PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
dasar dan utama dalam kehidupan. Keluarga adalah merupakan kelompok primer
sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang tinggal
bersama dan makan dari satu dapur yang tidak terbatas pada orang-orang yang
mempunyai hubungan darah saja, atau seseorang yang mendiami sebagian atau
(http://www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/kartu_keluarga.htm). Keluarga
mempunyai berbagai macam bentuk, dan dalam masyarakat itu sendiri pasti akan
dijumpai sebuah keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti
tersebut merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri beserta
rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan
proses pergaulan hidup. Suatu keluarga batih dianggap sebagai suatu sistem
sosial, oleh karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang pada pokoknya
tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas (Soekanto, 2004 : 1).
Formasi keluarga sangatlah beragam. Terdiri dari ayah dan ibu saja tanpa
anak; single parent; ayah, ibu dan banyak anak; ayah, ibu dan satu orang anak;
1
ayah, ibu dan dua orang anak; dan masih banyak lagi. Semuanya itu dapat juga
inti ideal adalah yang mempunyai formasi ayah, ibu dan dua orang anak (biasanya
adalah beragam, tetapi pada umumnya adalah serupa karena masyarakat memiliki
suatu keluarga. Ciri-ciri pokok keluarga inti yang ideal, pada dasarnya berkisar
pada aspek-aspek logis, etis dan estetis yang dapat dinamakan kebenaran atau
ketepatan, keserasian dan keindahan. Ketiga aspek itu sebenarnya merupakan hal-
hal yang seharusnya serasi dalam kehidupan sehari-hari, yang terwujud (atau
terbukti) dalam tingkah laku sehari-hari manusia (Soekanto, 2004 : 6). Oleh
karena itu, keluarga yang tidak ”utuh” sekalipun dapat juga dikatakan ideal dan
tetap dapat menjalankan kehidupan dengan baik. Serta dapat tetap berprestasi
Jaya Suprana, orang Tionghoa yang besar dalam budaya Jawa. Pria
bertubuh tambun dan berkacamata tebal yang lahir di Bali, Denpasar, 27
Januari 1949 ini akrab di hadapan publik lewat acara televisi Jaya
Suprana Show di TPI. Mempunyai seorang istri bernama Julia Suprana.
Pada 27 Januari 1990, ia mendirikan Museum Rekor Indonesia (MURI)
sebagai bagian dari visi ke depannya untuk menghimpun semua prestasi,
perilaku, dan kegiatan yang unik, langka, dan kreatif. Berkat kerja keras
dan ketekunannya, ia memperoleh puluhan penghargaan nasional
maupun internasional dalam bidang seni musik (dari Freundeskreis des
Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard,
Belanda), kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), komputer (Best in
Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), industri-
bisnis (The Best Executive Award 1998), prestasi perusahaan (Trade
Leader's Club, Madrid, dan Institut pour Selection de la Qualite, Belgia),
lingkungan hidup (Sahwali Award 1997), kemanusiaan (Duta
Kemanusiaan 1991 - 1992 Palang Merah Indonesia), dan lain-lain.
2
Sebagai kartunis, lulusan Musikhochschule Muenster dan
Folkwanghochschule Essen, Jerman ini telah menggelarkan karyanya di
Jerman, Norwegia, dan Indonesia sendiri. Sedangkan untuk urusan musik,
selama ini Jaya dikenal sebagai komponis dan pianis andal yang sudah
tampil di berbagai negara di Eropa, Amerika, Aljazair, Selandia Baru,
dan lain-lain. Kini, di usianya yang semakin senja, tanpa seorang anak,
Jaya tetap berkarya, berbuat kebaikan dan suka memberi. Ia mengangkat
anak asuh dan mendirikan Panti Asuhan Rotary-Suprana. Di atas tanah
warisan almarhumah ibunya, Lily Suprana, seluas 900 m2 di kawasan
Candi Baru, Semarang, kini tinggal sekitar 10 orang anak. Semuanya
lelaki. Perkembangan panti yang biaya operasionalnya didukung bersama
dengan Yayasan Rotary ini memang bagus karena kebanyakan anak
asuhnya memperoleh ranking di kelasnya masing-masing. Bahkan bagi
anak yang mendapat rangking 1 diberikan hadiah atas prestasinya itu
(http://galeripublik.multiply.com/journal/item/21).
tidak dapat diukur dengan hanya sebatas bagaimana bentuk keluarganya saja,
oleh Rr Susiyati Ma’ruf, Ketua Umum Tim Penggerak PKK Pusat, keluarga ideal
Indonesia yang tediri dari multi etnis dan kemajemukan itu, adalah keluarga yang
mampu menghargai dan memelihara sikap sopan santun, etika dan kebersamaan
serta ras. Dimana dalam praktek kehidupannya selalu berusaha memelihara dan
yang dihadapi setiap hari (http://www.google.com). Oleh karena itu, sangat jelas
bahwa keidealan sebuah keluarga tidak hanya diukur dari formasi semata, namun
selalu diidentikkan dengan ”banyak anak banyak rejeki”, akan tetapi sekarang
3
pandangan itu berubah dengan banyaknya formasi keluarga yang ada di
masyarakat. Formasi keluarga ideal paling populer adalah ”ayah, ibu dan dua
orang anak (laki-laki dan perempuan)”, yang kemudian seakan menjadi formasi
wajib dalam sebuah keluarga. Citra keluarga ideal tersebut juga diperkuat dengan
adanya pengaruh yang kuat pula dari media, khususnya media televisi.
Seperti dapat kita lihat pada kedua contoh iklan berikut. Dalam iklan
Masako Rasa Sapi episode ”Masak Bakso” tahun 2007, ditampilkan dengan
Masako. Si ibu memasak dengan riang gembira, kemudian setelah matang, dia
laki, dan si anak perempuan. Mereka datang dengan ekspresi yang terlihat sangat
keluarga mereka yang amat bahagia”. Kemudian sebagai contoh lain, dalam iklan
provider Telkomsel Siaga episode ”Mudik” tahun 2007 lalu, diceritakan bahwa
”Ada sebuah keluarga yang akan mudik ke kampung halaman orang tuanya saat
menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ditampilkan keluarga tersebut ada Ayah, Ibu,
perjalanan nanti. Kemudian setelah semua siap, mereka lalu berangkat dengan
mengendarai mobil yang dikemudikan oleh si Ayah. Si ibu dan kedua orang
4
anaknya bernyanyi-nyanyi disepanjang perjalanan dengan ekspresi yang sangat
bahagia.”
terdapat sebuah bentuk keluarga yang dapat menimbulkan persepsi dari orang
yang melihatnya. Bentuk keluarga yang ada dalam iklan tersebut terdiri dari
anggota keluarga yang sama, yaitu Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan
yang selalu menampilkan formasi dan posisi yang sama (seperti yang terlihat pada
memasak dan penyayang). Kita dapat mengatakan seorang laki-laki sebagai Ayah,
layaknya seorang ayah), non-verbal (tegas, bisa melindungi, bahasa tubuh dsb)
seperti seorang Ayah seharusnya. Begitupula pada sosok perempuan yang menjadi
seorang Ibu. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa representasi timbul akibat dari
harapan tentang suatu ”identitas” awal. Seperti yang dikemukakan oleh Andreas
kesalahan berpikir di masyarakat (konstruksi sosial yang salah). Lihat saja, mulai
dari iklan produk penyedap masakan sampai iklan provider, mengapa selalu
menampilkan keluarga seperti itu? citra dua orang anak mengapa sangat
iklan tersebut kemudian membentuk suatu realitas sosial tertentu. Realitas sosial
5
hubungan sosial, perbedaan sosial, status dan kekuasaan (Burton, 2007 : 206).
Padahal realitas sosial yang dikonstruksikan oleh media tidak selalu sama dengan
realitas yang ada dalam masyarakat. Iklan merupakan salah satu arena yang
luas. Timbul anggapan bahwa keluarga yang memiliki dua orang anak adalah
keluarga modern, yang pada akhirnya juga dikaitkan pada status sosial seseorang
di masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Bungin (2001 : 26), iklan televisi
dapat dilihat sebagai bagian dari konstruksi simbol bahasa budaya dalam
masyarakat kapitalis ataupun bahasa kelas sosial. Dengan status sosial tinggi,
keluarga ideal ”ala iklan” dengan mudah. Hal tersebut dapat tercermin dari
(KB) untuk mewujudkan ”dua anak cukup”; memiliki pandangan ke depan dalam
kehidupan yang layak, dan kemudian pasti sangat tidak menyetujui slogan
”banyak anak banyak rejeki”; melakukan teknologi bayi tabung bagi orang tua
yang kurang beruntung dalam memiliki keturunan atau untuk menentukan jenis
kelamin apa yang diinginkan; dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat kita lihat
dengan, bahwa saat ini Indonesia yang berpenduduk 226 juta jiwa masih memiliki
24 juta keluarga miskin dari sekitar 53 juta keluarga yang ada. Dari jumlah
keluarga miskin sebanyak itu, sebagian besar adalah petani kecil atau buruh
6
akses untuk berkembang sama sekali. Ironisnya, karena kemiskinannya itu telah
keluarga-keluarga miskin di negara kita. Bahkan sekitar satu tahun lalu pernah
Jawa Barat. Saat itu, seorang ibu tega menghabisi ketiga anaknya yang masih
ibu muda yang ternyata berpendidikan dan ekonomi sejahtera itu, keluar
yang masih memiliki banyak anak sekarang ini diidentikkan dengan keluarga
”kuno”, orang tua yang tidak memiliki keturunan dikatakan ”tidak ideal”,
keluarga yang broken home dikatakan ”tidak utuh”. Sehingga dapat disimpulkan
termanifestasikan.
7
seseorang, sehingga muncul beberapa perilaku dalam masyarakat seperti yang
telah dikemukakan di atas, juga seperti ketika seorang suami yang tidak dapat
memiliki salah satu anak (laki-laki atau perempuan) tega menceraikan istrinya
demi mendapatkan keturunan yang lengkap, yang dipikirnya bisa didapat dari
wanita lain; Ayah yang menyia-nyiakan anak pertamanya yang ternyata lahir
yang dengan rela meninggalkan suaminya karena dia tidak dapat memberikan
tentang keluarga ideal. Beragam fenomena, baik positif maupun negatif mewarnai
”keluarga ideal”.
Iklan, saat ini tidak lagi hanya dapat dipandang sebagai bentuk media yang
memberi informasi kepada konsumen mengenai produk tertentu, tetapi lebih dari
itu, ia menawarkan suatu ideologi, gaya hidup, dan citra. Sebagaimana diketahui,
kata Bungin, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang
Sekilas, lanjutnya, wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media
menjadi sebuah kebenaran general (mutlak) tentang sebuah keluarga ideal yang
8
masyarakat yang telah mengetahui adanya konstruksi sosial keluarga ideal
Iklan memang telah menjadi bagian dari masyarakat yang begitu powerfull
itu gaya, dan apa itu selera bagus, bukan sebagai kemungkinan atau saran,
melainkan sebagai tujuan yang diinginkan dan tidak bisa untuk dipertanyakan
(Noviani, 2002 : 49). Oleh karena itu, iklan secara tidak langsung membangun
konstruksi sosial atas suatu hal dalam masyarakat. Namun konstruksi sosial
tersebut tidak terbentuk secara tiba-tiba, namun melalui beberapa tahap penting
konstruksi, yang merupakan tugas redaksi media massa, dalam hal ini para desk
editor dalam sebuah iklan; (b) tahap sebaran konstruksi, pada umumnya, sebaran
9
konstruksi, dimana pemberitaan telah sampai pada pemirsanya, yaitu terjadi
tersebut memang hanya tertuju pada suatu sasaran atau target market, yaitu
pemirsa yang nantinya diharapkan dapat menjadi konsumen dari produk yang
diiklankan. Namun, iklan juga merupakan salah satu bentuk komunikasi yang
pemirsanya, dan agar tujuan utama dibuatnya suatu iklan dapat tercapai, misalnya
agar penjualan dari produk yang diiklankan dapat meningkat (Jefkins, 1997 : 15).
Beberapa macam contoh iklan lain dengan produk yang lain pula yang
(iklan bumbu Sasa Serbaguna episode ”Rieke Dyah Pitaloka”); iklan minyak
goreng (iklan minyak goreng Tropical episode ”Lebaran”); iklan mi instan (iklan
Mi Kare episode ”Ibu Makan Terus”); iklan susu (iklan susu SGM 3 dan 4 episode
Sehat”, iklan VitaZone episode ”Kerjasama dengan IDI”), dan masih banyak lagi.
Tetapi pada dasarnya iklan hanya terbatas pada sifat persuasif kepada
publik. Meskipun begitu, iklan juga mempunyai kekuatan sosial yang besar untuk
dapat membentuk suatu penilaian yang seragam (stereotype) tentang suatu hal
dalam masyarakat. Budaya media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan
10
merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan,
membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi
hanya dalam televisi. Realitas itu dibangun berdasarkan pada gambaran relitas
seorang copywriter dan visualiser tentang dunia atau citra produk yang
distorsi yang mampu menciptakan cerita realitas lain yang terus-menerus hidup
dalam pikiran tersebut (Bungin, 2006 : 217). Iklan dapat menimbulkan pengaruh
bagi kehidupan sosial dan budaya dari masyarakat yang melihatnya. Iklan dengan
model keluarga ideal sering bermunculan di televisi sebagai salah satu trend
kebanyakan iklan keluarga. Padahal dalam kehidupan nyata banyak keluarga yang
tidak terdiri dari Ayah, Ibu dan dua orang anak yang masing-masing laki-laki dan
pasti akan mengatahui adanya konstruksi sosial keluarga ideal oleh iklan televisi
tersebut, karena dengan penayangan iklan yang secara konstan, bentuk iklan yang
bahwa konstruksi sosial tentang keluarga ideal tersebut telah merasuk dalam diri
11
kemudian menimbulkan perilaku-perilaku tertentu sebagai bentuk penyikapan
terhadap iklan keluarga dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah hal yang
menarik untuk diteliti. Televisi belum bisa memberikan porsi yang cukup untuk
keluarga dengan formasi yang berbeda dari formasi di atas. Antara kenyataan dan
keluarga lain seharusnya memiliki porsi yang sama dalam iklan televisi, meskipun
keluarga ideal antar individu sebagai pemirsa berbeda-beda, maka penelitian ini
mereka.
B. PERUMUSAN MASALAH
sistem teknologi yang baik atau masyarakat teknologi (Bungin, 2006 : 16). Media
kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur, 2002 : 30).
Media melalui iklan telah banyak merepresentasikan konstruksi sosial yang ada
12
masyarakat. Iklan mendominasi media, memiliki kekuatan yang sangat besar
kelompok institusi yang sangat terbatas yang melakukan kontrol sosial. Padahal
apapun yang ditampilkan media sebenarnya bukanlah cermin realitas sosial yang
berbagai produk yang harus menampilkan tokoh ”keluarga” selalu saja identik
dengan formasi : Ayah (sebagai kepala keluarga), Ibu, dan dua orang anak
dan interpretasi pada masyarakat mengenai bentuk atau konsep keluarga ideal
yang seakan sepertinya ”harus” dimiliki oleh setiap keluarga di Indonesia agar
keluarganya dapat hidup bahagia. Hal tersebut dapat kita lihat pada banyaknya
televisi tersebut, karena ada yang menyikapi secara positif, namun banyak juga
mereka bahwa mereka pasti akan merasakan hidup tidak baik dan tidak bahagia
sepanjang hidupnya. Hal itulah yang secara tidak sadar kemudian menjadi momok
bagi seluruh masyarakat, sehingga konstruksi sosial yang dibangun iklan tersebut
13
secara langsung maupun tidak langsung, akan berimplikasi pula terhadap
Dibalik persepsi masyarakat terhadap keluarga ideal yang ada dalam iklan
keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan dua orang anak (masing-masing laki-laki
memiliki konsep lain (tidak harus terdiri dari ayah, Ibu dan dua orang anak yang
setiap hari masyarakat selalu disuguhi gambaran keluarga ideal yang dibangun
oleh iklan. Apalagi dengan kelebihan audio visual yang dimiliki, televisi mampu
menciptakan suatu keadaan yang mereka inginkan dan membuat pemirsa menjadi
larut dalam suasana yang ditampilkan dan dengan segera dapat mengutip pesan-
pesan baik verbal maupun non verbal yang sengaja ditampilkan oleh iklan.
konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun iklan tersebut juga tidak sedikit
merasuk ke dalam keseharian dan juga pengalaman mereka. Efek-efek yang dapat
terjadi, antara lain adalah timbulnya keinginan dalam diri masyarakat untuk
mempunyai keluarga ideal ”ala iklan” dalam hidupnya, menjadikan keluarga ideal
sebagai cita-cita pencapaian hidup, dan ironisnya, apabila hal tersebut tidak
terwujud maka ada juga sebagian masyarakat yang menghalalkan segala cara
14
untuk mewujudkannya. Berikut berbagai contoh fenomena negatif yang kerap
terjadi di tengah masyarakat kita, yaitu : Seorang suami yang tidak dapat memiliki
salah satu anak (laki-laki atau perempuan) tega menceraikan istrinya demi
mendapatkan keturunan yang lengkap, yang dipikirnya bisa didapat dari wanita
lain; Ayah yang menyia-nyiakan anak pertamanya yang ternyata lahir perempuan,
karena yang diidam-idamkannya adalah anak pertama laki-laki; Istri yang dengan
rela meninggalkan suaminya karena dia tidak dapat memberikan keturunan, dan
masih banyak lagi. Dengan iklan televisi yang selalu menampilkan formasi-
dilakukan di ruang publik (yaitu iklan televisi), karena standar keidealan sebuah
keluarga tidak dapat diputuskan hanya dengan tayangan sebuah iklan semata,
kenyataannya adalah multikultural (Ewen dalam Noviani, 2002 : 17). Karena pada
dasarnya banyak bentuk atau formasi keluarga lain yang bisa juga dianggap ideal,
tergantung dari budaya dan persepsi masyarakat itu sendiri. Namun pada
selain itu masyarakat sebagai pemirsa televisi juga ikut mengamini adanya
15
konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dibangun oleh iklan televisi. Hal
konstruksi sosial keluarga ideal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Disinilah
tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.
C. TUJUAN PENELITIAN
D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
D. 1. Signifikansi Teoritis
isu-isu tentang keluarga yang berkembang dalam masyarakat, dalam hal ini
adalah mengenai isu konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dibangun iklan
televisi.
16
D. 2. Signifikansi Praktis
samping itu, studi ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
ideal (keluarga dengan formasi Ayah, Ibu dan dua orang anak, laki-laki dan
perempuan).
D. 3. Signifikansi Sosial
yang mana dimaksudkan agar dijadikan referensi bagi masyarakat luas dalam
bentuk keluarga ideal (Ayah, Ibu dan dua orang anak laki-laki dan perempuan).
E. KERANGKA TEORI
untuk kita batasi. Lebih jauh dikatakan media massa ditengah-tengah masyarakat
urban modern memiliki peran yang penting bahkan mengkonsumsi media massa
telah menjadi bagian dari aktivitas keseharian Pada dasarnya media massa tidak
dapat dilepaskan dari konteks sosialnya, kondisi politik, ekonomi, dan budaya,
dimana media tersebut berada akan berpengaruh terhadap apa yang disajikan oleh
17
media. Media massa termasuk televisi memiliki beberapa fungsi penting. Media
Media massa juga merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan
inovasi dalam masyarakat. Media massa seringkali juga berperan sebagai wahana
mode, gaya hidup dan norma-norma. Selain itu media telah menjadi sumber
dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas
sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif, media
media hiburan. Televisi juga merupakan salah satu kekuatan yang membentuk
opini publik, bahkan menciptakan citra (image) dalam suatu masyarakat. Industri
teknologi komunikasi. Iklan adalah salah satu contoh dari hasil pertumbuhan
menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media.
Lebih jauh, media melalui iklan telah banyak merepresentasikan konstruksi sosial
yang ada dalam masyarakat. Iklan dipercaya mempunyai kekuatan yang besar
dalam masyarakat. Ketika peristiwa tayangan iklan televisi itu ditonton, maka
18
tontonan itu tidak sekedar hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi oleh
pencipta iklan televisi terhadap pemirsa (Bungin, 2001 : 37). Televisi biasanya
dijadikan pilihan pertama untuk mengiklankan produk karena efeknya yang luas
Produk harus menjadi bagian dari cerita budaya. Dalam konteks keluarga dalam
yang berwujud formasi tertentu yang secara stereotype melekat pada citra
keluarga, seperti formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan).
tanda atau citra itu tidak merefleksikan realitas tetapi mengatakan sesuatu tentang
realitas. Isi media juga merupakan hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai
realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh
sebuah keluarga ideal yang kemudian diyakini dan dimaknai masyarakat sebagai
19
E. 1. Genre Interpretif sebagai Paradigma Berpikir
fenomena yang terjadi sebagai akibat dari konstruksi sosial keluarga ideal
disebut dengan paradigma, tidak bisa dipungkiri pula bahwa media massa
orientasi berpikir seseorang (Guba & Lincoln dalam Denzin & Lincoln (ed),
1994 : 107).
bahwa realitas bersifat eksternal terhadap manusia, tetapi juga berasumsi bahwa
peneliti ilmu sosial cenderung melihat komunikasi dipengaruhi oleh budaya, maka
Hal. 29). Oleh karena itu, paradigma interpretif sebagai dasar kerangka berpikir,
20
muncul dalam memaknai dan menginterpretasikan iklan keluarga ideal yang ada
di televisi.
masyarakat tersebut, sehingga kita akan memahami dengan lebih baik makna
pengaruh yang ditimbulkan oleh iklan dan bagaimana setiap individu tersebut
dalam studi ini, maka gagasan teoritik yang memiliki ketertarikan dengan genre
yang berasal dari kesadaran, atau cara dimana orang-orang menjadi paham akan
(Littlejohn, 1998 : 199). Asumsi pokok dari gagasan fenomenologi adalah bahwa
memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi, dalam bahasa
makna terhadap sesuatu yang diamati, seperti misalnya sebuah teks, sebuah
21
tindakan, atau suatu situasi, yang kesemuanya dapat disebut sebagai pengalaman
(experience).
mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomen ke
yang tampak.
kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya daripada dirinya sendiri. Peneliti
perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam Moleong, 2005). Hal ini
berangkat dari arti asal kata fenomenologis yaitu “fenomena” atau gejala alamiah.
subyek yang diamati. Sehingga yang ditekankan adalah aspek subyektif dari
para subyek yang diteliti sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan
22
Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dengan cara melihat dan
lain, cara seseorang memahami suatu objek atau suatu kejadian merupakan suatu
fenomena. Fenomena sendiri adalah penampakan atau kehadiran dari suatu objek,
kejadian atau kondisi dalam persepsi suatu individu. Jadi apa yang timbul dalam
kesadaran kita adalah suatu fenomena. Dan realitas dalam fenomenologi adalah
cara dari suatu hal yang timbul dalam kesadaran persepsi dari individu.
Ayah, Ibu dan dua orang anak laki-laki dan perempuan) saat ini, dapat dijadikan
timbul dalam kesadaran mereka. Fenomena ini menjadi sesuatu yang bernilai
untuk dicermati karena setiap fenomena merepresentasikan suatu titik awal yang
tepat untuk penyelidikan. Karena apa yang ada dalam persepsi kita tentang suatu
hal bukanlah suatu ilusi yang kosong, tetapi tersedia sebagai awal yang esensial
dari suatu pengetahuan yang mencari determinasi yang valid dan terbuka untuk
23
diverifikasi semua orang. Prinsip-prinsip ini membuat objektivitas dalam
objektif timbul hanya melalui representasi dalam pikiran (ketika hal tersebut
menyatakan realitas yang objektif ada dalam realitas subjektif yang sebenarnya
(Manalu. 2007. Dalam Interaksi, Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. I. Hal. 122-123).
manusia. Fenomena ini menarik para ilmuwan komunikasi melihat sejauh mana
bagaimanakah media massa masuk dan bekerja sama dalam rutinitas kehidupan
dianggap sebagai agen budaya, yang berfungsi sebagai pembawa dan sirkulator
dari makna. Sebagai media massa, televisi juga dianggap mempunyai fungsi untuk
memproduksi makna dan bahkan penuh dengan makna potensial yang berusaha
untuk mengontrol dan memfokuskan makna tertentu kepada satu makna tunggal
yang menampilkan ideologi dominan (Manalu. 2007. Dalam Interaksi, Jurnal Ilmu
Komunikasi Vol. I. Hal. 120). Televisi merupakan pengalaman yang dimiliki oleh
hampir semua orang, maka televisi mempunyai efek dalam cara memandang
24
sebab televisi diyakini menjadi homogenizing agent dalam budaya. Cultivation
oleh televisi dalam suatu periode terpaan yang panjang, lebih dari sekedar melalui
Kekuatan media televisi itu sendiri sebagai media penyampai pesan, sudah
yang pernah dilakukan. Peran televisi sudah demikian penting dalam kehidupan
masyarakat dan sudah memasuki deretan kebutuhan yang bukan saja penting,
tetapi juga mutlak untuk dipenuhi. Daya jangkau yang luas dan kemampuan
penyampaian pesan secara audio visual, membuat hal-hal yang ditampilkan dalam
televisi memiliki pengaruh besar dalam dimensi kognisi maupun afeksi khalayak.
Penggambaran yang ada dalam televisi juga akan dapat menciptakan sensasi
dimana media menyiarkan gambaran, nilai dan gaya hidup yang mungkin dapat
menjadi preferensi publik. Namun disisi lain manusia ataupun audiens merupakan
makhluk yang memiliki akal pikiran dan rasio untuk memaknai semua yang
kesadaran. Hal ini juga akan melahirkan suatu ilmu pengetahuan tentang apa yang
(Hegel dalam Moustakas, 1994 : 26). Ini akan menimbulkan suatu fenomena.
Menurut Husserl, apa yang timbul dari kesadaran manusia adalah suatu fenomena.
25
Dan setiap fenomena merepresentasikan titik awal yang sangat cocok untuk suatu
penelitian. Apa yang timbul dalam persepsi kita tentang sesuatu adalah
merupakan wujud dari sesuatu itu sendiri, dan bukan merupakan ilusi yang
kosong. Dan hal itu menyajikan permulaan yang penting dari suatu ilmu
pengetahuan yang mencari determinasi yang valid dan terbuka untuk diverifikasi
televisi, merupakan sarana utama untuk belajar tentang masyarakat dan kultur
yang ada. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk
suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan (Littlejohn, 1998 :
344). Oleh karena iklan televisi adalah merupakan homogenizing agent terbesar,
maka dalam kasus iklan keluarga yang selalu menampilkan formasi ayah, ibu dan
dua orang anak (laki-laki dan perempuan) yang selalu ditampilkan oleh iklan
televisi, maka akan membangun sebuah citra realitas tentang formasi keluarga
327). Media massa adalah media yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
26
menyebarluaskan pengalamannya yang melampaui jarak untuk mempengaruhi
yang ada dalam masyarakat. Iklan dipercaya mempunyai kekuatan yang besar
besar dalam membentuk standar-standar sosial, dan iklan merupakan salah satu
kelompok institusi yang sangat terbatas yang melakukan kontrol sosial. Iklan
televisi adalah wacana, pengetahuan, atau teks visual yang disebarkan melalui
televisi dan ditonton oleh individu atau kelompok di masyarakat. Ketika peristiwa
tayangan iklan televisi itu ditonton, maka tontonan itu tidak sekedar hiburan,
namun terjadi pula proses konstruksi oleh pencipta iklan televisi terhadap pemirsa
(Bungin, 2001 : 37). Jadi iklan merupakan sebuah usaha untuk membangun,
simbol yang diberikan pengiklan terhadap produk atau jasa. Dari sini, terlihat
penggunaan simbol dan bahasa. Ideologi, kata Magnis Suseno, paling umum
dipergunakan dalam arti ”kesadaran palsu”, yakni sebagai klaim yang tidak wajar,
atau sebagai teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada
27
sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi, entah disadari, entah tidak
(Sobur, 2001:66).
sosial itu pada dasarnya adalah ambigu, dimana obyek , aktor, kondisi dan
peristiwa tidak memiliki makna yang inheren. Makna diciptakan melalui tindakan
dibatasi dan sifatnya relatif terhadap konteks sosial dimana makna itu diciptakan.
berdasarkan pada makna tersebut tanpa melakukan penilaian kembali dan tanpa
menyatakan bahwa iklan itu bukan sebuah cermin realitas yang jujur. Tapi, iklan
tanda atau citra itu tidak merefleksikan realitas tetapi mengatakan sesuatu tentang
realitas. Seperti yang dikemukakan oleh Marchand (dalam Noviani, 2002 : 53-54)
”iklan itu adalah sebuah cermin masyarakat, A Mirror on The Wall, yang lebih
Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas
yang dipilihnya (Sobur, 2002 : 88). Isi media juga merupakan hasil konstruksi
28
realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja
sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti
apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Deetz (dalam
langsung dari pengalaman yang disadari. Makna : dari suatu hal yang berisi
dunia sosial adalah produk manusia, ia adalah konstruksi manusia dan bukan
sesuatu yang given (Noviani, 2002 : 51), dan khalayak dalam sebuah proses
mengatakan hal yang sebenarnya ketika klaim-klaim sumber itu konsisten dengan
makna-makna yang dikonstruksi secara sosial yang mereka yakini (2002 : 59).
pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam
29
Sociological of Knowledge (1996), dia menggambarkan proses sosial melalui
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2001 :
10). Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan
tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif.. Karena itu konstruksi
harus dilakukan sendiri, dan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
Luasnya khalayak komunikasi massa adalah bagi siapa saja yang dapat
menerima pesan tersebut, bukan terbatas bagi orang atau golongan tertentu saja
(Winarni, 2003 : 41). Sehingga, apa yang disampaikan oleh media massa tidak
dapat dibatasi siapa sajakah yang boleh atau tidak boleh menerimanya. Padahal
setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu hal, oleh karena itu
keluarga ideal tersebut. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang
dalam konteks sosial. Hal ini dianggap sebagai pendapat yang cukup mengejutkan
dan revolusioner, karena hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih
dapat dilihat dengan hampir seluruh iklan yang berbau keluarga selalu
metampilkan sebuah keluarga yang terdiri dari formasi Ayah, ibu dan dua orang
anak (laki-laki dan perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Secara
tidak sadar masyarakat kemudian menjadikan gambaran yang ada dalam iklan itu
30
sebagai kiblat dalam membentuk sebuah keluarga. Sebagaimana diketahui,
menurut Bungin, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang
Sekilas, lanjutnya, wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media
dengan formasi Ayah, ibu dan dua orang anak (dianggap sebagai keluarga ideal),
menunjukkan wajah yang sama dan sebangun sebagai bentuk iklan keluarga.
sebagai pemirsa televisi adalah hal yang menarik untuk dicermati. Gambaran
iklan keluarga yang dihadirkan oleh televisi kita dikhawatirkan akan berdampak
identitas budayanya dikondisikan untuk menelan sesuatu yang asing bagi dirinya.
yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat. Namun selain fenomena yang
bersifat empirik, fenomena ini juga hadir dalam pikiran dan kesadaran audiens
pemahaman tertentu dalam diri individu. Jadi fenomena empirik yang sama itu
dapat menjadi fenomena yang berbeda dalam alam pikiran audiens secara
individu.
31
Implementasi keseragaman tentang bentuk suatu ”keluarga ideal” tersebut
dapat kita lihat pada, bahwa fenomena bentuk dan formasi keluarga ideal pada
Formasi sebuah keluarga ideal yang berisi Ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki
Berencana "Dua Anak Cukup!". Slogan ‘Dua Anak Cukup’ tersebut kemudian
dikembangkan menjadi visi ”jumlah anak yang ideal” yang dikemas melalui
Berencana (KB) sejak dicanangkan pada tahun 1970. Akan tetapi sasarannya lebih
pada aspek demografis, yaitu menekan laju pertumbuhan penduduk saja. Namun
caranya agar dapat hidup bahagia, yaitu salah satunya dengan memiliki keluarga
Peran lebih mengacu pada harapan (roles refer to expected) dan tidak
sekedar pada perilaku aktual. Juga bersifat normatif daripada sekedar deskriptif.
Sehingga, karena terlalu seringnya kita disuguhi gambaran sebuah keluarga dalam
32
hingga terlihat sangat ”ideal”, menimbulkan harapan-harapan kita tentang
seakan memberi pengaruh buruk bagi mereka. Karena pada awalnya penciptaan
cermin keluarga ideal itu hanya tentang aspek demografis semata, namun lama-
seperti apa. Padahal sebenarnya, kualitas adalah yang terpenting dari sebuah
keluarga.
Formasi keluarga ideal yang selalu ditampilkan dalam iklan secara tidak
ditampilkannya bentuk keluarga yang dikatakan “ideal” itu, maka hal tersebut
menjadi pemicu dalam mengawali pergeseran setiap budaya dalam setiap zaman.
satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga (Khairuddin, 1997 : 6).
citra yang ditampilkannya, yang kemudian akan mendorong orang untuk mengejar
33
kondisi ideal yang ditawarkan iklan, yang menjadi mimpi mereka. Sehingga
dari masyarakat untuk dapat meraih keinginan itu. Dan ada pula yang mengaitkan
masyarakat. Hal ini dibenarkan pula oleh Burhan Bungin dalam bukunya Imaji
Media Massa (2001 : 26), yaitu bahwa Iklan televisi juga dapat dilihat sebagai
bagian dari konstruksi simbol bahasa budaya dalam masyarakat kapitalis ataupun
ideal tersebut, tanpa mempunyai kekuasaan untuk menolak dan mencerna kembali
apa yang disampaikan dan ditampilkan, masyarakat secara tidak langsung menjadi
apa yang dilihat dalam iklan tersebut. Padahal, realitas yang dikonstruksikan oleh
oleh Anto dalam Jurnal Media Watch Kupas (Sobur, 2002 : 89). Manakala
konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat, maka
fakta. Singkatnya, kekerasan simbolik tak hanya beroperasi lewat bahasa, namun
juga terjadi pada isi bahasa (language contect) itu sendiri, yakni pada apa yang
34
Theatre of mind merupakan awal dari proses terbetuknya ”realitas sosial
media massa” atau ”realitas media” dan ”kesadaran semu”. Bahwa realitas sosial
media adalah bagian kesadaran semu individu terhadap realitas itu, yang
sebenarnya tidak terjadi dalam realitas sosial nyata, namun dirasakan oleh pemirsa
sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi, atau mungkin akan terjadi di kemudian
hari dalam hidupnya (Bungin, 2001 : 43). Oleh karena itu diperlukan ”kesadaran”
dari pemirsa itu sendiri untuk melihat mana semu dan mana yang nyata.
“Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang
memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita.
tersebut bisa jadi memang diciptakan oleh peran media yang secara tidak sadar
Indonesia. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan
Sehubungan dengan hal itu, sebenarnya media berada pada posisi yang mendua,
maupun “negatif” (Sobur, 2006 : 31). Media massa tidak menunggu peristiwa lalu
terbentuknya kebenaran (Sobur, 2006 : 33). Media kerap dituduh bias dalam
memilih informasi untuk dipublikasikan atau disiarkan, hal ini seperti terlihat
pada pemilihan model pada iklan keluarga di Indonesia yang selalu menampilkan
formasi Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan), tidak
35
menampilkan formasi lain. Bias dapat pula diartikan sebagai pengistimewaan
dibentuk oleh iklan televisi tentang keluarga ideal itu dapat pula disebut sebagai
suatu pembentukan citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan, seperti
iklan televisi melakukan decoding terhadap makna dalam iklan tersebut, sebagai
konsekuensi dari proses encoding yang dilakukan iklan terhadap pemirsa. Jadi,
makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang yang berbeda-beda atau
pemirsa maupun emosinya. Makna yang dikode oleh pemirsa tersebut, tergantung
36
pada bagaimana individu melakukan dekonstruksi terhadap iklan televisi itu,
dekonstruksi.
pemirsa, yaitu; (a) kelas sosial, (b) gaya hidup, (c) usia individu dan kemampuan
intelektual, (d) perbedaan gender, (e) kebutuhan terhadap produk yang diiklankan
dan (f) kesan individu terhadap iklan (Bungin, 2001 : 200). Makna yang dikode
oleh pemirsa bisa sama atau berbeda dengan citra yang dikonstruksi oleh
copywriter dalam suatu iklan. Perbedaan itu terjadi karena kategorisasi pemirsa
berbeda satu dan lainnya. Namun apabila terjadi kesamaan, maka kesamaan itu
tidak akan jauh dari citra yang dikonstruksi oleh copywriter pada iklan tersebut.
masyarakat sebagai pemirsa televisi tersebut, tidak lain adalah merupakan citra
Realitas sosial iklan televisi adalah hiperrealitas yang hanya ada dalam
media, yang hidup dalam dunia maya (Bungin, 2001 : 204). Namun makna dalam
iklan televisi menjadi realitas sosial yang nyata hidup dalam alam pikiran
yang dilakukan melalui iklan televisi telah menempatkan posisi iklan sebagai
37
bagian dari realitas sosial itu sendiri. Iklan kemudian dapat mereproduksi makna
Sebenarnya makna iklan televisi adalah milik masyarakat secara umum. Karena
itu sekedar ”palsu”. Namun yang penting ”kepalsuan” makna iklan televisi telah
semacam ini pula telah menempatkan posisi makna iklan televisi sebagai medium
legitimasi terhadap medium normatif yang telah lebih dulu hidup di masyarakat
(Bungin, 2001 : 206). Hal ini seperti terlihat pada, pergeseran norma masyarakat
yang tadinya ”banyak anak banyak rejeki” kemudian berubah menjadi ”dua anak
cukup” sekarang ini. Pergeseran norma atau pandangan terhadap stigma keluarga
ideal ini juga berpengaruh terhadap kehidupan pemirsa sehari-hari. Pemirsa yang
telah mengetahui adanya konstruksi sosial baru tentang keluarga ideal tersebut
kehidupannya sehari-hari, baik positif maupun negatif. Karena secara tidak sadar,
38
F. METODOLOGI PENELITIAN
F. 1. Tipe Penelitian
televisi di Indonesia ini menggunakan tipe penelitian kualitatif, yang mana penulis
tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.
memahami fenomena atas pengalaman pemirsa yang terjadi sebagai akibat dari
konstruksi sosial yang telah dibangun oleh iklan tersebut dan melihat sejauh mana
pengetahuan lahir dari kesadaran individu atas suatu cara dimana seseorang
mengerti suatu objek atau kejadian dengan secara sadar mengalaminya. Atau
dengan kata lain, fenomenologi adalah suatu pandangan dalam ilmu sosial yang
tradisi penelitian kualitatif yang berasal dari aliran interpretif. Aliran interpretif
39
aktual. Penelitian dengan pendekatan fenomenologi ini tidak berusaha untuk
menemukan suatu hukum atau asumsi yang dapat digeneralisir untuk semua
a. Data primer
lapangan.
formasi Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan)-yang
adalah :
40
1. Pria maupun wanita yang telah mencapai usia
tersebut.
hasil penelitian.
yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik, serta menggali informasi
41
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari luar subjek penelitian, baik
seperti mencari data pada buku, internet, makalah, artikel, surat kabar atau
sedang dilakukan.
F. 3. Subjek Penelitian
keluarga ideal. Penelitian ini akan mengambil 4 (empat) orang partisipan atau
responden penelitian. Yaitu individu yang telah berkeluarga, baik sebagai Ayah
maupun Ibu yang mempunyai keluarga, dan memiliki beragam formasi. Yaitu
keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan),
dan keluarga dengan formasi diluar itu, yang mana kesemuanya pernah melihat
Ayah, Ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan)-yang kemudian
mereka dalam dua sisi, yaitu individu yang hidup dalam keluarga dengan formasi
“ideal” dan “tidak ideal”. Dan juga dapat memberikan kemudahan bagi peneliti
42
dalam melakukan sebuah penelitian, karena subjek penelitian berada di sekitar
peneliti.
Unit atau satuan analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
formasi ayah, ibu dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan), yang dibangun
iklan di televisi yang berlangsung selama ini. Penelitian ini dilakukan guna
menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.
penelitian ini bersifat kualitatif, maka pedoman yang digunakan dalam wawancara
adalah tidak berstruktur, yaitu tidak selalu terpaku pada daftar pertanyaan yang
telah dirancang, tetapi, juga berkembang sesuai dengan jalannya wawancara. Dan
wawancara dalam penelitian ini juga bersifat terbuka, tidak tertutup yang berarti
43
mendapat kesempatan memberikan jawaban lain di luar jawaban yang sudah
memberi jawaban apapun atas semua pertanyaan dari peneliti. Pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti sendiri dengan interview guide dan menggunakan alat
Analisis data adalah upaya untuk mencari dan menata secara sistematis
temuan bagi orang lain. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
1994 : 15-16). Dalam teknik analisis data ini memiliki tahapan – tahapan sebagai
berikut :
pertanyaan ke dalam satu cara yang dapat dimengerti dengan mudah oleh
44
akan diajukan dalam wawancara tersebut yaitu, bagaimana pengalaman subjek
keluarga ideal itu sendiri. Dan yang terakhir adalah tentang bagaimana
menyikapi adanya konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan
konteks penelitian ini, narasi yang dibuat berasal dari hasil wawancara dengan
c. Analisis data : eksplikasi dan interpretasi (The Data Analysis : Explicatin and
Interpretation).
45
menyusun deskripsi struktural dan tekstural gabungan dari keseluruhan hasil
46
BAB II
bentuk keluarga ideal pada mulanya, kemudian diikuti oleh perkembangan yang
Selain pergeseran bentuk keluarga ideal yang terjadi dalam masyarakat secara
umum, pada bab ini juga akan diuraikan tentang pergeseran bentuk keluarga ideal
dalam iklan televisi yang juga dipengaruhi oleh pergeseran bentuk keluarga ideal
kotakkan menjadi bentuk keluarga yang umum dan tidak umum, yang ideal dan
tidak ideal. Media massa khususnya iklan semakin membuat perbedaan formasi
keluarga ideal dan tidak ideal yang sudah terlanjur ada dalam masyarakat semakin
diterima sebagai kebenaran yang wajar. Disisi lain sebenarnya keluarga dengan
formasi lain juga dirugikan dengan adanya stereotype tersebut. Manusia dengan
47
masyarakat. Namun dengan kekuatan televisi melalui normalisasi dan
alamiah. Keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan
perempuan) yang mendominasi tayangan iklan televisi menjadi hal yang normal
dan menjadi standar bagi keluarga yang ideal, sehingga memarjinalkan formasi-
Selain itu, akan dibahas pula bagaimana posisi iklan keluarga dalam
iklan televisi pada masa sekarang. Tanpa disadari, bentuk keluarga ideal yang
selalu ditampilkan sama dan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari
mempertegas bahwa iklan secara kejam mengklaim mana yang dianggap baik dan
buruk. Pemirsa didudukkan pada sebuah pencitraan untuk menerima pesan dalam
kerangka hitam putih dan tidak ada abu-abu atau pilihan ketiga dalam iklan.
Padahal kenyataannya, sebuah keluarga baik ideal maupun tidak ideal telah
memiliki sifat dan batasan tertentu di tengah masyarakat. Namun sekarang ini
semakin banyak iklan televisi yang ikut memebentuk persepsi masyarakat tentang
sifat dan formasi yang harus dimiliki sebuah keluarga, tanpa menyadari bahwa
pemirsanya.
MASYARAKAT
48
A. 1. Perbedaan Keluarga Dengan Kelompok Sosial Lain
masyarakat. Ada beberapa definisi dari keluarga menurut ahli-ahli sosial (Goode,
keluarga merupakan suatu kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu
turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai suatu gabungan antara yang
group yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan wanita, hubungan tersebut
anak. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan suatu kesatuan sosial
yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama, di mana saja dalam suatu
masyarakat manusia. Hubungan suami istri dalam sebuah keluarga ada yang
keluarga bisa saja terdiri dari seorang ayah dan beberapa ibu, atau beberapa
49
keluarga dapat memiliki susunan anggota keluarga yang bisa bebeda dari keluarga
keluarga ideal dapat ditentukan dari kepentingan atau keperluan tiap-tiap keluarga
dan tiap susunan anggota keluarga yang ada didalamnya dan harus sama.
bahwa ideal sistem kekeluargaan dilihat dari tingkah laku, yang dimaksud tingkah
keluarga yang terdapat pada semua keluarga yang membedakan keluarga dari
perkawinan, darah atau adopsi. Pertalian antara suami dan isteri adalah
50
perkawinan, dan hubungan antara orang tua dan anak biasanya adalah
atap dan merupakan susunan satu rumah tangga, atau jika mereka
kadang, seperti masa lampau, rumah tangga adalah keluarga luas, meliputi
dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara
51
A. 2. Bentuk Awal Keluarga Ideal
Keluarga sejak zaman dahulu sudah diidentikkan dengan formasi ayah, ibu
dan anak, meskipun tidak ada patokan berapa jumlah dan apa sajakah jenis
kelaminnya. Bentuk awal keluarga ideal yang menjadi patokan dalam masyarakat
adalah keluarga dengan formasi yang besar, memiliki banyak anak, dan masih
dahulu karena tidak ada patokan pasti bagaimana bentuk sebuah keluarga ideal,
paling tidak kita dapat menentukan ciri-ciri keluarga secara umum dan khusus
untuk menarik benang merah bentuk keidealan sebuah keluarga, karena ciri-ciri
tersebut pasti terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun. Hal ini
didasarkan atas penilaian bahwa pada zaman dahulu tidak mungkin semua
keluarga mempunyai bentuk dan formasi yang sama, dan belum ada patokan pasti
bentuk keluarga ideal dalam masyarakat. Untuk itu kita akan menggolongkan ciri-
a. Ciri-ciri Umum
Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti yang dikemukakan oleh Mac
keturunan
52
4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota
keluarga.
b. Ciri-ciri Khusus
masyarakat, tidak ada yang lebih penting dari keluarga dalam intensitas
perubahannya, juga seperti yang nyata kita lihat terdapat di seluruh struktur sosial.
Hal ini merupakan kemampuan variasi yang tidak habis-habisnya dan juga
perubahan demi perubahan. Organisasi keluarga ini dalam beberapa hal tidaklah
sama dengan asosiasi lainnya, di samping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu
1. Kebersamaan
53
tingkatan manusia yang paling rendah sekalipun, diantara beribu-ribu
2. Dasar-dasar emosional
3. Pengaruh perkembangan
identitasnya. Oleh sebab itu keluarga merupakan skala yang paling kecil
54
maju, yang maju, yang mempunyai tipe masyarakat patriarkal, struktur
7. Aturan kemasyarakatan
Hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal yang tabu di dalam
paling bersifat sementara dan yang paling mudah berubah dari seluruh
Dengan melihat dan memahami ciri-ciri keluarga di atas, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa bentuk keluarga ideal pada awalnya hanya terpusat pada
bagaimana keluarga itu tercipta dan bagaimana kehidupan sosiologi dalam sebuah
55
keluarga itu sendiri setelah keluarga itu tumbuh dan berkembang, bukan terpusat
Inti
Setelah sekian lama keluarga besar pada saat itu menjadi mayoritas dalam
timbul pergeseran bentuk keluarga yang lebih populer, yaitu keluarga kecil atau
keluarga inti. Dalam bentuknya yang paling dasar, sebuah keluarga memanglah
terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan dan ditambah dengan anak-
anak mereka yang biasanya tinggal dalam satu rumah, formasi tersebut biasa
disebut dengan keluarga inti (nuclear family). Walaupun suatu keluarga inti secara
berdasarkan atas peraturan perkawinan yang sah, tetapi tidak selamanya keluarga
inti terwujud karena telah disahkan oleh suatu peraturan perkawinan. Sedangkan
sebuah keluarga dikatakan sebagai keluarga luas (extended family) selain karena
keluarga dengan adanya tambahan dari sejumlah orang lain, baik yang sekerabat
maupun yang tidak sekerabat, yang secara bersama-sama hidup dalam satu rumah
tangga dengan keluarga inti. Bentuk keluarga inilah yang awalnya lebih
hidup turun temurun dalam lingkungan yang sama dan bersama-sama. Hal
56
bermatapencaharian petani dan bercocok tanam, sehingga tidak memungkinkan
Hal ini terutama disebabkan, oleh karena manusia mempunyai naluri untuk
senantiasa hidup berkawan. Naluri untuk hidup berkawan itu lazim dinamakan
“gregarious instinct” (Soekanto, 2004 : 29), yang ada pada setiap manusia
normal, semenjak dia dilahirkan. Teman hidup diperlukan manusia, oleh karena
manusia tidak dilengkapi dengan sarana mental dan fisik untuk dapat hidup
sendiri. Dengan demikian, manusia dapat hidup dan berkembang hanya melalui
keluarga, khususnya keluarga inti atau keluarga batih yang semakin lama semakin
populer di kalangan masyarakat luas. Keluarga batih terdiri dari Ayah, Ibu dan
anak-anaknya yang belum menikah atau belum membentuk keluarga batih sendiri.
bangunan yang tinggal bersama dan makan dari satu dapur yang tidak terbatas
pada orang-orang yang mempunyai hubungan darah saja, atau seseorang yang
sendiri (http://www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/kartu_keluarga.htm).
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang
57
beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti
(http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga).
tersebut.
kebutuhan anggota-anggotanya.
2004 : 23).
keluarga yang jumlahnya kecil atau sedikit, sedangkan keluarga besar atau luas
keluarga yang jumlahnya banyak. Hal ini bukanlah dipandang dari segi
hubungan. Seperti yang disebutkan oleh Mayor Polak (Khairuddin, 1997 : 18) :
Maka dari itu janganlah keluarga inti atau keluarga kecil disamakan dengan
keluarga yang kecil, yang sedikit anak-anaknya. Apalagi kita menyatakan bahwa
keluarga kecil adalah keluarga yang jumlah anak-anaknya tidak harus kecil atau
58
sedikit, berarti kita dapat menyatakan bahwa keluarga besar bukanlah keluarga
yang mempunyai anak banyak atau besar jumlahnya. Keluarga inti dapat kita
definisikan dengan keluarga atau kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak yang belum dewasa atau belum kawin. Sedangkan keluarga luas adalah
satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan suatu lingkungan kaum
keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu dan anak-anaknya. Bentuk
keluarga yang lama-lama memudar dan kurang dianut oleh masyarakat pada
waktu itu.
Pemerintah
Indonesia agaknya beraneka ragam. Hal ini disebabkan, oleh karena masyarakat
Hal ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada persamaan. Akan tetapi justru
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sebenarnya nilai-nilai itu
nilai-nilai itu akan berpengaruh pada pola berfikir manusia, yang kemudian
59
diabstraksikan menjadi kaidah-kaidah, yang nantinya akan mengatur perilaku
Pola interaksi
Pola berfikir
Sikap
Pola tingkahlaku
Kaidah-kaidah
muncul nilai-nilai. Memang perlu diakui, bahwa sulit untuk menentukan nilai-
nilai yang berlaku, oleh karena sifat nilai sangat abstrak. Nilai-nilai kebudayaan
yang masih dianut di Indonesia, mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola
keluarga.
60
Nilai-nilai kebudayaan yang ada dalam masyarakat kemudian akan
menimbulkan adanya pergeseran atau perubahan sosial tentang suatu hal dalam
masyarakat. Perubahan atau pergeseran sosial adalah suatu gejala yang pasti
dialami oleh setiap masyarakat. Jadi pada hakekatnya, tidak ada satu masyarakat
yang tidak berubah, walaupun masyarakat sesederhana apapun. Atau dengan kata
lain tidak ada satupun masyarakat yang statis, baik dalam hal menyikapi
yang sederhana sering kali dicirikan sebagai masyarakat yang statis, tetapi
pengertian statis di sini sangat relatif. Karena apabila kita bandingkan dengan
masyarakat yang lebih dinamis, memang masyarakat yang kelihatan tidak berubah
tersebut dapat dikatakan statis. Tetapi statis, tidak berarti tidak mengalami
masing-masing. Ada satu masyarakat yang berubah dengan pesat, sedangkan ada
juga yang berubah dengan lambat, bahkan ada juga yang tidak kelihatan
perubahannya, tetapi paling tidak berubah dalam hal kualitasnya. Menurut Ankie
M. Hoogvelt yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (Khairuddin, 1997 : 71), salah
satu dari ciri perubahan sosial yang terjadi dapat diketahui karena : “Tidak ada
sistem sosial.
61
3. Konsekuensi, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistim sosial
1997 : 73).
selalu dapat berjalan dengan lancar seperti kebanyakan yang diharapkan oleh para
kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena ide-ide baru yang diperkenalkan
kepada masyarakat belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang telah ada dalam
masalah yang paling umum yang kita jumpai adalah terjadinya perkembangan-
keluarga yakni perubahan dari extended family (keluarga besar) menjadi nuclear
family (keluarga inti). Seperti yang dikemukakan oleh Khairuddin (1997 : 75), ada
62
1. Industrialisasi menyebabkan nuclear family menjadi lebih bersifat mobile,
mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Keluarga tidak lagi
family di satu pihak, dan memperkuat fungsi nuclear family di pihak lain.
anak, wanita, orang yang sudah tua dapat turut serta dalam proses produksi
masyarakat industi : anak-anak, orang yang sudah tua, orang yang cacat
tubuh, tidak dapat turut serta dalam produksi di pabrik, mereka menjadi
beban keluarga.
merupakan akibat dari industrialisasi, tentu dapat pula kita katakan bahwa
keluarga inti merupakan model keluarga yang diterima pada zaman industrialisasi
masyarakat, karena masih terdapat banyak hal yang juga ikut mempengaruhinya.
63
Salah satu diantaranya adalah pengaruh dari perubahan kebijakan pemerintah
tentang kependudukan.
Keluarga Berencana sudah semenjak beberapa tahun yang lalu, program itu
karena pertumbuhan penduduk yang demikian pesat pada waktu itu tidak sejalan
Kemudian tidak ada jalan lain oleh pemerintah selain mengendalikan angka
suku, budaya dan adat istiadat yang bisa saja menghambat suksesnya
“Dua Anak Cukup” kini sudah berganti dengan “Dua Anak Lebih Baik” membuat
orang akan berpikir bahwa disamping mempunyai dua anak sudah cukup, tetapi
mempunyai dua anak juga akan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pergeseran
tentang bentuk keluarga ideal juga sangat dipengaruhi oleh adanya program
64
A. 5. Keluarga Ideal Masa Kini
kelompok lain membuat mereka jauh dari keintiman kelompok keluarga. Status-
mengalami pergeseran.
sulit untuk mengkaitkannya sekaligus dengan penahapan masa (dulu, kini dan
madya, dan pada masa mendatang lingkungan modern (Soekanto, 2004 : 3).
Kiranya perlu diakui, bahwa bentuk-bentuk lingkungan tersebut pada masa kini
dan masa mendatang mungkin ada. Lihat saja pada kehidupan budaya dan pola
hingga kini masih terdapat dalam pelbagai bentuk kehidupan bersama. Keadaan
demikian mungkin saja terjadi dalam suatu lingkungan sosial budaya madya,
65
Surabaya, Medan, dan lain-lain, ciri-ciri kehidupan lingkungan bersahaja belum
hilang. Padahal, bentuk dan proses pergaulan hidup di kota-kota tersebut lazim
kehidupan budaya serta pola kehidupan masyarkat juga tidak akan pernah lepas
dari kaitan dengan adanya pelbagai lapisan dalam masyarakat. Dalam setiap
masyarakat pasti ada lapisan rendah, menengah dan atas, oleh karena itu setiap
konteks pandangan suatu keluarga yang ideal. Setiap budaya masyarakat, setiap
sebuah keluarga inti ideal. Meskipun sebenarnya, ciri-ciri pokok keluarga inti
ideal hingga kini dan untuk masa mendatang tidak akan berubah. Yang terjadi
Ciri-ciri pokok keluarga inti ideal pada dasarnya berdasar pada aspek-
aspek logis, etis dan estetis yang dapat dinamakan kebenaran atau ketepatan,
keserasian dan keindahan. Menurut Ny. Hj Rr Susiyati Ma’ruf, Ketua Umum Tim
%20UKS/executive 2004 html), keluarga ideal Indonesia yang tediri dari multi
etnis dan kemajemukan itu, adalah keluarga yang mampu menghargai dan
memelihara sikap sopan santun, etika dan kebersamaan tinggi. Selain itu,
66
dalam praktek kehidupannya selalu berusaha memelihara dan menjaga secara
tuna sosial oleh remaja perkotaan, disebutkan bahwa keluarga yang ideal adalah
inti ideal dari masa ke masa pada intinya adalah keluarga dengan formasi komplit,
yaitu bapak, ibu, anak. Yang membedakan hanyalah pandangan dari tiap-tiap
kebudayaan dan perubahan masa. Dahulu keluarga ideal identik dengan jargon
“banyak anak banyak rejeki”, keluarga yang memiliki banyak anak dikatakan
keluarga inti ideal, sedangkan yang mempunyai anak sedikit dikatakan tidak ideal.
Pada masa sekarang, keluarga inti ideal yang paling populer adalah keluarga
dengan formasi bapak, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan). Jargon
yang mendukung yaitu “dua anak cukup”, jargon tersebut juga didukung oleh
maka sulit sekali untuk mengubahnya. Yang mungkin terjadi adalah tekanan yang
berbeda atau penafsiran yang lain menurut lingkungan sosial budaya masing-
masing.
67
Komunikasi searah atau linier dapat dilaksanakan dari seseorang atau
lembaga kepada seseorang atau sekelompok orang melalui tatap muka (langsung)
maupun melalui media. Komunikasi searah dapat dilaksanakan melalui salah satu
media yaitu televisi, dan iklan adalah salah satu bentuk komunikasi yang
diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk atau jasa
fungsi pemasaran, maka apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan
tentu saja harus lebih dari sekedar memberikan informasi kepada khalayak.
rupa sesuai dengan strategi pemasaran perusahaan untuk mencetak penjualan dan
keuntungan. Dalam suatu iklan terdapat suatu bentuk komunikasi, jika pelakunya
akan disampaikan oleh iklan tersebut bisa diartikan secara keliru. Dan agar pesan
iklan dapat mencapai sasaran, maka pesan tersebut harus sesuai dengan target
merupakan salah bentuk komunikasi, dan dapat menghasilkan persepsi dari orang-
orang yang melihatnya. Secara garis besar, iklan dapat digolongkan menjadi tujuh
68
1. Iklan konsumen
Iklan-iklan yang termasuk dalam iklan konsumen adalah (a) iklan barang-
dan jasa nonkonsumen. Artinya, baik pemasang atau sasaran iklan sama-
sama perusahaan. Produk yang diiklankan adalah barang antara yang harus
lain.
3. Iklan perdagangan
pedagang
kulakan besar, para agen, eksportir/importir, dan para pedagang besar dan
kembali.
4. Iklan eceran
Iklan eceran adalah jenis iklan unik yang karakteristiknya berada di antara
adalah iklan-iklan yang dilancarkan oleh pasar swalayan atau pun toko-
toko serba ada berukuran besar. Iklan ini dibuat dan disebarluaskan oleh
69
pihak pemasok atau perusahaan/pabrik pembuat produk, dan iklan itu
para konsumen.
5. Iklan keuangan
6. Iklan langsung
Iklan jenis ini bertujuan untuk merekrut calon pegawai, seperti anggota
Dari definisi jenis iklan menurut Frank Jefkins di atas, maka iklan keluarga yang
jenis iklan konsumen, karena produk yang di iklankan adalah merupakan barang
iklankan lewat media sesuai dengan lapisan sosial tertentu yang hendak dibidik.
macam yaitu iklan lini atas (above- the-line) dan iklan lini bawah (below- the-
line) (Jefkins, 1997 :86). Pada awalnya iklan jenis above the line lebih dominan
tetapi lama kelamaan iklan below the line juga sudah banyak dipakai. Iklan jenis
above the line, dikuasai oleh lima media yang berhak mengatur pengakuan dan
pembayaran komisi kepada biro-biro iklan; yakni pers (koran dan majalah), radio,
televisi, lembaga jasa iklan luar ruang (outdoor dan sinema/bioskop. Untuk media
70
lini bawah (below- the-line) adalah media-media yang
lainnya. Di sisi lain terdapat juga istilah media primer dan sekunder. Media primer
adalah media yang memimpin atau di utamakan dalam sebuah kampanye iklan,
melengkapi (Jefkins, 1997 : 86). Pemilihan atas media mana yang primer dan
mana yang sekunder, tergantung dari apa yang akan diiklankan. Untuk produk
B. 2. Iklan Televisi
Jacques Ellul (1980) dalam Bungin (2001 : 133) mengatakan bahwa kalau
kita ingin menggambarkan zaman ini, maka gambaran yang terbaik untuk
substansial, seperti mengatur beberapa sistem lalu lintas di jalan raya, sistem
teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diistilahkan
theatre of mind. Bahwa siaran-siaran media televisi secara tidak sengaja telah
71
televisi dimatikan, kesan itu selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk
Jadi, apa yang digambarkan dalam iklan televisi adalah gambaran realitas
dalam dunia yang diciptakan oleh teknologi. Sebagai contoh, iklan keluarga di
Indonesia selalu menampilkan bintang iklan dengan formasi ayah, ibu dan dua
orang anak (laki-laki dan perempuan) dengan ekspresi wajah dan kehidupan yang
kepada kesan konsep keluarga yang bahagia, yang ideal adalah keluarga dengan
formasi tersebut. Jadi, berdasarkan realitas iklan televisi yang dijelaskan itu,
gambaran terhadap sebuah dunia hanya ada dalam teknologi media televisi.
yang oleh Baudrillard (Bungin, 2001 : 135) disebutnya dengan simulasi, yaitu
penciptaan model-model nyata yang tanpa asal-usul atau realitas awal. Hal ini
satu ruang, yang disadarinya sebagai nyata, meskipun sesungguhnya semu, maya,
atau khayalan belaka. Realitas yang dibanguan oleh copywriter dan visualiser
amat bias kepada lingkungan mereka, termasuk pula simulasi (obyek realitas)
yang dikonstruksikan oleh iklan televise, dimana manusia mendiami suatu ruang
72
realitas yang perbedaan antara nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang
palsu, menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam dunia maya dan khayal. Televisi
dan informasi lebih nyata dari pengetahuan sejarah atau etika, namun sama-sama
Tugas utama iklan televisi pada dasarnya adalah menjual barang atau jasa
dan bukan menghibur. Namun hal tersebut tidak lagi dipatuhi oleh para
iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu yang sengaja dikonstruksi
oleh copywriter dan visualiser untuk member kesan yang kuat terhadap produk
yang diiklankan. Namun tanpa disadari juga, mereka telah membawa pemirsa ke
73
Hal-hal tersebut di atas dapat terjadi karena adanya tipologi awal pemirsa pada
interpersonal.
dengan adanya iklan televisi. Hal tersebut dapat kita uraikan lewat poin-poin
berikut ini :
a. Efisiensi biaya
74
b. Khalayak tidak selektif
c. Kesulitan teknis
Iklan –iklan tidak bisa luwes dipindah jam tayang karena kepadatan
(http://belajardekavetiga.blogspot.com/2005/09/mediatelevisi.html)
sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas ke dalam situasi gemerlap
yang memikat dan mempesona, sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan
muncul ke dalam dunia nyata melalui media (Williams dalam Bungin, 2001 :
122). Televisi telah mengangkat medium iklan ke dalam konteks yang sangat
namun nyata. Hal itu tak lepas dari peran televisi yang telah menghidupkan iklan
Iklan adalah pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada
masyarakat lewat suatu media. Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi
yang bersifat persuasif untuk memenuhi fungsi pemasaran (Jefkins, 1997 : 15).
Suatu bentuk iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai hal yang
berkaitan dengan segala sesuatu yang dimuat dalam sebuah iklan, karena iklan
televisi adalah salah satu bentuk pesan yang dikonsumsi oleh khalayak. Selain itu,
iklan memang harus mendapat perhatian kita. Untuk itu, sebuah iklan harus
75
mampu “menembus” kekacauan iklan lain. Prinsip pertama dalam dunia
periklanan, sebuah iklan harus mampu bertahan dan tampak lebih menonjol
dibanding iklan-iklan lain. Untuk merealisasikan prinsip itu, para pemasang iklan
kemudian mempergunakan berbagai alat atau media. Dan saat ini alat yang paling
Hal-hal yang dimuat dalam iklan keluarga tersebut, salah satunya adalah
pemeran iklan yang disajikan menurut skenario dari iklan. Dari pemeran iklan
pemirsa dapat melihat petunjuk kinesik, petunjuk wajah, dan tingkah laku yang
persepsi dipengaruhi oleh pola berpikir atau bahkan latar belakang tiap orang.
Bentuk keluarga yang ada dalam tiap-tiap iklan keluarga sekarang ini terdiri dari
anggota keluarga yang selalu sama yaitu ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki
dan perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Dengan selalu ditampilkan
bentuk keluarga ideal saat ini adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua
orang anak (laki-laki dan perempuan). Dalam teori sosiologi keluarga disebutkan
bahwa bentuk keluarga dalam suatu masyarakat pada dasarnya adalah beragam,
tetapi pada umumnya adalah serupa karena masyarakat memiliki budaya tertentu
76
BAB III
STRUKTURAL
televisi mengenai konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun dalam iklan
menilai konstruksi sosial keluarga ideal tersebut dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Temuan penelitian berupa pengalaman dari para informan penelitian yang
hal unik dari pengalaman yang berusaha mengungkap mengapa pengalaman itu
bisa terjadi. Setiap dimensi atau tahap dalam pengalaman diberi perhatian yang
tema ini digambarkan secara tekstural dari berbagai sisi dan dilihat dalam
77
tersebut apa yang muncul dan yang telah diberikan, dapat digunakan untuk
hubungan normatik (pusat konsep lain yang disengaja) dan keseluruhan norma
adalah sebuah intuisi dan perenungan ulang, deskripsi secara struktural termasuk
Tekstural dan struktural berada dalam hubungan yang terjadi secara terus menerus
(empat) individu yang telah berkeluarga, yang terdiri dari 2 (dua) keluarga yang
memiliki keluarga yang diakatakan ideal (ayah, ibu, dua orang anak, laki-laki dan
perempuan), serta 2 (dua) keluarga yang belum memiliki keluarga dengan formasi
yang dikatakan ideal tersebut. Dari hasil wawancara mendalam yang telah
dilakukan dengan empat individu subjek penelitian dan telah mengalami proses
editing guna menghilangkan hal-hal yang tidak relevan, dan hal-hal yang tidak
78
dikelompokkan menjadi tema-tema (Thematic Portrayal). Setelah thematic
atau makna inti dari sebuah pengalaman (Moustakas, 1994 : 131), yang juga
1. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi. Data
iklan televisi
ideal
keluarga
79
3. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang
mengungkapkan :
keluarga ideal
mata pemirsa
keluarga ideal
Informan Penelitian I
Diponegoro. Saat ini dia duduk di semester 9 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Adhi adalah seorang ayah bagi buah hatinya yang bernama Selvia Dina Pramesthi
80
Setelah menikah, pasangan ini langsung dikaruniai seorang anak
perempuan, namun hingga saat ini, setelah anaknya menginjak usia 5 tahun,
rupanya belum dikaruniai anak lagi. Adhi yang masih menempuh gelar S1 nya di
kota Semarang, maka mau tidak mau harus meninggalkan istri dan anaknya yang
sehingga tidak ada kendala berarti bagi komunikasi dalam keluarga mereka.
ini, menonton televisi adalah agenda wajib untuk mengisi waktu luangnya saat ia
untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah, agar tidak merasa bosan atau kangen
rumah. Iklan televisi yang kian marak di sela acara-acara televisi seakan menjadi
bumbu setiap acara yang ditayangkan, dan iklan tersebut tidak dapat kita hindari.
Salah satu macam iklan adalah iklan keluarga yang memiliki bintang iklan ayah,
ibu, dua anak (laki-laki dan perempuan) juga sudah biasa dijumpai di televisi.
Banyaknya iklan televisi bergenre sama tersebut juga menarik perhatian bagi
Adhi, “Sekarang emang banyak banget iklan keluarga gitu ya, kayak iklan sabun
Nuvo Family, semen Holcim, banyak lah.. Ya tapi nggak semuanya.. ada juga
iklan keluarga yang anaknya cuman satu, tapi yang pasti ada anak, yang
81
Secara tidak langsung, dengan banyaknya iklan keluarga dengan formasi
ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan) tersebut, maka akan
timbul suatu pencitraan tentang sebuah keluarga ideal. Daya tarik iklan yang
terhadap suatu hal. Pemikiran tentang citra atau image tidak bisa dilepaskan dari
gambar telah mengubah karakter citra atau image menjadi semakin penting. Citra
semakin lama semakin sophisticated, persuasif dan kini citra ikut mengatur
pengalaman dan pemahaman manusia melalui sebuah cara signifikasi. Citra yang
dibangun oleh iklan, yang juga menyangkut masyarakat luas pada umumnya
“Ya menurut saya itu positif, dengan adanya daya tarik emosional, maka akan
lebih menonjol. Selain itu, gambaran keluarga dalam iklan sesuai dengan
imajinasi kita tentang sebuah keluarga.. menurut saya, dengan melihat iklan saya
digambarkan di iklan selalu bahagia, jadi suatu nilai plus lah buat pemirsanya..”.
Ia membenarkan tingkah iklan dalam membentuk suatu citra, dalam hal ini citra
tentang sebuah keluarga ideal. Karena ia berpendapat bahwa dengan adanya daya
tarik emosional, maka iklan akan terlihat lebih menonjol. Dengan menampilkan
iklan keluarga berisi keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua anak (laki-laki dan
82
seharusnya sebuah keluarga itu. Iklan mewujudkan apa yang ada dalam benak
kita, walaupun kita sendiri tidak memilikinya. “Menurut saya, Iya iklan itu
pencitraan keluarga ideal dalam iklan hanya sebatas imajinasi, namun keluarga
ideal yang sesungguhnya harus bisa dirasakan dalam hati.”, ungkap Adhi.
keluarga ideal
Dalam masyarakat kita sekarang lebih populer istilah “dua anak cukup”
untuk menunjukkan keidealan sebuah keluarga. Hal tersebut juga diamini oleh
“Keluarga ideal, secara kuantitas formasinya ya ayah, ibu, dua orang anak (laki-
laki dan perempuan). Namun yang lebih penting lagi adalah keluarga yang ada
besar masyarakat kita, “Dari kultur yang sama pasti berpandangan sama,
mungkin kalo beda kultur ya mungkin beda juga pandangannya. Saya juga dapat
pandangan itu dari orang tua saya..”. Namun disisi lain, ia berpandangan bahwa
kualitas tetaplah yang terpenting dari sebuah keluarga. Kuantitas, formasi dan
83
jumlah keluarga menjadi nomor dua bagi Adhi, ”Kualitas secara psikologis
adalah pertama kali yang paling mengena dalam diri kita. Kalo psikologis sudah
bagus pasti jalannya juga jadi bagus. Itu apa yang saya rasain, sebagai keluarga
baru pasti harus step by step, sisi psikologis dan mental akan terbentuk seiring
masing individu cenderung tinggi. Dalam hal ini yaitu ego tentang keinginan, cita-
cita dan pencapaian hidup dalam kehidupan berumah tangga itu sendiri. Hal
tersebut juga dialami oleh Adhi, ia menuturkan bahwa sampai saat ini ia masih
menginginkan keluarga dengan formasi “ala iklan” itu. Namun, memang untuk
saat ini, menambah keturunan belum juga diprogram. Adhi malah mengatakan
memperoleh momongan. “Istri saya, saya ikutin KB aja, nunggu nanti kalo udah
mapan baru si Dina saya kasih adek lagi..”. Tapi hal tersebut tidak menyurutkan
pengen anak cowok dan cewek, biar komplit, tapi semuanya butuh proses untuk
mencapainya.”.
menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
84
melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise in
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2001 :
10). Realitas sosial masyarakat adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang
publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Jika konstruksi sosial adalah konsep,
kesadaran umum, dan wacana publik, maka konstruksi sosial keluarga ideal
adalah suatu konsep, kesadaran umum dan wacana publik tentang keluarga ideal,
dalam hal ini adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki
dan perempuan). Hal tersebut juga diamini oleh Adhi, “Bahwa konstruksi sosial
keluarga ideal itu adalah suatu konsep tentang keluarga yang ideal. Ya ada ayah,
Dengan melihat fenomena tersebut, maka dapat kita lihat apabila iklan
maka mau tidak mau pasti juga mempengaruhi pemirsanya. Seperti juga
pengalaman yang dialami oleh Adhi terkait dengan konstruksi sosial keluarga
ideal tersebut. “Sebagai contoh kalo saya terpengaruh, istri saya, saya ikutin KB,
biar nanti kalo waktunya tepat, dengan program misalnya, saya pengen ngasih
adek cowok buat Dina.”. Mengapa hal itu bisa terjadi kepada Adhi, dikarenakan
bahwa televisi, khususnya iklan televisi adalah satu-satunya media yang memiliki
85
mempengaruhi pemirsanya. ”Iya.. karena TV punya kekuatan audio visual, lain
dengan media lain yang hanya punya audio atau visual aja.”. Oleh karena itu,
“Dengan setiap hari intensitas kita nonton, secara nggak langsung kita disuguhi
beragam dan banyak hal oleh media. Feedback tidak bisa kita berikan atau
kembalikan secara langsung, tapi kita hanya bisa mempersepsikan hal tersebut.”.
konstruksi sosial keluarga ideal itu juga mewarnai kehidupan Adhi secara
sebuah keluarga, karena hal itu merupakan modal awal dalam membentuk sebuah
konstruksi sosial keluarga ideal itu, “Pernah ada kasus satu keluarga mempunyai
empat orang anak, lalu ketika si ibu hamil lagi, dengan banyak pertimbangan,
Hal itu nggak lain karena memang masyarakat kita udah nggak biasa lagi untuk
faktor biaya dan perawatan.”. Memang, istilah “banyak anak banyak rejeki”
menjadi kurang familiar di telinga masyarakat kita sekarang ini, selain karena
keadaan hidup yang tidak sama lagi dengan yang zaman dahulu, “dua anak
cukup” kian nyaring diperdengarkan. Iklan televisi juga seakan turut ambil bagian
86
berbeda pula cara pandangnya. Dalam menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal
yang telah terlanjur terbangun oleh iklan televisi kita, Adhi menyatakan “Untuk
kedepannya kita berusaha untuk mempunyai keluarga dengan formasi ala iklan,
karena itu memang imajinasi setiap orang, tapi secara kualitas keluarga tetap
Informan Penelitian II
Azmiarie Yuni (36) atau biasa dipanggil dengan nama Ibu Yuni,
merupakan seorang ibu dari dua anak yang bernama Ni Putu Mahatmya Putri
Rahmani (5,5) dan I Komang Radhitya Putra Mahuttama (2,5). Ibu Yuni telah
menikah selama kurang lebih 7 (tujuh) tahun dengan I Made Dwiprastawa (32).
Ibu Yuni dan anaknya menetap di kota Semarang, namun suaminya bekerja
mengelola perkebunan keluarga di Bali. Ibu Yuni sendiri adalah seorang ibu
Sebelum menikah, Ibu Yuni pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta di
kota Semarang. Namun setelah menikah, mengandung dan mempunyai anak, Ibu
Yuni memilih untuk keluar dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga.
Melihat totalitasnya sebagai ibu rumah tangga dalam keluarga yang dapat
dikatakan ideal, yaitu memiliki seorang suami dan dua orang anak, si sulung
87
perempuan, dan si bungsu laki-laki, menarik minat peneliti untuk melakukan
sosial keluarga ideal dalam iklan televisi. Ibu Yuni menyatakan memang pernah
dan sering melihat iklan yang menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu
dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Ia pun dapat menyebutkan dengan
lancar beberapa contoh iklan tersebut, “Iklan lifebuoy, royco, rejoice, grand max,
kijang..masih banyak lagi mbak yang laen..”. Saat ditanya bagaimana Ibu Yuni
memang mengkondisikan kita untuk berpikir keluarga ideal seperti itu.”. Ibu Yuni
juga menyatakan sikap setujunya dengan adanya iklan-iklan tersebut, karena toh
iklan tersebut tidak memberi pengaruh buruk bagi para pemirsanya. Iklan
keluarga yang selalu menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua
orang anak, laki-laki dan perempuan hanya akan membangun sebuah citra tentang
suatu gambaran ideal yang belum tentu benar.”. Secara sederhana, citra dapat
kita samakan dengan image, yang bisa berupa representasi verbal maupun visual.
symbol dan ikon, yang bekerja tidak melalui aturan-aturan literal dan logis, tapi
lebih melalui kiasan, asosiasi bebas, sugesti, analogi dan simbolisme. Melalui
88
Selanjutnya, menurut pengalaman yang pernah dialami oleh Ibu Yuni, ia
dengan banyaknya iklan keluarga dengan formasi tersebut (ayah, ibu, dua orang
keluarga. Karena hal ini juga dialami oleh Ibu Yuni secara pribadi. “Memang
biasanya kalo punya anak cewek pasti pingin anak cowok juga, namun belum
tentu itu keluarga ideal, tapi kalo ngomongin keluarga dengan formasi ideal, ya
keluarga ideal
Saat disinggung mengenai esensi utama sebuah keluarga, Ibu Yuni dengan
lancar menjawab “Ayah, ibu, anak”. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara
sadar ataupun tidak, alam bawah sadar kita sudah tertanam bahwa sebuah
keluarga pastinya harus ada ayah, ibu dan anak. Entah anak itu laki-laki atau
seorang anak di tengah keluarga. Namun berbeda lagi saat ditanya mengenai
“Keluarga ideal adalah keluarga yang secara sisi psikologis dan sisi ekonomi
mapan.”
disebabkan oleh banyak hal. Namun kesamaan cara pandang individu terhadap
suatu hal dapat disimpulkan dengan beberapa benang merah, yaitu adanya
89
kesamaan pengalaman, kesamaan kehidupan di masa lalu, dan kesamaan realita
yang telah dan tengah dihadapi. Pada zaman sekarang ini istilah “banyak anak
banyak rejeki” telah tergeser jauh oleh istilah “dua anak cukup”. Hal ini tidak
hanya diyakini oleh sedikit masyarakat kita, namun sebagian besar masyarakat
kita telah membuang jauh istilah “banyak anak banyak rejaki” tersebut dalam
gemborkan istilah “dua anak cukup” lewat program Keluarga Berencananya, itu
seharusnya bentuk sebuah keluarga agar dapat dikatakan sebagai keluarga yang
ideal. “Tau lah, tapi saya sendiri kurang setuju. Karena jaman sekarang keadaan
ekonomi juga naik turun, kalo kebanyakan anak kasihan, bukan cuman karena
terbaik untuk anak-anak..”, ungkap Ibu Yuni. Karena menurutnya, selain formasi
sangat tergantung pada kualitasnya, karena kualitas juga telah mencakup aspek-
90
wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Jika konstruksi sosial adalah
konsep, kesadaran umum, dan wacana publik, maka konstruksi sosial keluarga
ideal adalah suatu konsep, kesadaran umum dan wacana publik tentang keluarga
ideal, dalam hal ini adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak
(laki-laki dan perempuan). Sama halnya dengan pendapat dari Ibu Yuni,
“Konstruksi sosial keluarga ideal menurut saya mungkin nilai atau stigma
keluarga yang ideal yang tertanam di masyarakat.”. Ibu Yuni juga berkesimpulan
bahwa iklan televisi yang sering menampilkan formasi keluarga yang dikatakan
bentuk sebuah keluarga ideal. Bahwa sebuah keluarga agar dikatakan ideal
memang harus terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan
perempuan).
bahwa, “Teman-teman saya ada yang sangat ingin punya anak seperti itu sampe
melakukan banyak hal seperti konsultasi dokter dan ada juga yang sampe rela
punya anak banyak demi dapetin keturunan yang komplit.”. Selain itu, ia juga
menyatakan bahwa konstruksi sosial yang dilakukan oleh media, baik secara
langsung maupun tidak langsung mampu menjadi pemicu tingkah laku seseorang,
baik positif maupun negatif, karena kita adalah khalayak pemirsa televisi yang
setiap hari selalu disuguhi tayangan televisi. “Menurut saya iya, secara langsung
nggak langsung pasti memicu, lha kita kan nonton TV terus..”. Sikap yang
diberikan Ibu Yuni dalam menanggapi adanaya konstruksi sosial keluarga ideal
dalam iklan televisi itu juga cukup bijaksana, “Ya kita beranggapan saja bahwa
91
keluarga ideal belum tentu seperti di iklan televisi, iklan hanya cerita dalam
masyarakat harus kembali menyadari suatu keluarga ideal tidak ditentukan oleh
formasi dan jenis kelamin anggotanya, namun tergantung pada bagaimana seluruh
seorang karyawati di sebuah bank swasta, dan bermukin di kota Wonosobo. Dan
suaminya, Udi Kristiawan (29) juga baru saja berprofesi di salah satu bank swasta
tempat bekerja karena tempat kerja yang dulu letaknya jauh dari keluarga. Setelah
setahun menikah, pasangan ini belum dikaruniai anak, hal inipun yang menjadi
salah satu pertimbangan sang suami untuk memutuskan pindah kerja, dan
sehingga kehadiran cucu pertama dalam dua keluarga besar sangat dinanti-nanti.
Keduanya memutuskan untuk memiliki dua orang anak saja, dan harapan mereka
92
a. Pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi
(ayah, ibu, anak laki-laki dan perempuan), juga mengusik perhatian Ibu Nana,
memberikan tanggapan yang positif, ”Menurut saya ya itu bagus, nggak masalah,
malah lebih mengena, soalnya yang dimaui pengiklan, pemirsa pake produk yang
diiklanin. Kalo sasaran pasarnya itu keluarga, ya iklan dengan model keluarga
ideal malah sangat pas.”. Sebagai orang yang baru saja membangun sebuah
anggapan bahwa keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua anak (laki-laki dan
ekonomi juga susah apalagi itu sesuai dengan program pemerintah, dua anak
cukup, apalagi udah komplit, cowok sama cewek, mau apalagi..”. Banyaknya
iklan keluarga yang seakan seragam dengan selalu menampilkan keluarga dengan
formasi ayah, ibu, dua anak, laki-laki dan perempuan, akan menimbulkan suatu
seperti itu memang idaman setiap orang, “Siapa sih yang nggak mau keluarga
kayak gitu?”. Bentuk keluarga ideal tersebut memang sudah tertanam dalam diri
setiap individu, dan iklan membuat hal itu menjadi semakin kuat. Iklan akan
93
keinginan-keinginan untuk bisa disimbolisasi. Selain itu, iklan juga
kolektif dan wilayah dunia publik. Di dalam sebuah teks iklan kita melihat adanya
dialektika antara citra dan realitas. Artinya, kadang kita melihat bahwa di satu sisi
sebuah tanda tetap memiliki referensi realitasnya, namun di sisi lain, ada pula
keluarga ideal oleh iklan tersebut terhadap masyarakat, “Ya nggak papa lah.. kalo
masyarakat jadi pengen punya keluarga seperti itu ya malah bagus.”. Namun, ia
karena ia berpendapat apapun yang kita inginkan selalu tergantung dari pemberian
Tuhan. ”Ya soalnya walaupun pengen, kan semuanya tergantung sama rezeki
keluarga ideal
teraih. Karena segalanya memang butuh proses, dan semua proses pasti butuh
waktu. Hal ini disadari benar oleh Ibu Nana, ia tidak terlalu mempermasalahkan
berusaha dan berdoa, hal-hal lain ia serahkan kepada Tuhan. Paling yang menjadi
94
pikiran adalah pertanyaan dari keluarga besarnya, namun itupun masih dalam
batas kewajaran. Pada masyarakat modern, pandangan serta pola pikirnya akan
semakin luas. Hal ini juga berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang
sendirinya, namun ada beberapa hal yang dapat mempengaruhinya, salah satunya
adalah media. Ibu Nana juga mempunyai pandangan sendiri mengenai bentuk
ada ayah, ibu, anak (bebas ya..) dan yang lebih penting, keluarga itu harmonis,
dalam karier, pendidikan, dan agama. Sukses bagi kedua orang tua dan anak-
daripada kuantitas dalam sebuah keluarga, “Kualitas pastinya tetap lebih penting,
karena walaupun keluarga sudah ideal formasinya, tapi isinya (misal anaknya
ideal”, tambahnya.
menambah satu anak lagi. Disamping karena biaya hidup dan pendidikan yang
segala hal, seperti ia jelaskan berikut, “Jaman sekarang saya kurang setuju istilah
banyak anak banyak rejeki, karena biaya hidup tinggi, biaya pendidikan juga
95
tinggi, jadinya banyak anak sama dengan banyak biaya, kan kita juga harus
memberikan yang terbaik untuk anak-anak, perhatian juga pasti akan berkurang
sama-sama bekerja.”.
optimis suatu saat nanti akan mendapatkan keluarga yang ideal tersebut. Sampai
saat ini ia masih menginginkan keluarga yang komplit, yaitu memiliki dua anak,
laki-laki dan perempuan, walaupun tidak terlalu memaksakan hal itu. “Penting
untuk memiliki karena hanya untuk memenuhi harapan kita aja, kan anak dua,
cowok cewek pula, itu pas!.. kalo kebahagiaan ya memang belum tentu
menjamin.”.
Saat ditanya tentang definisi konstruksi sosial keluarga ideal, Ibu Nana
masyarakat atau judgement tentang keluarga ideal.”. Media melalui iklan telah
standar-standar sosial, dan iklan merupakan salah satu kelompok institusi yang
96
sangat terbatas yang melakukan kontrol sosial. Iklan televisi adalah wacana,
pengetahuan, atau teks visual yang disebarkan melalui televisi dan ditonton oleh
individu atau kelompok di masyarakat. Menurut Ibu Nana, iklan televisi yang
sering menampilkan formasi keluarga yang dikatakan ideal tersebut tidak dapat
ideal - tidak ideal tergantung kualitasnya. Kalo banyak anak tapi semua aspek
pernah dialami oleh masyarakat kita. Seperti pengalaman yang dialami sendiri
oleh Ibu Nana, “Sampe sekarang saya masih pengen dua anak saja, cukup lah,
pastinya ya cowok sama cewek, tapi ya nggak dipaksain juga lah..”. Selain itu, ia
juga menemukan fenomena pengalaman lain yang pernah dialami oleh orang-
orang disekitarnya, “Tetangga depan rumah saya punya dua anak perempuan,
dua-duanya udah kuliah, tapi karena orang tuanya tetep pengen anak laki-laki,
ya istrinya hamil lagi, emang diprogram biar anak ketiganya laki-laki gitu, pake
program kalender kalo nggak salah, padahal bisa diliat dong ya, beda umurnya
kan jauh banget sama mbak-mbaknya.”, cerita Ibu Nana. Memang, dengan
pengaruh bagi pemirsanya, seperti diungkapkan oleh Ibu Nana, “Nggak gitu
konsumsi pokok semua orang, dengan daya persuasif yang sangat besar, pasti
97
membuat orang yang nonton jadi pengen, niru, atau lain-lain. Ini secara sadar
memilah tayangan yang dihadirkan oleh televisi tersebut. Karena televisi adalah
media massa satu arah, maka kita sebagai pemirsa yang harus secara aktif
memberikan penilaian apakah tayangan tersebut layak atau tidak kita tonton, tidak
keluarga ideal dalam iklan di televisi, Ibu Nana mengungkapkan bahwa ia tidak
terlalu berkeberatan dengan adanya konstruksi sosial itu, “..Biarin aja, setuju aja,
malah bagus. Kan bisa dijadikan pandangan atau referensi kita, namun dalam
memilah-milah apa saja yang sesuai untuk diterapkan pada keluarga atau dirinya
sendiri”.
Informan Penelitian IV
Ibu Lipur Muryantinah (47) adalah seorang ibu rumah tangga dan
mempunyai dua orang anak yang telah beranjak dewasa. Putri pertamanya
bernama Tiara Pitrayanti (22) dan putra keduanya Rendi Wira Putra (18).
Suaminya, Bapak Djoko Pitoyo (55) bekerja sebagai Kepala Gudang Bulog di
kota Magelang.
Usia perkawinan Ibu Lipur dan Bapak Djoko sudah memasuki tahun ke-
24. Memiliki dua orang anak, dan komplit (laki-laki dan perempuan) adalah
98
merupakan karunia bagi mereka. Meskipun pada awal pernikahan, Ibu Lipur
mereka dapat pengganti dengan lahirnya seorang putri dalam keluarga mereka.
Setelah lahirnya anak pertama mereka, Ibu Lipur dan suaminya segera
program Keluarga Berencana untuk memberi jeda yang ideal sebelum anak kedua
mereka lahir. Sesuai rencana, setelah empat tahun berselang, lahirlah anak kedua
mereka, dan laki-laki. Lengkaplah keluarga Bapak Djoko dan Ibu Lipur.
realitas sosial tetapi representasi realitas itu tidak dilakukan secara jujur. Citra-
citra yang nampaknya netral, ternyata di balik itu memiliki muatan ideologis yang
2002 : 136), menyebutkan bahwa iklan menggambarkan realitas dalam dua cara,
diwujudkan dalam iklan. Iklan mampu menghadirkan what life should be kepada
99
alam fantasi dan realitas hiper. Namun meskipun demikian, hadirnya citra-citra itu
tidak berarti menyebabkan hilangnya the real. Iklan justru memiliki hubungan
yang kuat, sebab iklan tetap mengadopsi aspek-aspek realitas kehidupan sehari-
jujur. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa hubungan citra dalam iklan dan
yang tetap berhubungan dengan realitas sosial. Jadi, realitas iklan adalah hasil
Sekarang ini, iklan-iklan keluarga dengan bintang iklan ayah, ibu, dua
anak (laki-laki dan perempuan) marak bermunculan di televisi kita. Entah maksud
dan tujuan penayangannya, namun yang pasti, penayangan yang seragam dan
dalam masyarakat. Sebagai pemirsa televisi aktif, Ibu Lipur juga mengiyakan
“Yah.. gambaran keluarga ideal sih kebanyakan memang begitu ya, ayah, ibu
trus anaknya dua, laki-laki sama perempuan. Tapi ya itu nggak jadi keharusan
kalo formasi keluarga tuh ya harus seperti itu.”, tanggapannya. Ia pun menyetujui
tentang pencitraan keluarga ideal tersebut, karena ia juga telah memiliki keluarga
dengan formasi “ala iklan”, jadi hal itu tidak menjadi masalah baginya.
Disamping itu, Ibu Lipur memberi tanggapan yang sedikit berbeda tentang apakah
iklan membentuk citra keluarga ideal melalui iklan-iklannya, “Nggak ah, menurut
saya gambaran keluarga ideal tidak selalu harus dengan formasi ayah, ibu trus
anaknya dua cowok sama cewek. Keluarga yang ideal lebih ke kualitasnya,
100
harmonis apa enggak.”. Namun ia membenarkan bahwa televisi memang
mempunyai kekuatan untuk membentuk suatu citra tertentu, “Setiap hari kan kita
nonton tivi, nggak mungkin enggak, pasti juga acara-acara tivi itu secara nggak
sadar ngaruh ke kita mbak, ya.. jadi tivi mungkin punya kekuatan itu”.
di awal. Sesuai dengan pengalaman yang pernah dialami, Ibu Lipur memberikan
tanggapan mengenai pencitraan keluarga ideal dalam iklan televisi itu, “Ya
menurut saya sih iklan-iklan itu udah cukup sukses membentuk citra keluarga
iklan keluarga yang isinya gitu, apalagi sekarang bulan puasa, semuanya sama..
disekeliling saya yang nggak punya keluarga formasi kayak gitu, anaknya nggak
keluarga ideal
101
dalam pembahasan komunikasi massa (Littlejohn, 1998 : 327). Media massa
pesan televisi, dan bukan terbatas hanya untuk sebagian orang atau golongan
tertentu saja. Dengan kata lain, apa yang disampaikan oleh media massa tidak
dapat dibatasi untuk siapa sajakah yang boleh atau tidak boleh menerimanya,
setiap orang memiliki kesempatan dan hak yang sama. Padahal setiap orang
memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu hal, oleh karena itu tidak menutup
terhadap suatu tayangan iklan, termasuk pada iklan yang menampilkan keluarga
dengan hampir seluruh iklan yang berbau keluarga selalu menampilkan sebuah
keluarga yang terdiri dari formasi Ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan
perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia. Secara tidak sadar masyarakat
kemudian menjadikan gambaran yang ada dalam iklan itu sebagai kiblat dalam
membentuk sebuah keluarga. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Lipur,
”Kalo menurut saya, keluarga ideal tuh keluarga yang punya komunikasi yang
terlepas dari berapa anaknya sama apa saja anaknya, gitu… tapi kalo
ngomongin formasi yang ideal dari sebuah keluarga, ya pasti ayah, ibu, dua
keluarga, apabila komunikasinya sudah tidak baik, maka tidak akan terbentuk
102
Seperti kebanyakan orang, Ibu Lipur berpendapat bahwa kualitas adalah
yang terpenting dari sebuah keluarga, “…kalo kualitasnya baik, anak-anak bisa
dididik jadi baik juga, dan insyaallah bisa jadi orang yang berhasil juga dalam
sebuah keluarga sudah tercermin dari keluarga yang telah dimilikinya, yaitu “dua
anak cukup”, “Karena kalo itu baru pas sama situasi sekarang, soalnya kan
sekarang tuntutan ekonomi makin berat, kalo keluarganya kecil kan lebih pas”.
Ukuran kebahagiaan dari sebuah keluarga tidak dapat hanya diukur dari
formasi atau jumlah anak dalam keluarga semata, namun banyak hal yang juga
seseorang dalam berkeluarga itu kan nggak diukur dari formasinya aja tho mbak,
tapi lebih ke gimana situasi dan kondisi keharmonisan keluarga itu sendiri”.
Konstruksi sosial keluarga ideal menurut definisi Ibu Lipur adalah “Menurut saya
konstruksi sosial keluarga ideal itu ya pandangan yang sudah diyakini oleh
masyarakat kita tentang suatu hal, ya tentang keluarga ideal itu”. Penayangan
iklan tentang keluarga, yang selalu saja menampilkan keluarga dengan formasi
Ayah, ibu dan dua orang anak (dianggap sebagai keluarga ideal), menunjukkan
wajah yang sama dan sebangun sebagai bentuk iklan keluarga. Homogenisasi dan
103
keluarga yang dihadirkan oleh televisi kita memungkinkan berdampak pada
kita lihat pada, bahwa fenomena bentuk dan formasi keluarga ideal pada masa
Formasi sebuah keluarga ideal yang berisi Ayah, ibu dan dua orang anak
keluarga. Hal itulah yang disebut dengan sebuah konstruksi sosial. Seperti telah
disebutkan di atas, bahwa konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan
wacana publik. Jadi konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan televisi adalah
dibangun oleh iklan, tentang konsep keluarga ideal, bahwa keluarga ideal adalah
keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan).
Adapun pengalaman yang disampaikan oleh Ibu Lipur terkait dengan konstruksi
sosial keluarga ideal tersebut yaitu, ”Dulu, waktu hamil pertama pengennya anak
pertama cowok dan kedua cewek, biar kelihatannya ideal gitu.. hehe… tapi
ternyata setelah keluar malah yang pertama cewek dan kedua cowok. Tapi ya
sudahlah, disyukuri aja, toh anak saya dua, udah komplit, cowok-cewek.”. Ia juga
sekitarnya, “…saya punya tetangga, waktu itu anak pertamanya cowok, trus lama
nggak punya anak, eh.. si bapak juga pengen punya keluarga yang ideal kayak
orang-orang lain itu lho, pengen anak cewek juga. Akhirnya istrinya disuruh
104
hamil lagi, eh, yang keluar cowok lagi, sampe kehamilan anak ketiga ternyata
Pengaruh itu masih dalam batas kewajaran, yaitu hanya sebatas keinginan
Lalu bagaimana Ibu Lipur menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal yang
mbak, setuju-setuju aja.. kan malah juga bisa bantuin pemerintah, buat program
juga menghimbau agar masyarakat luas menyikapinya dengan dewasa juga, “Ya
sebaiknya masyarakat bersikap biasa-biasa saja terhadap isu-isu itu, kan isu itu
juga belum tentu bisa diterapkan ke masing-masing keluarga tho mbak.. jadi ya
105
Informan Penelitian I
Nugraha yang biasa disapa Adhi (22 tahun), masih memegang teguh keinginan
untuk memiliki keluarga ideal dengan formasi ayah, ibu dan dua anak (laki-laki
dan perempuan). Setelah menikah kurang lebih selama 5 tahun, ia dikaruniai anak
sulung perempuan. Namun, ia tidak menyesal atau sedih karena tidak dikaruniai
anak sulung laki-laki, karena menurut pendapatnya, yang terpenting adalah dua-
duanya ada, tidak menjadi masalah manakah yang menjadi si sulung ataupun si
bungsu.
membawa keluarganya menuju keluarga yang harmonis dan bahagia, karena hal
itu adalah merupakan hal yang terpenting dalam sebuah keluarga. Menurutnya
kuantitas dalam sebuah keluarga adalah bukan hal yang terpenting, namun hanya
merupakan salah satu cermin dari sebuah keluarga yang ideal. Sebagai keluarga
yang tergolong muda, Adhi juga terbilang masih belajar dalam segala hal. Ia
adalah hal yang paling mengena dalam diri setiap manusia. Apabila sisi psikologis
semua orang yang akan dan sudah berkeluarga maka niscaya keluarganya akan
berjalan dengan baik dan harmonis. Adhi menyampaikan bahwa sisi psikologis
dapat dibentuk secara step by step, setiap orang pasti mampu apabila selalu
berusaha. Karena dalam kehidupan berumah tangga pasti akan banyak cobaan
106
Keluarganya yang boleh dikatakan belum ideal karena belum mempunyai
anak laki-laki itu juga sangat mementingkan faktor religius sebagai pondasi dalam
agama yang kuat adalah modal awal dalam membangun dan membina sebuah
keluarga. Jika pondasinya kokoh maka pasti apapun cobaan yang menerpa akan
dapat dialalui dengan mudah. Sebagai masyarakat awam pemirsa televisi, ia pun
dibangun oleh iklan televisi tentang keluarga ideal. Hal tersebut malah disambut
gembira oleh Adhi, karena ia berpendapat bahwa dengan melihat iklan ia bisa
iklan selalu bahagia menjadi suatu nilai plus untuk pemirsanya. Sebagai pemirsa
iklan televisi, ia juga tidak merasa terdoktrin ataupun menjadi suatu keharusan
untuk memiliki keluarga ideal ala iklan yang selalu ditayangkan tersebut, dengan
hanya sebatas imajinasi, namun keluarga ideal yang sesungguhnya adalah yang
Informan Penelitian II
dengan sangat baik. Meskipun suaminya bekerja di beda pulau dengannya, namun
ia dapat membina keluarga dan kedua anaknya dengan baik dan bertanggung
jawab. Ibu Yuni termasuk orang yang tidak banyak mengeluh, segala yang ia
107
hidupnya adalah dikaruniai dua orang buah hati yang pintar dan lucu. Si sulung
sekarang baru saja masuk ke taman kanak-kanak, dan si bungsu baru belajar
bicara.
Semarang. Karena ia adalah seorang ibu rumah tangga, maka otomatis ia juga
sering melihat tayangan televisi. Sering ia juga mengamati iklan keluarga televisi
saat ini yang memang kebanyakan selalu berisi sebuah keluarga dengan formasi
ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dan memancarkan ekspresi
yang selalu terlihat bahagia. Entah bahagia karena mereka memiliki keluarga
dengan formasi demikian ideal, atau hanya kamuflase dari sebuah produk belaka.
Ibu Yuni kebetulan menangkap makna yang terakhir, ia berpendapat bahwa iklan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Iklan tersebut hanya sebuah wahana
Selain itu, Ibu Yuni berpendapat, kuantitas atau formasi sebuah keluarga
bukan merupakan jaminan untuk membuat suatu keluarga bahagia, karena banyak
memberi pengaruh terhadap pemirsanya, baik kecil maupun besar, baik langsung-
maupun tidak langsung. Karena kita sebagai masyarakat awam, pastilah memilih
108
melihat iklan televisi tersebut secara konstan dan terus-menerus, maka masyarakat
pengantin baru yang baru menjalani kehidupan rumah tangga selama 1 tahun.
Mereka belum dikaruniai anak, sehingga harapan besar tentang figur sebuah
keluarga ideal masih menjadi cita-cita dan harapan mereka. Selain itu, harapan
mereka juga dikarenakan pemikiran Ibu Nana dan suaminya yang berpendapat
bahwa zaman sekarang ini sangat tidak pas apabila memiliki banyak anak. Dua
orang anak, terlebih lagi laki-laki dan perempuan dirasa sangat pas untuk dimiliki
kecil memang sangat mendukung dalam keadaan ekonomi Indonesia yang naik
turun. Menurut Ibu Nana, sebagai calon orang tua ia ingin memberikan yang
yang tidak menentu, biaya pendidikan yang semakin lama semakin tinggi, maka
dengan mempunyai banyak anak maka pasti akan memicu tingginya biaya.
senangnya apabila ia dikarunia dua anak saja, dan masing-masing laki-laki dan
perempuan.
109
Melihat kondisi periklanan keluarga Indonesia, Ibu Nana memberi
pendapat positif. Ia menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan oleh pengiklan
sangat pas, karena iklan keluarga adalah iklan yang mengiklankan produk
keluarga, sehingga bintang iklan yang ditampilkan denga formasi ayah, ibu dan
dua orang anak (laki-laki dan perempuan) sesuai dengan target market yang
keluarga dengan formasi ala iklan menurut Ibu Nana sah-sah saja, karena selain
karena anggotanya yang kecil, hal itu juga dapat mendukung program pemerintah
orang tuanya sekarang, juga sukses pada anak-anak nantinya. Keluarga ideal ala
iklan hanya merupakan imajinasi dan harapan setiap orang saja, selebihnya
keluarga ideal tidak begitu penting, yang terpenting adalah segala aspek dalam
Informan Penelitian IV
benak setiap orang. Tidak terkecuali kepada Ibu Lipur yang merupakan informan
penelitian terakhir ini. Ibu Lipur yang dapat dikatakan telah memiliki keluarga
ideal, yaitu memiliki dua orang anak yang masing-masing laki-laki dan
110
keluarga dengan formasi demikian. Setelah 24 tahun pernikahannya dengan
Bapak Djoko, Ibu Lipur menyadari bahwa formasi bukanlah yang utama dalam
formasi yang dikatakan ideal mempunyai jaminan bahwa kehidupannya pasti akan
bahagia. Keluarga yang harmonis, punya tingkat komunikasi yang baik, terbuka,
saling menghormati dan menghargai, malah menjadi kunci pokok apakah keluarga
Indonesia kebanyakan, Ibu Lipur hanya berpendapat bahwa itu hanya cerita di
Lipur menginginkan dua anak cukup (anak pertama laki-laki dan anak kedua
perempuan) seperti kebanyakan orang awam, namun Ibu Lipur merelakan calon
merupakan pukulan bagi Ibu Lipur pada saat itu, keinginannya menimang anak
pertama laki-laki musnah saat mengetahui calon bayinya meninggal. Lambat laun,
menerima apapun yang diberi oleh Tuhan. Sehingga tidak berapa lama ia
Hingga saat ini, keluarga Ibu Lipur dan Bapak Djoko berjumlah empat orang,
111
ayah, ibu, si sulung perempuan dan si bungsu laki-laki, sesuai dengan gambaran
merupakan bumbu penyedap saja. Karena bintang dalam iklan tersebut hanya
marketnya. Pemirsa televisi yang bersifat umum dan luas memang sangat mudah
untuk menerima pesan salah yang disampaikan oleh televisi, khususnya iklan.
Sehingga Ibu Lipur menghimbau agar masyarakat luas tidak terpengaruh terhadap
konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dilakukan oleh iklan, karena tidak
selalu apa yang dikonstruksikan oleh media dapat diterapkan kepada masing-
112
BAB IV
tentang konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan televisi. Makna dan tema-
tema yang ada dalam deskripsi tiap narasumber dipelajari untuk melukiskan
ke dalam tiga tema, yaitu : 1) pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal
untuk menjelaskan suatu tema. Jadi deskripsi struktural gabungan merupakan cara
113
A. Deskripsi Tekstural Gabungan
Keluarga sejak zaman dahulu sudah diidentikkan dengan formasi ayah, ibu
dan anak, meskipun tidak ada patokan berapa jumlah dan apa sajakah jenis
kelaminnya. Keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan
perempuan) dianggap sebagai salah satu kriteria menuju keluarga bahagia oleh
simbol sebuah keluarga ideal, antara lain dilihat dari sudut pandang pertimbangan
maka iklan televisi dapat membangun suatu nilai atau citra tertentu akan sesuatu
nilai yang berbeda, namun gagasan ideologi iklan atas sesuatu tetap saja sama dan
menguasai hampir semua iklan dengan tema yang sama. Begitu pula yang terjadi
dalam citra keluarga ideal yang dibangun oleh iklan televisi, meskipun dikemas
dengan bentuk yang beraneka ragam, cerita yang tidak sama, endorser yang
berbeda-beda, namun iklan dengan tema keluarga saat ini dapat ditarik suatu
benang merah, yaitu selalu menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu dan
dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dengan ekspresi yang terlihat bahagia.
114
membangun sebuah citra tersendiri dalam masyarakat tentang bagaimanakah
Ketika peristiwa tayangan iklan televisi itu ditonton, maka tontonan itu
tidak sekedar hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi oleh pencipta iklan
televisi terhadap pemirsa (Bungin, 2001 : 37). Jadi iklan merupakan sebuah usaha
ditangkap orang dari simbol yang diberikan pengiklan terhadap produk atau jasa.
Dari sini, terlihat bahwa iklan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan
kita. Disadari bahwa tidak semua iklan mengkonstruksi pemirsanya, namun dalam
dunia iklan harapan bahwa iklan akan mengkonstruksi sikap atau bahkan perilaku
pemirsa merupakan harapan akhir bagi kebanyakan sang pencipta iklan tersebut.
Tanpa disadari pula setiap tayangan iklan selalu didekonstruksi oleh pemirsa iklan
penafsiran, baik terhadap teks visual iklan maupun wacan iklan itu sendiri sebagai
televisi ini kemudian menjadi realitas baru dalam kesadaran umum masyarakat
Mereka menyatakan sangat sadar apabila sekarang ini kebanyakan iklan keluarga
selalu menampilkan keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-
115
laki dan perempuan), yang kemudian membangun sebuah citra akan sesuatu, yaitu
mereka akan sebuah keluarga. Memang benar apabila pencitraan tersebut akan
wacana kepada mereka bagaimana sebaiknya bentuk keluarga ideal itu sendiri.
Namun dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari, bentuk keluarga ideal yang
keluarga ideal
Dilihat dari berbagai sudut pandang, memiliki keluarga ideal ala iklan
biaya dalam membesarkan anak, pemberian pendidikan yang layak untuk anak-
Mempunyai anak sedikit pasti akan meminimalisir perhatian yang kurang, karena
setiap orang dan setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-
aspek kualitas daripada kuantitasnya. Formasi ataupun jumlah anak dalam sebuah
116
keluarga tidak cukup penting, namun kualitaslah yang terpenting. Keharmonisan
perhatian yang cukup, keadaan ekonomi yang mapan, jauh lebih penting jika
demikian itu memang menjadi harapan dan impian setiap masyarakat Indonesia.
Istilah “banyak anak banyak rejeki” sudah tergantikan oleh istilah “dua anak
akan jauh lebih baik apabila memiliki keluarga kecil saja, dengan hanya memiliki
dua anak, yang alangkah idealnya jika kedua anak tersebut satu laki-laki dan satu
Indonesia, namun itu hanya dapat dikatakan sebagai what life should be, hanya
sebatas “apa yang seharusnya” dan bukan merupakan keharusan, bukan pula harus
pandangan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal tersebut berdasar pada
pertimbangan bahwa jika memiliki kultur yang sama, cerita sejarah masa lalu
berbeda, maka cara pandang akan sesuatu hal kurang lebih akan sama. Semua
masyarakat Indonesia pasti lebih memilih aspek kualitas daripada aspek kuantitas
dalam menilai keidealan sebuah keluarga, karena hal itulah yang terpenting untuk
117
3. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang
realitas media atau relitas virtual tentang dunia yang hanya dalam media televisi.
Realitas sosial itu merupakan hasil produksi dan reproduksi dari iklan televisi dan
masyarakat pemirsa dimana iklan itu ada. Penciptaan realitas dimaksud dengan
realistik, tanpa asal-usul yang realistik pula. Melalui model simulasi ini, individu
sesungguhnya semu atau maya. Ruang realitas semu dapat digambarkan melalui
analog peta (Bungin, 2001 : 217). Bila dalam ruang nyata, peta merupakan
representasi dari sebuah teritorial, maka dalam model simulasi peta mendahului
teritorial, di mana realitas sosial, budaya dan realitas kehidupan lainnya di dalam
dunia nyata, dibangun berdasarkan model simulasi yang ditawarkan oleh iklan
televisi.
umum dan wacana publik. Periklanan menunjukkan sebuah proses sosial dan
budaya masyarakat saat itu. Iklan selain menyajikan dunia instant, terutama iklan
kesan-kesan yang “besar” sebagai suatu sistem magis (the magic system). Magic,
118
itulah kata yang sering diucapkan masyarakat untuk menggambarkan betapa iklan
dibangun oleh iklan tersebut mempengaruhi pemirsa yang melihatnya atau tidak.
Menurut pandangan masyarakat yang dapat kita ambil dari pandangan informan
terhadap pandangan masyarakat akan sesuatu hal, baik besar maupun kecil.
Konstruksi sosial tentang keluarga ideal yang dibangun oleh iklan televisi
sekarang ini memberikan pandangan dan cara pandang baru terhadap masyarakat
pemirsa televisi tentang bagaimana bentuk sebuah keluarga ideal itu sendiri.
keluarga ideal, yang pastinya selain karena faktor-faktor lain yang juga
memperkuat pandangan itu, juga dikarenakan adanya iklan televisi yang selalu
disimpulkan bahwa mereka mengerti benar tentang arti konstruksi sosial atas
ideal yang dilakukan oleh iklan tersebut dapat mempengaruhi siapa saja yang
melihatnya, karena televisi mempunyai daya persuasif yang sangat besar, televisi
juga merupakan media pokok yang sangat disukai oleh seluruh lapisan
masyarakat. Jadi, apa yang ditampilkan televisi akan memberi arti dan kesan yang
119
kuat terhadap pemirsanya. Namun secara spesifik, pengalaman pemirsa yang
terkait dengan konstruksi sosial keluarga ideal itu berbeda-beda setiap individu,
keluarga ideal tersebut mempengaruhinya saat awal dia menikah, keinginan untuk
memiliki dua anak laki-laki dan perempuan masih sangat tinggi, begitupula pada
informan III, ia sebagai keluarga baru yang belum dikaruniai anak masih sangat
menginginkan kelak keluarganya akan ideal seperti dalam iklan, sedangkan pada
kelamaan setelah mereka dikaruniai anak, baik yang akhirnya memiliki keluarga
ala iklan ataupun tidak, mereka tetap menjalani hidupnya dengan bahagia.
Sehingga dapat diambil kesimpulan dari pengalaman yang terjadi pada setiap
konstruksi sosial keluarga ideal dalam iklan, hanya sebatas pemicu keinginan dan
harapan semata pada awal pernikahan mereka. Namun lambat laun, setelah
pernikahan berjalan, formasi keluarga yang akhirnya ada, jumlah dan jenis
kelamin anak yang dikaruniai oleh Tuhan, walaupun tidak sesuai dengan keluarga
ideal ala iklan namun mereka tetap menjalankan kehidupan keluarganya dengan
baik, karena yang terpenting menurut mereka adalah kualitas, bukan kuantitas.
120
tentang keidealan sebuah keluarga saja, tidak sampai mempengaruhi tingkah laku
seseorang. Karena nyatanya, jika kenyataan tidak sesuai dengan harapan awal,
masyarakat dapat menyikapinya dengan bijak, mau menerima keadaan dan tidak
masyarakat luas agar juga menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal yang
Indonesia bagian timur seperti misalnya suku Dayak lebih mementingkan nenek
setiap orang mempunyai cara pandang dan cara interpretasi yang berbeda-beda
Hal tersebut juga berlaku pada saat masyarakat sebagai pemirsa aktif
televisi memandang dan menanggapi adanya konstruksi sosial keluarga ideal yang
dibangun oleh iklan televisi. Pengalaman yang terjadi dalam kehidupan mereka
yang terkait dengan konstruksi sosial keluarga ideal itupun beragam. Ada yang
hanya sebatas tahu dan tidak mengalami pengalaman yang berarti, namun ada
121
pula yang sampai saat ini masih terpengaruh dengan iklan-iklan keluarga tersebut.
Namun kesamaan diantara para informan itu adalah sama-sama merasa bahwa
bentuk keluarga ideal yang disajikan oleh iklan televisi itu hanyalah sebatas
gambaran harapan sebuah keluarga. Mereka merasa hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan keluarga mereka terkait dengan konstruksi sosial itu adalah hal yang
unik yang pernah terjadi, entah besar ataupun kecil pengaruh tersebut merasuk ke
ideal ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan perempuan) bukan merupakan
jaminan kebahagiaan hidup seseorang. Tidak ada jaminan pasti bagi siapa saja
jikalaupun sudah memiliki keluarga ideal ala iklan tersebut pasti akan hidup
atau tidak memiliki keluarga dengan formasi ala iklan, tidak juga pasti akan hidup
formasi atau jumlah anggota keluarganya saja, melainkan sangat banyak aspek
sintesis peneliti menggabungkan dan mengembangkan makna dan inti dari proses
komunikasi pada konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan
televisi (Moustakas, 1994 : 144). Penyajian sintesa makna tekstural dan struktural
122
masih mengikuti langkah-langkah sebelumnya, yaitu dibagi ke dalam tiga tema,
yaitu : 1) pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi, 2)
masyarakat sudah tidak diragukan lagi. Iklan adalah media yang menawarkan
yang ditampilkan oleh iklan lebih bersifat simulasional, yang tidak memiliki
referensi pada realitas apa pun kecuali citra itu sendiri. Namun, hasil interpretasi
atas tampilan iklan keluarga yang selalu memperlihatkan keluarga dengan formasi
ayah, ibu, dua anak (laki-laki dan perempuan) menunjukkan bahwa ada interaksi
antara citra dan realitas. Artinya, iklan tidak hanya pasif menyerap citra, tetapi
Teks iklan sebagai sebuah sistem penandaan yang kompleks, tersusun oleh
tanda yang merupakan simulasi, yang hanya mengacu pada citra-citra itu sendiri
atau self referential (Noviani, 2002 : 133). Namun simulasi ini tidak mendominasi
seluruh teks, karena sebagian tanda yang lain di dalam teks iklan tersebut tetap
merepresentasikan realitas sosial. Dengan kata lain, teks iklan tersebut secara
123
iklan mengkombinasikan simulasi dan representasi. Dalam tampilannya, iklan
saat ini memang mengacu pada suatu realitas sosial yang belakangan ini populer
dalam masyarakat tentang formasi sebuah keluarga, yaitu formasi ayah, ibu, dua
anak (laki-laki dan perempuan). Memang banyak faktor yang menggeser jargon
“banyak anak banyak rejeki” menjadi “dua anak cukup” tentang sebuah keluarga
dalam masyarakat kita saat ini, dan masyarakat juga menyadari benar akan hal itu.
Sebut saja karena pengaruh program Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh
mulai memprogramkan keluarga mereka agar tidak lagi memiliki anak banyak,
namun beralih ke keluarga dengan anak sedikit, cukup satu anak laki-laki dan satu
anak perempuan. Iklan yang ada saat ini berorientasi pada hal itu, iklan-iklan
tersebut menghalalkan segala cara untuk dapat membentuk citra agar nampak
sama dengan realitas sosial yang tengah berkembang dalam masyarakat kita
representasinya tidak sepenuhnya bersifat jujur. Dalam penelitian ini tidak ada
iklan yang merefleksikan realitas secara murni, yang ada adalah representasi dan
“merepresentasikan” dunia sosial dengan cara yang tidak lengkap dan sempit.
Tetapi representasi itu tetap potensial untuk mengajarkan pada khalayak tentang
apa yang terjadi dalam masyarakat, terutama kondisi-kondisi sosial pada waktu
124
tidak dibuat secara sederhana, tetapi mampu menyediakan akses terhadap
media penghubung antara dunia rekaan si pembuat iklan dengan pemirsanya yaitu
masyarakat. Terlepas dari bagaimana iklan itu dibuat dan bagaimana latar
belakang dibuatnya iklan itu, si pembuat iklan juga merupakan bagian dari
masyarakat luas yang juga memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan
pemikiran si pembuat iklan dalam membuat iklan keluarga, ia hanya melihat itu
Padahal iklan yang disajikan secara konstan dan terus-menerus dengan format
yang nyaris sama pasti akan membangun sebuah citra tertentu akan suatu hal
dalam pemikiran setiap masyarakat yang melihatnya. Iklan keluarga yang selalu
menampilkan bintang iklan dan cerita tentang keluarga bahagia berformasi ayah,
ibu, dua anak (laki-laki dan perempuan) akan membangun sebuah citra keluarga
ideal dalam pemikiran masyarakat kita sekarang ini. Jadi dapat disimpulkan
bahwa antara citra bangunan iklan dan realitas sosial memang ada korelasi
tersendiri. Tidak mungkin keduanya bertolak belakang, hanya saja tidak akan
125
Dengan melihat realita tersebut, pengalaman dari masyarakat adalah kunci
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dari citra yang entah
sengaja atau tidak dibangun oleh iklan televisi tersebut. Setelah melakukan
berformasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan), di luar formasi
tersebut maka dikatakan tidak ideal. Namun pada akhirnya, masyarakatlah yang
citra tersebut menjadi suatu keharusan dalam kehidupan mereka atau tidak.
kehidupan mereka. Formasi keluarga ideal yang dibentuk oleh iklan hanya
merupakan gambaran keinginan mereka saja, namun dalam kehidupan nyata hal
tersebut menjadi tidak terlalu penting, karena orientasi masyarakat yang telah
pada awal pernikahan telah bergeser menjadi harapan semata, mereka akan lebih
fokus dan menerima apa yang sebenarnya terjadi dan mereka alami dalam
keluarga mereka.
keluarga ideal
keluarga ideal dapat kita lihat dari persamaan uraian pendapat dari keempat
126
informan penelitian ini. Pengakuan informan III sudah cukup mewakili apa yang
disampaikan oleh seluruh informan. Pasalnya, dari bibir ibu muda yang ternyata
diinginkannya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masalah kekurangan dari segi
bahkan dari keluarga kaya sekalipun. Sekarang ini, kita dihadapkan pada
investasi yang besar. Terlebih kalau kita mau mengingat empat hak dasar anak
yang salah satunya adalah hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, kita
minum agar tetap dapat bertahan hidup serta memberi perlindungan agar sang
anak merasa aman dan nyaman dalam dekapan ayah ibunya. Tetapi lebih dari itu,
pendidikan yang layak agar nantinya sang anak tidak saja sehat, cerdas dan
trampil, tetapi juga berkepribadian luhur dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Sejak usia balita yang merupakan the golden age anak sudah
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, selain perhatian dan kasih sayang.
“thetek bengek” lainnya manakala anak sakit, lahir tidak normal, memiliki
penyakit bawaan atau mengalami kecelakaan. Belum lagi bila kita sebagai
orangtua sama-sama bekerja (karier ganda), maka harus menyediakan pula dana
127
khusus untuk memelihara pembantu atau membayar Tempat Penitipan Anak
(TPA) sebagai imbalan karena telah mengasuh dan menjaga anak saat kita pergi
hidupnya semakin besar. Terlebih bila anak telah memasuki usia sekolah, dana
yang harus dikeluarkan semakin membengkak. Karena bukan lagi sekedar untuk
biaya pendidikan, kursus-kursus atau les privat, tetapi juga untuk memenuhi
tuntutan anak yang makin berkembang. Bukan tidak mungkin di era sekarang ini,
anak kita yang masih duduk di bangku SD sudah meminta barang-barang yang
harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Belum lagi keinginannya untuk
minta ini itu, pergi jalan-jalan ke tempat wisata, berbelanja ke super market, dan
lain-lain. Tidak sedikit di antara kita yang harus “menjadikan kepala untuk kaki
dan kaki untuk kepala” sekedar untuk menganalogkan betapa kita harus bekerja
Gambaran bila anak kita lebih dari dua apalagi dengan jarak kelahiran
yang terlalu dekat, sudah cukup sebagai cermin bagi kita betapa sulitnya
mencukupkan kebutuhan mereka baik materi maupun perhatian dan kasih sayang.
Terlebih bila anak kita sudah memasuki bangku sekolah menengah atau kuliah di
perguruan tinggi. Bagi keluarga miskin sudah semakin sulit untuk menjangkau
anak dari sekolah karena kekurangan biaya. Berdasarkan data dari Depdiknas
anak negeri ini terpaksa drop out Sekolah Dasar karena kondisi ekonomi yang
128
masyarakat kita, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata keluarga dengan dua
orang anak dipandang dari sudut manapun, memang masih lebih baik. Ini sesuai
dengan slogan yang dilontarkan oleh Kepala BKKBN Pusat belum lama ini
bahwa “dua anak lebih baik”. Sebab selain kita dapat memberi kasih sayang yang
cukup untuk anak, kesehatan ibu tetap terjaga, kebutuhan untuk mengasuh,
sebagian besar keluarga di negara kita. Terlebih bila kita mengingat era
globalisasi telah bergulir, yang berarti persaingan untuk bertahan hidup dan eksis
bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara, semakin sulit. Hanya orang-orang
dengan kualitas memadai saja yang akan mampu memenangkan persaingan, yang
berarti pula dapat hidup layak dan dapat mengaktualisasikan kehidupannya dalam
kultur budaya dan latar belakang, karena kita hidup dalam satu wilayah yang
sama, dalam naungan negara yang sama, maka pasti pemikiran dan cara
mengikuti role pemikiran sebagian besar masyarakat, mereka mengikuti apa yang
telah tertanam dalam realitas sosial yang sudah ada dalam masyarakat, mereka
segi apapun untuk memiliki keluarga dengan formasi ayah, ibu, dua anak (laki-
129
laki dan perempuan) bagi kelangsungan hidup masyarakat. Citra-citra dalam iklan
yang nampaknya netral, ternyata di balik itu memiliki muatan ideologis yang
Di masyarakat yang dulunya populer dengan istilah “banyak anak banyak rejeki”
bisa bergeser menjadi istilah “dua anak cukup atau dua anak lebih baik”.
Memang, istilah itu sangat mendukung dalam keadaan Indonesia yang kurang
stabil dalam masalah ekonomi, namun masyarakat tetap dapat bijak dalam
lebih ke “nrimo ing pandum”, menerima segala yang diberikan oleh Tuhan.
Meskipun pada mulanya tetap berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, yaitu
mimpi memiliki sebuah keluarga ideal. Meskipun pada akhirnya tidak memiliki,
masyarakat dengan besar hati mau menerima hal tersebut, melanjutkan kehidupan
dan menyadari bahwa kebahagiaan sebuah keluarga tidak dapat diukur hanya
secara mentah-mentah apa yang ditampilkan oleh media, namun juga harus
130
3. Pengalaman pemirsa tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang
Masyarakat, meskipun berasal dari kultur dan latar belakang yang sama
terhadap makna dalam iklan tersebut yang dilakukan oleh pemirsa iklan televisi,
adalah konsekuensi dari proses encoding yang dilakukan iklan terhadap pemirsa.
Jadi, makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang berbeda-beda
sosial, (b) gaya hidup, (c) usia individu dan kemampuan intelektual, (d) perbedaan
gender, (e) kebutuhan terhadap produk yang diiklankan dan (f) kesan individu
terhadap iklan (Bungin, 2001 : 200). Individu dalam kelas sosial yang berbeda,
memberi kode makna yang berbeda terhadap iklan televisi yang sama. Begitu pula
individu dalam kelas sosial yang sama memberi kode yang berbeda terhadap
Makna yang dikode oleh pemirsa bisa sama atau berbeda dengan citra
yang dikonstruksi oleh copywriter dalam suatu iklan. Perbedaan itu terjadi karena
kesamaan, maka kesamaan itu akan tidak jauh dari citra yang dikonstruksikan
131
olah copywriter pada iklan tersebut, karena pada dasarnya pekerjaan media adalah
yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam analisanya
tentang konstruksi sosial realitas. Mereka berpendapat bahwa dunia sosial adalah
produk manusia, ia adalah konstruksi manusia dan bukan sesuatu yang given
pencitraan makna dalam iklan televisi, dengan tujuan agar diterima oleh pemirsa
seperti yang dimaksud oleh mereka. Namun karena adanya kategorisasi pemirsa,
keluarga ideal yang dibentuk oleh iklan televisi. Pengalaman yang terjadi dalam
ada pula yang berpengaruh besar. Namun persamaan diantara mereka adalah,
untuk memperoleh keluarga dengan formasi ideal yang muncul dalam awal
pernikahan merupakan hal yang wajar. Karena mereka masih terpusat pada mimpi
masyarakat juga mengamini hal itu. Sehingga konstruksi sosial yang dibentuk
132
Televisi membentuk realitas sosial sebagai gambaran realitas media atau
realitas virtual yaitu dunia yang hanya ada di dalam media televisi. Realitas sosial
salah satunya adalah melalui iklan televisi, mampu membangun realitas maya,
kehidupan yang nyata, tanpa asal-usul yang realistik pula. Melalui model simulasi
individu dijebak dalam sebuah dunia yang disadari nyata walaupun sesungguhnya
maya atau semu. Materi konstruksi iklan televisi, kemudian disiarkan oleh
melalui pencitraan dan pemberian “makna lebih” terhadap materi iklan televisi.
antara pencipta iklan dan media televisi. Dengan kata lain individu tidak sendirian
menciptakan realitas, namun penciptaan itu dibantu oleh kekuatan media, bahkan
Dengan demikian, realitas iklan televisi hanya ada dalam media televisi,
baru kemudian terjadi proses decoding dan encoding oleh pemirsa saat dan setelah
merupakan awal dari proses terbentuknya realitas sosial media” atau “realitas
media” dan “kesadaran semu” (Bungin, 2001 : 42). Bahwa realitas sosial media
adalah bagian kesadaran semu individu terhadap realitas itu, yang sebenarnya
tidak terjadi dalam realitas sosial nyata, namun dirasakan oleh pemirsa sebagai
133
sesuatu yang benar-benar terjadi, atau mungkin akan terjadi di kemudian hari, di
konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun iklan tersebut hanyalah sebatas
untuk memperoleh keluarga dengan formasi ideal tersebut tidak begitu tinggi atau
kuat. Karena mereka memandang konstruksi sosial itu hanya merupakan wacana
Dari uraian di atas, dapat ditarik teoritisasi dari penelitian seperti bagan
yang ada di bawah ini. Bagan berikut dapat menggambarkan bagaimana teori
bekerja pada proses konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan di
diiklankan. Selain itu untuk membangkitkan citra produk yang diiklankan, maka
atau dengan kata lain adalah simbol-simbol yang dimodernkan oleh masyarakat.
Teknologi media televisi saat ini mampu menciptakan realitas sosial yang
antara kehidupan nyata dan dunia yang digambarkan dalam televisi yang
dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempura sehingga
tak terkesan imaginater. Ketika peristiwa tayangan iklan televisi itu ditonton,
maka tontonan itu tidak sekedar hiburan, namun terjadi pula proses konstruksi
134
oleh pencipta iklan televisi terhadap pemirsa. Disadari bahwa tidak semua iklan
mengkonstruksi pemirsanya, namun dalam dunia iklan harapan bahwa iklan akan
bagi kebanyakan sang pencipta iklan tersebut. Tanpa disadari pula setiap tayangan
iklan selalu didekonstruksi oleh pemirsa televisi itu sendiri. Proses dekonstruksi
terjadi melalui pemilihan metode penafsiran, baik terhadap teks visual iklan
maupun wacana iklan itu sendiri sebagai bagian dari pengetahuan. Proses
iklan televisi.
135
Perusahaan Biro Iklan Konstruksi Sosial
Keluarga Ideal
Ada Keluarga
Iklan
dengan Formasi
Televisi EKSTERNALISASI
Lain
Keterangan :
keluarga ideal.
yang terjadi karena konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun oleh iklan
136
televisi dapat dipahami oleh peneliti. Peneliti menyimpulkan bahwa pengalaman
tentang konstruksi sosial keluarga ideal dapat terjadi karena memang pengaruh
dari bagian-bagian yang membangun iklan itu sendiri. Konstruksi sosial keluarga
ideal timbul karena memang telah direncanakan oleh pihak pembuat iklan, yaitu
dengan acuan realitas yang ada di tengah masyarakat sekarang ini. Karena
memang terbukti ada konstruksi sosial keluarga ideal dalam masyarakat oleh iklan
televisi, maka akan timbul sikap dan perilaku masyarakat yang telah terkonstruksi.
dan kenyataan, antara yang semu hasil karya media dan apa yang sebenarnya
ideal dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dalam
kehidupan mereka, namun apabila akhirnya tidak memiliki, maka itu bukan
masalah yang besar untuk mereka. Masyarakat sudah cukup bijak dalam
menyikapi konstruksi sosial keluarga ideal bentukan iklan tersebut. Mereka sangat
keluarga mereka saja, yang paling penting diantara semuanya adalah kualitas
sosial keluarga ideal oleh iklan televisi itu hanya terjadi pada awal pernikahan
137
saja, pengalaman yang mereka lihat di lingkungan sekitar mereka pun juga
tentang keluarga ideal tersebut tidak lagi dipersoalkan. Semua pengalaman yang
terjadi dan semua yang ditampilkan oleh iklan televisi dapat ditanggapi oleh
realitas semu dan manakah yang menjadi kenyataan dalam kehidupan mereka.
BAB V
PENUTUP
138
Keluarga dalam kerangka yang ideal pada dasarnya adalah terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Namun, bentuk keluarga ideal masa kini yang tengah populer
adalah keluarga dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak (laki-laki dan
perempuan). Pada penelitian ini, akan tampak betapa kuatnya peranan dan
ideal yang dibangun oleh iklan televisi terbukti dapat mempengaruhi pemikiran
dan pandangan masyarakat tentang sebuah keluarga. Apa yang dilakukan oleh
iklan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan sikap dan perilaku masyarakat
yang telah terkonstruksi. Sikap dan perilaku itu kemudian berkembang menjadi
peneliti.
yaitu pengalaman pemirsa tentang citra keluarga ideal oleh iklan televisi,
masyarakat tentang keluarga ideal dan yang terakhir adalah pengalaman pemirsa
tentang konstruksi sosial keluarga ideal yang dibangun melalui iklan televisi.
peneliti menarik kesimpulan dari ketiga tema utama tersebut, bahwa masyarakat
memang mengetahui benar bahwa iklan memang telah membangun sebuah citra
tentang keluarga ideal. Keluarga ideal seakan-akan haruslah berformasi ayah, ibu,
139
dua orang anak (laki-laki dan perempuan), di luar formasi tersebut maka
Mereka hanya memandang citra yang ditampilkan iklan hanya sebatas mimpi
dengan ikhlas segala yang diberikan oleh Tuhan. Pengalaman yang mereka lihat
pengaruh yang ditimbulkan konstruksi sosial tentang keluarga ideal tersebut tidak
dan kenyataan, antara yang semu hasil karya media dan apa yang sebenarnya
ideal dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan perempuan) dalam
konstruksi sosial keluarga ideal bentukan iklan tersebut. Mereka sangat menyadari
bahwa kebahagiaan seseorang bukan dinilai dari kuantitas dalam keluarga mereka
saja, namun yang paling penting diantara semuanya adalah kualitas dalam
keluarga.
140
Dalam implikasi hasil studi ini, akan dipaparkan beberapa implikasi studi
beda oleh setiap pemirsa televisi, namun pengalaman yang terjadi sebagai
akibat dari pengaruh konstruksi sosial itu kurang lebih sama, khususnya
secara bijaksana oleh pemirsa, karena terbukti apa yang ditampilkan dalam
layar kaca tidak selalu terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat. Iklan
heterogen.
141
Dalam tataran praktis, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang
dasarnya, keluarga ideal dengan formasi ayah, ibu dan dua orang anak
(laki-laki dan perempuan) adalah merupakan basic needs setiap orang dan
keluarga. Setiap anak dalam keluarga mempunyai nilai yang sama, tidak
ada yang lebih baik ataupun lebih buruk. Jumlah dan jenis kelamin
yang ideal dengan formasi ayah, ibu, dua orang anak (laki-laki dan
memiliki, maka itu bukan masalah yang besar untuk mereka. Media
142
sosial ke tengah masyarakat, namun masyarakat kini sudah pintar
DAFTAR PUSTAKA
143
Buku :
Muhammadiyah Surakarta.
Group.
Jalasutra.
Books.
Publications.
144
McQuaill, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar Edisi Kedua.
Rosdakarya.
Publication.
Pelajar.
Pustaka Pelajar.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta :
LP3ES.
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Muhammadiyah Malang.
Artikel :
145
Rahardjo, Turnomo. Paradigma Penelititan Komunikasi Antar Budaya. Dalam
Internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
http://www.boulevard.or.id/?cat=7
http://www.bkkbn.go.id/yogya/article_detail.php?aid=2
http://www.google.com
http://www.jakarta.go.id/layanan/masyarakat/kartu_keluarga.htm
146