Anda di halaman 1dari 29

 

Arsip Tulisan A.I.G.? // jurnalsegiempat.blogspot.com  2011 

LUPAKAN: CERITA HAMBAR YANG DIRUMIT-RUMITKAN*


Penulis : Manshur Zikri
Sumber : Jurnal Segiempat, Arsip Februari 2011, Kategori Opini
Publikasi : http://jurnalsegiempat.blogspot.com
URL : http://jurnalsegiempat.blogspot.com/2011/02/lupakan‐cerita‐hambar‐yang‐
dirumit.html 

* Dilarang keras men-copy artikel ini untuk tujuan komersil, kecuali untuk kepentingan pendidikan
dan penyebaran informasi! Untuk filem berjudul LUPAKAN ini, dapat dilihat di tautan
berikut: http://vimeo.com/19988032

Kelompok Diskusi Film ada ide nggak? (A.I.G.?) 
 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

LUPAKAN: CERITA HAMBAR YANG DIRUMIT-RUMITKAN


Oleh Manshur Zikri

B
agi para sineas, bungkusan atau kemasan sebuah filem memang telah menjadi sebuah
perdebatan dan perang dingin di antara pihak yang mengutamakan keterampilan teknis
melawan pihak idealis yang mengutamakan kematangan konsep dan gagasan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa yang namanya filem itu, bagi pembuatnya, yang menjadi tujuan utama
adalah memuaskan sang maharaja bernama penonton. Akan tetapi, alangkah baiknya jika orang
yang sedang terjun ke dalam ranah pergerakan filem, terlebih dahulu memahami permainan bahasa
visual dan konsep sinema/filem dengan baik sebelum mempermasalahkan tampilan yang bersifat
fisik.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 1 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Secara pribadi, penulis adalah orang yang pro kepada kelompok yang mengutamakan
kematangan konsep dan gagasan dari sebuah filem. Menurut penulis, yang menjadi perkara
bukanlah terletak pada baik buruknya tampilan sebuah filem, di mana tampilan ini kemudian
menjadi landasan untuk mengatakan bahwa sebuah filem itu bagus atau tidak. Akan tetapi yang
harus diperhatikan adalah apakah filem itu dapat memberikan sesuatu yang berarti bagi penonton,
bukan hanya sebagai bentuk peremajaan mata dan telinga, kepuasan perasaan, pengobat hati akan
segala mimpi muluk, tetapi juga terletak pada kepuasan batiniah dan pikiran. Dengan kata lain,
sebuah filem haruslah menjadi suatu medium yang dapat menghantarkan penonton ke suatu titik, di
mana ia memahami konsep dan gagasan (persoalan yang ada di dalam filem tersebut,
keterkaitannya dengan realitas sosial dan sejarah, dan signifikansi diangkatnya masalah itu), dan
memahami kepiawaian si pembuat filem dalam meramu dan menghadirkan permainan bahasa visual
yang fantastis tetapi logis, dan tidak mendapat protes dari pikiran yang rasional (selain sebagai seni,
filem juga dapat dipahami seperti rumusan sistematis dalam khasanah ilmu pengetahuan alam dan
matematika).

“Kendala teknis bukan berarti mengurangi kemampuan seseorang berbicara dalam bahasa
sinema”. Yang terpenting adalah bagaimana membungkus sebuah cerita dan penyutradaraan dalam
sebuah filem. Jika syarat-syarat itu terpenuhi, tampilan gambar yang kurang bagus kualitasnya di
depan layar kaca bukan menjadi soal, karena filem tersebut tetap dapat memuaskan
penonton. (Lihat Hafiz, 2009, Kekerasan dalam Filem: Sebuah Kritik pada Filem Kado Hari Jadi,
dalam kolom artikel www.jurnalfootage.net)

Penulis sendiri bukanlah seorang pakar atau kritikus filem, melainkan hanyalah seorang
penikmat dan peminat filem, yang mencoba untuk memberikan pendapatnya terhadap sebuah
filem―yang dalam sudut pandang penulis dapat dikatakan gagal―sebagai bentuk apresiasi dari
sebuah karya yang telah dibuat. Dorongan untuk menulis artike ini muncul ketika secara tidak
sengaja melihat sebuah tautan di situs jejaring facebook, di mana tautan itu adalah tautan dari
sebuah website video, yang menampilkan sebuah filem pendek, berjudul “LUPAKAN” karya
Radian ‘Jawa’ Kanugroho. Melihat komentar yang tertera di bawah tautan tersebut, seperti misalnya
kualitas gabar yang bagus, makna cerita yang ‘mengena’ ke perasaan, dsb., akhirnya penulis
mencoba untuk menonton filem tersebut, hitung-hitung sebagai bahan tulisan ulasan filem agar
dapat dimuat dalam http://jurnalsegiempat.blogspot.com. Akan tetapi rasa kecewa yang malah

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 2 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

menghampiri setelah menonton filem produksi Studio DG Pictures itu; hasilnya nihil alias tidak
memuaskan. Maka dari itu penulis beralih untuk menulis sebuah opini-kritik terhadap filem
tersebut.

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Secara tampilan fisik, filem ini dapat dikatakan bagus dan cukup berhasil karena kualitas
gambar dan suara yang baik. Lagu pengiring di awal pembukaan filem yang dipilih oleh sutradara
pun bernuansa klasik, yang dapat menjadi penarik orang yang menontonya. Filem tersebut tidak ada
dialog, dan hanya mengandalkan mimik wajah para tokoh sebagai suatu cara sutradara untuk
menyampaikan ‘dialog’ kepada penonton.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 3 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

“LUPAKAN” bercerita tentang seorang laki-laki (diperankan oleh Hedwigis Hedwi


Prihatmoko) yang menjalani hari-harinya sebagai warga masyarakat yang memanfaatkan jasa
transportasi umum kereta api. Pada suatu hari, tanpa sengaja dia melihat seorang gadis berkacamata
(diperankan oleh Gadis Dellilah Maxworthy) sedang menunggu di seberang rel, di sebuah stasiun
kereta api, yang dapat diduga sedang menunggu kereta. Saat sedang asyik memandangi gadis itu,
sebuah kereta melintas dan menutupi pandangan si lelaki. Ketika kereta telah lalu, si gadis
menghilang. Pada hari berikutnya, seperti biasa si lelaki datang ke stasiun kereta, dan tanpa sengaja
menemukan secarik kertas bertuliskan kata ‘lupakan’. Pada hari itu dia juga melihat gadis tempo
hari, menunggu dengan sedikit gelisah sambil memandangi jam tangannya. Pandangan terhenti
ketika si gadis lenyap setelah kereta yang ditunggu si gadis datang. Di hari lain, ia kembali melihat

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 4 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

si gadis, yang kali itu duduk di bangku stasiun sambil membaca buku berjudul SI MURAI DAN
ORANG GILA, dan tanpa di duga mendongak melihat ke arah si lelaki sambil tersenyum.

Di hari yang lain lagi, di stasiun yang sama, si lelaki mengkhayal. Dia melihat dirinya
bertengkar dengan si gadis, yang ternyata telah memikat hatinya, di seberang rel tempat si gadis
biasa menunggu kereta. Ketika si gadis itu pergi sambil membawa tas, tanpa sengaja dia melihat
seorang gadis lain sedang duduk di bangku stasiun, memandang ke arahnya, sambil memegang
secarik kertas. Gadis yang ke dua ini (diperankan oleh Jodia Pravitadini) ternyata menaruh minat
kepada si lelaki, bahkan di suatu hari yang lain, dia memperhatikan si lelaki membaca buku
berjudul SI MURAI DAN ORANG GILA yang dibaca oleh gadis pertama.

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 5 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Cerita mulai menunjukkan penyelesaian ketika si lelaki, di hari yang lain lagi, sedang galau
hatinya memikirkan si gadis berkacamata yang ia lihat di seberang rel, bahkan mengkhayalkan
gadis berkacamata itu berdiri di sampingnya ketika bersandar di pagar stasiun kereta. Namun
kegalauan hatinya terobati ketika gadis yang kedua mulai mendekatinya. Di hari yang lain lagi, si
lelaki sendiri yang menghampiri si gadis kedua dan mereka akhirnya berteman. Cerita pun berakhir
ketika tokoh laki-laki dan gadis kedua berpegangan tangan, saling tersenyum, dan pergi dari tempat
mereka berdiri sebelumnya. Kemudian filem ditutup dengan adegan si gadis pertama (yang
berkacamata) turun dari kereta, dan tanpa sengaja menemukan secarik kertas yang bertuliskan kata
‘lupakan’.

Mungkin ada sedikit kejanggalan bahwa penulis terlalu sering mengatakan kata ‘di hari yang
lain’ ketika memaparkan kronologis cerita filem tersebut. Hal ini disebabkan oleh memang tidak
ada informasi yang menegaskan bahwa dari hari yang satu ke hari yang lain adalah urutan dari hari
sekarang ke esok harinya. Oleh karena itu penulis lebih memilih kata ‘hari yang lain’.

Lalu apa yang dapat ditangkap dari filem berdurasi lima belas menit ini? Tidak lain
hanyalah sebuah sajian cerita percintaan yang hambar ala sinetron yang sering kita saksikan di
televisi atau Filem-televisi sekali tayang. Kesimpulan ini terlintas begitu saja di kepala penulis di
waktu pertama kali menonton, dan ketika yang kedua, ketiga, bahkan belasan kali mengulang filem
tersebut, bayangan sinetron untuk filem tersebut tidak dapat berubah.

Setelah merasa kecewa menonton filem ini, penulis teringat sebuah filem Iran berjudul
“BARAN”, karya Majid Majidi, yang tokohnya diperankan oleh Hossein Abedini, Zahra Bahrami,
dan Mohammad Amir Naji. Sebuah filem yang juga berceritakan tentang cinta anak muda, tetapi
dikemas dengan bahasa visual yang puitis dan indah. Cerita tidak disajikan dengan hambar, tetapi
dihadirkan di antara realita masyarakat yang sesungguhnya sehingga memancing pemahaman kita
untuk berpikir lagi tentang cinta dan nilai-nilai budaya yang mengelilinginya. Cerita cinta disajikan
bersamaan dengan persoalannya yang begitu kompleks, dan tidak melulu berisikan iming-iming
pencapaian mimpi muluk yang selalu diidam-idamkan. Namun demikian, filem “BARAN” tidak
memberikan sajian yang mengecewakan tentang sebuah cinta yang tidak berhasil dicapai,
melainkan cinta itu berhasil diraih oleh tokoh Lateef (pemeran utama laki-laki) ketika tokoh
perempuan bernama Baran pergi meninggalkan Lateef.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 6 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

“BARAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 7 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

MAJID MAJIDI 

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 8 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Di sini penulis tidak menegaskan bahwa cerita cinta yang sederhana adalah sebuah ide yang
buruk. Akan tetapi lebih kepada cara sutradara mengemas ceritanya sehingga tidak terasa hambar.
Menurut penulis, sutradara filem “LUPAKAN” masih terlalu banal memberikan adegan jatuh
hatinya si tokoh laki-laki kepada gadis berkacamata yang ia lihat di seberang rel, di stasiun kereta.
Tindakan si laki-laki yang terlalu memperhatikan si gadis berkacamata menunggu kereta atau
membaca buku, di tambah adegan si laki-laki mengkhayalkan dirinya bertengkar dengan si gadis,
juga bayangan si gadis yang berdiri di sampingnya ketika bersandar di pagar stasiun kereta (yang
dapat ditangkap sebagai gambaran kegalauhan hatinya) adalah masih terlalu biasa. Adegan seperti
ini sering kita lihat dalam adegan di sinetron yang basi. Dapat dikatakan bahwa Radian masih
kurang melakukan eksplorasi ide dalam menyampaikan pikiran dan perasaan si laki-laki. Gambaran
khayalan dan imajinasi tokoh laki-laki dalam filem ini tidak memberikan sesuatu yang baru.
Sungguh berbeda dengan filem “BARAN”, di mana kegalauan tokoh Lateef digambarkan dengan
adegan perubahan sikap dan kegemarannya memberikan makanan ke burung merpati. Kekaguman
Lateef kepada Baran pun digambarkan dengan visual yang begitu puitis, dapat dilihat ketika adegan
Lateef yang ternganga melihat bayangan sosok Baran menyisir rambut di dalam dapur.

Tokoh Baran dan Lateef 

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 9 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Lateef kagum melihat sosok bayanyan Baran 

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 10 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Selain itu, cerita dalam filem ini terkesan diserius-seriuskan oleh pembuatnya. Ketika
menonton filem, dapat penulis sadari tentang adanya lingkaran adegan (istilah yang penulis
simpulkan sendiri), dapat penulis katakan sebagai benang merah filem ini, yang mengikat interaksi
di antara ketiga tokoh. Kuncinya terletak pada secarik kertas yang mereka temukan di stasiun kereta
api, yang bertuliskan kata ‘lupakan’. Penulis akan mencoba membongkar adegan melingkar ini,
yang secara bergantian terjadi pada ketiga tokoh.

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 11 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Pertama adalah ketika laki-laki turun dari kereta api lalu berdiri di dekat bangku stasiun
(mungkin menunggu sesuatu), kemudian melihat seorang gadis berkacamata yang memikat
hatinya. Hari berikutnya dia menemukan secarik kertas bertuliskan kata ‘lupakan’. Lalu tokoh
laki-laki ini mengkhayal: bertengkar dengan gadis berkacamata dan saat itu pula dia melihat
seorang gadis lain memegang secarik kertas. Kemudian hari berikutnya lagi, dia melihat gadis
berkacamata membaca buku berjudul SI MURAI DAN ORANG GILA. Di hari berikutnya lagi,
giliran dia yang membaca buku, diperhatikan oleh gadis kedua. Adegan selanjutnya, yang terjadi di
hari berbeda, dia (ingin) bercengkrama dengan gadis berkacamata (meskipun dalam khayalan),
dan kemudian bercengkrama (dihampiri) dengan gadis yang satunya lagi (dalam kehidupan nyata).

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 12 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 13 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Kedua, yang juga bagian dari lingkaran, adalah si gadis yang kedua duduk di ujung stasiun
sambil mencopot mahkota bunga (mungkin juga menunggu sesuatu). Di hari berikutnya, dia masuk
(atau menjadi bagian) dalam khayalan si laki-laki, duduk di bangku stasiun memegang secarik
kertas (yang dapat diduga pasti bertuliskan kata ‘lupakan), melihat seorang laki-laki yang
menarik hatinya. Hari berikutnya lagi, dia melihat si laki-laki membaca buku berjudul SI MURAI
DAN ORANG GILA. Di hari yang lain, dia bercengkrama (menghampiri/ingin) dengan si laki-
laki, dan hari berikutnya dia bercengkrama (dihampiri) oleh laki-laki.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 14 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Bagian lingkaran yang ketiga adalah si gadis berkacamata, yang sesungguhnya baru
memulai lingkarannya sendiri, di adegan akhir filem, ketika dia menemukan secarik
kertas bertuliskan kata ‘lupakan’. Adegan selanjutnya cukup diimajinasikan oleh penonton sesuai
dengan apa yang dialami oleh dua tokoh lainnya (tidak sengaja menemukan/melihat pujaan hati,
melihatnya membaca buku berjudul SI MURAI DAN ORANG GILA, dan kemudian
bercengkrama).

Mungkin ide membuat lingkaran adegan ini, bagi penulis sendiri, cukup lumayan dan si
sutradara patut diapresiasi. Akan tetapi kecemerlangan susunan ini menjadi luntur ketika ternyata
persoalan cinta yang menjadi gagasan utama tidak serumit susunan adegan yang malah terkesan

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 15 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

dirumit-rumitkan. Ketika menyadari ini, penulis mengerti bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh
Radian adalah tentang bagaimana kita memilih: tidak perlu bermimpi dan obsesif mengejar yang
tidak dapat dicapai ketika ada hal yang lebih dekat dan bisa kita capai. Gagasan ini malah terkesan
tidak jauh-jauh beranjak dari persoalan remaja terkait dengan masalah asmara. Suatu gagasan
tentang ‘pilihan’ yang seharusnya dapat menjadi nasehat baik, malah jatuh menjadi pesoalah sepele
ketika cara peyampaiannya yang begitu berbelit-belit (bahkan penulis sendiri pun terpaksa
menyampaikannya dengan sedikit berbelit-belit agar dapat memisahkan poin-poin kerumitan yang
tidak berarti di dalam filem ini). Terlebih lagi, secarik kertas bertuliskan kata ‘lupakan’ itu menjadi
sebuah simbol yang gamblang dan mudah bagi penonton untuk menangkap maksud si
sutradara: lupakan si A, lebih baik pilih si B.

Benda-benda yang Mengganggu

Kalau kita berbicara mengenai simbol, tidak akan jauh-jauh dari analogi. Simbol merupakan suatu
hal yang disepakati, dan dapat dikatakan sebagai analogi dari suatu hal tertentu, di masyarakat
dalam budaya tertentu pula. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa mengutamakan pemakaian
simbol di dalam filem kurang efektif untuk menyampaikan gagasan. Akan lebih baik jika disajikan
sebuah tanda (sign), di mana ‘tanda’ tersebut tidak terikat oleh sebuah kesepakatan, tetapi dapat
disadari sebagai pemicu untuk memahami sesuatu. Dan ‘tanda’ yang baik, selalu disajikan dengan
penggambaran semiotika yang baik pula.

Melihat filem ini, penulis banyak menemukan benda-benda yang ‘mengganggu’ dan
terkesan hanya sebagai simbol. Dan yang lebih parah lagi adalah simbol itu sendiri tidak memiliki
arti yang cukup penting terkait dengan gagasan utama dari cerita, yaitu tentang pilihan dan cinta.
Kalaupun ada yang berkaitan dengan gagasan, disajikan dengan begitu gamblang dan tidak
memancing imajinasi.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 16 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 17 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 18 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Dua benda pertama yang ‘mengganggu’ itu adalah kereta dan rel kereta. Di dalam filem ini,
terlalu banyak dihadirkan adegan kereta yang melintas. Lalu apa signifikansi dari dua benda ini?
Apakah hanya sebagai jembatan antara satu adegan ke adegan yang lain, atau memiliki arti tertentu?
Apakah fungsinya sebagai simbol dari aktivitas dan jalan hidup manusia yang terus bergerak (rel
kereta), atau sebagai penegasan bahwa waktu yang terus berjalan (kereta melintas)? Kalau memang
demikian, tentulah pembakuan seperti itu sedikit menyimpang jauh dari gagasan tentang sebuah
pilihan. Mungkin sang sutradara ingin menegaskan bahwa tidak ada waktu untuk menunda-nunda
pilihan, karena waktu terus bergulir; manfaatkanlah waktu, segera tentukan pilhan, dan lupakan
yang tidak dipilih. Interpretasi ini pun hanya merupakan usaha dari penulis untuk mencoba
mengaitkan dengan gagasan cerita. Kalau memang tidak ada arti sama sekali, berarti tidak salah jika

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 19 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

penulis menyatakan bahwa adegan kereta melintas itu intensitasnya terlalu banyak, dan
‘mengganggu’ (setidaknya menurut pendapat penulis sendiri).

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Benda yang kedua adalah buku berjudul SI MURAI DAN ORANG GILA. Buku itu sendiri
adalah sebuah kumpulan cerpen terbitan Dewan Kesenian Jakarta yang berkerjasama dengan
Kepustakaan Populer Gramedia. Pertanyaan kritis dari penulis muncul ketika melihat buku itu
dibaca oleh tokoh di dalam filem. Apa fungsinya dan kaitannya dengan filem? Tentunya harus kita
sadari bahwa semua benda yang digunakan dalam sebuah filem harus memiliki signifikansi dalam
filem tersebut. Apakah Radian ingin memberikan informasi bahwa pilihan yang begitu rumit akan

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 20 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

membuat orang gila sehingga melampiaskannya dengan membaca buku tersebut, yang memang
sebagian isinya berupa cerita pendek yang ‘gila’. Sebenarnya tidak menjadi masalah jika tokoh di
dalam filem membaca sembarang buku. Akan tetapi sudut pengambilan gambar oleh kamera secara
jelas meng-close up judul dari buku itu (lihat adegan ketika laki-laki membaca buku itu
sambil jongkok), tentu hal ini akan ditanggapi sebagai bagian yang penting dari adegan.

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 21 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Benda yang selanjutnya adalah jam tangan. Jika kita melihat tokoh gadis berkacamata
melihat jam tangannya sampai dua kali, itu tidak masalah. Namun, apa artinya adegan tokoh laki-
laki yang juga melihat jam tangan yang diambil dari saku celananya (dan jam tangan itu mati)?
Apakah dia ingin memastikan pukul berapa saat itu? Bahkan penulis secara aneh sempat berpikir,
“Barangkali dia ingin memastikan pukul berapa, dan menebak bahwa gadis berkacamata itu sedang
akan pergi kuliah, dan takut terlambat karena kereta tidak kunjung datang.” Apapun interpretasi
orang lain, bagi penulis kehadiran jam tangan yang mati itu beserta adegannya tidak penting. Dan
adalah suatu hal yang merepotkan jika lagi-lagi harus mengaitkannya dengan ‘waktu yang terus
bergulir’, dan kalau memang begitu, mengapa jamnya mati tidak berfungsi?

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 22 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Dan benda terakhir adalah secarik kertas bertuliskan kata ‘lupakan’. Sudah jelas, seperti
yang dijelaskan sebelumnya, bahwa ini adalah simbol yang menegaskan tentang gagasan ‘pilihan’
dalam cerita. Bahkan kata ‘lupakan’ itu sendiri menjadi judul filemnya. Menurut penulis, secarik
kertas ini lah yang kemudian menjadi benda yang merusak secara fatal filem tersebut. Dapat kita
ambil kesimpulan bahwa dengan ‘peringatan’ dari secarik kertas itu: Lupakan!, memberikan
informasi bahwa tidak ada lagi kesempatan bagi si tokoh laki-laki untuk mengharap perasaanya
akan direspon oleh si gadis berkacamata. Ini pemberitahuan informasi yang sangat gamblang! Dan
secarik kertas itu pun hanya menjadi secarik kertas belaka yang numpang lewat di dalam filem.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 23 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Coba kita bandingkan dengan filem “BARAN”, yang sejatinya memberikan informasi yang sama.
Lateef yang mencintai Baran, menyimpan jepit rambut milik Baran yang ia temukan. Suatu hari dia
berharap akan memberikan jepit rambut itu kepada Baran secara langsung. Ketika cerita cinta
Lateef dan Baran mulai memasuki babak bahwa mereka tidak dapat bersatu, jepit rambut itu ia
letakkan di pinggir kolam di tempat Baran biasa menimba air. Di sini, jepit rambut memang
menjadi simbol keterikatan antara Lateef dengan Baran. Namun penggunaan simbol ini menjadi
sangat baik ketika penyampaian informasi bahwa Lateef menyerah dan merelakan kepergian Baran
disajikan melalui tanda, yaitu adegan ia mencuci muka dengan emosi, kemudian meletakkan jepit
rambut tersebut di pinggir kolam dengan sangat khitmad, kemudian pandangannya bergerak ke
sebuah ruang, di mana Lateef mulai menerawang akan masa depannya dengan gadis pujaan.
Gambar yang ditampilkan dihiasi dengan cahaya kemerlap-kemerlip yang menegaskan impian tidak
tercapai dari Lateef semakin jauh. Dapat kita lihat, simbol (jepit rambut) tidak menjadi hal yang
utama, tetapi menjadi penting dengan permainan tanda atau sinyal yang dibangun oleh Majid
Majidi. Penonton diberi ruang untuk berimajinasi dan mengiterpretasikan sendiri makna dari adegan
tersebut.

Tidak Logis

Ade Darmawan, seorang aktivis dari Ruang Rupa, pernah berkata bahwa permasalahan rendahnya
kualitas sinetron atau filem-filem di Indonesia adalah terletak pada penyajian adegan yang tidak
logis. Beberapa ketidaklogisan ini penulis temukan di dalam filem yang sedang dibahas ini.

Ketidaklogisan yang pertama adalah adegan ketika si tokoh laki-laki secara tidak sengaja
menemukan secarik kertas ketika dia mengecek sendalnya yang lepas. Jika kita perhatikan pada
adegan sebelumnya, dia dapat berjalan dengan normal ketika berjalan ke arah bangku stasiun. Ini
merupakan suatu kesalahan bahwa sutradara memaksakan suatu kondisi agar si tokoh menemukan
secarik kertas. Selain itu terdapat kesalahan kecil, di mana sudut pengambilan oleh kamera adalah
dari atas yang memperlihatkan tokoh laki-laki sedang jongkok. Seharusnya sutradara menyadari
pengaruh sudut pengambilan gambar ini, karena posisi tertentu akan menimbulkan makna tertentu
pula.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 24 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 25 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Adegan dalam filem “LUPAKAN”

Selanjutnya adalah gadis berkacamata yang selalu hilang dari pandangan tokoh laki-laki
ketika ada kereta melintas. Tidak diperlihatkan kereta berhenti yang menginformasikan bahwa si
gadis mungkin naik kereta tersebut. Menurut penulis, adegan kereta berhenti adalah penting untuk
menegaskan hal ini. Yang ada malah adegan kereta terus melintas tanpa berhenti (dari suaranya pun
tidak menginformasikan hal ini), dan seketika si gadis hilang seperti seorang penyihir.

Ketidaklogisan yang lain adalah arah kereta melintas yang disajikan secara acak. Terkadang menuju
ke arah kamera, terkadang mengarah menjauh dari (meninggalkan) kamera, ke kanan dan ke kiri,
tanpa susunan logis yang memberikan informasi tentang kedatangan (atau permulaan) dan
kepergian (akhiran adegan) untuk memberikan makna tertentu. Padahal persoalan mendekat,

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 26 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

menjauh, ke kanan, ke kiri ini merupakan persoalan basis dalam adegan sebuah filem. Apakah
sutradara mencoba untuk meniru gaya visual yang dilakukan oleh para pembuat filem New
Wave yang mengacak pakem-pakem perfileman yang telah ada, penulis tidak berani
menginterpretasikannya demikian. Selain beberapa ketidaklogisan yang dijelaskan, masih terdapat
banyak ketidaklogisan lainnya yang ‘menghiasi’ filem ini.

Stigma Musik Sinetron

Seperti yang penulis utarakan di atas, bahwa sutradara berhasil memilih lagu pengiring yang
lumayan menarik di awal pembuka filem, dengan menghadirkan musik bernuansa klasik dipadukan
dengan seting di stasiun kereta api. Namun kekaguman itu buyar ketika penulis merasa kecewa saat
adegan tokoh laki-laki memandangi si gadis berkacamata. Tiba-tiba backsound filem berubah
menjadi sebuah lagu yang sendu.

Perkara ini lah yang sejatinya membuat sebuah filem terasa begitu hambar dan basi. Stigma
musik sinetron. Seperti yang kita ketahui bahwa sinetron sering menyajikan adegan yang berlebih-
lebihan, terlalu didramatisir, bahkan pantas dikatakan adanya praktek The Dramatization of
Evil (teori dari Frank Tannembaum dalam kajian kriminologi) yang dapat mengakibatkan terjadinya
suatu hal yang seharusnya tidak perlu terjadi. Namun, penulis menganggap dramatisasi di sini lebih
kepada ketidakjelian sutradara dalam mencari cara baru menyajikan suatu adegan dramatik dalam
filem sehingga hadirnya lagu bernuansa dramatik itu sendiri yang akhirnya menjadi suatu hal yang
tidak perlu terjadi (tidak perlu ada) Hal ini memang persoalan dasar yang jarang dipahami oleh
pembuat filem kita di Indonesia. “…sering sutradara kita tidak percaya dengan "gambar" untuk
membangun dramatik... sehingga dipakailah "musik" yang menurut mereka dramatik itu.” (Hafiz,
2011). Seharusnya jika sutradara memiliki pemahaman yang baik dalam mengeksplorasi ide dan
memainkan bahasa visual, dan percaya diri, suasana dramatik tidak perlu melulu dibangun dengan
lagu-lagu sendu untuk menegaskannya.

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 27 
[ARSIP TULISAN A.I.G.? // JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] March 5, 2011 
 

Tetap Butuh Apresiasi

Mengesampingkan persoalan-persoalan yang telah dibahas di atas, terkait dengan usaha yang
dilakukan sutradara filem “LUPAKAN”, perlu kiranya kita terus memberikan dorongan dan
semangat kepadanya untuk terus belajar dan berkreasi agar jauh lebih matang dalam memahami
cara-cara mentransformasikan gagasan dalam permainan bahasa audio visual yang baik. Sekali lagi
penulis menegaskan, penampilan fisik dan kualitas gambar bukanlah dasar untuk mengatakan
sebuah filem itu baik atau tidak. Akan tetapi kekuatan sastra dalam filem adalah sesuatu yang
penting, dan harus ada upaya untuk menjadikan bahasa audio visual ini menjadi bahasa sastrawi
dengan cara melihat, menonton dan membaca persoalan masyarakat dengan lebih jernih (Hafiz, op
cit). Tidak hanya sekadar menyampaikannya dalam gaya yang biasa ala sinetron yang umumnya
sekarang telah banyak mendapatkan kritik yang pesimis dari para pakar filem di Indonesia.

Usaha Radian dan kawan-kawan musti mendapatkan apresiasi dari kita semua, karena
dengan hadirnya filem “LUPAKAN” ini menimbulkan semangat bagi para pembuat filem muda
lainnya untuk terus berkarya dan tidak tergantung pada industri filem besar kita. Dengan
konsistensi yang kuat dari orang-orang yang terlibat, pasti akan memunculkan karya yang jauh
lebih baik (Hafiz, Ibid).

 
Kelompok Diskusi Filem adaidenggak? (A.I.G.?), FISIP UI  Page 28 

Anda mungkin juga menyukai