Anda di halaman 1dari 3

Bersatu atau Menjadi Satu?

Ainunnajib Nr.*

Ada satu yang hilang


dari negeriku
Tak seperti dahulu
saling bersatu…

Penggalan lirik lagu “Rindu Bersatu” yang dinyanyikan oleh 14 musisi populer Indonesia

ini sedikit banyak bisa memperlihatkan bahwa masih ada generasi muda yang peduli pada

kondisi bangsa saat ini. Secara pribadi, lagu ini mengingatkan saya pada Sumpah Pemuda 1928,

meski tentu saja, efeknya tak sedahsyat sumpah tersebut. Sumpah ini—pada masanya—seolah

menjadi jimat yang memacu semangat para pemuda untuk turut serta „mendirikan‟ Indonesia.

Diakui atau tidak, pemuda merupakan salah satu komponen utama dalam perlawanan terhadap

kolonialisme. Para pemuda pula yang mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan

kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga bertahun-tahun kemudian, janji suci ini masih

memainkan peranan penting dalam menyatukan rakyat dengan ikatan persatuan dan kesatuan

NKRI.

Saya tidak mau menyebut bahwa „kesaktian‟ sumpah ini sudah mulai luntur, tapi

sayangnya, kenyataan berbicara demikian. Ibarat kaca retak, persatuan bangsa saat ini dalam

kondisi rapuh. Disenggol sedikit saja langsung pecah. Lihatlah, akhir-akhir ini masyarakat kita

begitu mudah dihasut. Sedikit provokasi, apalagi jika menyangkut SARA, cukup menjadi bensin

yang akan mengobarkan api kemarahan warga dan membumihanguskan bangunan persatuan

bangsa. Hampir semua masalah selalu dibesar-besarkan, meskipun sebenarnya problem tersebut
bisa lebih cepat selesai jika dihadapi dengan kepala dingin. Di beberapa tempat, golongan muda

justru menjadi biang kerok perpecahan dengan mengajak pemuda lain bertindak anarkis. Kasus

di Bekasi baru-baru ini hanya satu contoh. Tanpa bermaksud memihak salah satu golongan,

saya—dan banyak pihak pastinya—menyesalkan mengapa kejadian semacam itu masih saja

terjadi. Alih-alih menyelesaikan masalah, tindakan tersebut justru akan menciptakan masalah

baru.

Menurut hemat saya, apa yang mereka lakukan itu terjadi karena mereka ingin

menjadikan Indonesia „satu‟, dan itu tidak sama dengan menjadikan Indonesia „bersatu‟. Adakah

perbedaan antara „bersatu‟ dan „menjadi satu‟? Sekilas keduanya memang memiliki arti sama

dan bahkan para guru bahasa pun mungkin akan menganggapnya sama. Namun saya melihat

adanya pebedaan yang mendasar antara keduanya. Perbedaan itu akan tampak jika ditampilkan

dalam analogi rujak buah dan bolu kukus. Rujak buah terbuat dari beraneka macam buah dengan

aneka rasa pula. Ketika disatukan, masing-masing buah masih menampilkan wujud dan rasa

khasnya, namun orang tetap melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh (dalam nama „rujak‟)

dan ketagihan dibuatnya. Seperti itulah seharusnya Indonesia. Beragam suku, agama dan budaya

bisa bersatu dengan damai tanpa kehilangan ciri setiap elemen penyusunnya. Hal ini, selain bisa

menciptakan ikatan yang solid di dalam negeri, juga bisa mengundang bangsa lain untuk

berkunjung, bahkan belajar mengenai keragaman pada kita.

Berbeda halnya dengan bolu kukus. Telur, terigu, mentega dan bahan lain sengaja

dicampur oleh pembuatnya „menjadi satu‟ hingga tercipta satu produk baru; bolu itu sendiri.

Jangan sampai Indonesia menjadi bolu, yang meskipun enak tapi sudah tidak mempunyai

keunikan dari masing-masing bahan penyusunnya.


Tak perlulah kita memaksakan semua suku harus memakai pakaian ini, beragama itu,

atau berafiliasi ke partai tertentu. Asal setiap individu menyadari batasan-batasan kebebasan,

hidup di Indonesia akan semakin indah dan mudah. Yang perlu kita lakukan saat ini bukanlah

menyatukan kebenaran (baca: menciptakan satu kebenaran), melainkan bersatu dalam kebenaran:

untuk membela tumpah darah, bangsa dan bahasa persatuan dari berbagai ancaman yang hingga

kini masih terus berdatangan.

*Penulis adalah mahasiswa Sampoerna School of Education,

Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai