanjutan yang disebabkan oleh pengaruh dari sisi industrialisasi, nilai-nilai

kebudayaan serta kebijakan pemerintah yang muncul dalam masyarakat yang

kemudian menyebabkan pergeseran bentuk keluarga ideal itu sendiri nantinya.

Selain pergeseran bentuk keluarga ideal yang terjadi dalam masyarakat secara

umum, pada bab ini juga akan diuraikan tentang pergeseran bentuk keluarga ideal

dalam iklan televisi yang juga dipengaruhi oleh pergeseran bentuk keluarga ideal

dalam masyarakat pada umumnya.

Bentuk keluarga yang beraneka ragam dalam masyarakat sering dikotak-

kotakkan menjadi bentuk keluarga yang umum dan tidak umum, yang ideal dan

tidak ideal. Media massa khususnya iklan semakin membuat perbedaan formasi

keluarga ideal dan tidak ideal yang sudah terlanjur ada dalam masyarakat semakin

diterima sebagai kebenaran yang wajar. Disisi lain sebenarnya keluarga dengan

formasi lain juga dirugikan dengan adanya stereotype tersebut. Manusia dengan

segala keterbatasannya tidak akan selalu dapat untuk memenuhi tuntutan

47
masyarakat. Namun dengan kekuatan televisi melalui normalisasi dan

subjektifikasi, hal tersebut menjadi terlihat alamiah. Sehingga pada akhirnya

masyarakat menginternalisasi nilai-nilai tersebut sebagai sebuah kebenaran yang

alamiah. Keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan

perempuan) yang mendominasi tayangan iklan televisi menjadi hal yang normal

dan menjadi standar bagi keluarga yang ideal, sehingga memarjinalkan formasi-

formasi keluarga lainnya yang tidak memenuhi standar tersebut.

Selain itu, akan dibahas pula bagaimana posisi iklan keluarga dalam

periklanan televisi Indonesia dan bagaimana penggambaran keluarga ideal dalam

iklan televisi pada masa sekarang. Tanpa disadari, bentuk keluarga ideal yang

selalu ditampilkan sama dan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari

mempertegas bahwa iklan secara kejam mengklaim mana yang dianggap baik dan

buruk. Pemirsa didudukkan pada sebuah pencitraan untuk menerima pesan dalam

kerangka hitam putih dan tidak ada abu-abu atau pilihan ketiga dalam iklan.

Padahal kenyataannya, sebuah keluarga baik ideal maupun tidak ideal telah

memiliki sifat dan batasan tertentu di tengah masyarakat. Namun sekarang ini

semakin banyak iklan televisi yang ikut memebentuk persepsi masyarakat tentang

sifat dan formasi yang harus dimiliki sebuah keluarga, tanpa menyadari bahwa

apa yang media tampilkan akan berpengaruh besar terhadap psikologis

pemirsanya.

A. PERGESERAN BENTUK KELUARGA IDEAL DALAM

MASYARAKAT

48
A. 1. Perbedaan Keluarga Dengan Kelompok Sosial Lain

Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam

masyarakat. Ada beberapa definisi dari keluarga menurut ahli-ahli sosial (Goode,

1985 : 90). Keluarga menurut Sigmund Freud, terbentuk karena adanya

perkawinan antara pria dan wanita (libido seksualis). Sedangkan menurut Ki

Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan Indonesia berpendapat bahwa

keluarga merupakan suatu kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu

turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan antara yang

hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu

untuk memuliakan masing-masing anggotanya. Keluarga merupakan sebuah

group yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan wanita, hubungan tersebut

sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-

anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan suatu kesatuan sosial

yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, di mana saja dalam suatu

masyarakat manusia. Hubungan suami istri dalam sebuah keluarga ada yang

berbentuk monogami maupun poligami, bahkan masyarakat yang sederhana

terdapat “group married”, yaitu sekelompok wanita menikah dengan sekelompok

laki-laki. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah

keluarga bisa saja terdiri dari seorang ayah dan beberapa ibu, atau beberapa

kelompok keluarga primer yang tinggal dalam satu atap.

Bentuk keluarga dalam suatu masyarakat adalah beragam, tetapi pada

umumnya serupa karena masyarakat memiliki budaya tertentu sehingga

masyarakat tertentu memiliki pola dalam pembentukan suatu keluarga. Tiap-tiap

49
keluarga dapat memiliki susunan anggota keluarga yang bisa bebeda dari keluarga

yang lain menurut kepentingan masing-masing dari keluarga tersebut. Jadi

keluarga ideal dapat ditentukan dari kepentingan atau keperluan tiap-tiap keluarga

dan tiap susunan anggota keluarga yang ada didalamnya dan harus sama.

Pendekatan sosial terhadap penelitian keluarga (Goode, 1985 : 12) memaparkan

bahwa ideal sistem kekeluargaan dilihat dari tingkah laku, yang dimaksud tingkah

laku disini adalah tingkah laku dari tiap-tiap anggota keluarganya.

Dalam ensiklopedi Umum, Penerbitan Yayasan Kanisius hal. 644-645

(Widjaja, 1986 : 5), keluarga diartikan sebagai berikut :

Keluarga, kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan.


Orang-orang yang termasuk keluarga ialah ibu, bapak dan anak-anaknya.
Sekelompok manusia ini (ibu, bapak, dan anak-anak mereka) disebut
dengan keluarga nuklir atau keluarga inti. Keluarga luas, mencakup
semua orang yang berketurunan daripada kakek nenek yang sama,
termasuk keturunan masing-masing istri dan suami. Keluarga orientasi
ialah keluarga dimana individu itu merupakan salah seorang keturunan.
Dalam arti kiasan, istilah keluarga juga digunakan untuk segolongan
orang yang hidup bersama dan ada ikatan-ikatan jiwa bersama, atau
segolongan orang yang hidup dalam suatu rumah besar (rumah
keluarga), kekerabatan. Keluarga batih (nuclear family) adalah keluarga
inti dimana kelompok kekerabatan terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak
yang belum memisahkan diri sebagai keluarga batih atau keluarga inti
tersendiri. Keluarga luas (extended family), kelompok kekerabatan yang
terdiri dari tiga atau empat keluarga batih (inti) yang terikat oleh
hubungan orang tua anak dan saudara-saudara kandung dan oleh satu
tempat tinggal bersama yang besar.

Burgess dan Locke juga mengemukakan terdapatnya 4 karakteristik

keluarga yang terdapat pada semua keluarga yang membedakan keluarga dari

kelompok-kelompok sosial lainnya :

1. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan

perkawinan, darah atau adopsi. Pertalian antara suami dan isteri adalah

50
perkawinan, dan hubungan antara orang tua dan anak biasanya adalah

darah, dan kadangkala adopsi.

2. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu

atap dan merupakan susunan satu rumah tangga, atau jika mereka

bertempat tinggal, rumah tangga tersebut menjadi rumah mereka. Kadang-

kadang, seperti masa lampau, rumah tangga adalah keluarga luas, meliputi

di dalamnya tiga, empat sampai lima regenerasi.

3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan

berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi si suami

dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara

perempuan. Peranan-peranan tersebut dibatasi oleh masyarakat, tetapi

masing-masing keluarga diperkuat oleh kekuatan melalui sentiment-

sentimen, yang sebagian merupakan tradisi dan sebagian lagi emosional,

yang menghasilkan pengalaman.

4. Keluarga adalah pemeliharaan suatu kebudayaan bersama, yang diperoleh

pada hakekatnya dari kebudayaan umum, tetapi dalam suatu masyarakat

yang kompleks masing-masing keluarga mempunyai ciri-ciri yang

berlainan dengan keluarga lainnya. Berbedanya kebudayaan dari setiap

keluarga timbul melalui komunikasi anggota-anggota keluarga yang

merupakan gabungan dari pola-pola tingkah laku individu.

51
A. 2. Bentuk Awal Keluarga Ideal

Keluarga sejak zaman dahulu sudah diidentikkan dengan formasi ayah, ibu

dan anak, meskipun tidak ada patokan berapa jumlah dan apa sajakah jenis

kelaminnya. Bentuk awal keluarga ideal yang menjadi patokan dalam masyarakat

adalah keluarga dengan formasi yang besar, memiliki banyak anak, dan masih

berkumpul sebagai keluarga besar, bahkan kebanyakan masih hidup bersama

turun-temurun. Walaupun sulit untuk menentukan bentuk keluarga ideal zaman

dahulu karena tidak ada patokan pasti bagaimana bentuk sebuah keluarga ideal,

paling tidak kita dapat menentukan ciri-ciri keluarga secara umum dan khusus

untuk menarik benang merah bentuk keidealan sebuah keluarga, karena ciri-ciri

tersebut pasti terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun. Hal ini

didasarkan atas penilaian bahwa pada zaman dahulu tidak mungkin semua

keluarga mempunyai bentuk dan formasi yang sama, dan belum ada patokan pasti

bentuk keluarga ideal dalam masyarakat. Untuk itu kita akan menggolongkan ciri-

ciri keluarga sebagai berikut :

a. Ciri-ciri Umum

Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti yang dikemukakan oleh Mac

Iver and Page (Khairuddin, 1997 : 6), yaitu :

1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan

dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara

3. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis

keturunan

52
4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota

kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-

kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai

keturunan dan membesarkan anak

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang

walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok

keluarga.

b. Ciri-ciri Khusus

Dari seluruh organisasi, kecil maupun besar yang terdapat di dalam

masyarakat, tidak ada yang lebih penting dari keluarga dalam intensitas

pengertian sosiologisnya. Hal ini berpengaruh terhadap keseluruhan kehidupan

masyarakat dalam hal-hal yang tak terhingga jumlahnya, dan perubahan-

perubahannya, juga seperti yang nyata kita lihat terdapat di seluruh struktur sosial.

Hal ini merupakan kemampuan variasi yang tidak habis-habisnya dan juga

memperlihatkan kesinambungan yang luar biasa dan keuletannya dalam melalui

perubahan demi perubahan. Organisasi keluarga ini dalam beberapa hal tidaklah

sama dengan asosiasi lainnya, di samping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu

organisasi lazimnya, keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut

(Khairuddin, 1997 : 8-10), yaitu :

1. Kebersamaan

Keluarga merupakan bentuk yang hampir paling universal diantara

bentukbentuk organisasi lainnya. Dia dapat ditemui dalam semua

masyarakat, pada semua tingkat perkembangan sosial, dan terdapat pada

53
tingkatan manusia yang paling rendah sekalipun, diantara beribu-ribu

spesies makhluk manusia. Hampir setiap keadaan manusia mempunyai

keanggotaan dari beberapa keluarga.

2. Dasar-dasar emosional

Hal ini didasarkan pada suatu kompleks dorongan-dorongan yang sangat

mendalam dari sifat organis kita, seperti perkawinan, menjadi ayah,

kesetiaan akan maternal, dan perhatian orang tua.

3. Pengaruh perkembangan

Hal ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling awal dari

semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia, dan

pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kesadaran hidup yang

mana merupakan sumbernya. Pada khususnya hal ini membentuk karakter

individu lewat pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun mental.

4. Ukuran yang terbatas

Keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukurannya, yang dibatasi

oleh kondisi-kondisi biologis yang tidak dapat lebih tanpa kehilangan

identitasnya. Oleh sebab itu keluarga merupakan skala yang paling kecil

dari semua organisasi formal yang merupakan struktur sosial, dan

khususnya dalam masyarakat yang sudah beradab, dimana keluarga secara

utuh terpisah dari kelompok kekerabatan.

5. Posisi inti dalam struktur sosial

Keluarga merupakan inti dari organisasi sosial lainnya. Kerap di dalamnya

masyarakat yang masih sederhana, maupun dalam masyarakat yang lebih

54
maju, yang maju, yang mempunyai tipe masyarakat patriarkal, struktur

sosial secara keseluruhan dibentuk dari satuan-satuan keluarga.

6. Tanggung jawab para anggota

Keluarga memiliki tuntutan-tuntutan yang lebih besar dan kontinyu

daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi-asosiasi lainnya.

7. Aturan kemasyarakatan

Hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal yang tabu di dalam

masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan kaku menentukan kondisi-

kondisinya. Pada masyarakat modern keluarga merupakan salah satu

asosiasi yang dengan persetujuan kelompok dapat dengan bebas masuk

tetapi tidak bebas untuk meninggalkan atau membubarkannya, walaupun

dengan persetujuan bersama.

8. Sifat kehidupan keluarga individu

Sebagai institusi, keluarga merupakan sesuatu yang demikian

permanendan universal, dan sebagai asosiasi merupakan organisasi yang

paling bersifat sementara dan yang paling mudah berubah dari seluruh

organisasi. Pertentangan antara dua aspek-aspek keluarga tersebut

demikian penting, dan membuat banyak pandangan tentang masalah-

masalah sosial yang membingungkan menjadi terkelompok di sekitar

keluarga yang menuntut perhatian khusus kita.

Dengan melihat dan memahami ciri-ciri keluarga di atas, maka kita dapat

menyimpulkan bahwa bentuk keluarga ideal pada awalnya hanya terpusat pada

bagaimana keluarga itu tercipta dan bagaimana kehidupan sosiologi dalam sebuah

55
keluarga itu sendiri setelah keluarga itu tumbuh dan berkembang, bukan terpusat

pada formasi atau jumlah anggota keluarganya.

A. 3. Pergeseran Bentuk Keluarga dari Keluarga Besar Menjadi Keluarga

Inti

Setelah sekian lama keluarga besar pada saat itu menjadi mayoritas dalam

masyarkat Indonesia sebagai sebuah gambaran keluarga ideal, lama-kelamaan

timbul pergeseran bentuk keluarga yang lebih populer, yaitu keluarga kecil atau

keluarga inti. Dalam bentuknya yang paling dasar, sebuah keluarga memanglah

terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan dan ditambah dengan anak-

anak mereka yang biasanya tinggal dalam satu rumah, formasi tersebut biasa

disebut dengan keluarga inti (nuclear family). Walaupun suatu keluarga inti secara

resminya selalu terbentuk oleh adanya suatu hubungan perkawinan yang

berdasarkan atas peraturan perkawinan yang sah, tetapi tidak selamanya keluarga

inti terwujud karena telah disahkan oleh suatu peraturan perkawinan. Sedangkan

sebuah keluarga dikatakan sebagai keluarga luas (extended family) selain karena

memang mempunyai keluarga dengan jumlah yang banyak, juga merupakan

keluarga dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang sekerabat

maupun yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah

tangga dengan keluarga inti. Bentuk keluarga inilah yang awalnya lebih

mendominasi masyarakat. Kebanyakan masyarakat Indonesia zaman dahulu selalu

hidup turun temurun dalam lingkungan yang sama dan bersama-sama. Hal

tersebut juga karena dipicu oleh kehidupan masyarakat dahulu yang

56
bermatapencaharian petani dan bercocok tanam, sehingga tidak memungkinkan

untuk anggota keluarganya pergi meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya.

Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa ditemani oleh rekan-rekannya.

Hal ini terutama disebabkan, oleh karena manusia mempunyai naluri untuk

senantiasa hidup berkawan. Naluri untuk hidup berkawan itu lazim dinamakan

“gregarious instinct” (Soekanto, 2004 : 29), yang ada pada setiap manusia

normal, semenjak dia dilahirkan. Teman hidup diperlukan manusia, oleh karena

manusia tidak dilengkapi dengan sarana mental dan fisik untuk dapat hidup

sendiri. Dengan demikian, manusia dapat hidup dan berkembang hanya melalui

pergaulan. Dalam masyarakat yang merupakan wadahnya, maka manusia

senantiasa bergabung dalam kelompok-kelompok sosial yang tumbuh untuk

melindungi kepentingan-kepentingan fisik dan mental manusia.

Kelompok yang paling dekat dengan manusia agaknya adalah kelompok

keluarga, khususnya keluarga inti atau keluarga batih yang semakin lama semakin

populer di kalangan masyarakat luas. Keluarga batih terdiri dari Ayah, Ibu dan

anak-anaknya yang belum menikah atau belum membentuk keluarga batih sendiri.

Keluarga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh

bangunan yang tinggal bersama dan makan dari satu dapur yang tidak terbatas

pada orang-orang yang mempunyai hubungan darah saja, atau seseorang yang

mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang mengurus keperluan hidupnya

sendiri (http://www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/kartu_keluarga.htm).

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang

berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana

57
beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti

(nuclear family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka

(http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga).

Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dari masyarakat, keluarga

mempunyai peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah sebagai berikut:

1. Keluarga berperanan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi

anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah

tersebut.

2. Keluarga merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materiil memenuhi

kebutuhan anggota-anggotanya.

3. Keluarga menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

Keluarga merupakan wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi

awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi

kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Soekanto,

2004 : 23).

Sesungguhnya, janganlah kita mengartikan bahwa keluarga inti merupakan

keluarga yang jumlahnya kecil atau sedikit, sedangkan keluarga besar atau luas

keluarga yang jumlahnya banyak. Hal ini bukanlah dipandang dari segi

lahiriahnya, tetapi lebih mempunyai orientasi kepada dekat atau eratnya

hubungan. Seperti yang disebutkan oleh Mayor Polak (Khairuddin, 1997 : 18) :

Maka dari itu janganlah keluarga inti atau keluarga kecil disamakan dengan

keluarga yang kecil, yang sedikit anak-anaknya. Apalagi kita menyatakan bahwa

keluarga kecil adalah keluarga yang jumlah anak-anaknya tidak harus kecil atau

58
sedikit, berarti kita dapat menyatakan bahwa keluarga besar bukanlah keluarga

yang mempunyai anak banyak atau besar jumlahnya. Keluarga inti dapat kita

definisikan dengan keluarga atau kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-

anak yang belum dewasa atau belum kawin. Sedangkan keluarga luas adalah

satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan suatu lingkungan kaum

keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu dan anak-anaknya. Bentuk

keluarga yang lama-lama memudar dan kurang dianut oleh masyarakat pada

waktu itu.

A. 4. Pergeseran Nilai - Nilai Kebudayaan, Industrialisasi dan Kebijakan

Pemerintah

Dewasa ini nilai-nilai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat

Indonesia agaknya beraneka ragam. Hal ini disebabkan, oleh karena masyarakat

Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk. Kemajemukan tampak

terutama dari suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan khusus.

Hal ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada persamaan. Akan tetapi justru

perbedaan-perbedaan yang tampak, Oleh karena kemungkinan terjadinya benturan

justru bersumber pada ketidaksamaan.

Nilai-nilai kebudayaan merupakan pandangan-pandangan mengenai apa

yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sebenarnya nilai-nilai itu

berasal dari pengalaman manusia berinteraksi dengan sesamanya. Selanjutnya,

nilai-nilai itu akan berpengaruh pada pola berfikir manusia, yang kemudian

menentukan sikapnya. Sikap menimbulkan tingkah laku tertentu, yang apabila

59
diabstraksikan menjadi kaidah-kaidah, yang nantinya akan mengatur perilaku

manusia dalam berinteraksi. Gambarannya secara visual adalah sebagai berikut

(Soekanto, 2004 : 36) :

Pola interaksi

Nilai-nilai positif dan negatif

Pola berfikir

Sikap

Pola tingkahlaku

Kaidah-kaidah

(Kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, dan hukum)

Berdasarkan terjadinya pola interaksi yang didasarkan landasan-landasan itu,

muncul nilai-nilai. Memang perlu diakui, bahwa sulit untuk menentukan nilai-

nilai yang berlaku, oleh karena sifat nilai sangat abstrak. Nilai-nilai kebudayaan

yang masih dianut di Indonesia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola

pengelolaan yang hendak dilaksanakan, termasuk dalam pola pengelolaan sebuah

keluarga.

60
Nilai-nilai kebudayaan yang ada dalam masyarakat kemudian akan

menimbulkan adanya pergeseran atau perubahan sosial tentang suatu hal dalam

masyarakat. Perubahan atau pergeseran sosial adalah suatu gejala yang pasti

dialami oleh setiap masyarakat. Jadi pada hakekatnya, tidak ada satu masyarakat

yang tidak berubah, walaupun masyarakat sesederhana apapun. Atau dengan kata

lain tidak ada satupun masyarakat yang statis, baik dalam hal menyikapi

kehidupan, maupun dalam cara pandang akan sesuatu. Walaupun masyarakat

yang sederhana sering kali dicirikan sebagai masyarakat yang statis, tetapi

pengertian statis di sini sangat relatif. Karena apabila kita bandingkan dengan

masyarakat yang lebih dinamis, memang masyarakat yang kelihatan tidak berubah

tersebut dapat dikatakan statis. Tetapi statis, tidak berarti tidak mengalami

perubahan sama sekali. Semua masyarakat berubah menurut kadar perubahannya

masing-masing. Ada satu masyarakat yang berubah dengan pesat, sedangkan ada

juga yang berubah dengan lambat, bahkan ada juga yang tidak kelihatan

perubahannya, tetapi paling tidak berubah dalam hal kualitasnya. Menurut Ankie

M. Hoogvelt yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (Khairuddin, 1997 : 71), salah

satu dari ciri perubahan sosial yang terjadi dapat diketahui karena : “Tidak ada

masyarakat yang stagnan (tetap), oleh karena setiap masyarakat mengalami

perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat atu secara cepat.”

Proses perubahan sosial pada prinsipnya mempunyai 3 (tiga) tahap yakni :

1. Invensi, yaitu proses dimana ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan.

2. Difusi, yaitu proses dimana ide-ide baru itu dikomunikasikan ke dalam

sistem sosial.

61
3. Konsekuensi, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistim sosial

sebagai akibat penerimaan atau penolakan inovasi tersebut (Khairuddin,

1997 : 73).

Ide-ide atau hal-hal yang dikomunikasikan ke dalam masyarakat ini tidaklah

selalu dapat berjalan dengan lancar seperti kebanyakan yang diharapkan oleh para

innovator. Lihat saja pada pertama dikenalkannya program Keluarga Berencana

kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena ide-ide baru yang diperkenalkan

kepada masyarakat belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang telah ada dalam

masyarakat tersebut. Perbenturan inilah yang kadangkala menimbulkan masalah-

masalah dan mengakibatkan kegoncangan dalam masyarakat.

Perubahan yang lazim diketahui orang adalah perubahan yang disebabkan

oleh kemajuan teknologi (Technical Change). Tetapi karena setiap penemuan

teknologi mempunyai akibat perubahan atas mental manusia, maka perubahan

teknologi tersebut dapat mengakibatkan perubahan masyarakat di segala sektor

kehidupan masyarakat. Dengan adanya perubahan-perubahan ini, masalah-

masalah yang paling umum yang kita jumpai adalah terjadinya perkembangan-

perkembangan dalam masyarakat, yang salah satunya adalah perubahan

masyarakat dari masyarakat agrarian yang tradisionil ke masyarakat yang modern.

Konsekuensi dari perubahan ini selanjutnya adalah pengaruh terhadap organisasi

keluarga yakni perubahan dari extended family (keluarga besar) menjadi nuclear

family (keluarga inti). Seperti yang dikemukakan oleh Khairuddin (1997 : 75), ada

3 (tiga) alasan yang menyebabkan perubahan tersebut :

62
1. Industrialisasi menyebabkan nuclear family menjadi lebih bersifat mobile,

mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Keluarga tidak lagi

terikat oleh sebidang tanah untuk penghidupannya, melainkan mereka

akan berpindah ke tempat dimana ada pekerjaan. Mobilitas keluarga ini

akan memperlemah ikatan kekerabatan dalam extended family.

2. Industrialisasi dapat mempercepat emansipasi wanita, karena

memungkinkan wanita untuk mendapatkan pekerjaan di luar rumah

tangga. Emansipasi ini menyebabkan lemahnya fungsi-fungsi extended

family di satu pihak, dan memperkuat fungsi nuclear family di pihak lain.

3. Industrialisasi telah menimbulkan corak kehidupan ekonomi baru dalam

masyarakat. Dalam masyarakat agrarian, semua anggota keluarga, anak-

anak, wanita, orang yang sudah tua dapat turut serta dalam proses produksi

pertanian, extended family memberikan keuntungan ekonomi. Dalam

masyarakat industi : anak-anak, orang yang sudah tua, orang yang cacat

tubuh, tidak dapat turut serta dalam produksi di pabrik, mereka menjadi

beban keluarga.

Dengan adanya pendapat yang menekankan bahwa keluarga inti

merupakan akibat dari industrialisasi, tentu dapat pula kita katakan bahwa

keluarga inti merupakan model keluarga yang diterima pada zaman industrialisasi

ini, atau keluarga inti merupakan keluarga bagi terdukungnya suasana

industrialisasi. Namun meskipun begitu, industrialisasi bukan merupakan satu-

satunya penyebab pergeseran kebudayaan tentang nilai sebuah keluarga dalam

masyarakat, karena masih terdapat banyak hal yang juga ikut mempengaruhinya.

63
Salah satu diantaranya adalah pengaruh dari perubahan kebijakan pemerintah

tentang kependudukan.

Kebijakan pemerintah tentang kependudukan yang berhubungan erat

dengan bentuk keluarga ideal dalam masyarakat adalah kebijakan pemerintah

tentang program Keluarga Berencana. Pemerintah mensosialisasikan program

Keluarga Berencana sudah semenjak beberapa tahun yang lalu, program itu

disosialisasikan karena mengingat kehidupan masyarakat yang kurang sejahtera

karena pertumbuhan penduduk yang demikian pesat pada waktu itu tidak sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia yang cenderung stagnan.

Kemudian tidak ada jalan lain oleh pemerintah selain mengendalikan angka

pertumbuhan penduduk. Program pemerintah itu adalah program Keluarga

Berencana (KB) dengan slogan “Dua Anak Cukup”.

Menurut pemerintah, meski negara kita terbentur dengan masalah agama,

suku, budaya dan adat istiadat yang bisa saja menghambat suksesnya

penanggulangan masalah pengendalian jumlah penduduk ini, tidak ada kata

terlambat untuk terus mengkampanyekan program KB tersebut. Apalagi slogan

“Dua Anak Cukup” kini sudah berganti dengan “Dua Anak Lebih Baik” membuat

orang akan berpikir bahwa disamping mempunyai dua anak sudah cukup, tetapi

mempunyai dua anak juga akan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pergeseran

tentang bentuk keluarga ideal juga sangat dipengaruhi oleh adanya program

Keluarga Berencana, karena sangat mempengaruhi penilaian masyarakat tentang

sebuah keluarga, dan bentuk keluarga ideal yang dianggap semestinya.

64
A. 5. Keluarga Ideal Masa Kini

Keluarga merupakan bagian integral dari masyarakat luas. Status-status

pekerjaan anggota dan kedudukan peranan-peranan yang mereka jalankan di

kelompok lain membuat mereka jauh dari keintiman kelompok keluarga. Status-

status dan peranan-peranan yang berubah dengan tetap, membawa perubahan-

perubahan juga terhadap institusi dan asosiasi mereka sendiri. Berkembangnya

kebijakan pemerintah tentang kependudukan, kebudayaan materi, tingkat

penemuan dan inovasi teknologi, perbaikan fasilitas tarnsportasi dan komunikasi

dan meluasnya industrialisasi dan urbanisasi merupakan pendorong-pendorong

perubahan keluarga. Nilai tentang keluarga ideal dalam masyarakat juga

mengalami pergeseran.

Keluarga, dalam kerangka yang ideal atau dicita-citakan memang agak

sulit untuk mengkaitkannya sekaligus dengan penahapan masa (dulu, kini dan

mendatang) serta perkembangan lingkungan sosial-budaya. Akan tetapi dicoba

untuk menguraikannya berdasarkan asumsi, bahwa pada masa lampau terdapat

lingkungan sosial budaya bersahaja, pada masa kini lingkungan masyarakat

madya, dan pada masa mendatang lingkungan modern (Soekanto, 2004 : 3).

Kiranya perlu diakui, bahwa bentuk-bentuk lingkungan tersebut pada masa kini

dan masa mendatang mungkin ada. Lihat saja pada kehidupan budaya dan pola

kehidupan masyarakatnya. Misalnya, ciri-ciri kehidupan lingkungan bersahaja

hingga kini masih terdapat dalam pelbagai bentuk kehidupan bersama. Keadaan

demikian mungkin saja terjadi dalam suatu lingkungan sosial budaya madya,

seperti misalnya kota-kota kecil. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta,

65
Surabaya, Medan, dan lain-lain, ciri-ciri kehidupan lingkungan bersahaja belum

hilang. Padahal, bentuk dan proses pergaulan hidup di kota-kota tersebut lazim

dikatakan sudah modern atau setidak-tidaknya pra-modern. Selanjutnya,

kehidupan budaya serta pola kehidupan masyarkat juga tidak akan pernah lepas

dari kaitan dengan adanya pelbagai lapisan dalam masyarakat. Dalam setiap

masyarakat pasti ada lapisan rendah, menengah dan atas, oleh karena itu setiap

masyarkat mempunyai sistem penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu pula.

Dengan melihat contoh di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa

perubahan, perbedaan serta tingkatan kehidupan masyarakat berlaku juga dalam

konteks pandangan suatu keluarga yang ideal. Setiap budaya masyarakat, setiap

zaman, setiap masa mempunyai gambaran masing-masing mengenai bentuk

sebuah keluarga inti ideal. Meskipun sebenarnya, ciri-ciri pokok keluarga inti

ideal hingga kini dan untuk masa mendatang tidak akan berubah. Yang terjadi

hanyalah perubahan-perubahan pada tekanannya, yang lazimnya disebut

pergeseran dalam percakapan sehari-hari.

Ciri-ciri pokok keluarga inti ideal pada dasarnya berdasar pada aspek-

aspek logis, etis dan estetis yang dapat dinamakan kebenaran atau ketepatan,

keserasian dan keindahan. Menurut Ny. Hj Rr Susiyati Ma’ruf, Ketua Umum Tim

Penggerak PKK Pusat (http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang

%20UKS/executive 2004 html), keluarga ideal Indonesia yang tediri dari multi

etnis dan kemajemukan itu, adalah keluarga yang mampu menghargai dan

memelihara sikap sopan santun, etika dan kebersamaan tinggi. Selain itu,

menghargai adanya perbedaaan-perbedaan baik suku, agama serta ras. Di mana

66
dalam praktek kehidupannya selalu berusaha memelihara dan menjaga secara

terus menerus sinergi harmonisasi dalam keberagaman perbedaan yang dihadapi

setiap hari. Sedangkan dalam penelitian pemberdayaan keluarga dalam mencegah

tuna sosial oleh remaja perkotaan, disebutkan bahwa keluarga yang ideal adalah

keluarga yang harmonis, dimana anak-anak memperoleh berbagai jenis

kebutuhan, seperti kebutuhan fisik-organis, sosial maupun psikososial. Keluarga

inti ideal dari masa ke masa pada intinya adalah keluarga dengan formasi komplit,

yaitu bapak, ibu, anak. Yang membedakan hanyalah pandangan dari tiap-tiap

kebudayaan dan perubahan masa. Dahulu keluarga ideal identik dengan jargon

“banyak anak banyak rejeki”, keluarga yang memiliki banyak anak dikatakan

keluarga inti ideal, sedangkan yang mempunyai anak sedikit dikatakan tidak ideal.

Pada masa sekarang, keluarga inti ideal yang paling populer adalah keluarga

dengan formasi bapak, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan). Jargon

yang mendukung yaitu “dua anak cukup”, jargon tersebut juga didukung oleh

pencanangan Keluarga Berencana oleh pemerintah. Oleh karena setiap masa,

setiap budaya mempunyai patokan-patokan tersendiri tentang sesuatu yang ideal,

maka sulit sekali untuk mengubahnya. Yang mungkin terjadi adalah tekanan yang

berbeda atau penafsiran yang lain menurut lingkungan sosial budaya masing-

masing.

B. KELUARGA IDEAL DALAM IKLAN TELEVISI

B. 1. Posisi Iklan Keluarga dalam Periklanan

67
Komunikasi searah atau linier dapat dilaksanakan dari seseorang atau

lembaga kepada seseorang atau sekelompok orang melalui tatap muka (langsung)

maupun melalui media. Komunikasi searah dapat dilaksanakan melalui salah satu

media yaitu televisi, dan iklan adalah salah satu bentuk komunikasi yang

dilaksanakan oleh perusahaan atau lembaga kepada masyarakat pemirsa.

Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi

fungsi pemasaran (Jefkins, 1997 : 15). Menurut institusi praktisi periklanan

Inggris, periklanan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang

diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk atau jasa

tertentu dengan biaya semurah-murahnya (Jefkins, 1997 : 5). Untuk menjalankan

fungsi pemasaran, maka apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan

tentu saja harus lebih dari sekedar memberikan informasi kepada khalayak.

Periklanan harus mampu membujuk khalayak ramai agar berperilaku sedemikian

rupa sesuai dengan strategi pemasaran perusahaan untuk mencetak penjualan dan

keuntungan. Dalam suatu iklan terdapat suatu bentuk komunikasi, jika pelakunya

tidak berhati-hati dalam menyampaikan komunikasi tersebut maka pesan yang

akan disampaikan oleh iklan tersebut bisa diartikan secara keliru. Dan agar pesan

iklan dapat mencapai sasaran, maka pesan tersebut harus sesuai dengan target

pemirsa. Di dalam iklan keluarga yang ditayangkan di televisi objeknya juga

merupakan salah bentuk komunikasi, dan dapat menghasilkan persepsi dari orang-

orang yang melihatnya. Secara garis besar, iklan dapat digolongkan menjadi tujuh

kategori pokok, yakni :

68
1. Iklan konsumen

Iklan-iklan yang termasuk dalam iklan konsumen adalah (a) iklan barang-

barang konsumen seperti bahan makanan, shampoo, sabun, dan

sebagainya, (b) iklan barangbarang tahan lama seperti bangunan, mobil,

perhiasan, dan sebagainya, bersama dengan (c) iklan jasa konsumen.

2. Iklan bisnis ke bisnis (iklan antar bisnis).

Kegunaan dari iklan antar bisnis adalah mempromosikan barang-barang

dan jasa nonkonsumen. Artinya, baik pemasang atau sasaran iklan sama-

sama perusahaan. Produk yang diiklankan adalah barang antara yang harus

diolah atau menjadi undur produksi. Contohnya adalah pengiklanan

bahan-bahan mentah, komponen, suku cadang, fasilitas pabrik, dan lain-

lain.

3. Iklan perdagangan

Iklan perdagangan secara khusus ditujukan kepada distributor, pedagang-

pedagang

kulakan besar, para agen, eksportir/importir, dan para pedagang besar dan

kecil. Barang-barang yang diiklankan adalah barang-barang untuk dijual

kembali.

4. Iklan eceran

Iklan eceran adalah jenis iklan unik yang karakteristiknya berada di antara

iklan perdagangan dan iklan barang konsumen. Salah satu contohnya

adalah iklan-iklan yang dilancarkan oleh pasar swalayan atau pun toko-

toko serba ada berukuran besar. Iklan ini dibuat dan disebarluaskan oleh

69
pihak pemasok atau perusahaan/pabrik pembuat produk, dan iklan itu

biasanya ditempatkan di semua lokasi yang menjual produk tadi kepada

para konsumen.

5. Iklan keuangan

Secara umum bisa dikatakan bahwa iklan keuangan meliputi iklan-iklan

untuk bank, jasa tabungan asuransi, dan investasi.

6. Iklan langsung

7. Iklan lowongan kerja

Iklan jenis ini bertujuan untuk merekrut calon pegawai, seperti anggota

polisi, angkatan bersenjata, perusahan swasta, dan badan-badan umum

lainnya (Jefkins, 1997 : 39).

Dari definisi jenis iklan menurut Frank Jefkins di atas, maka iklan keluarga yang

kebanyakan mengiklankan produk konsumsi keluarga merupakan salah satu dari

jenis iklan konsumen, karena produk yang di iklankan adalah merupakan barang

konsumen (consumer goods). Segala macam barang konsumen biasanya di

iklankan lewat media sesuai dengan lapisan sosial tertentu yang hendak dibidik.

Sedangkan untuk media periklanan menurut di bedakan menjadi dua

macam yaitu iklan lini atas (above- the-line) dan iklan lini bawah (below- the-

line) (Jefkins, 1997 :86). Pada awalnya iklan jenis above the line lebih dominan

tetapi lama kelamaan iklan below the line juga sudah banyak dipakai. Iklan jenis

above the line, dikuasai oleh lima media yang berhak mengatur pengakuan dan

pembayaran komisi kepada biro-biro iklan; yakni pers (koran dan majalah), radio,

televisi, lembaga jasa iklan luar ruang (outdoor dan sinema/bioskop. Untuk media

70
lini bawah (below- the-line) adalah media-media yang

tidak memberi komisi dan pembayaran sepenuhnya berdasarkan biaya-biaya

operasi plus sekian persen keuntungan, yakni pameran-pameran, direct mail,

perangkat-perangkat peragaan (display) ditempat-tempat penjualan langsung

(point of sale), serta selebaran pengumuman penjualan dan berbagai media

lainnya. Di sisi lain terdapat juga istilah media primer dan sekunder. Media primer

adalah media yang memimpin atau di utamakan dalam sebuah kampanye iklan,

sedangkan media sekunder adalah media-media yang bersifat menunjang atau

melengkapi (Jefkins, 1997 : 86). Pemilihan atas media mana yang primer dan

mana yang sekunder, tergantung dari apa yang akan diiklankan. Untuk produk

barang konsumen biasanya televisi dipakai sebagai media primer.

B. 2. Iklan Televisi

Jacques Ellul (1980) dalam Bungin (2001 : 133) mengatakan bahwa kalau

kita ingin menggambarkan zaman ini, maka gambaran yang terbaik untuk

dijelaskan mengenai suatu realitas masyarakat adalah masyarakat dengan sistem

teknologi yang baik atau masyarakat teknologi. Dengan demikian, teknologi

secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada fungsi yang

substansial, seperti mengatur beberapa sistem lalu lintas di jalan raya, sistem

komunikasi, seni pertunjukan dan sebagainya. Dalam dunia pertelivisian, sistem

teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diistilahkan

theatre of mind. Bahwa siaran-siaran media televisi secara tidak sengaja telah

meninggalkan kesan siaran di dalam pikiran pemirsanya. Sehingga suatu saat

71
televisi dimatikan, kesan itu selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk

panggung-panggung realitas di dalam pikiran mereka.

Jadi, apa yang digambarkan dalam iklan televisi adalah gambaran realitas

dalam dunia yang diciptakan oleh teknologi. Sebagai contoh, iklan keluarga di

Indonesia selalu menampilkan bintang iklan dengan formasi ayah, ibu dan dua

orang anak (laki-laki dan perempuan) dengan ekspresi wajah dan kehidupan yang

bahagia. Iklan-iklan itu membuat suatu konsep tersendiri tentang bagaimana

bentuk keluarga ideal, adegan-adegan didalamnya mampu membawa pemirsa

kepada kesan konsep keluarga yang bahagia, yang ideal adalah keluarga dengan

formasi tersebut. Jadi, berdasarkan realitas iklan televisi yang dijelaskan itu,

gambaran terhadap sebuah dunia hanya ada dalam teknologi media televisi.

Realitas itu dibangun oleh copywriter atau visualiser berdasarkan kemampuan

teknologi media elektronika.

Kemampuan teknologi media elektronika memungkinkan copywriter atau

visualiser dapat menciptakan realitas dengan menggunakan satu model produksi

yang oleh Baudrillard (Bungin, 2001 : 135) disebutnya dengan simulasi, yaitu

penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas awal. Hal ini

olehnya disebut hiperrealitas. Melalui model simulasi, manusia dijebak dalam

satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu, maya,

atau khayalan belaka. Realitas yang dibanguan oleh copywriter dan visualiser

amat bias kepada lingkungan mereka, termasuk pula simulasi (obyek realitas)

untuk menggambarkan realitas itu. Wacana simulasi adalah ruang pengatahuan

yang dikonstruksikan oleh iklan televise, dimana manusia mendiami suatu ruang

72
realitas yang perbedaan antara nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang

palsu, menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya dan khayal. Televisi

dan informasi lebih nyata dari pengetahuan sejarah atau etika, namun sama-sama

membentuk sikap manusia.

Tugas utama iklan televisi pada dasarnya adalah menjual barang atau jasa

dan bukan menghibur. Namun hal tersebut tidak lagi dipatuhi oleh para

copywriter dan visualiser iklan televise, karena ternyata menghibur sambil

menjual di televisi menjadi lebih menarik. Tanpa disadari bumbu-bumbu dalam

iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu yang sengaja dikonstruksi

oleh copywriter dan visualiser untuk member kesan yang kuat terhadap produk

yang diiklankan. Namun tanpa disadari juga, mereka telah membawa pemirsa ke

dalam dunia yang semakin tidak jelas.

Selama menonton televisi orang melakukan apa saja mulai membaca,

berbincang-bincang, bercanda, menjahit, merajut, membersihkan sesuatu,

mengeringkan rambut, menekan remote mencari channel lain, dan sebagainya.

Hal tersebut bisa terjadi karena :

1. Sifat Iklan cermin sifat produknya.

2. Sifat khalayak tidak mau disuguhi iklan.

3. Posisioning iklan disaat penyiaran dan program acara yang disela.

4. Perhatian pemirsa kadang ditentukan orang lain, semakin banyak

orang yang menonton perhatian semakin kecil.

5. Adegan menarik iklan masuk, kemungkinan iklan dilihat.

73
Hal-hal tersebut di atas dapat terjadi karena adanya tipologi awal pemirsa pada

saat menonton televisi itu sendiri, yaitu :

1. Menonton televisi adalah tindakan menjalin, dan atau memutuskan ikatan

interpersonal.

2. Menonton televisi adalah mendapatkan beraneka ragaman pengalaman,

bersantai, belajar, bermain, mengasuh, dan sebagainya.

3. Kehadiran suara sebagai suara latar (background noise) menjadikan

televisi teman setia dalam tindakan mengelola kekuasaan.

Adapun beberapa kekuatan dan kelemahan televisi itu sendiri berhubungan

dengan adanya iklan televisi. Hal tersebut dapat kita uraikan lewat poin-poin

berikut ini :

1. Kekuatan Media Televisi

a. Efisiensi biaya

Televisi merupakan media yang paling efektif (jangkauan

dibanding media lain seperti radio dan media cetak).

b. Dampak yang kuat

Keunggulan kemampuan dilihat dan didengar (audiovisual).

c. Pengaruh yang kuat

Televisi sebagai media yang paling kuat di rumah selesai dari

kesibukan dan kepenatan meluangkan waktu.

2. Kelemahan Media Televisi

a. Biaya yang besar

Biaya besar mulai pre-produksi sampai produksi.

74
b. Khalayak tidak selektif

Segmentasinya tidak setajam radio atau media cetak.

c. Kesulitan teknis

Iklan –iklan tidak bisa luwes dipindah jam tayang karena kepadatan

program acara televisi

(http://belajardekavetiga.blogspot.com/2005/09/mediatelevisi.html)

Terlepas dari segala kekuatan dan kelemahannya, iklan televisi bagaikan

sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam situasi gemerlap

yang memikat dan mempesona, sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan

muncul ke dalam dunia nyata melalui media (Williams dalam Bungin, 2001 :

122). Televisi telah mengangkat medium iklan ke dalam konteks yang sangat

kompleks namun jelas, berimajinasi namun kotekstual, penuh dengan fantasi

namun nyata. Hal itu tak lepas dari peran televisi yang telah menghidupkan iklan

dalam dunia kognisi pemirsa serta penuh dengan angan-angan.

B. 3. Penggambaran Bentuk Keluarga Ideal dalam Iklan Televisi

Iklan adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada

masyarakat lewat suatu media. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi

yang bersifat persuasif untuk memenuhi fungsi pemasaran (Jefkins, 1997 : 15).

Suatu bentuk iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai hal yang

berkaitan dengan segala sesuatu yang dimuat dalam sebuah iklan, karena iklan

televisi adalah salah satu bentuk pesan yang dikonsumsi oleh khalayak. Selain itu,

iklan memang harus mendapat perhatian kita. Untuk itu, sebuah iklan harus

75
mampu “menembus” kekacauan iklan lain. Prinsip pertama dalam dunia

periklanan, sebuah iklan harus mampu bertahan dan tampak lebih menonjol

dibanding iklan-iklan lain. Untuk merealisasikan prinsip itu, para pemasang iklan

kemudian mempergunakan berbagai alat atau media. Dan saat ini alat yang paling

sering dipergunakan dalam membangun sebuah iklan keluarga adalah dengan

mengedepankan unsur-unsur visual, yaitu pemeran iklannya.

Hal-hal yang dimuat dalam iklan keluarga tersebut, salah satunya adalah

pemeran iklan yang disajikan menurut skenario dari iklan. Dari pemeran iklan

pemirsa dapat melihat petunjuk kinesik, petunjuk wajah, dan tingkah laku yang

dilaksanakan oleh pemeran menurut skenario yang telah ditentukan. Hal-hal

tersebut dapat menimbulkan persepsi bagi pemirsa yang melihatnya, sedangkan

persepsi dipengaruhi oleh pola berpikir atau bahkan latar belakang tiap orang.

Bentuk keluarga yang ada dalam tiap-tiap iklan keluarga sekarang ini terdiri dari

anggota keluarga yang selalu sama yaitu ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki

dan perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Dengan selalu ditampilkan

seolah-olah nyata, selalu terlihat seragam dan ditampilkan terus-menerus, maka

menimbulkan pandangan baru sebuah keluarga ideal dalam masyarakat. Bahwa

bentuk keluarga ideal saat ini adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua

orang anak (laki-laki dan perempuan). Dalam teori sosiologi keluarga disebutkan

bahwa bentuk keluarga dalam suatu masyarakat pada dasarnya adalah beragam,

tetapi pada umumnya adalah serupa karena masyarakat memiliki budaya tertentu

sehingga masyarakat tertentu memiliki pola dalam pembentukan suatu keluarga.

76
BAB III

PROSES KONSTRUKSI SOSIAL KELUARGA IDEAL

YANG BERLANGSUNG DALAM IKLAN TELEVISI

SEHINGGA MUNCUL DESKRIPSI TEKSTURAL DAN

STRUKTURAL

Bab ketiga dari penelitian ini akan mendeskripsikan temuan-temuan hasil

penelitian melalui studi fenomenologi untuk memahami pengalaman pemirsa

televisi mengenai konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun dalam iklan

televisi, serta pendapat masing-masing informan tentang pengalaman mereka saat

menilai konstruksi sosial keluarga ideal tersebut dalam kehidupan mereka sehari-

hari. Temuan penelitian berupa pengalaman dari para informan penelitian yang

akan dideskripsikan secara tekstural dan struktural oleh masing-masing informan

atau individu. Deskripsi tekstural didapat dari benang merah (horisonalisasi)

pengalaman informan penelitian, sedangkan deskripsi struktural di dapat dari hal-

hal unik dari pengalaman yang berusaha mengungkap mengapa pengalaman itu

bisa terjadi. Setiap dimensi atau tahap dalam pengalaman diberi perhatian yang

sama dan tercantum didalamnya. Dalam sebuah penelitian fenomenologi selalu

diawali dengan penggolongan fenomena, dan mengurangi sesuatu yang tidak

termasuk dalam tema dari sebuah penelitian. Penggolongan fenomena ke dalam

tema ini digambarkan secara tekstural dari berbagai sisi dan dilihat dalam

berbagai sudut pandang. Dari deskripsi yang digambarkan secara tekstural

77
tersebut apa yang muncul dan yang telah diberikan, dapat digunakan untuk

menggambarkan bagaimana fenomena tersebut dialami. Hal ini berarti

pembentukan satu perhatian penuh pada kondisi yang menimbulkan perhatian

pada kualitas secara tekstural, perasaan, pengertian tentang pengalaman dan

pemikiran struktur yang mendasari susunan dan terikat erat didalamnya.

Menurut Keen (1975) dalam Moustakas (1994) mendefinisikan struktural

sebagai urutan yang ditanamkan dalam pengalaman sehari-hari yang dapat

dipahami melalui refleksi. Jadi, meskipun pemaparan secara tekstural dari

hubungan normatik (pusat konsep lain yang disengaja) dan keseluruhan norma

adalah sebuah intuisi dan perenungan ulang, deskripsi secara struktural termasuk

juga perbuatan yang disengaja seperti berpikir dan memberikan penilaian,

membayangkan dan mengumpulkan kembali, dengan tujuan untuk mencapai inti

dari pengertian struktural. Struktural mendasari tekstural dan keduanya terikat.

Tekstural dan struktural berada dalam hubungan yang terjadi secara terus menerus

(Moustakas, 1994 : 78-79).

Data mengenai pengalaman tersebut didapat dari informan penelitian, 4

(empat) individu yang telah berkeluarga, yang terdiri dari 2 (dua) keluarga yang

memiliki keluarga yang diakatakan ideal (ayah, ibu, dua orang anak, laki-laki dan

perempuan), serta 2 (dua) keluarga yang belum memiliki keluarga dengan formasi

yang dikatakan ideal tersebut. Dari hasil wawancara mendalam yang telah

dilakukan dengan empat individu subjek penelitian dan telah mengalami proses

editing guna menghilangkan hal-hal yang tidak relevan, dan hal-hal yang tidak

dibutuhkan serta menghindari pengulangan dan tumpang tindih, maka kemudian

78
dikelompokkan menjadi tema-tema (Thematic Portrayal). Setelah thematic

portrayal untuk membentuk deskripsi tekstural individu, maka langkah

selanjutnya menurut metode penelitian fenomenologi adalah menyusun deskripsi

struktural individu. Dalam menyusun deskripsi struktural individu, peneliti akan

melakukan proses Imaginative Variation yang bertujuan untuk menggambarkan

struktur esensial dari suatu pengalaman. Penelitian disini berusaha mencari

jawaban tentang bagaimana pengalaman terhadap suatu fenomena dapat terjadi

atau makna inti dari sebuah pengalaman (Moustakas, 1994 : 131), yang juga

dikelompokkan ke dalam tema-tema di bawah ini :

1. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi. Data

ini akan digunakan untuk mengungkapkan :

a. Bagaimana pemirsa dalam menangkap citra keluarga ideal dalam

iklan televisi

b. Bagaimana tanggapan pemirsa mengenai pencitraan itu

c. Pengalaman pemirsa dalam menanggapi pencitraan keluarga ideal

oleh iklan televisi.

2. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal. Data ini akan digunakan untuk mengungkapkan :

a. Mengungkap gambaran keluarga ideal menurut pandangan pemirsa

b. Penilaian pemirsa tentang pandangan masyarakat tentang keluarga

ideal

c. Pendapat dan pengalaman pemirsa mengenai inti dari sebuah

keluarga

79
3. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi. Data ini akan digunakan untuk

mengungkapkan :

a. Apakah dengan adanya konstruksi sosial keluarga ideal akan

mengubah penilaian atau judgement pemirsa tentang sebuah

keluarga ideal

b. Bagaimana konstruksi sosial keluarga ideal oleh iklan televisi di

mata pemirsa

c. Pengalaman pemirsa yang terjadi mengenai konstruksi sosial

keluarga ideal

d. Sikap pemirsa dalam menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal

tersebut, baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi masyarakat luas.

A. DESKRIPSI TEKSTURAL INDIVIDU

Deskripsi tekstural merupakan pemaparan yang diberikan oleh informan

penelitian secara langsung tentang pengalaman yang mereka miliki.

Informan Penelitian I

Septian Adhi Nugraha (22) merupakan seorang mahasiswa di Universitas

Diponegoro. Saat ini dia duduk di semester 9 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, jurusan Ilmu Komunikasi. Selain sebagai seorang mahasiswa, di rumah

Adhi adalah seorang ayah bagi buah hatinya yang bernama Selvia Dina Pramesthi

(5) dari hasil pernikahannya dengan Surtina Widiastuti (26).

80
Setelah menikah, pasangan ini langsung dikaruniai seorang anak

perempuan, namun hingga saat ini, setelah anaknya menginjak usia 5 tahun,

rupanya belum dikaruniai anak lagi. Adhi yang masih menempuh gelar S1 nya di

kota Semarang, maka mau tidak mau harus meninggalkan istri dan anaknya yang

menetap di kota Wonosobo. Setiap akhir minggu Adhi pulang ke Wonosobo,

sehingga tidak ada kendala berarti bagi komunikasi dalam keluarga mereka.

a. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi

Bagi Adhi yang juga merupakan mahasiswa perantauan di kota Semarang

ini, menonton televisi adalah agenda wajib untuk mengisi waktu luangnya saat ia

berada di rumah kontrakannya. Karena tinggal berjauhan dengan keluarganya,

maka ia harus pintar-pintar menggunakan waktu luangnya, selain pastinya waktu

untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, agar tidak merasa bosan atau kangen

rumah. Iklan televisi yang kian marak di sela acara-acara televisi seakan menjadi

bumbu setiap acara yang ditayangkan, dan iklan tersebut tidak dapat kita hindari.

Salah satu macam iklan adalah iklan keluarga yang memiliki bintang iklan ayah,

ibu, dua anak (laki-laki dan perempuan) juga sudah biasa dijumpai di televisi.

Banyaknya iklan televisi bergenre sama tersebut juga menarik perhatian bagi

Adhi, “Sekarang emang banyak banget iklan keluarga gitu ya, kayak iklan sabun

Nuvo Family, semen Holcim, banyak lah.. Ya tapi nggak semuanya.. ada juga

iklan keluarga yang anaknya cuman satu, tapi yang pasti ada anak, yang

namanya keluarga pasti harus ada anak..”.

81
Secara tidak langsung, dengan banyaknya iklan keluarga dengan formasi

ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan) tersebut, maka akan

timbul suatu pencitraan tentang sebuah keluarga ideal. Daya tarik iklan yang

ditampilkan lewat pesan visualnya telah membangun sebuah pencitraan tersendiri

terhadap suatu hal. Pemikiran tentang citra atau image tidak bisa dilepaskan dari

perkembangan teknologi media. Perkembangan teknologi media telah

menyebabkan terjadinya graphic revolution, dimana teknik-teknik atau reproduksi

gambar telah mengubah karakter citra atau image menjadi semakin penting. Citra

semakin lama semakin sophisticated, persuasif dan kini citra ikut mengatur

pengalaman dan pemahaman manusia melalui sebuah cara signifikasi. Citra yang

dibangun oleh iklan, yang juga menyangkut masyarakat luas pada umumnya

adalah merupakan suatu fenomena.

Adhi sendiri juga memberi sebuah penilaian terhadap fenomena tersebut,

“Ya menurut saya itu positif, dengan adanya daya tarik emosional, maka akan

lebih menonjol. Selain itu, gambaran keluarga dalam iklan sesuai dengan

imajinasi kita tentang sebuah keluarga.. menurut saya, dengan melihat iklan saya

bisa mempersepsikan daya tarik emosional akan sesuatu. Keluarga yang

digambarkan di iklan selalu bahagia, jadi suatu nilai plus lah buat pemirsanya..”.

Ia membenarkan tingkah iklan dalam membentuk suatu citra, dalam hal ini citra

tentang sebuah keluarga ideal. Karena ia berpendapat bahwa dengan adanya daya

tarik emosional, maka iklan akan terlihat lebih menonjol. Dengan menampilkan

iklan keluarga berisi keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua anak (laki-laki dan

perempuan), maka juga sesuai dengan imajinasi kita tentang bagaimanakah

82
seharusnya sebuah keluarga itu. Iklan mewujudkan apa yang ada dalam benak

kita, walaupun kita sendiri tidak memilikinya. “Menurut saya, Iya iklan itu

berpengaruh, secara langsung maupun tidak langsung pasti berpengaruh, namun

tergantung persepsi masing-masing individu.. Seperti saya, saya menggunakan

pencitraan keluarga ideal dalam iklan hanya sebatas imajinasi, namun keluarga

ideal yang sesungguhnya harus bisa dirasakan dalam hati.”, ungkap Adhi.

b. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal

Dalam masyarakat kita sekarang lebih populer istilah “dua anak cukup”

untuk menunjukkan keidealan sebuah keluarga. Hal tersebut juga diamini oleh

banyak pihak dalam masyarakat kita. Sebut saja pemerintah, dengan

mencanangkan program Keluarga Berencana untuk menekan laju pertumbuhan

penduduk di Indonesia. Masyarakatpun juga memberi penilaian yang tidak jauh

berbeda tentang formasi sebuah keluarga ideal. Adhi berpendapat bahwa,

“Keluarga ideal, secara kuantitas formasinya ya ayah, ibu, dua orang anak (laki-

laki dan perempuan). Namun yang lebih penting lagi adalah keluarga yang ada

rasa kesatuan dan kekeluargaan sehingga terbentuk kebahagiaan dan

keharmonisan.”. Ia juga yakin bahwa pendapatnya juga diyakini oleh sebagian

besar masyarakat kita, “Dari kultur yang sama pasti berpandangan sama,

mungkin kalo beda kultur ya mungkin beda juga pandangannya. Saya juga dapat

pandangan itu dari orang tua saya..”. Namun disisi lain, ia berpandangan bahwa

kualitas tetaplah yang terpenting dari sebuah keluarga. Kuantitas, formasi dan

83
jumlah keluarga menjadi nomor dua bagi Adhi, ”Kualitas secara psikologis

adalah pertama kali yang paling mengena dalam diri kita. Kalo psikologis sudah

bagus pasti jalannya juga jadi bagus. Itu apa yang saya rasain, sebagai keluarga

baru pasti harus step by step, sisi psikologis dan mental akan terbentuk seiring

dengan berjalannya waktu.”.

c. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi

Mempunyai keluarga di usia yang relatif muda pastilah ego masing-

masing individu cenderung tinggi. Dalam hal ini yaitu ego tentang keinginan, cita-

cita dan pencapaian hidup dalam kehidupan berumah tangga itu sendiri. Hal

tersebut juga dialami oleh Adhi, ia menuturkan bahwa sampai saat ini ia masih

menginginkan keluarga dengan formasi “ala iklan” itu. Namun, memang untuk

saat ini, menambah keturunan belum juga diprogram. Adhi malah mengatakan

bahwa istrinya diikutkan program Keluarga Berencana untuk menunda

memperoleh momongan. “Istri saya, saya ikutin KB aja, nunggu nanti kalo udah

mapan baru si Dina saya kasih adek lagi..”. Tapi hal tersebut tidak menyurutkan

keinginannya, suatu saat ia tetap menginginkan keluarga yang lengkap, yaitu

menghadirkan seorang anak laki-laki dalam keluarganya. ”Ya tentunya saya

pengen anak cowok dan cewek, biar komplit, tapi semuanya butuh proses untuk

mencapainya.”.

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality),

menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

84
melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise in

the Sociological of Knowledge (1966). Dia menggambarkan proses sosial melalui

tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus

suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2001 :

10). Realitas sosial masyarakat adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang

hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana

publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Jika konstruksi sosial adalah konsep,

kesadaran umum, dan wacana publik, maka konstruksi sosial keluarga ideal

adalah suatu konsep, kesadaran umum dan wacana publik tentang keluarga ideal,

dalam hal ini adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki

dan perempuan). Hal tersebut juga diamini oleh Adhi, “Bahwa konstruksi sosial

keluarga ideal itu adalah suatu konsep tentang keluarga yang ideal. Ya ada ayah,

ibu, anak, idealnya ya laki-laki dan perempuan.”

Dengan melihat fenomena tersebut, maka dapat kita lihat apabila iklan

memang telah membentuk suatu konstruksi sosial tentang bentuk “keluarga

ideal” dalam masyarakat. Dengan adanya iklan-iklan yang sebangun tersebut,

maka mau tidak mau pasti juga mempengaruhi pemirsanya. Seperti juga

pengalaman yang dialami oleh Adhi terkait dengan konstruksi sosial keluarga

ideal tersebut. “Sebagai contoh kalo saya terpengaruh, istri saya, saya ikutin KB,

biar nanti kalo waktunya tepat, dengan program misalnya, saya pengen ngasih

adek cowok buat Dina.”. Mengapa hal itu bisa terjadi kepada Adhi, dikarenakan

bahwa televisi, khususnya iklan televisi adalah satu-satunya media yang memiliki

kekuatan audio visual sekaligus, sehingga sangat memungkinkan untuk

85
mempengaruhi pemirsanya. ”Iya.. karena TV punya kekuatan audio visual, lain

dengan media lain yang hanya punya audio atau visual aja.”. Oleh karena itu,

“Dengan setiap hari intensitas kita nonton, secara nggak langsung kita disuguhi

beragam dan banyak hal oleh media. Feedback tidak bisa kita berikan atau

kembalikan secara langsung, tapi kita hanya bisa mempersepsikan hal tersebut.”.

Pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari mengenai

konstruksi sosial keluarga ideal itu juga mewarnai kehidupan Adhi secara

individu. Ia juga menyatakan selain kuantitas, kualitaslah yang terpenting dari

sebuah keluarga. Keharmonisan menurutnya adalah hal yang terpenting dalam

sebuah keluarga, karena hal itu merupakan modal awal dalam membentuk sebuah

keluarga, setelah agama tentunya. Selain pengalaman yang ia alami sendiri, ia

juga menceritakan tentang pengalaman individu di sekitarnya mengenai

konstruksi sosial keluarga ideal itu, “Pernah ada kasus satu keluarga mempunyai

empat orang anak, lalu ketika si ibu hamil lagi, dengan banyak pertimbangan,

keluarga tersebut memutuskan untuk minta ke dokter untuk melakukan aborsi.

Hal itu nggak lain karena memang masyarakat kita udah nggak biasa lagi untuk

punya anak banyak, disamping pertimbangan-pertimbangan lain tentunya, seperti

faktor biaya dan perawatan.”. Memang, istilah “banyak anak banyak rejeki”

menjadi kurang familiar di telinga masyarakat kita sekarang ini, selain karena

keadaan hidup yang tidak sama lagi dengan yang zaman dahulu, “dua anak

cukup” kian nyaring diperdengarkan. Iklan televisi juga seakan turut ambil bagian

dalam memperkuat stigma tersebut dalam masyarakat. Sehingga beragam pula

tanggapan yang dilontarkan dari masyarakat, karena berbeda individu berarti

86
berbeda pula cara pandangnya. Dalam menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal

yang telah terlanjur terbangun oleh iklan televisi kita, Adhi menyatakan “Untuk

kedepannya kita berusaha untuk mempunyai keluarga dengan formasi ala iklan,

karena itu memang imajinasi setiap orang, tapi secara kualitas keluarga tetap

saya bawa menuju keluarga yang bahagia dan harmonis.”. Ia juga

menambahkan, bahwa ia berkeinginan agar masyarakat luas hendaknya memiliki

cara pandang yang tidak jauh berbeda dengannya.

Informan Penelitian II

Azmiarie Yuni (36) atau biasa dipanggil dengan nama Ibu Yuni,

merupakan seorang ibu dari dua anak yang bernama Ni Putu Mahatmya Putri

Rahmani (5,5) dan I Komang Radhitya Putra Mahuttama (2,5). Ibu Yuni telah

menikah selama kurang lebih 7 (tujuh) tahun dengan I Made Dwiprastawa (32).

Ibu Yuni dan anaknya menetap di kota Semarang, namun suaminya bekerja

mengelola perkebunan keluarga di Bali. Ibu Yuni sendiri adalah seorang ibu

rumah tangga, waktunya ia habiskan untuk mengurus suami dan anak-anaknya.

Sebelum menikah, Ibu Yuni pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta di

kota Semarang. Namun setelah menikah, mengandung dan mempunyai anak, Ibu

Yuni memilih untuk keluar dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga.

a. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi

Melihat totalitasnya sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga yang dapat

dikatakan ideal, yaitu memiliki seorang suami dan dua orang anak, si sulung

87
perempuan, dan si bungsu laki-laki, menarik minat peneliti untuk melakukan

interview dengan Ibu Yuni terkait dengan pengalamannya tentang konstruksi

sosial keluarga ideal dalam iklan televisi. Ibu Yuni menyatakan memang pernah

dan sering melihat iklan yang menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu

dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Ia pun dapat menyebutkan dengan

lancar beberapa contoh iklan tersebut, “Iklan lifebuoy, royco, rejoice, grand max,

kijang..masih banyak lagi mbak yang laen..”. Saat ditanya bagaimana Ibu Yuni

menanggapi adanya iklan-iklan tersebut, iapun menjawab, “Iklan – iklan tersebut

memang mengkondisikan kita untuk berpikir keluarga ideal seperti itu.”. Ibu Yuni

juga menyatakan sikap setujunya dengan adanya iklan-iklan tersebut, karena toh

iklan tersebut tidak memberi pengaruh buruk bagi para pemirsanya. Iklan

keluarga yang selalu menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua

orang anak, laki-laki dan perempuan hanya akan membangun sebuah citra tentang

keluarga yang dianggap ideal. Menurutnya, “Pencitraan adalah memberikan

suatu gambaran ideal yang belum tentu benar.”. Secara sederhana, citra dapat

kita samakan dengan image, yang bisa berupa representasi verbal maupun visual.

Periklanan modern begitu mengagungkan cara-cara komunikasi melalui citra,

symbol dan ikon, yang bekerja tidak melalui aturan-aturan literal dan logis, tapi

lebih melalui kiasan, asosiasi bebas, sugesti, analogi dan simbolisme. Melalui

simbolisme, audiens dibujuk untuk mengadopsi identitas sosial budaya.

Umumnya, simbol-simbol yang dimunculkan terdiri dari elemen-elemen yang

dianggap familiar bagi masyarakat dan simbol-simbol itu mengartikulasikan

sesuatu yang dianggap umum di dalam masyarakat tersebut.

88
Selanjutnya, menurut pengalaman yang pernah dialami oleh Ibu Yuni, ia

menyimpulkan bahwa sekecil apapun pengaruhnya, masyarakat pasti terpengaruh

dengan banyaknya iklan keluarga dengan formasi tersebut (ayah, ibu, dua orang

anak, laki-laki dan perempuan) terhadap penilaian mereka terhadap sebuah

keluarga. Karena hal ini juga dialami oleh Ibu Yuni secara pribadi. “Memang

biasanya kalo punya anak cewek pasti pingin anak cowok juga, namun belum

tentu itu keluarga ideal, tapi kalo ngomongin keluarga dengan formasi ideal, ya

pasti punya dua anak, satu laki-laki, satu perempuan.”.

b. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal

Saat disinggung mengenai esensi utama sebuah keluarga, Ibu Yuni dengan

lancar menjawab “Ayah, ibu, anak”. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara

sadar ataupun tidak, alam bawah sadar kita sudah tertanam bahwa sebuah

keluarga pastinya harus ada ayah, ibu dan anak. Entah anak itu laki-laki atau

perempuan, entah berapa jumlahnya, namun yang terpenting adalah hadirnya

seorang anak di tengah keluarga. Namun berbeda lagi saat ditanya mengenai

bagaimanakah idealnya sebuah keluarga, karena Ibu Yuni menyatakan bahwa,

“Keluarga ideal adalah keluarga yang secara sisi psikologis dan sisi ekonomi

mapan.”

Perbedaan cara pandang masing-masing individu akan sesuatu dapat

disebabkan oleh banyak hal. Namun kesamaan cara pandang individu terhadap

suatu hal dapat disimpulkan dengan beberapa benang merah, yaitu adanya

89
kesamaan pengalaman, kesamaan kehidupan di masa lalu, dan kesamaan realita

yang telah dan tengah dihadapi. Pada zaman sekarang ini istilah “banyak anak

banyak rejeki” telah tergeser jauh oleh istilah “dua anak cukup”. Hal ini tidak

hanya diyakini oleh sedikit masyarakat kita, namun sebagian besar masyarakat

kita telah membuang jauh istilah “banyak anak banyak rejaki” tersebut dalam

praktek kehidupannya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan zaman

sekarang sangat tidak mendukung terlaksananya istilah tersebut. Selain karena

keadaan ekonomi yang semakin menurun, pemerintah yang selalu menggembar-

gemborkan istilah “dua anak cukup” lewat program Keluarga Berencananya, itu

juga ditunjang dengan sebuah judgement tertentu tentang bagaimanakan

seharusnya bentuk sebuah keluarga agar dapat dikatakan sebagai keluarga yang

ideal. “Tau lah, tapi saya sendiri kurang setuju. Karena jaman sekarang keadaan

ekonomi juga naik turun, kalo kebanyakan anak kasihan, bukan cuman karena

kecemasan kebutuhan di masa depan, namun juga untuk memberikan yang

terbaik untuk anak-anak..”, ungkap Ibu Yuni. Karena menurutnya, selain formasi

atau aspek demografisnya, kebahagiaan dan keidealan sebuah keluarga juga

sangat tergantung pada kualitasnya, karena kualitas juga telah mencakup aspek-

aspek lain yang menentukan kebahagiaan sebuah keluarga.

c. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi

Realitas sosial masyarakat adalah pengetahuan yang bersifat keseharian

yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum,

90
wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Jika konstruksi sosial adalah

konsep, kesadaran umum, dan wacana publik, maka konstruksi sosial keluarga

ideal adalah suatu konsep, kesadaran umum dan wacana publik tentang keluarga

ideal, dalam hal ini adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak

(laki-laki dan perempuan). Sama halnya dengan pendapat dari Ibu Yuni,

“Konstruksi sosial keluarga ideal menurut saya mungkin nilai atau stigma

keluarga yang ideal yang tertanam di masyarakat.”. Ibu Yuni juga berkesimpulan

bahwa iklan televisi yang sering menampilkan formasi keluarga yang dikatakan

ideal tersebut dapat mempengaruhi penilaian (judgement) seseorang terhadap

bentuk sebuah keluarga ideal. Bahwa sebuah keluarga agar dikatakan ideal

memang harus terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan

perempuan).

Berbagai pengalaman juga mewarnai kehidupan Ibu Yuni, ia mengisahkan

bahwa, “Teman-teman saya ada yang sangat ingin punya anak seperti itu sampe

melakukan banyak hal seperti konsultasi dokter dan ada juga yang sampe rela

punya anak banyak demi dapetin keturunan yang komplit.”. Selain itu, ia juga

menyatakan bahwa konstruksi sosial yang dilakukan oleh media, baik secara

langsung maupun tidak langsung mampu menjadi pemicu tingkah laku seseorang,

baik positif maupun negatif, karena kita adalah khalayak pemirsa televisi yang

setiap hari selalu disuguhi tayangan televisi. “Menurut saya iya, secara langsung

nggak langsung pasti memicu, lha kita kan nonton TV terus..”. Sikap yang

diberikan Ibu Yuni dalam menanggapi adanaya konstruksi sosial keluarga ideal

dalam iklan televisi itu juga cukup bijaksana, “Ya kita beranggapan saja bahwa

91
keluarga ideal belum tentu seperti di iklan televisi, iklan hanya cerita dalam

kotak, kenyataannya belum tentu seperti itu.”. Ia pun menghimbau agar

masyarakat harus kembali menyadari suatu keluarga ideal tidak ditentukan oleh

formasi dan jenis kelamin anggotanya, namun tergantung pada bagaimana seluruh

anggota keluarga mampu membawa keluarga tersebut kearah hidup bahagia.

Informan Penelitian III

Septiana Nursysyamsiah M. (28) atau biasa dipanggil Nana, adalah

seorang karyawati di sebuah bank swasta, dan bermukin di kota Wonosobo. Dan

suaminya, Udi Kristiawan (29) juga baru saja berprofesi di salah satu bank swasta

di kota Wonosobo sebagai marketing leader, sebelumnya ia bekerja sebagai

supervisor di sebuah perusahaan di kota Surabaya. Ia memutuskan untuk pindah

tempat bekerja karena tempat kerja yang dulu letaknya jauh dari keluarga. Setelah

setahun menikah, pasangan ini belum dikaruniai anak, hal inipun yang menjadi

salah satu pertimbangan sang suami untuk memutuskan pindah kerja, dan

akhirnya bermukim di Wonosobo bersama istrinya. Kini usia pernikahan mereka

telah lewat 2 (dua) bulan dari setahun pernikahan mereka.

Ketika menikah, harapan dari pasangan ini adalah cepat memiliki

momongan, maklum keduanya adalah anak sulung dari masing-masing keluarga,

sehingga kehadiran cucu pertama dalam dua keluarga besar sangat dinanti-nanti.

Keduanya memutuskan untuk memiliki dua orang anak saja, dan harapan mereka

bisa memiliki keduanya sekaligus, yaitu anak laki-laki dan perempuan.

92
a. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi

Terkait dengan banyaknya iklan yang menampilkan bentuk keluarga ideal

(ayah, ibu, anak laki-laki dan perempuan), juga mengusik perhatian Ibu Nana,

namun ia tidak menampilkan sikap antipati terhadap iklan-iklan itu, ia malah

memberikan tanggapan yang positif, ”Menurut saya ya itu bagus, nggak masalah,

malah lebih mengena, soalnya yang dimaui pengiklan, pemirsa pake produk yang

diiklanin. Kalo sasaran pasarnya itu keluarga, ya iklan dengan model keluarga

ideal malah sangat pas.”. Sebagai orang yang baru saja membangun sebuah

keluarga, pasti cenderung memiliki pemikiran-pemikiran yang modern. Baik bagi

pelaksanaan kehidupan berumah tangga, pengambilan keputusan, maupun cara

memandang terhadap suatu hal. Saat disinggung apakah ia setuju dengan

anggapan bahwa keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua anak (laki-laki dan

perempuan) adalah merupakan formasi sebuah keluarga ideal, Ibu Nana

mengungkapkan, “Yah.. setuju-setuju aja.. sekarang kan jamannya susah,

ekonomi juga susah apalagi itu sesuai dengan program pemerintah, dua anak

cukup, apalagi udah komplit, cowok sama cewek, mau apalagi..”. Banyaknya

iklan keluarga yang seakan seragam dengan selalu menampilkan keluarga dengan

formasi ayah, ibu, dua anak, laki-laki dan perempuan, akan menimbulkan suatu

pencitraan tersendiri terhadap sebuah bentuk keluarga ideal. Bentuk keluarga

seperti itu memang idaman setiap orang, “Siapa sih yang nggak mau keluarga

kayak gitu?”. Bentuk keluarga ideal tersebut memang sudah tertanam dalam diri

setiap individu, dan iklan membuat hal itu menjadi semakin kuat. Iklan akan

berusaha menemukan asumsi-asumsi personal, aspirasi-aspirasi dan juga

93
keinginan-keinginan untuk bisa disimbolisasi. Selain itu, iklan juga

mempromosikan sebuah cara memandang dunia atau worldview yang

menekankan pada individu dan kehidupan pribadi, serta mengabaikan nilai-nilai

kolektif dan wilayah dunia publik. Di dalam sebuah teks iklan kita melihat adanya

dialektika antara citra dan realitas. Artinya, kadang kita melihat bahwa di satu sisi

sebuah tanda tetap memiliki referensi realitasnya, namun di sisi lain, ada pula

yang hanya bersifat citraan atau referensi.

Menurut Ibu Nana sendiri, pencitraan adalah merupakan penggambaran

atas sesuatu hal. Ia juga tidak mempermasalahkan adanya pengaruh pencitraan

keluarga ideal oleh iklan tersebut terhadap masyarakat, “Ya nggak papa lah.. kalo

masyarakat jadi pengen punya keluarga seperti itu ya malah bagus.”. Namun, ia

yakin bahwa masyarakat tidak begitu terpengaruh terhadap pencitraan tersebut,

karena ia berpendapat apapun yang kita inginkan selalu tergantung dari pemberian

Tuhan. ”Ya soalnya walaupun pengen, kan semuanya tergantung sama rezeki

masing-masing.. tergantung sama sengasihnya dari Yang di Atas”.

b. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal

Sebagai keluarga muda, memang masih banyak keinginan yang belum

teraih. Karena segalanya memang butuh proses, dan semua proses pasti butuh

waktu. Hal ini disadari benar oleh Ibu Nana, ia tidak terlalu mempermasalahkan

tentang belum hadirnya momongan dalam keluarga kecilnya. Selama masih

berusaha dan berdoa, hal-hal lain ia serahkan kepada Tuhan. Paling yang menjadi

94
pikiran adalah pertanyaan dari keluarga besarnya, namun itupun masih dalam

batas kewajaran. Pada masyarakat modern, pandangan serta pola pikirnya akan

semakin luas. Hal ini juga berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang

sebuah keluarga. Pandangan mereka itu tidak semata-mata timbul dengan

sendirinya, namun ada beberapa hal yang dapat mempengaruhinya, salah satunya

adalah media. Ibu Nana juga mempunyai pandangan sendiri mengenai bentuk

keluarga ideal dalam kacamatanya, “Idealnya sebuah keluarga ya memang harus

ada ayah, ibu, anak (bebas ya..) dan yang lebih penting, keluarga itu harmonis,

anggota keluarga saling berkomunikasi, terbuka, dan bisa sukses semuanya,

dalam karier, pendidikan, dan agama. Sukses bagi kedua orang tua dan anak-

anak nantinya.” Seperti telah disebutkan, ia lebih mengedepankan kualitas

daripada kuantitas dalam sebuah keluarga, “Kualitas pastinya tetap lebih penting,

karena walaupun keluarga sudah ideal formasinya, tapi isinya (misal anaknya

nakal, komunikasi mandek, berantakan), akan menjadikan keluarga itu nggak

ideal”, tambahnya.

Ibu Nana juga merupakan penganut istilah “dua anak cukup”

dibandingkan dengan istilah “banyak anak banyak rejeki” dalam hidupnya. Ia

mengatakan bahwa kelak jika ia dikaruniai seorang anak, ia hanya akan

menambah satu anak lagi. Disamping karena biaya hidup dan pendidikan yang

semakin tinggi, karena kedunya sama-sama bekerja ia khawatir nanti jika

mempunyai banyak anak hanya akan memberikan ketidakmaksimalan dalam

segala hal, seperti ia jelaskan berikut, “Jaman sekarang saya kurang setuju istilah

banyak anak banyak rejeki, karena biaya hidup tinggi, biaya pendidikan juga

95
tinggi, jadinya banyak anak sama dengan banyak biaya, kan kita juga harus

memberikan yang terbaik untuk anak-anak, perhatian juga pasti akan berkurang

kalo anak-anaknya banyak, kan sekarang kebanyakan orang tuanya dua-duanya

sama-sama bekerja.”.

c. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi

Ibu Nana menyadari bahwa keluarganya belum ideal, karena belum

hadirnya anak ditengah-tengah keluarganya. Namun ia juga tidak terlalu

mengkhawatirkan hal itu, karena ia baru setahun menikah. Ia dan suaminya

optimis suatu saat nanti akan mendapatkan keluarga yang ideal tersebut. Sampai

saat ini ia masih menginginkan keluarga yang komplit, yaitu memiliki dua anak,

laki-laki dan perempuan, walaupun tidak terlalu memaksakan hal itu. “Penting

untuk memiliki karena hanya untuk memenuhi harapan kita aja, kan anak dua,

cowok cewek pula, itu pas!.. kalo kebahagiaan ya memang belum tentu

menjamin.”.

Saat ditanya tentang definisi konstruksi sosial keluarga ideal, Ibu Nana

menjawab bahwa konstruksi sosial keluarga ideal adalah, “Suatu wacana di

masyarakat atau judgement tentang keluarga ideal.”. Media melalui iklan telah

banyak merepresentasikan konstruksi sosial yang ada dalam masyarakat. Iklan

dipercaya mempunyai kekuatan yang besar dalam masyarakat. Iklan

mendominasi media, memiliki kekuatan yang sangat besar dalam membentuk

standar-standar sosial, dan iklan merupakan salah satu kelompok institusi yang

96
sangat terbatas yang melakukan kontrol sosial. Iklan televisi adalah wacana,

pengetahuan, atau teks visual yang disebarkan melalui televisi dan ditonton oleh

individu atau kelompok di masyarakat. Menurut Ibu Nana, iklan televisi yang

sering menampilkan formasi keluarga yang dikatakan ideal tersebut tidak dapat

mempengaruhi penilaian (judgement) seseorang terhadap bentuk sebuah keluarga

ideal, karena “Formasi tersebut hanyalah harapan semata, selebihnya penilaian

ideal - tidak ideal tergantung kualitasnya. Kalo banyak anak tapi semua aspek

dapat terpenuhi dengan baik, itu juga dapat dikatakan ideal.”.

Melihat konstruksi sosial keluarga ideal yang telah terlanjur terbangun

dalam masyarakat kita pasti menimbulkan beragam fenomena pengalaman yang

pernah dialami oleh masyarakat kita. Seperti pengalaman yang dialami sendiri

oleh Ibu Nana, “Sampe sekarang saya masih pengen dua anak saja, cukup lah,

pastinya ya cowok sama cewek, tapi ya nggak dipaksain juga lah..”. Selain itu, ia

juga menemukan fenomena pengalaman lain yang pernah dialami oleh orang-

orang disekitarnya, “Tetangga depan rumah saya punya dua anak perempuan,

dua-duanya udah kuliah, tapi karena orang tuanya tetep pengen anak laki-laki,

ya istrinya hamil lagi, emang diprogram biar anak ketiganya laki-laki gitu, pake

program kalender kalo nggak salah, padahal bisa diliat dong ya, beda umurnya

kan jauh banget sama mbak-mbaknya.”, cerita Ibu Nana. Memang, dengan

adanya konstruksi sosial oleh iklan televisi tersebut pastilah menimbulkan

pengaruh bagi pemirsanya, seperti diungkapkan oleh Ibu Nana, “Nggak gitu

berpengaruh, tapi ya tetep berpengaruh. Ya sama kayak tadi, karena TV kan

konsumsi pokok semua orang, dengan daya persuasif yang sangat besar, pasti

97
membuat orang yang nonton jadi pengen, niru, atau lain-lain. Ini secara sadar

nggak sadar juga lho ya...”.

Kita sebagai masyarakat pemirsa televisi memang harus pintar-pintar

memilah tayangan yang dihadirkan oleh televisi tersebut. Karena televisi adalah

media massa satu arah, maka kita sebagai pemirsa yang harus secara aktif

memberikan penilaian apakah tayangan tersebut layak atau tidak kita tonton, tidak

menelannya hanya dengan mentah-mentah. Terkait dengan konstruksi sosial

keluarga ideal dalam iklan di televisi, Ibu Nana mengungkapkan bahwa ia tidak

terlalu berkeberatan dengan adanya konstruksi sosial itu, “..Biarin aja, setuju aja,

malah bagus. Kan bisa dijadikan pandangan atau referensi kita, namun dalam

penerapannya tetep sesuai dengan kemampuan kita saja, nggak memaksakan

diri.”. Untuk pandangannya secara umum, “Masyarakat harus pandai-pandai

memilah-milah apa saja yang sesuai untuk diterapkan pada keluarga atau dirinya

sendiri”.

Informan Penelitian IV

Ibu Lipur Muryantinah (47) adalah seorang ibu rumah tangga dan

mempunyai dua orang anak yang telah beranjak dewasa. Putri pertamanya

bernama Tiara Pitrayanti (22) dan putra keduanya Rendi Wira Putra (18).

Suaminya, Bapak Djoko Pitoyo (55) bekerja sebagai Kepala Gudang Bulog di

kota Magelang.

Usia perkawinan Ibu Lipur dan Bapak Djoko sudah memasuki tahun ke-

24. Memiliki dua orang anak, dan komplit (laki-laki dan perempuan) adalah

98
merupakan karunia bagi mereka. Meskipun pada awal pernikahan, Ibu Lipur

pernah mengalami keguguran anak pertamanya yang didiagnosa laki-laki. Namun

tidak membuat keduanya kecewa berlarut-larut, karena tidak lama berselang,

mereka dapat pengganti dengan lahirnya seorang putri dalam keluarga mereka.

Setelah lahirnya anak pertama mereka, Ibu Lipur dan suaminya segera

merencanakan untuk menambah momongan, namun mereka tetap mengikuti

program Keluarga Berencana untuk memberi jeda yang ideal sebelum anak kedua

mereka lahir. Sesuai rencana, setelah empat tahun berselang, lahirlah anak kedua

mereka, dan laki-laki. Lengkaplah keluarga Bapak Djoko dan Ibu Lipur.

a. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi

Iklan adalah Zeerspiegel (Noviani, 2002 : 135), sebuah cermin yang

mendistorsi, yang bisa membesar-besarkan citra. Ia merangkum aspek-aspek

realitas sosial tetapi representasi realitas itu tidak dilakukan secara jujur. Citra-

citra yang nampaknya netral, ternyata di balik itu memiliki muatan ideologis yang

dugunakan untuk memperkuat ataupun melawan nilai-nilai yang secara dominan

berlaku di masyarakat. Menurut Goffman tentang commercial realism (Noviani,

2002 : 136), menyebutkan bahwa iklan menggambarkan realitas dalam dua cara,

pertama, dengan melebih-lebihkan atau menyangatkan realitas dalam dunia nyata

(hyperritualization). Dan yang kedua, iklan memperbaiki kehidupan nyata.

Kekecewaan-kekecewaan dan keterbatasan dari dunia nyata bisa diatasi dan

diwujudkan dalam iklan. Iklan mampu menghadirkan what life should be kepada

khalayak. Jadi benar bahwa ikaln menggunakan citra-citra untuk memunculkan

99
alam fantasi dan realitas hiper. Namun meskipun demikian, hadirnya citra-citra itu

tidak berarti menyebabkan hilangnya the real. Iklan justru memiliki hubungan

yang kuat, sebab iklan tetap mengadopsi aspek-aspek realitas kehidupan sehari-

hari, meskipun ia tidak merefleksikan realitas tersebut secara keseluruhan dan

jujur. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa hubungan citra dalam iklan dan

realitas tidak semata-mata bersifat simulasional. Iklan menghadirkan citra-citra

yang tetap berhubungan dengan realitas sosial. Jadi, realitas iklan adalah hasil

interaksi antara citra-citra dengan realitas sosial.

Sekarang ini, iklan-iklan keluarga dengan bintang iklan ayah, ibu, dua

anak (laki-laki dan perempuan) marak bermunculan di televisi kita. Entah maksud

dan tujuan penayangannya, namun yang pasti, penayangan yang seragam dan

terus-menerus akan membentuk sebuah citra tersendiri tentang keluarga ideal

dalam masyarakat. Sebagai pemirsa televisi aktif, Ibu Lipur juga mengiyakan

tentang banyaknya iklan keluarga yang menampilkan gambaran yang sama.

“Yah.. gambaran keluarga ideal sih kebanyakan memang begitu ya, ayah, ibu

trus anaknya dua, laki-laki sama perempuan. Tapi ya itu nggak jadi keharusan

kalo formasi keluarga tuh ya harus seperti itu.”, tanggapannya. Ia pun menyetujui

tentang pencitraan keluarga ideal tersebut, karena ia juga telah memiliki keluarga

dengan formasi “ala iklan”, jadi hal itu tidak menjadi masalah baginya.

Disamping itu, Ibu Lipur memberi tanggapan yang sedikit berbeda tentang apakah

iklan membentuk citra keluarga ideal melalui iklan-iklannya, “Nggak ah, menurut

saya gambaran keluarga ideal tidak selalu harus dengan formasi ayah, ibu trus

anaknya dua cowok sama cewek. Keluarga yang ideal lebih ke kualitasnya,

100
harmonis apa enggak.”. Namun ia membenarkan bahwa televisi memang

mempunyai kekuatan untuk membentuk suatu citra tertentu, “Setiap hari kan kita

nonton tivi, nggak mungkin enggak, pasti juga acara-acara tivi itu secara nggak

sadar ngaruh ke kita mbak, ya.. jadi tivi mungkin punya kekuatan itu”.

Menurut Ibu Lipur, pengertian citra atau pencitraan adalah

menggambarkan sesuatu. Hal tersebut juga diamini oleh responden-responden lain

di awal. Sesuai dengan pengalaman yang pernah dialami, Ibu Lipur memberikan

tanggapan mengenai pencitraan keluarga ideal dalam iklan televisi itu, “Ya

menurut saya sih iklan-iklan itu udah cukup sukses membentuk citra keluarga

ideal di masyarakat kita, kalo takinget-inget emang banyak ya mbak sekarang

iklan keluarga yang isinya gitu, apalagi sekarang bulan puasa, semuanya sama..

ayah,ibu, anaknya dua..”. Selain itu, ia juga menuturkan bagaimana masyarakat

di sekitarnya memberikan penilaian terhadap pencitraan keluarga ideal tersebut,

“Kayaknya masyarakat nggak terpengaruh ya.. soalnya banyak keluarga

disekeliling saya yang nggak punya keluarga formasi kayak gitu, anaknya nggak

harus dua, sedikasihnya aja deh..”.

b. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal

Media memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pandangan

masyarakat, dalam studi-studi media, memandang media sebagai saluran untuk

menyampaikan informasi kepada audiens. Media pastilah menjadi sorotan utama

101
dalam pembahasan komunikasi massa (Littlejohn, 1998 : 327). Media massa

adalah media yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Khalayak pemirsa televisi tidak terbatas, setiap orang dapat menerima

pesan televisi, dan bukan terbatas hanya untuk sebagian orang atau golongan

tertentu saja. Dengan kata lain, apa yang disampaikan oleh media massa tidak

dapat dibatasi untuk siapa sajakah yang boleh atau tidak boleh menerimanya,

setiap orang memiliki kesempatan dan hak yang sama. Padahal setiap orang

memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu hal, oleh karena itu tidak menutup

kemungkinan adanya kesalahan persepsi dan interpretasi oleh masyarakat

terhadap suatu tayangan iklan, termasuk pada iklan yang menampilkan keluarga

ideal. Penyeragaman bentuk keluarga ideal di masyarakat tersebut dapat dilihat

dengan hampir seluruh iklan yang berbau keluarga selalu menampilkan sebuah

keluarga yang terdiri dari formasi Ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan

perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Secara tidak sadar masyarakat

kemudian menjadikan gambaran yang ada dalam iklan itu sebagai kiblat dalam

membentuk sebuah keluarga. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Lipur,

”Kalo menurut saya, keluarga ideal tuh keluarga yang punya komunikasi yang

baik, terbuka, saling menghormati, menghargai dan saling melengkapi mbak,

terlepas dari berapa anaknya sama apa saja anaknya, gitu… tapi kalo

ngomongin formasi yang ideal dari sebuah keluarga, ya pasti ayah, ibu, dua

anak, laki-laki dan perempuan, kayak di iklan-iklan itu”. Ia menambahkan bahwa

keluarga, apabila komunikasinya sudah tidak baik, maka tidak akan terbentuk

keluarga yang bahagia dan harmonis.

102
Seperti kebanyakan orang, Ibu Lipur berpendapat bahwa kualitas adalah

yang terpenting dari sebuah keluarga, “…kalo kualitasnya baik, anak-anak bisa

dididik jadi baik juga, dan insyaallah bisa jadi orang yang berhasil juga dalam

iman, pendidikan dan kehidupannya mendatang”. Pandangannya tentang formasi

sebuah keluarga sudah tercermin dari keluarga yang telah dimilikinya, yaitu “dua

anak cukup”, “Karena kalo itu baru pas sama situasi sekarang, soalnya kan

sekarang tuntutan ekonomi makin berat, kalo keluarganya kecil kan lebih pas”.

c. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi

Ukuran kebahagiaan dari sebuah keluarga tidak dapat hanya diukur dari

formasi atau jumlah anak dalam keluarga semata, namun banyak hal yang juga

mempengaruhinya, hal tersebut juga dibenarkan oleh Ibu Lipur, “…kebahagiaan

seseorang dalam berkeluarga itu kan nggak diukur dari formasinya aja tho mbak,

tapi lebih ke gimana situasi dan kondisi keharmonisan keluarga itu sendiri”.

Konstruksi sosial keluarga ideal menurut definisi Ibu Lipur adalah “Menurut saya

konstruksi sosial keluarga ideal itu ya pandangan yang sudah diyakini oleh

masyarakat kita tentang suatu hal, ya tentang keluarga ideal itu”. Penayangan

iklan tentang keluarga, yang selalu saja menampilkan keluarga dengan formasi

Ayah, ibu dan dua orang anak (dianggap sebagai keluarga ideal), menunjukkan

wajah yang sama dan sebangun sebagai bentuk iklan keluarga. Homogenisasi dan

gambaran keseragaman isi iklan keluarga televisi menunjukkan terjadinya

penyeragaman selera yang ditawarkan televisi kita. Keseragaman bentuk iklan

103
keluarga yang dihadirkan oleh televisi kita memungkinkan berdampak pada

masyarakat. Bagaimana tidak, masyarakat yang pada dasarnya berbeda identitas

budayanya dikondisikan untuk menelan sesuatu yang asing bagi dirinya.

Implementasi keseragaman tentang bentuk suatu ”keluarga ideal” tersebut dapat

kita lihat pada, bahwa fenomena bentuk dan formasi keluarga ideal pada masa

sekarang ini semakin mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.

Formasi sebuah keluarga ideal yang berisi Ayah, ibu dan dua orang anak

(laki-laki dan perempuan) seakan-akan menjadi formasi wajib dalam sebuah

keluarga. Hal itulah yang disebut dengan sebuah konstruksi sosial. Seperti telah

disebutkan di atas, bahwa konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan

wacana publik. Jadi konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan televisi adalah

sebuah wacana publik yang menimbulkan kesadaran umum di masyarakat, yang

dibangun oleh iklan, tentang konsep keluarga ideal, bahwa keluarga ideal adalah

keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan).

Adapun pengalaman yang disampaikan oleh Ibu Lipur terkait dengan konstruksi

sosial keluarga ideal tersebut yaitu, ”Dulu, waktu hamil pertama pengennya anak

pertama cowok dan kedua cewek, biar kelihatannya ideal gitu.. hehe… tapi

ternyata setelah keluar malah yang pertama cewek dan kedua cowok. Tapi ya

sudahlah, disyukuri aja, toh anak saya dua, udah komplit, cowok-cewek.”. Ia juga

menyampaikan pernah melihat fenomena lain yang dialami oleh orang-orang di

sekitarnya, “…saya punya tetangga, waktu itu anak pertamanya cowok, trus lama

nggak punya anak, eh.. si bapak juga pengen punya keluarga yang ideal kayak

orang-orang lain itu lho, pengen anak cewek juga. Akhirnya istrinya disuruh

104
hamil lagi, eh, yang keluar cowok lagi, sampe kehamilan anak ketiga ternyata

anaknya tetep aja cowok. Akhirnya ya bapaknya nyerah, hahaha…”.

Selain pengalaman-pengalaman yang pernah dialami Ibu Lipur yang

sekaligus juga membenarkan adanya pengaruh konstruksi sosial keluarga ideal

terhadap masyarakat, ia membantah bahwa konstruksi sosial keluarga ideal itu

sampai mempengaruhi secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat.

Pengaruh itu masih dalam batas kewajaran, yaitu hanya sebatas keinginan

masyarakat untuk memenuhi imajinasinya tentang keidealan sebuah keluarga saja,

tidak sampai mempengaruhi tingkah laku seseorang.

Lalu bagaimana Ibu Lipur menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal yang

terlanjur terbangun di masyarakat, ia menjelaskan, “Saya sih nggak masalah ya

mbak, setuju-setuju aja.. kan malah juga bisa bantuin pemerintah, buat program

KB misalnya.. yah terlepas anaknya harus laki-laki sama perempuan.”. Dan ia

juga menghimbau agar masyarakat luas menyikapinya dengan dewasa juga, “Ya

sebaiknya masyarakat bersikap biasa-biasa saja terhadap isu-isu itu, kan isu itu

juga belum tentu bisa diterapkan ke masing-masing keluarga tho mbak.. jadi ya

mending masyarakat nggak ikut terpengaruh, biasa aja lah…”.

B. DESKRIPSI STRUKTURAL INDIVIDU

Deskripsi struktural merupakan hal-hal unik dari pengalaman responden

yang berusaha mengungkap mengapa pengalaman tersebut terjadi.

105
Informan Penelitian I

Sebagai kepala keluarga di usianya yang relatif muda, Septian Adhi

Nugraha yang biasa disapa Adhi (22 tahun), masih memegang teguh keinginan

untuk memiliki keluarga ideal dengan formasi ayah, ibu dan dua anak (laki-laki

dan perempuan). Setelah menikah kurang lebih selama 5 tahun, ia dikaruniai anak

sulung perempuan. Namun, ia tidak menyesal atau sedih karena tidak dikaruniai

anak sulung laki-laki, karena menurut pendapatnya, yang terpenting adalah dua-

duanya ada, tidak menjadi masalah manakah yang menjadi si sulung ataupun si

bungsu.

Ia juga menekankan bahwa tujuan utamanya dalam berkeluarga adalah

membawa keluarganya menuju keluarga yang harmonis dan bahagia, karena hal

itu adalah merupakan hal yang terpenting dalam sebuah keluarga. Menurutnya

kuantitas dalam sebuah keluarga adalah bukan hal yang terpenting, namun hanya

merupakan salah satu cermin dari sebuah keluarga yang ideal. Sebagai keluarga

yang tergolong muda, Adhi juga terbilang masih belajar dalam segala hal. Ia

sangat mementingkan sisi psikologisnya, karena menurutnya, sisi psikologis

adalah hal yang paling mengena dalam diri setiap manusia. Apabila sisi psikologis

semua orang yang akan dan sudah berkeluarga maka niscaya keluarganya akan

berjalan dengan baik dan harmonis. Adhi menyampaikan bahwa sisi psikologis

dapat dibentuk secara step by step, setiap orang pasti mampu apabila selalu

berusaha. Karena dalam kehidupan berumah tangga pasti akan banyak cobaan

baik besar maupun kecil.

106
Keluarganya yang boleh dikatakan belum ideal karena belum mempunyai

anak laki-laki itu juga sangat mementingkan faktor religius sebagai pondasi dalam

membangun keluarganya. Hal tersebut dikarenakan bahwa menurut Adhi, pondasi

agama yang kuat adalah modal awal dalam membangun dan membina sebuah

keluarga. Jika pondasinya kokoh maka pasti apapun cobaan yang menerpa akan

dapat dialalui dengan mudah. Sebagai masyarakat awam pemirsa televisi, ia pun

mengungkapkan adanya konstruksi sosial yang sengaja ataupun tidak sengaja

dibangun oleh iklan televisi tentang keluarga ideal. Hal tersebut malah disambut

gembira oleh Adhi, karena ia berpendapat bahwa dengan melihat iklan ia bisa

mempersepsikan daya tarik emosional akan sesuatu, keluarga yang digambarkan

iklan selalu bahagia menjadi suatu nilai plus untuk pemirsanya. Sebagai pemirsa

iklan televisi, ia juga tidak merasa terdoktrin ataupun menjadi suatu keharusan

untuk memiliki keluarga ideal ala iklan yang selalu ditayangkan tersebut, dengan

bijak ia menyampaikan bahwa pencitraan keluarga ideal dalam iklan televisi

hanya sebatas imajinasi, namun keluarga ideal yang sesungguhnya adalah yang

harus bisa dirasakan dalam hati.

Informan Penelitian II

Sebagai ibu rumah tangga, Ibu Yuni telah melakukan kewajibannya

dengan sangat baik. Meskipun suaminya bekerja di beda pulau dengannya, namun

ia dapat membina keluarga dan kedua anaknya dengan baik dan bertanggung

jawab. Ibu Yuni termasuk orang yang tidak banyak mengeluh, segala yang ia

dapat ia terima dengan senang hati. Menurutnya, anugerah terbesar dalam

107
hidupnya adalah dikaruniai dua orang buah hati yang pintar dan lucu. Si sulung

sekarang baru saja masuk ke taman kanak-kanak, dan si bungsu baru belajar

bicara.

Waktu Ibu Yuni banyak dihabiskan di rumahnya yang terletak di kota

Semarang. Karena ia adalah seorang ibu rumah tangga, maka otomatis ia juga

sering melihat tayangan televisi. Sering ia juga mengamati iklan keluarga televisi

saat ini yang memang kebanyakan selalu berisi sebuah keluarga dengan formasi

ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dan memancarkan ekspresi

yang selalu terlihat bahagia. Entah bahagia karena mereka memiliki keluarga

dengan formasi demikian ideal, atau hanya kamuflase dari sebuah produk belaka.

Ibu Yuni kebetulan menangkap makna yang terakhir, ia berpendapat bahwa iklan

yang ditampilkan tersebut hanya semata-mata mengungkapkan pencitraan akan

sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Iklan tersebut hanya sebuah wahana

untuk mempromosikan sebuah produk, sehingga pihak pembuat iklan akan

melakukan apa saja untuk meraih target market produk mereka.

Selain itu, Ibu Yuni berpendapat, kuantitas atau formasi sebuah keluarga

bukan merupakan jaminan untuk membuat suatu keluarga bahagia, karena banyak

aspek lain yang berpengaruh selain aspek formasi. Namun ia membenarkan

bahwa iklan yang ditayangkan terus-menerus tersebut lama-kelamaan pasti akan

memberi pengaruh terhadap pemirsanya, baik kecil maupun besar, baik langsung-

maupun tidak langsung. Karena kita sebagai masyarakat awam, pastilah memilih

televisi sebagai media entertainment dan edutainment utama, sehingga dengan

108
melihat iklan televisi tersebut secara konstan dan terus-menerus, maka masyarakat

pasti akan terpengaruh.

Informan Penelitian III

Informan penelitian yang ketiga adalah Ibu Nana. Ia adalah seorang

pegawai bank swasta di kota Wonosobo. Ia dan suaminya adalah pasangan

pengantin baru yang baru menjalani kehidupan rumah tangga selama 1 tahun.

Mereka belum dikaruniai anak, sehingga harapan besar tentang figur sebuah

keluarga ideal masih menjadi cita-cita dan harapan mereka. Selain itu, harapan

mereka juga dikarenakan pemikiran Ibu Nana dan suaminya yang berpendapat

bahwa zaman sekarang ini sangat tidak pas apabila memiliki banyak anak. Dua

orang anak, terlebih lagi laki-laki dan perempuan dirasa sangat pas untuk dimiliki

dalam sebuah keluarga. Disamping karena keinginan batiniah mereka, keluarga

kecil memang sangat mendukung dalam keadaan ekonomi Indonesia yang naik

turun. Menurut Ibu Nana, sebagai calon orang tua ia ingin memberikan yang

terbaik untuk anak-anaknya nanti. Dengan melihat keadaan ekonomi Indonesia

yang tidak menentu, biaya pendidikan yang semakin lama semakin tinggi, maka

dengan mempunyai banyak anak maka pasti akan memicu tingginya biaya.

Karena ia ingin yang terbaik, maka ia memperhitungkan segala sesuatunya untuk

keluarganya kelak. Formasi menurutnya tidak begitu penting, namun alangkah

senangnya apabila ia dikarunia dua anak saja, dan masing-masing laki-laki dan

perempuan.

109
Melihat kondisi periklanan keluarga Indonesia, Ibu Nana memberi

pendapat positif. Ia menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh pengiklan

sangat pas, karena iklan keluarga adalah iklan yang mengiklankan produk

keluarga, sehingga bintang iklan yang ditampilkan denga formasi ayah, ibu dan

dua orang anak (laki-laki dan perempuan) sesuai dengan target market yang

diinginkan, yaitu keluarga. Apabila masyarakat mengikuti atau menginginkan

keluarga dengan formasi ala iklan menurut Ibu Nana sah-sah saja, karena selain

dapat memberi kesejahteraan terhadap seluruh anggota keluarga dengan maksimal

karena anggotanya yang kecil, hal itu juga dapat mendukung program pemerintah

yaitu program Keluarga Berencana.

Keluarga ideal, menurutnya adalah keluarga yang sukses, ya sukses pada

orang tuanya sekarang, juga sukses pada anak-anak nantinya. Keluarga ideal ala

iklan hanya merupakan imajinasi dan harapan setiap orang saja, selebihnya

tergantung kepada pribadi masing-masing. Untuk Ibu Nana, formasi sebuah

keluarga ideal tidak begitu penting, yang terpenting adalah segala aspek dalam

keluarga dapat terpenuhi dengan baik.

Informan Penelitian IV

Keinginan untuk memiliki keluarga ideal tidak dipungkiri pasti mampir ke

benak setiap orang. Tidak terkecuali kepada Ibu Lipur yang merupakan informan

penelitian terakhir ini. Ibu Lipur yang dapat dikatakan telah memiliki keluarga

ideal, yaitu memiliki dua orang anak yang masing-masing laki-laki dan

perempuan ini juga dulunya memang mempunyai keinginan untuk memiliki

110
keluarga dengan formasi demikian. Setelah 24 tahun pernikahannya dengan

Bapak Djoko, Ibu Lipur menyadari bahwa formasi bukanlah yang utama dalam

membina sebuah keluarga, keharmonisan, situasi dan kondisi adalah yang

menentukan kebahagiaan sebuah keluarga. Belum tentu keluarga yang memiliki

formasi yang dikatakan ideal mempunyai jaminan bahwa kehidupannya pasti akan

bahagia. Keluarga yang harmonis, punya tingkat komunikasi yang baik, terbuka,

saling menghormati dan menghargai, malah menjadi kunci pokok apakah keluarga

tersebut bahagia atau tidak.

Melihat tentang pencitraan keluarga ideal dalam iklan-iklan televisi

Indonesia kebanyakan, Ibu Lipur hanya berpendapat bahwa itu hanya cerita di

layar kaca saja, karena menurutnya keluarga-keluarga di lingkungan sekitarnya

tidak begitu memusingkan tentang masalah formasi. Masyarakat lebih

mementingkan kualitas daripada kuantitas. Meskipun pada awal pernikahan Ibu

Lipur menginginkan dua anak cukup (anak pertama laki-laki dan anak kedua

perempuan) seperti kebanyakan orang awam, namun Ibu Lipur merelakan calon

putra pertamanya yang meninggal sebelum sempat dilahirkan. Kejadian itu

merupakan pukulan bagi Ibu Lipur pada saat itu, keinginannya menimang anak

pertama laki-laki musnah saat mengetahui calon bayinya meninggal. Lambat laun,

keinginannya untuk mempunyai anak pertama laki-laki mulai memudar, ia

menerima apapun yang diberi oleh Tuhan. Sehingga tidak berapa lama ia

dikaruniai anak perempuan, menyusul kemudian si sulung diberi adik laki-laki.

Hingga saat ini, keluarga Ibu Lipur dan Bapak Djoko berjumlah empat orang,

111
ayah, ibu, si sulung perempuan dan si bungsu laki-laki, sesuai dengan gambaran

keluarga ideal saat ini.

Gambaran keluarga ideal dalam iklan menurut Ibu Lipur hanyalah

merupakan bumbu penyedap saja. Karena bintang dalam iklan tersebut hanya

sebagai mediator untuk mempromosikan barang yang diiklankan kepada target

marketnya. Pemirsa televisi yang bersifat umum dan luas memang sangat mudah

untuk menerima pesan salah yang disampaikan oleh televisi, khususnya iklan.

Sehingga Ibu Lipur menghimbau agar masyarakat luas tidak terpengaruh terhadap

konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dilakukan oleh iklan, karena tidak

selalu apa yang dikonstruksikan oleh media dapat diterapkan kepada masing-

masing keluarga Indonesia.

112
BAB IV

MAKNA DAN ESENSI PENGALAMAN PEMIRSA TENTANG

KONSTRUKSI SOSIAL KELUARGA IDEAL

DALAM IKLAN DI TELEVISI

Setelah melihat keseluruhan deskripsi tekstural narasumber penelitian,

maka disusunlah deskripsi tekstural gabungan mengenai pengalaman pemirsa

tentang konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan televisi. Makna dan tema-

tema yang ada dalam deskripsi tiap narasumber dipelajari untuk melukiskan

pengalaman kelompok sebagai suatu pengalaman secara keseluruhan. Langkah-

langkah untuk menggambarkan deskripsi tekstural gabungan tetap mengikuti

langkah-langkah yang digunakan dalam deskripsi tekstural individu yang terbagi

ke dalam tiga tema, yaitu : 1) pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal

oleh iklan televisi, 2) pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat

tentang keluarga ideal, dan 3) pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial

keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi. Kemudian disusunlah

deskripsi struktural pengalaman gabungan untuk mewakili pengalaman unik

kelompok yang menjelaskan keunikan pengalaman komunikasi dalam

pemahaman narasumber. Dalam deskripsi struktural gabungan, penelitilah yang

menggunakan pengalaman dan pemahaman pribadi narasumber yang relevan

untuk menjelaskan suatu tema. Jadi deskripsi struktural gabungan merupakan cara

untuk memahami bagaimana narasumber (secara kelompok) mengalami

pengalaman mereka (Moustakas, 1994 : 142).

113
A. Deskripsi Tekstural Gabungan

1. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi

Keluarga sejak zaman dahulu sudah diidentikkan dengan formasi ayah, ibu

dan anak, meskipun tidak ada patokan berapa jumlah dan apa sajakah jenis

kelaminnya. Keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan

perempuan) dianggap sebagai salah satu kriteria menuju keluarga bahagia oleh

sebagian besar masyarakat Indonesia, karena memang sangat banyak

pertimbangan yang mendasari bahwa keluarga dengan formasi demikian menjadi

simbol sebuah keluarga ideal, antara lain dilihat dari sudut pandang pertimbangan

ekonomi, tuntutan zaman, dan tren dalam masyarakat.

Televisi melalui iklannya dapat dilihat sebagai bagian dari konstruksi

simbol bahasa budaya dalam masyarakat. Karena mempunyai kekuatan itulah

maka iklan televisi dapat membangun suatu nilai atau citra tertentu akan sesuatu

lalu disajikan ke tengah-tengah masyarakat. Meskipun setiap iklan menggunakan

nilai yang berbeda, namun gagasan ideologi iklan atas sesuatu tetap saja sama dan

menguasai hampir semua iklan dengan tema yang sama. Begitu pula yang terjadi

dalam citra keluarga ideal yang dibangun oleh iklan televisi, meskipun dikemas

dengan bentuk yang beraneka ragam, cerita yang tidak sama, endorser yang

berbeda-beda, namun iklan dengan tema keluarga saat ini dapat ditarik suatu

benang merah, yaitu selalu menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu dan

dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia.

Formasi keluarga yang ditampilkan secara terus-menerus tersebut kemudian

114
membangun sebuah citra tersendiri dalam masyarakat tentang bagaimanakah

sebuah keluarga ideal itu.

Ketika peristiwa tayangan iklan televisi itu ditonton, maka tontonan itu

tidak sekedar hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi oleh pencipta iklan

televisi terhadap pemirsa (Bungin, 2001 : 37). Jadi iklan merupakan sebuah usaha

untuk membangun, memperkuat, mengganti, atau menstabilkan makna yang

ditangkap orang dari simbol yang diberikan pengiklan terhadap produk atau jasa.

Dari sini, terlihat bahwa iklan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan

kita. Disadari bahwa tidak semua iklan mengkonstruksi pemirsanya, namun dalam

dunia iklan harapan bahwa iklan akan mengkonstruksi sikap atau bahkan perilaku

pemirsa merupakan harapan akhir bagi kebanyakan sang pencipta iklan tersebut.

Tanpa disadari pula setiap tayangan iklan selalu didekonstruksi oleh pemirsa iklan

televisi itu sendiri. Proses dekonstruksi terjadi melalui pemilihan metode

penafsiran, baik terhadap teks visual iklan maupun wacan iklan itu sendiri sebagai

bagian dari pengetahuan. Proses dekonstruksi terhadap konstruksi sosial iklan

televisi ini kemudian menjadi realitas baru dalam kesadaran umum masyarakat

pemirsa, kemudian kesadaran ini membentuk realitas sosial melalui tahap

eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi yang berlangsung dalam proses

konstruksi sosial iklan televisi.

Pencitraan keluarga ideal dalam iklan televisi disadari benar oleh

masyarakat, hal tersebut dikemukakan oleh informan-informan penelitian ini.

Mereka menyatakan sangat sadar apabila sekarang ini kebanyakan iklan keluarga

selalu menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-

115
laki dan perempuan), yang kemudian membangun sebuah citra akan sesuatu, yaitu

citra keluarga ideal. Namun, mereka berpendapat bahwa pencitraan yang

dilakukan oleh iklan tersebut tidak mengganggu dan mempengaruhi penilaian

mereka akan sebuah keluarga. Memang benar apabila pencitraan tersebut akan

menimbulkan konstruksi sosial keluarga ideal dalam masyarakat, namun menurut

pendapat informan, adanya konstruksi sosial itu hanya sebatas memberikan

wacana kepada mereka bagaimana sebaiknya bentuk keluarga ideal itu sendiri.

Namun dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari, bentuk keluarga ideal yang

dikonstruksikan oleh iklan televisi tersebut bukan menjadi keharusan, hanya

sebatas keinginan dan harapan setiap orang saja.

2. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal

Dilihat dari berbagai sudut pandang, memiliki keluarga ideal ala iklan

memang sangat menguntungkan bagi setiap individu keluarga. Selain

menguntungkan secara ekonomi yang berarti tidak akan menghabiskan banyak

biaya dalam membesarkan anak, pemberian pendidikan yang layak untuk anak-

anak, menguntungkan pula dalam masalah perhatian kepada anak-anak.

Mempunyai anak sedikit pasti akan meminimalisir perhatian yang kurang, karena

setiap orang dan setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-

anaknya. Menurut pandangan informan penelitian selaku pemirsa televisi,

gambaran keluarga ideal sesungguhnya adalah keluarga yang lebih mementingkan

aspek kualitas daripada kuantitasnya. Formasi ataupun jumlah anak dalam sebuah

116
keluarga tidak cukup penting, namun kualitaslah yang terpenting. Keharmonisan

dalam keluarga, komunikasi yang baik, saling menghormati, saling menghargai,

perhatian yang cukup, keadaan ekonomi yang mapan, jauh lebih penting jika

dibandingkan dengan formasi semata.

Namun mereka juga membenarkan bahwa keluarga dengan formasi

demikian itu memang menjadi harapan dan impian setiap masyarakat Indonesia.

Istilah “banyak anak banyak rejeki” sudah tergantikan oleh istilah “dua anak

cukup”. Hal tersebut dikarenakan keadaan kehidupan masyarakat yang memang

akan jauh lebih baik apabila memiliki keluarga kecil saja, dengan hanya memiliki

dua anak, yang alangkah idealnya jika kedua anak tersebut satu laki-laki dan satu

perempuan. Memang keinginan tersebut dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat

Indonesia, namun itu hanya dapat dikatakan sebagai what life should be, hanya

sebatas “apa yang seharusnya” dan bukan merupakan keharusan, bukan pula harus

dilaksanakan atau dimiliki.

Pandangan dari para informan tersebut juga mereka yakini sebagai

pandangan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal tersebut berdasar pada

pertimbangan bahwa jika memiliki kultur yang sama, cerita sejarah masa lalu

yang sama, perasaan senasib sepenanggungan, kehidupan yang tidak jauh

berbeda, maka cara pandang akan sesuatu hal kurang lebih akan sama. Semua

masyarakat Indonesia pasti lebih memilih aspek kualitas daripada aspek kuantitas

dalam menilai keidealan sebuah keluarga, karena hal itulah yang terpenting untuk

menjamin kebahagiaan setiap individu dalam setiap keluarga bagaimanapun

formasinya dan berapapun jumlahnya.

117
3. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi

Realitas sosial dapat terbentuk dari iklan televisi, sebagai gambaran

realitas media atau relitas virtual tentang dunia yang hanya dalam media televisi.

Realitas sosial itu merupakan hasil produksi dan reproduksi dari iklan televisi dan

masyarakat pemirsa dimana iklan itu ada. Penciptaan realitas dimaksud dengan

menggunakan model simulasi, yaitu penciptaan model-model kehidupan nyata,

realistik, tanpa asal-usul yang realistik pula. Melalui model simulasi ini, individu

terjebak dalam satu ruang yang disadarinya sebagai nyata, walaupun

sesungguhnya semu atau maya. Ruang realitas semu dapat digambarkan melalui

analog peta (Bungin, 2001 : 217). Bila dalam ruang nyata, peta merupakan

representasi dari sebuah teritorial, maka dalam model simulasi peta mendahului

teritorial, di mana realitas sosial, budaya dan realitas kehidupan lainnya di dalam

dunia nyata, dibangun berdasarkan model simulasi yang ditawarkan oleh iklan

televisi.

Konstruksi sosial yang dibangun oleh iklan adalah sebuah proses

eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi yang terjadi antara individu di dalam

masyarakat. Ketiga proses tersebut terjadi secara simultan membentuk dialektika,

serta menghasilkan realitas sosial berupa pengetahuan umum, konsep, kesadaran

umum dan wacana publik. Periklanan menunjukkan sebuah proses sosial dan

budaya masyarakat saat itu. Iklan selain menyajikan dunia instant, terutama iklan

televisi yang merupakan pertunjukan “kecil” dalam dunia komunikasi dengan

kesan-kesan yang “besar” sebagai suatu sistem magis (the magic system). Magic,

118
itulah kata yang sering diucapkan masyarakat untuk menggambarkan betapa iklan

mempertontonkan sebuah dunia kognitif yang menakjubkan kepada pemirsanya.

Iklan mampu mereproduksi angan-angan kehidupan manusia tentang kehidupan

mewah dalam keajaiban seribu satu malam (Bungin, 2001 : 94).

Hal itulah yang kemudian mendasari apakah konstruksi sosial yang

dibangun oleh iklan tersebut mempengaruhi pemirsa yang melihatnya atau tidak.

Menurut pandangan masyarakat yang dapat kita ambil dari pandangan informan

penelitian ini, maka dibenarkan apabila iklan memang memberikan pengaruh

terhadap pandangan masyarakat akan sesuatu hal, baik besar maupun kecil.

Konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dibangun oleh iklan televisi

sekarang ini memberikan pandangan dan cara pandang baru terhadap masyarakat

pemirsa televisi tentang bagaimana bentuk sebuah keluarga ideal itu sendiri.

Masyarakat juga memiliki pandangan atau judgement baru tentang bentuk

keluarga ideal, yang pastinya selain karena faktor-faktor lain yang juga

memperkuat pandangan itu, juga dikarenakan adanya iklan televisi yang selalu

saja menampilkan bentuk keluarga ideal yang selalu sama.

Melihat penyampaian dari para informan penelitian, maka dapat

disimpulkan bahwa mereka mengerti benar tentang arti konstruksi sosial atas

sesuatu. Mereka juga memberikan penilaian bahwa konstruksi sosial keluarga

ideal yang dilakukan oleh iklan tersebut dapat mempengaruhi siapa saja yang

melihatnya, karena televisi mempunyai daya persuasif yang sangat besar, televisi

juga merupakan media pokok yang sangat disukai oleh seluruh lapisan

masyarakat. Jadi, apa yang ditampilkan televisi akan memberi arti dan kesan yang

119
kuat terhadap pemirsanya. Namun secara spesifik, pengalaman pemirsa yang

terkait dengan konstruksi sosial keluarga ideal itu berbeda-beda setiap individu,

informan IV menyampaikan pengalamannya tentang bagaimana konstruksi sosial

keluarga ideal tersebut mempengaruhinya saat awal dia menikah, keinginan untuk

memiliki dua anak laki-laki dan perempuan masih sangat tinggi, begitupula pada

informan III, ia sebagai keluarga baru yang belum dikaruniai anak masih sangat

menginginkan kelak keluarganya akan ideal seperti dalam iklan, sedangkan pada

informan I dan II, menyampaikan bahwa pada awalnya mereka memang

menginginkan keluarga dengan formasi seperti dalam iklan, namun lama-

kelamaan setelah mereka dikaruniai anak, baik yang akhirnya memiliki keluarga

ala iklan ataupun tidak, mereka tetap menjalani hidupnya dengan bahagia.

Sehingga dapat diambil kesimpulan dari pengalaman yang terjadi pada setiap

informan, bahwa keinginan yang ditimbulkan akibat pengaruh dari adanya

konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan, hanya sebatas pemicu keinginan dan

harapan semata pada awal pernikahan mereka. Namun lambat laun, setelah

pernikahan berjalan, formasi keluarga yang akhirnya ada, jumlah dan jenis

kelamin anak yang dikaruniai oleh Tuhan, walaupun tidak sesuai dengan keluarga

ideal ala iklan namun mereka tetap menjalankan kehidupan keluarganya dengan

baik, karena yang terpenting menurut mereka adalah kualitas, bukan kuantitas.

Setelah melihat penjabaran pengalaman dari para informan, maka dapat

disimpulkan bahwa konstruksi sosial keluarga ideal tersebut memang

mempengaruhi masyarakat, namun pengaruh itu masih dalam batas kewajaran,

yaitu hanya sebatas pada keinginan masyarakat untuk memenuhi imajinasinya

120
tentang keidealan sebuah keluarga saja, tidak sampai mempengaruhi tingkah laku

seseorang. Karena nyatanya, jika kenyataan tidak sesuai dengan harapan awal,

masyarakat dapat menyikapinya dengan bijak, mau menerima keadaan dan tidak

memaksakan kehendak. Para informan tersebut juga menghimbau kepada

masyarakat luas agar juga menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun oleh iklan televisi itu dengan bijaksana.

B. DESKRIPSI STRUKTURAL GABUNGAN

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Setiap

masyarakat mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, baik latar belakang

keluarga, pendidikan, dan kebudayaan sesuai dengan asal mereka. Masyarakat

Indonesia bagian barat seperti misalnya suku Jawa lebih mementingkan

kebersamaan dan gotong royong diantara masyarakatnya, sedangkan masyarakat

Indonesia bagian timur seperti misalnya suku Dayak lebih mementingkan nenek

moyang dan kebiasaan turun-temurun dalam kehidupannya. Setiap latar belakang,

baik budaya, kebiasaan, pendidikan bahkan latar belakang ekonomi membuat

setiap orang mempunyai cara pandang dan cara interpretasi yang berbeda-beda

akan sesuatu hal.

Hal tersebut juga berlaku pada saat masyarakat sebagai pemirsa aktif

televisi memandang dan menanggapi adanya konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun oleh iklan televisi. Pengalaman yang terjadi dalam kehidupan mereka

yang terkait dengan konstruksi sosial keluarga ideal itupun beragam. Ada yang

hanya sebatas tahu dan tidak mengalami pengalaman yang berarti, namun ada

121
pula yang sampai saat ini masih terpengaruh dengan iklan-iklan keluarga tersebut.

Namun kesamaan diantara para informan itu adalah sama-sama merasa bahwa

bentuk keluarga ideal yang disajikan oleh iklan televisi itu hanyalah sebatas

gambaran harapan sebuah keluarga. Mereka merasa hal-hal yang terjadi dalam

kehidupan keluarga mereka terkait dengan konstruksi sosial itu adalah hal yang

unik yang pernah terjadi, entah besar ataupun kecil pengaruh tersebut merasuk ke

dalam kehidupan keluarga mereka.

Masyarakat juga sangat menyadari dan yakin apabila formasi keluarga

ideal ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan) bukan merupakan

jaminan kebahagiaan hidup seseorang. Tidak ada jaminan pasti bagi siapa saja

jikalaupun sudah memiliki keluarga ideal ala iklan tersebut pasti akan hidup

bahagia selamanya dalam keluarganya. Sebaliknya, bagi keluarga yang belum

atau tidak memiliki keluarga dengan formasi ala iklan, tidak juga pasti akan hidup

tidak bahagia selamanya. Kebahagiaan keluarga seseorang tidak diukur dari

formasi atau jumlah anggota keluarganya saja, melainkan sangat banyak aspek

lain yang mempengaruhinya.

C. SINTESIS MAKNA TEKSTURAL DAN STRUKTURAL

Tahap terakhir dalam analisa model penelitian fenomenologi adalah

penyatuan deskripsi tekstural gabungan dan deskripsi struktural gabungan. Dalam

sintesis peneliti menggabungkan dan mengembangkan makna dan inti dari proses

komunikasi pada konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan

televisi (Moustakas, 1994 : 144). Penyajian sintesa makna tekstural dan struktural

122
masih mengikuti langkah-langkah sebelumnya, yaitu dibagi ke dalam tiga tema,

yaitu : 1) pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi, 2)

pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang keluarga ideal,

dan 3) pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi.

1. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi

Kekuatan iklan televisi dalam menciptakan suatu citra ke tengah

masyarakat sudah tidak diragukan lagi. Iklan adalah media yang menawarkan

model-model fantasi melalui citra-citra yang ditampilkannya. Keseluruhan citra

yang ditampilkan oleh iklan lebih bersifat simulasional, yang tidak memiliki

referensi pada realitas apa pun kecuali citra itu sendiri. Namun, hasil interpretasi

atas tampilan iklan keluarga yang selalu memperlihatkan keluarga dengan formasi

ayah, ibu, dua anak (laki-laki dan perempuan) menunjukkan bahwa ada interaksi

antara citra dan realitas. Artinya, iklan tidak hanya pasif menyerap citra, tetapi

iklan juga aktif menginteraksikan citra dengan realitas sosial.

Teks iklan sebagai sebuah sistem penandaan yang kompleks, tersusun oleh

kombinasi tanda-tanda. Dalam teks-teks iklan tersebut, memang ada beberapa

tanda yang merupakan simulasi, yang hanya mengacu pada citra-citra itu sendiri

atau self referential (Noviani, 2002 : 133). Namun simulasi ini tidak mendominasi

seluruh teks, karena sebagian tanda yang lain di dalam teks iklan tersebut tetap

merepresentasikan realitas sosial. Dengan kata lain, teks iklan tersebut secara

keseluruhan mengkombinasikan simulasi dan representasi. Dalam tampilannya,

123
iklan mengkombinasikan simulasi dan representasi. Dalam tampilannya, iklan

mengkombinasikan citra-citra yang bersifat self-referential dengan citra-citra

yang merepresentasikan realitas sosial. Dan strategi kebanyakan iklan keluarga

saat ini memang mengacu pada suatu realitas sosial yang belakangan ini populer

dalam masyarakat tentang formasi sebuah keluarga, yaitu formasi ayah, ibu, dua

anak (laki-laki dan perempuan). Memang banyak faktor yang menggeser jargon

“banyak anak banyak rejeki” menjadi “dua anak cukup” tentang sebuah keluarga

dalam masyarakat kita saat ini, dan masyarakat juga menyadari benar akan hal itu.

Sebut saja karena pengaruh program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh

pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, masyarakat menjadi

mulai memprogramkan keluarga mereka agar tidak lagi memiliki anak banyak,

namun beralih ke keluarga dengan anak sedikit, cukup satu anak laki-laki dan satu

anak perempuan. Iklan yang ada saat ini berorientasi pada hal itu, iklan-iklan

tersebut menghalalkan segala cara untuk dapat membentuk citra agar nampak

sama dengan realitas sosial yang tengah berkembang dalam masyarakat kita

sekarang ini. Namun, meskipun iklan memiliki referensi realitas sosial,

representasinya tidak sepenuhnya bersifat jujur. Dalam penelitian ini tidak ada

iklan yang merefleksikan realitas secara murni, yang ada adalah representasi dan

sebuah konstruksi sosial. Representasi itu sendiri pada dasarnya adalah

“merepresentasikan” dunia sosial dengan cara yang tidak lengkap dan sempit.

Tetapi representasi itu tetap potensial untuk mengajarkan pada khalayak tentang

apa yang terjadi dalam masyarakat, terutama kondisi-kondisi sosial pada waktu

representasi tersebut diciptakan. Demikian pula dalam teks-teks iklan, representasi

124
tidak dibuat secara sederhana, tetapi mampu menyediakan akses terhadap

peristiwa real yang terjadi dalam masyarakat.

Masyarakat sangat menyadari bahwa iklan hanyalah sebuah media

penyampai pesan dari produsen ke konsumen, iklan televisi hanyalah sebuah

media penghubung antara dunia rekaan si pembuat iklan dengan pemirsanya yaitu

masyarakat. Terlepas dari bagaimana iklan itu dibuat dan bagaimana latar

belakang dibuatnya iklan itu, si pembuat iklan juga merupakan bagian dari

masyarakat luas yang juga memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan

pandangan masyarakat pada umumnya tentang sesuatu hal. Begitu pula

pandangannya mengenai bentuk sebuah keluarga ideal. Bagaimana bentuk dan

stigma keluarga ideal yang sedang in dalam masyarakat menjadikan dasar

pemikiran si pembuat iklan dalam membuat iklan keluarga, ia hanya melihat itu

dari sisi “bagaimanakah sepantasnya dan bagaimanakah seharusnya” tanpa

melihat dan mempertimbangkan bagaimana penilaian masyarakat nantinya.

Padahal iklan yang disajikan secara konstan dan terus-menerus dengan format

yang nyaris sama pasti akan membangun sebuah citra tertentu akan suatu hal

dalam pemikiran setiap masyarakat yang melihatnya. Iklan keluarga yang selalu

menampilkan bintang iklan dan cerita tentang keluarga bahagia berformasi ayah,

ibu, dua anak (laki-laki dan perempuan) akan membangun sebuah citra keluarga

ideal dalam pemikiran masyarakat kita sekarang ini. Jadi dapat disimpulkan

bahwa antara citra bangunan iklan dan realitas sosial memang ada korelasi

tersendiri. Tidak mungkin keduanya bertolak belakang, hanya saja tidak akan

pernah sama persis.

125
Dengan melihat realita tersebut, pengalaman dari masyarakat adalah kunci

untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dari citra yang entah

sengaja atau tidak dibangun oleh iklan televisi tersebut. Setelah melakukan

penelitian terhadap beberapa informan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

masyarakat memang mengetahui benar bahwa iklan memang telah membangun

sebuah citra tentang keluarga ideal. Keluarga ideal seakan-akan haruslah

berformasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan), di luar formasi

tersebut maka dikatakan tidak ideal. Namun pada akhirnya, masyarakatlah yang

mempunyai kekuatan terbesar untuk mengendalikannya, apakah akan membuat

citra tersebut menjadi suatu keharusan dalam kehidupan mereka atau tidak.

Menurut penjelasan mereka, citra tersebut hanyalah sebatas wacana dalam

kehidupan mereka. Formasi keluarga ideal yang dibentuk oleh iklan hanya

merupakan gambaran keinginan mereka saja, namun dalam kehidupan nyata hal

tersebut menjadi tidak terlalu penting, karena orientasi masyarakat yang telah

benar-benar memasuki kehidupan berkeluarga, keinginan-keinginan yang timbul

pada awal pernikahan telah bergeser menjadi harapan semata, mereka akan lebih

fokus dan menerima apa yang sebenarnya terjadi dan mereka alami dalam

keluarga mereka.

2. Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal

Pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan masyarakat tentang

keluarga ideal dapat kita lihat dari persamaan uraian pendapat dari keempat

126
informan penelitian ini. Pengakuan informan III sudah cukup mewakili apa yang

disampaikan oleh seluruh informan. Pasalnya, dari bibir ibu muda yang ternyata

berpendidikan dan ekonomi sejahtera itu, keluar pengakuan tentang ketakutannya

terhadap masa depan anak-anaknya yang mungkin tidak secerah yang

diinginkannya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masalah kekurangan dari segi

ekonomi masih menjadi momok bagi sebagian besar keluarga di Indonesia,

bahkan dari keluarga kaya sekalipun. Sekarang ini, kita dihadapkan pada

kenyataan bahwa membesarkan dan mendidik anak, memang membutuhkan

investasi yang besar. Terlebih kalau kita mau mengingat empat hak dasar anak

yang salah satunya adalah hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, kita

sebagai orang tua tidak hanya berkewajiban mencukupkan kebutuhan makan

minum agar tetap dapat bertahan hidup serta memberi perlindungan agar sang

anak merasa aman dan nyaman dalam dekapan ayah ibunya. Tetapi lebih dari itu,

harus mampu mengoptimalkan tumbuh kembang anak melalui pembinaan dan

pendidikan yang layak agar nantinya sang anak tidak saja sehat, cerdas dan

trampil, tetapi juga berkepribadian luhur dan bertaqwa kepada Tuhan YME.

Sejak usia balita yang merupakan the golden age anak sudah

membutuhkan biaya yang tidak sedikit, selain perhatian dan kasih sayang.

Setidaknya untuk kecukupan asupan gizi, pemeliharaan kesehatan, membeli Alat

Permainan Edukatif (APE), mencukupkan kebutuhan sandang maupun kebutuhan

“thetek bengek” lainnya manakala anak sakit, lahir tidak normal, memiliki

penyakit bawaan atau mengalami kecelakaan. Belum lagi bila kita sebagai

orangtua sama-sama bekerja (karier ganda), maka harus menyediakan pula dana

127
khusus untuk memelihara pembantu atau membayar Tempat Penitipan Anak

(TPA) sebagai imbalan karena telah mengasuh dan menjaga anak saat kita pergi

mencari penghidupan. Seiring dengan bertambahnya usia anak, kebutuhan

hidupnya semakin besar. Terlebih bila anak telah memasuki usia sekolah, dana

yang harus dikeluarkan semakin membengkak. Karena bukan lagi sekedar untuk

biaya pendidikan, kursus-kursus atau les privat, tetapi juga untuk memenuhi

tuntutan anak yang makin berkembang. Bukan tidak mungkin di era sekarang ini,

anak kita yang masih duduk di bangku SD sudah meminta barang-barang yang

harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Belum lagi keinginannya untuk

minta ini itu, pergi jalan-jalan ke tempat wisata, berbelanja ke super market, dan

lain-lain. Tidak sedikit di antara kita yang harus “menjadikan kepala untuk kaki

dan kaki untuk kepala” sekedar untuk menganalogkan betapa kita harus bekerja

ekstra keras untuk mencukupi kebutuhan dan kebahagiaan sang anak.

Gambaran bila anak kita lebih dari dua apalagi dengan jarak kelahiran

yang terlalu dekat, sudah cukup sebagai cermin bagi kita betapa sulitnya

mencukupkan kebutuhan mereka baik materi maupun perhatian dan kasih sayang.

Terlebih bila anak kita sudah memasuki bangku sekolah menengah atau kuliah di

perguruan tinggi. Bagi keluarga miskin sudah semakin sulit untuk menjangkau

pembiayaannya. Sekarang ini banyak kasus, orangtua terpaksa men-drop out-kan

anak dari sekolah karena kekurangan biaya. Berdasarkan data dari Depdiknas

(http://www.bkkbn.go.id/yogya/article_detail.php?aid=2), setidaknya 900 anak-

anak negeri ini terpaksa drop out Sekolah Dasar karena kondisi ekonomi yang

tidak memungkinkan. Dengan melihat fakta-fakta yang terjadi di tengah

128
masyarakat kita, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata keluarga dengan dua

orang anak dipandang dari sudut manapun, memang masih lebih baik. Ini sesuai

dengan slogan yang dilontarkan oleh Kepala BKKBN Pusat belum lama ini

bahwa “dua anak lebih baik”. Sebab selain kita dapat memberi kasih sayang yang

cukup untuk anak, kesehatan ibu tetap terjaga, kebutuhan untuk mengasuh,

membina, mendidik dan membesarkan anak masih relatif terjangkau oleh

sebagian besar keluarga di negara kita. Terlebih bila kita mengingat era

globalisasi telah bergulir, yang berarti persaingan untuk bertahan hidup dan eksis

bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara, semakin sulit. Hanya orang-orang

dengan kualitas memadai saja yang akan mampu memenangkan persaingan, yang

berarti pula dapat hidup layak dan dapat mengaktualisasikan kehidupannya dalam

masyarakat secara optimal.

Menurut pengalaman para informan, mereka menilai bahwa apa yang

menjadi pandangan mereka juga merupakan pandangan sebagian besar

masyarakat Indonesia. Karena seperti telah dijelaskan di atas, bahwa kesamaan

kultur budaya dan latar belakang, karena kita hidup dalam satu wilayah yang

sama, dalam naungan negara yang sama, maka pasti pemikiran dan cara

pandangannya akan juga sama. Orientasi berpikir masyarakat kita adalah

mengikuti role pemikiran sebagian besar masyarakat, mereka mengikuti apa yang

telah tertanam dalam realitas sosial yang sudah ada dalam masyarakat, mereka

hanya mengikuti dan menjalankannya.

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa memang lebih menguntungkan dari

segi apapun untuk memiliki keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua anak (laki-

129
laki dan perempuan) bagi kelangsungan hidup masyarakat. Citra-citra dalam iklan

yang nampaknya netral, ternyata di balik itu memiliki muatan ideologis yang

digunakan untuk memperkuat muatan ideologis yang digunakan untuk

memperkuat atau melawan nilai-nilai yang secara dominan berlaku di masyarakat.

Di masyarakat yang dulunya populer dengan istilah “banyak anak banyak rejeki”

bisa bergeser menjadi istilah “dua anak cukup atau dua anak lebih baik”.

Memang, istilah itu sangat mendukung dalam keadaan Indonesia yang kurang

stabil dalam masalah ekonomi, namun masyarakat tetap dapat bijak dalam

menyikapinya. Mereka hanya memandang citra yang ditampilkan iklan hanya

sebatas mimpi yang menjadi kenyataan. Dalam kehidupan sebenarnya, mereka

lebih ke “nrimo ing pandum”, menerima segala yang diberikan oleh Tuhan.

Meskipun pada mulanya tetap berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, yaitu

mimpi memiliki sebuah keluarga ideal. Meskipun pada akhirnya tidak memiliki,

masyarakat dengan besar hati mau menerima hal tersebut, melanjutkan kehidupan

dan menyadari bahwa kebahagiaan sebuah keluarga tidak dapat diukur hanya

dengan formasi semata. Para informan juga sama-sama memberikan himbauannya

terhadap seluruh masyarakat pemirsa televisi Indonesia, untuk tidak menerima

secara mentah-mentah apa yang ditampilkan oleh media, namun juga harus

memilah-milahnya dengan bijaksana sebelum kemudian diaplikasikan ke dalam

kehidupan nyata mereka.

130
3. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang

dibangun melalui iklan televisi

Masyarakat, meskipun berasal dari kultur dan latar belakang yang sama

pastilah memiliki cara pandang secara mendetail yang berbeda. Decoding

terhadap makna dalam iklan tersebut yang dilakukan oleh pemirsa iklan televisi,

adalah konsekuensi dari proses encoding yang dilakukan iklan terhadap pemirsa.

Jadi, makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang berbeda-beda

berdasarkan kemampuan kognitif pemirsa maupun emosinya. Makna yang dikode

oleh pemirsa tersebut, tergantung pada bagaimana individu melakukan

dekonstruksi terhadap iklan televisi itu, karena setiap individu memiliki

kebebasan menentukan metode interpretasi apa yang harus digunakan, termasuk

kepentingan-kepentingannya dalam melakukan dekonstruksi. Makna yang dikode

pemirsa, berhubungan dengan beberapa kategorisasi pemirsa, yaitu ; (a) kelas

sosial, (b) gaya hidup, (c) usia individu dan kemampuan intelektual, (d) perbedaan

gender, (e) kebutuhan terhadap produk yang diiklankan dan (f) kesan individu

terhadap iklan (Bungin, 2001 : 200). Individu dalam kelas sosial yang berbeda,

memberi kode makna yang berbeda terhadap iklan televisi yang sama. Begitu pula

individu dalam kelas sosial yang sama memberi kode yang berbeda terhadap

makna iklan karena perbedaan usia dan kemampuan intelektual.

Makna yang dikode oleh pemirsa bisa sama atau berbeda dengan citra

yang dikonstruksi oleh copywriter dalam suatu iklan. Perbedaan itu terjadi karena

kategorisasi pemirsa berbeda satu dengan lainnya. Namun apabila terjadi

kesamaan, maka kesamaan itu akan tidak jauh dari citra yang dikonstruksikan

131
olah copywriter pada iklan tersebut, karena pada dasarnya pekerjaan media adalah

mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media

mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya (Sobur, 2002 : 88). Seperti

yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam analisanya

tentang konstruksi sosial realitas. Mereka berpendapat bahwa dunia sosial adalah

produk manusia, ia adalah konstruksi manusia dan bukan sesuatu yang given

(Noviani, 2002 : 51). Bagi copywriter dan visualiser, menuangkan konsep

pencitraan makna dalam iklan televisi, dengan tujuan agar diterima oleh pemirsa

seperti yang dimaksud oleh mereka. Namun karena adanya kategorisasi pemirsa,

maka sering terjadi perbedaan makna yang dikode.

Hal itulah yang mendasari perbedaan pandangan pada setiap informan

penelitian ini mengenai bagaimana pengalaman mereka tentang konstruksi sosial

keluarga ideal yang dibentuk oleh iklan televisi. Pengalaman yang terjadi dalam

kehidupan mereka memang berbeda-beda, ada yang berpengaruh sedikit namun

ada pula yang berpengaruh besar. Namun persamaan diantara mereka adalah,

kesamaan pengalaman yang sama-sama terjadi di awal pernikahan, atau di awal

mereka menginginkan untuk membangun sebuah keluarga. Keinginan-keinginan

untuk memperoleh keluarga dengan formasi ideal yang muncul dalam awal

pernikahan merupakan hal yang wajar. Karena mereka masih terpusat pada mimpi

awal mereka tentang bagaimana seharusnya sebuah keluarga, konstruksi sosial di

masyarakat juga mengamini hal itu. Sehingga konstruksi sosial yang dibentuk

iklan juga semakin menambah kuat keinginan mereka.

132
Televisi membentuk realitas sosial sebagai gambaran realitas media atau

realitas virtual yaitu dunia yang hanya ada di dalam media televisi. Realitas sosial

tersebut merupakan hasil produksi dan reproduksi televisi serta masyarakat

pemirsa. Realitas yang dibangun melalui kemajuan teknologi komunikasi, yang

salah satunya adalah melalui iklan televisi, mampu membangun realitas maya,

hiperrealitas (realitas pencitraan). Realitas simulasi menciptakan model-model

kehidupan yang nyata, tanpa asal-usul yang realistik pula. Melalui model simulasi

individu dijebak dalam sebuah dunia yang disadari nyata walaupun sesungguhnya

maya atau semu. Materi konstruksi iklan televisi, kemudian disiarkan oleh

televisi, sehingga kekuatan media televisi ikut membangun konstruksi sosial

melalui pencitraan dan pemberian “makna lebih” terhadap materi iklan televisi.

Dalam realitas sosial iklan televisi, penciptaan relaitas dilakukan bersama-sama

antara pencipta iklan dan media televisi. Dengan kata lain individu tidak sendirian

menciptakan realitas, namun penciptaan itu dibantu oleh kekuatan media, bahkan

tanpa media televisi sekalipun realitas itu tidak ada.

Dengan demikian, realitas iklan televisi hanya ada dalam media televisi,

baru kemudian terjadi proses decoding dan encoding oleh pemirsa saat dan setelah

ia menonton televisi. Proses ini berlangsung di dalam kognisi pemirsa dan

membentuk theatre of mind di dalam pikiran mereka. Theatre of mind ini

merupakan awal dari proses terbentuknya realitas sosial media” atau “realitas

media” dan “kesadaran semu” (Bungin, 2001 : 42). Bahwa realitas sosial media

adalah bagian kesadaran semu individu terhadap realitas itu, yang sebenarnya

tidak terjadi dalam realitas sosial nyata, namun dirasakan oleh pemirsa sebagai

133
sesuatu yang benar-benar terjadi, atau mungkin akan terjadi di kemudian hari, di

dalam hidupnya. Pengalaman yang terjadi dalam kehidupan pemirsa mengenai

konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun iklan tersebut hanyalah sebatas

keinginan saja. Begitupula cara-cara maupun usaha-usaha yang dilakukan mereka

untuk memperoleh keluarga dengan formasi ideal tersebut tidak begitu tinggi atau

kuat. Karena mereka memandang konstruksi sosial itu hanya merupakan wacana

semata, memilikinya memang adalah sebuah keinginan, namun apabila tidak

memilikinya maka tidak menjadi masalah yang besar bagi mereka.

Dari uraian di atas, dapat ditarik teoritisasi dari penelitian seperti bagan

yang ada di bawah ini. Bagan berikut dapat menggambarkan bagaimana teori

bekerja pada proses konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan di

televisi dan menerangkan bahwa iklan televisi adalah media untuk

mengkomunikasikan individu (masyarakat pemirsa) dengan materi (produk) yang

diiklankan. Selain itu untuk membangkitkan citra produk yang diiklankan, maka

digunakanlan simbol-simbol untuk membangun citra, makna serta kesadaran

terhadap sebuah realitas sosial. Simbol-simbol yang menjadi acuan di masyarakat

atau dengan kata lain adalah simbol-simbol yang dimodernkan oleh masyarakat.

Teknologi media televisi saat ini mampu menciptakan realitas sosial yang

menyerupai realitas sebenarnya di masyarakat. Hampir tidak ada lagi perbedaan

antara kehidupan nyata dan dunia yang digambarkan dalam televisi yang

dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempura sehingga

tak terkesan imaginater. Ketika peristiwa tayangan iklan televisi itu ditonton,

maka tontonan itu tidak sekedar hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi

134
oleh pencipta iklan televisi terhadap pemirsa. Disadari bahwa tidak semua iklan

mengkonstruksi pemirsanya, namun dalam dunia iklan harapan bahwa iklan akan

mengkonstruksi sikap atau bahkan perilaku pemirsa merupakan harapan akhir

bagi kebanyakan sang pencipta iklan tersebut. Tanpa disadari pula setiap tayangan

iklan selalu didekonstruksi oleh pemirsa televisi itu sendiri. Proses dekonstruksi

terjadi melalui pemilihan metode penafsiran, baik terhadap teks visual iklan

maupun wacana iklan itu sendiri sebagai bagian dari pengetahuan. Proses

dekonstruksi terhadap konstruksi sosial iklan televisi ini kemudian menjadi

realitas sosial baru dalam kesadaran umum masyarakat pemirsa, kemudia

kesadaran ini membentuk realitas sosial melalui tahap eksternalisasi,

subyektivikasi dan internalisasi yang berlangsung dalam proses konstruksi sosial

iklan televisi.

Gambaran secara teoritis tentang konstruksi sosial keluarga ideal dalam

iklan televisi tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini :

135
Perusahaan Biro Iklan Konstruksi Sosial
Keluarga Ideal

Ada Keluarga
Iklan
dengan Formasi
Televisi EKSTERNALISASI
Lain

Strategi Iklan Keluarga Kesadaran /


• Ditayangkan secara Pengetahuan
konstan OBYEKTIVASI
• Ditayangkan dengan Terkonstruksi
formasi yang sama
• Target market
masyarakat keluarga Pembentukan
Indonesia Konstruksi
Tentang Keluarga
Iklan keluarga Ideal
dengan formasi
Ayah, Ibu, 2 anak
Sikap / Perilaku
(laki-laki dan
INTERNALISASI Masyarakat
perempuan)
yang
Terkonstruksi

Keterangan :

: Aspek lain yang mempengaruhi terbentuknya konstruksi sosial

keluarga ideal.

: Proses konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan televisi (awal

terbentuknya dan akibat yang ditimbulkan).

Dari bagan tersebut di atas, maka diperoleh penjelasan bahwa pengalaman

yang terjadi karena konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan

136
televisi dapat dipahami oleh peneliti. Peneliti menyimpulkan bahwa pengalaman

tentang konstruksi sosial keluarga ideal dapat terjadi karena memang pengaruh

dari bagian-bagian yang membangun iklan itu sendiri. Konstruksi sosial keluarga

ideal timbul karena memang telah direncanakan oleh pihak pembuat iklan, yaitu

dengan acuan realitas yang ada di tengah masyarakat sekarang ini. Karena

memang terbukti ada konstruksi sosial keluarga ideal dalam masyarakat oleh iklan

televisi, maka akan timbul sikap dan perilaku masyarakat yang telah terkonstruksi.

Sikap dan perilaku itu kemudian menjadi pengalaman-pengalaman yang hadir

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

dan memahami penelitian itu.

Iklan memang terbukti membentuk sebuah citra tentang bentuk keluarga

ideal, yang lama-kelamaan akan membangun sebuah konstruksi sosial dalam

masyarakat. Namun masyarakat kini sudah pintar memilah-milah antara harapan

dan kenyataan, antara yang semu hasil karya media dan apa yang sebenarnya

terjadi di tengah masyarakat. Meskipun masyarakat menginginkan keluarga yang

ideal dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dalam

kehidupan mereka, namun apabila akhirnya tidak memiliki, maka itu bukan

masalah yang besar untuk mereka. Masyarakat sudah cukup bijak dalam

menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal bentukan iklan tersebut. Mereka sangat

menyadari bahwa kebahagiaan seseorang bukan dinilai dari kuantitas dalam

keluarga mereka saja, yang paling penting diantara semuanya adalah kualitas

dalam keluarga. Ternyata pengaruh yang paling menonjol tentang konstruksi

sosial keluarga ideal oleh iklan televisi itu hanya terjadi pada awal pernikahan

137
saja, pengalaman yang mereka lihat di lingkungan sekitar mereka pun juga

memperlihatkan hal itu, selanjutnya pengaruh yang ditimbulkan konstruksi sosial

tentang keluarga ideal tersebut tidak lagi dipersoalkan. Semua pengalaman yang

terjadi dan semua yang ditampilkan oleh iklan televisi dapat ditanggapi oleh

masyarakat pemirsa dengan bijaksana. Meskipun media khususnya televisi

memang terbukti dapat membangun sebuah konstruksi sosial ke tengah

masyarakat, namun mereka telah pintar memilah-milah manakah yang hanya

realitas semu dan manakah yang menjadi kenyataan dalam kehidupan mereka.

BAB V

PENUTUP

138
Keluarga dalam kerangka yang ideal pada dasarnya adalah terdiri dari

ayah, ibu dan anak. Namun, bentuk keluarga ideal masa kini yang tengah populer

adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan

perempuan). Pada penelitian ini, akan tampak betapa kuatnya peranan dan

pengaruh lingkungan sosial-budaya dan media khususnya iklan televisi dalam

membentuk suatu konstruksi sosial keluarga ideal. Konstruksi sosial keluarga

ideal yang dibangun oleh iklan televisi terbukti dapat mempengaruhi pemikiran

dan pandangan masyarakat tentang sebuah keluarga. Apa yang dilakukan oleh

iklan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan sikap dan perilaku masyarakat

yang telah terkonstruksi. Sikap dan perilaku itu kemudian berkembang menjadi

pengalaman-pengalaman yang hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

pemirsa. Pengalaman-pengalaman itulah yang kemudian ingin dipahami oleh

peneliti.

Pengalaman-pengalaman tersebut dibedakan menjadi tiga tema utama,

yaitu pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi,

kemudian yang kedua adalah pengalaman pemirsa dalam menilai pandangan

masyarakat tentang keluarga ideal dan yang terakhir adalah pengalaman pemirsa

tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.

Setelah melihat dan memahami pengalaman subjektif dari informan penelitian,

peneliti menarik kesimpulan dari ketiga tema utama tersebut, bahwa masyarakat

memang mengetahui benar bahwa iklan memang telah membangun sebuah citra

tentang keluarga ideal. Keluarga ideal seakan-akan haruslah berformasi ayah, ibu,

139
dua orang anak (laki-laki dan perempuan), di luar formasi tersebut maka

dikatakan tidak ideal. Namun pada akhirnya, masyarakatlah yang mempunyai

kekuatan terbesar untuk mengendalikannya, apakah akan membuat citra tersebut

menjadi suatu keharusan dalam kehidupan mereka atau tidak. Selanjutnya,

Mereka hanya memandang citra yang ditampilkan iklan hanya sebatas mimpi

yang menjadi kenyataan, pengalaman-pengalaman yang terjadi hanya terjadi pada

awal pernikahan saja. Dalam kehidupan selanjutnya, mereka lebih menerima

dengan ikhlas segala yang diberikan oleh Tuhan. Pengalaman yang mereka lihat

di lingkungan sekitar mereka pun juga memperlihatkan hal itu, selanjutnya

pengaruh yang ditimbulkan konstruksi sosial tentang keluarga ideal tersebut tidak

lagi dipersoalkan. Masyarakat kini sudah pintar memilah-milah antara harapan

dan kenyataan, antara yang semu hasil karya media dan apa yang sebenarnya

terjadi di tengah masyarakat. Meskipun masyarakat menginginkan keluarga yang

ideal dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dalam

kehidupan mereka, namun masyarakat sudah cukup bijak dalam menyikapi

konstruksi sosial keluarga ideal bentukan iklan tersebut. Mereka sangat menyadari

bahwa kebahagiaan seseorang bukan dinilai dari kuantitas dalam keluarga mereka

saja, namun yang paling penting diantara semuanya adalah kualitas dalam

keluarga.

Implikasi Hasil Studi

140
Dalam implikasi hasil studi ini, akan dipaparkan beberapa implikasi studi

tentang konstruksi sosial keluarga ideal oleh iklan televisi.

Implikasi studi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Implikasi penelitian dalam tataran akademis (teoritis)

Secara akademis atau teoritis, penelitian ini berhasil mengembangkan

pemikiran teoritik baru mengenai bagaimana seharusnya masyarakat

menyikapi isu-isu tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun

oleh iklan televisi yang berkembang dalam masyarakat. Bahwa konstruksi

sosial keluarga ideal oleh iklan televisi memang diinterpretasikan berbeda-

beda oleh setiap pemirsa televisi, namun pengalaman yang terjadi sebagai

akibat dari pengaruh konstruksi sosial itu kurang lebih sama, khususnya

dalam penelitian ini. Pemikiran teoritik yang berhasil dikembangkan

adalah bahwa konstruksi sosial bentukan iklan televisi haruslah ditanggapi

secara bijaksana oleh pemirsa, karena terbukti apa yang ditampilkan dalam

layar kaca tidak selalu terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat. Iklan

hanyalah menampilkan apa yang dianggap pantas, normal dan normatif

kepada seluruh masyarakat, padahal sebenarnya masyarakat adalah

heterogen. Jadi tidak sepantasnya media khususnya iklan televisi

melakukan homogenisasi atas sesuatu hal di tengah masyarakat yang

heterogen.

2. Implikasi penelitian dalam tataran praktis

141
Dalam tataran praktis, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang

pemahaman keluarga ideal yang sebenarnya dalam masyarakat. Pada

dasarnya, keluarga ideal dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak

(laki-laki dan perempuan) adalah merupakan basic needs setiap orang dan

setiap masyarakat keluarga Indonesia. Meskipun demikian, keinginan

untuk memperoleh keluarga dengan formasi ”ala iklan” tersebut bukan

menjadi keharusan yang harus dimiliki oleh setiap individu masyarakat.

Keluarga ideal, sebenarnya keluarga yang lebih mengedepankan aspek

kualitas dibandingkan dengan aspek-aspek lain dalam sebuah keluarga.

Kuantitas terbukti bukan merupakan jaminan kebahagiaan dalam sebuah

keluarga. Setiap anak dalam keluarga mempunyai nilai yang sama, tidak

ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Jumlah dan jenis kelamin

bukanlah faktor penentu untuk menilai baik buruknya seorang anak.

Kualitas keluarga, dan kualitas setiap anggota keluargalah yang

menentukan keberhasilan dan kebahagiaan sebuah keluarga.

3. Implikasi penelitian dalam tataran sosial

Semua pengalaman yang terjadi sebagai akibat dari konstruksi sosial

keluarga ideal oleh iklan televisi dapat ditanggapi oleh masyarakat

pemirsa dengan bijaksana. Meskipun masyarakat menginginkan keluarga

yang ideal dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan

perempuan) dalam kehidupan mereka, namun apabila akhirnya tidak

memiliki, maka itu bukan masalah yang besar untuk mereka. Media

khususnya televisi memang terbukti dapat membangun sebuah konstruksi

142
sosial ke tengah masyarakat, namun masyarakat kini sudah pintar

memilah-milah antara harapan dan kenyataan, antara yang semu hasil

karya media dan apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

143
Buku :

Bungin, Burhan. 2001. Erotika Media Massa. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta : Jendela.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi. Yogyakarta dan Bandung :

Jalasutra.

De Vito, A. Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia Edisi Kelima. Professional

Books.

Guba, Egon G & Yvonna S. Lincoln. 1994. Competing Paradigms in Qualitative

Research. Dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln (ed).

Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, California : SAGE

Publications.

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Cet.III. Jakarta : Erlangga.

Khairuddin, H. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta : Liberty.

Littlejohn, W. Stephen. 1998. Theories of Human Communications Sixth Edition.

Belmont, California : Wadsworth Publishing Company.

144
McQuaill, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar Edisi Kedua.

Terjemahan Agus Dharma & Aminuddin Ram. Jakarta : Erlangga.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya.

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Method. California : SAGE

Publication.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta :

LP3ES.

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Winarni. 2003. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Malang : Universitas

Muhammadiyah Malang.

Artikel :

Manalu, S. Rouli. Keseragaman Content Media Televisi dalam Interpretasi

Audiens. Dalam Interaksi, Jurnal Ilmu Komunikasi. Jurusan Ilmu

Komunikasi FISIP Undip Semarang Volume I/ No. 1/Januari-Juni 2007.

145
Rahardjo, Turnomo. Paradigma Penelititan Komunikasi Antar Budaya. Dalam

Interaksi, Jurnal Ilmu Komunikasi. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip

Semarang Volume I/ No. 1/Januari-Juni 2007.

Internet :

http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi

http://www.boulevard.or.id/?cat=7

http://www.bkkbn.go.id/yogya/article_detail.php?aid=2

http://www.google.com

http://www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/kartu_keluarga.htm

146

Anda mungkin juga menyukai