Anda di halaman 1dari 4

ADAKAH NASIONALISME DALAM

ISLAM ?*
Posted: ihtiroom on Nov 10 | artikel

Artikel ini berisi perdebatan tentang Islam dan Nasionalisme di kalangan intelektual
Muslim. Ada tiga kelompok pensikapan umat Islam terhadap wacana nasionalisme yang
pada awal kelahirannya dari Barat. Selamat membaca …

Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua
pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran
keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama
mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan
kekuatan bangsa itu (Lukman Ali, Dkk, 1994). Dengan demikian, nasionalisme berarti
menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa,
budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang
berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa
Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk
menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik (Michael A. Riff (ed),
1995).

Nasionalisme muncul pertama kali di Eropa, yang pada awal kelahirannya menghasilkan
deklarasi hak-hak manusia. Namun seiring dengan perubahan jaman, nasionalisme
berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan
atas kemanusiaan. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan
menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan
penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan
(nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Perbincangan tentang nasionalisme di dunia Islam terjadi perdebatan yang tiada


ujungnya. Munculnya nasionalisme diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah
berkembang sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani. Dalam analisisnya, penyebab
keruntuhan Islam dan kaum muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan internal
kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan kristen Eropa, yang
bertujuan untuk memperbudak kaum muslimin dan menghancurkan Islam.

Al-Tahtawi, teoritisi nasionalisme Arab yang paling berpengaruh menegaskan “patriotisme


adalah sumber kemajuan dan kekuatan, suatu sarana untuk mengatasi gap antara wilayah
Islam dan Eropa. Beberapa pemikir awal Arab dan Turki menggagas nasionalisme yang
murni berwatak Eropa modern dan sekular. Di Mesir muncul tokoh yang bernama
Abdurrahman Al-Kawakibi yang dianggap sebagai ideolog utama nasionalisme Arab. Dan
di Turki terdapat Ziya Gokalp, sang penulis utama nasionalisme Turki. Keduanya
mengambil gagasan nasionalisme dari sumber yang sama, Eropa. Mereka yakin bahwa
nasionalisme model Eropalah yang dapat dijadikan energi untuk melakukan perubahan
sosial dan politik di dunia Islam.

Di pihak lain, Ali Muhammad Naqvi secara tegas menyatakan Islam tidak kompatibel
dengan nasionalisme karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria
nasional sebabagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini
hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan universal.
Selain itu karena spirit nasionalisme yang berupa sekularisme yang menghendaki
pemisahan tegas antara agama dan politik. Naqvi percaya bahwa jika Islam yang
berkembang maka nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya saat nasionalisme
bangkit berarti kekalahan Islam.

Abdul Aziz bin Baz memperkuat argumen di atas dengan menyatakan bahwa nasionalisme
adalah praktik-praktik jahiliyah yang jauh dari nilai-nilai Islam sehingga harus
dihancukan.

Dalam khazanah intelektual dan pergerakan Islam, terdapat tokoh moderat bernama
Hasan Al-Banna sebagai orang pertama yang secara komprehensif dan sistematis
membincangkan tentang nasionalisme. Al-Banna membedakan antara konsep al-
wathaniyah dan al-qawmiyah dalam menjelaskan arti kebangsaan. Al-wathaniyah sepadan
dengan kata patriotisme yang berarti rasa cinta tahah air. Konsep ini merujuk pada ruang
tertentu, tempat tinggal dan tanah tumpah darah. Keterikatan pada identitas given, atau
dalam teori sosiologi sebagai status yang diperoleh (ascribed status), singkatnya adalah rasa
memiliki negeri sendiri. Sedangkan al-qawmiyah lebih diartikan sebagai nasionalisme,
yakni rasa berbangsa dan bernegara. Rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang
dicapai dan diraih melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau
sekelompok orang. Biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi dan aspirasi tertentu untuk
mencapai tujuan bersama.

Hasan Al-Banna merestorasi konsepsi awal patriotisme dan nasionalisme yang Eropa
sentris dan berwatak sekular menjadi konsep yang telah diisi pemahaman baru sesuai
Islam dan dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam. Dalam kaidah ushul fikih, Al-Banna
melakukan apa yang dikenal dengan “memelihara yang lama yang baik dan mengambil
yang baru yang lebih baik”. Unsur-unsur terbaik dari patriotisme atau nasionalisme
diserap dan dirumuskan untuk menjadi alat perjungan kebangkitan Islam.

Lebih lanjut, Hasan Al-Banna menguraikan perspektif nasionalisme dalam Islam dengan
menegaskan bahwa motif-motif ideal nasionalisme sepenuhnya relevan dengan doktrin-
doktrin Islam. Pandangan Hasan Al-Banna tentang nasionalisme diantaranya adalah:

Pertama, Nasionalisme Kerinduan. Jika yang dimaksud dengan nasionalisme oleh para
penyerunya adalah cinta tanah air dan keberpihakan padanya dan kerinduan yang terus
menggebu terhadapnya, maka hal itu sebenarnya sudah tertanam dalam fitrah manusia.
Lebih dari itu Islam juga menganjurkan yang demikian. Sesungguhnya Bilal yang telah
mengorbankan segalanya demi imannya, adalah juga Bilal yang suatu ketika di Madinah
menyenandungkan bait-bait puisi kerinduan yang tulus terhadap tanah asalnya, Makkah.
Kedua, Nasionalisme Kehormatan dan kebebasan, yaitu nasionalisme dalam bentuk
keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman imperialisme,
mananamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-putera bangsa, maka
kitapun sepakat tentang itu. Islam telah menegaskan perintah itu dengan setegas-tegasnya.

Ketiga, Nasionalisme Kemasyarakatakan. Yaitu nasionalisme dalam rangka memperkuat


ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warganegara serta menunjukkan
kepada mereka cara-cara memanfaatkan ikatan itu untuk mencapai kepentingan bersama.
Islam bahkan menganggap itu sebagai sebuah kewajiban. Lihatlah bagaimana Rasullalah
saw bersabda, “Dan jadilah kalian hamba-hamba allah yang bersaudara.” (Al-Hadist)

Keempat, Nasionalisme Pembebasan. Yaitu nasionalisme dalam rangka membebaskan


negeri-negeri lain dan menguasai dunia, maka itu pun telah diwajibkan oleh Islam. Islam
bahkan mengarahkan pada pasukan pembebas untuk melakukan pembebasan yang paling
berbekas.

Hasan Al-Banna melanjutkan, ”Sekarang dapat dilihat betapa kita berjalan seiring dengan
para tokoh penyeru nasionalisme bahkan dengan para tokoh penyeru nasionalisme bahkan
dengan kalangan radikal-sekuler diantara mereka. Kita sepakat dengan mereka terhadap
nasionalisme dalam semua maknanya yang baik dan dapat mendatangkan manfaat bagi
manusia dan tanah airnya. Sekarang juga telah terlihat, betapa paham nasionalisme
dengan slogan dan yel-yel panjangnya, tidak lebih dari kenyataan bahwa ia merupakan
bagian sangat kecil dari keseluruhan ajaran Islam yang agung.”

Yang membedakan Islam dengan mereka adalah bahwa batasan nasionalisme bagi Islam
ditentukan oleh basis iman, sementara pada mereka batasan paham itu ditentukan oleh
teritorial wilayah negara dan batas-batas geografis semata. Bagi Islam, setiap jengkal
tanah di bumi ini, dimana di atasnya ada seroang muslim yang mengucapkan La ilaha
illahllah, maka itulah tanah air Islam. Seorang muslim wajib menghormati kemuliaannya
dan siap berjuang dengan tulus demi kebaikannya. Semua mulim dalam wilayah geografis
manapun adalah saudara dan keluarga. Setiap muslim turut merasakan apa yang mereka
rasakan dan memikirkan kepentingan-kepentingan mereka.

Sebaliknya, bagi kaum nasionalis (sempit) semua orang yang ada diluar batas tanah
tumpah darahnya sama sekali tidak dipedulikan. Mereka hanya mengurus semua
kepentingan yang terkait langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya.
Secara aplikatif perbedaan akan tampak lebih jelas ketika sebuah bangsa hendak
memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain. Islam sama sekali tidak
membenarkan itu untuk diterapkan diatas sejengkal pun dari tanah air. Islam
menginginkan kekuatan dan kemaslahatan untuk semua bangsa-bangsa muslim.
Sementara kaum nasionalis menganggap yang demikian itu sebagai suatu kewajaran.
Paham demikian inilah yang kemudian membuat ikatan di antara muslimin menjadi
renggang dan kekuatannya pun melemah.

Ada kecenderungan, kaum nasionalis hanya berfikir untuk membebaskan negerinya. Bila
kemudian mereka membangun negeri mereka, mereka hanya memperhatikan aspek-aspek
fiisik seperti yang kini terjadi di daratan Eropa. Sebaliknya, setiap muslim percaya bahwa
di leher mereka tergantung amanah besar untuk mengorbankan seluruh jiwa dan raga
serta hartanya demi membimbing manusia menuju cahaya Islam. Setiap muslim harus
mengangkat bendera Islam setinggi-tingginya di setiap belahan bumi; bukan untuk
mendapatkan harta, popularitas dan kekuasaan atau menjajah bangsa lain, tapi semat-
mata untuk memperoleh ridha Allah swt dan memakmurkan dunia dengan bimbingan
agamanya. Itulah yang mendorong kaum Salaf yang saleh melakukan pembebesan-
pembebasan suci yang telah mencengangkan dunia dan mempesonakan sejarah; dengan
kecepatan gerak, keadilan dan keluhuran akhlaknya.

Sehingga jelaslah bahwa Islam dan nasionalisme bukan sesuatu yang bertentangan. Bahwa
nilai-nilai nasionalisme ada dalam Islam, ia merupakan bagian kecil dari keseluruhan nilai
Islam. Nasionalisme Islam berbasis pada iman, bukan hanya geografis dan etnis.
Karenanya nasionalisme Islam bermakna luas, tidak sempit. Islam mendukung
nasionalisme bila ia berdampak pada kemaslahatan ummat. Sedangkan unsur negatif dari
nasionalisme (ekstrim) ditolak oleh Islam.

Anda mungkin juga menyukai