Anda di halaman 1dari 3

Atlantis dalam Kajian Nahwu shorof

Di buku The lost continent finally found nya Arysio Santos,


atlantis juga disebut atala.
Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang
menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Junani, Minoan, Crete,
Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Budaya-budaya ini mengenal mitos yang
sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala,
Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.
Setelah terjadi letusan Krakatau dan Tambora,
atlatis pulau surga jadi neraka dan KOSONG dan ini lah yg di ingat oleh para
leluhur atlantis yg melarikan diri ke benua lain
lalu apakah ada hubungan antara makna kata atala/atlantis (setelah
hancurkosong) dengan makna atala pada al-Quran di bawah ???? apa pendapat anda
??
‘ATHAL (Kekosongan)
‘Athal adalah bentuk mashdar (noun) darikata kerja ‘athila – ya‘thalu ( –
), tersusun dari huruf-huruf ‘ain, tha, dan lam yang arti denotasinya
“kosong”, “luang”. Makna itu kemudian berkembang menjadi, antara lain: “tak
berpenghuni” (rumah) karena isinya kosong; “terlantar” digunakan
untuk binatang gembala yang tidak ada penjaganya; “tidak berair” (sumur);
“tidak mengenakan pakaian” (wanita); “libur” karena sekolah/kantor
dikosongkan; “menganggur” karena kosong dari pekerjaan; “macet” karena kosong
dari fungsinya; “tunda” karena mencari waktu luang yang lain; “tidak hujan”
karena ada mendung tetapi tidak turun.
Kata ‘athal dan pecahannya di dalam al-Quran terulang dua kali, di mana
masing-masing dalam bentuk kata kerja lampau muannats, ‘uththilat ( =
ditinggalkan) yang terdapat di dalam S. At-Takwîr *81+: 4 dan bentuk ism maf’ûl
muannats, mu‘aththalah( = yang dikosongkan, yang ditinggalkan) yang
terdapat pada S. Al-Hajj [22]: 45. Masing-masing bunyiteks dan terjemahannya
sebagai berikut: pertama, wa idza al-‘isyâru ‘uththilat (
=
dan ketika unta-unta yang bunting ditinggalkan [tidak diperdulikan]); kedua,
faka’ayyin min qaryatin ahlaknâhâ wa hiya zhâlimatun fahiya khâwiyatun ‘alâ
‘urûsyihâ wa ba‘rin mu‘aththalatin wa qashrin masyîd (

= Berapa kota yang Kami telah binasakan,


yang penduduknya dalam keadaan lalim, tembok-tembok kota
itu roboh menutupi atap-atapnya, dan (berapa banyak pula) sumur dan
istana tinggi yang telah ditinggalkan).
Ulama berbeda pendapat mengenai makna kata ‘uththilat di dalam S. At-Takwîr
[81]: 4.

Imam As-Suyuthi dan Mujahid mengartikannya dengan “ditinggalkan”; Ubay bin


Ka‘ab dan Ad-Dhahak mengartikannya dengan “diabaikan”; Ar-Rabi‘ bin Haisam
mengartikannya dengan “tidak ada penjaganya” karena di dalam ayat tersebut kata
‘uththilat dikaitkandengan unta-unta hamil.
Meskipun mereka berbeda dalam memaknai kata tersebut, namun maksudnya sama,
yaitu ketika unta-unta hamil itu ditinggalkan oleh pemiliknya.
Ayat ini, menurutal-Qurthubi, menggambarkan sebagian dari situasi di
hari kiamat, di mana sekitarnya ada orang yang memiliki unta-unta hamil yang
bagi orang-orang Arab merupakan harta yang
sangat berharga ketika ayat ini turun, namun kemudian diterlantarkan dan
tidak dihiraukan lagi karena sibuk mengurusi diri mereka sendiri.
Adayang berpendapat,
maksud ayat tersebut adalah ketika manusia dibangkitkan dari kubur juga seluruh harta miliknya,
termasuk unta-unta yang sedang hamil tua. Pada saat itu,
manusia tidak lagi menghiraukan hartanya itu, termasuk yang unta-unta yang
sedang hamil tua dan uang sangat disayangi ketika di dunia, karena
mengurusi dirinya sendiri.
Adapun kata mu‘aththalah di dalam S. Al-Hajj [22]: 45 berkedudukan sebagai kata
sifat dari kata bi‘r ( = sumur). Tafsirnya diperselisihkan oleh ulama.
Ada yang berpendapat artinya adalah (sumur) yang ditinggalkan, seperti kata
As-Suyuti dan Ad-Dhahak. Ibnu Katsir mengartikannya dengan sumur yang
tidak lagi menjadi sumber air minum dan tidak ada lagi orang yang
mendatanginya.

Ada juga yangberpendapat, maknanya adalah tidak berair,


atau tidak ada pemiliknya karenatelah binasa, atau tidak ada tali dan timbanya.
Semua pendapat tersebut mempunyai kemiripan.
Pada intinya sumur itu tidak lagi digunakan karena kosong airnya,
atau ditinggalkan/diterlantarkan oleh pemiliknya, atau kosong dari tali dan
timba.
Perbedaan itu terjadi karena mereka berusaha menyesuaikan makna dasar mu‘aththalah,
yaitu “kosong” yang
disesuaikan dengan konteks kalimatnya.

Penggunaan mu‘aththalah di
dalam ayat tersebut berkaitan dengan banyaknya umat terdahulu yang
dibinasakan Allah dengan menghancurkan kotanya, meruntuhkan istananya, dan
mengeringkan sumurnya, karena
mereka menzhalimi diri mereka sendiri dengan menentang para rasul yang
diutus Allah kepada mereka. Ayat ini merupakan penghibur dan
pembesar hati Nabi Muhammad Saw. dalam berdakwah, juga bagi umatnya, di mana
nabi-nabi terdahulu juga mengalami dan berhadapan dengan umatnya yang menentang
ajaran yang mereka bawa, tetapi pada akhirnya para penentang itulah yang
binasa.

Anda mungkin juga menyukai