Taufik Nurohman
Program Studi Ilmu Politik FISIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
2007
Partai adalah suatu kelompok terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini adalah untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik dengan cara konstitusional
untuk melaksanakan programnya.
Carl J. Friedrich → partai politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara
stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan penguasaan ini, memberikan
kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat idiil serta materiil.
Sigmund Neumann → partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
melalui persaingan dengan suatu golongan
atau golongan-golongan lainnya yang
mempunyai pandangan yang berbeda.
Menurutnya partai politik merupakan
perantara yang besar yang menghubungkan
kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan
lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.
Giovanni Sartori → partai politik adalah suatu
kelompok politik yang mengikuti pemilihan
umum dan melalui pemilihan umum itu,
mampu menempatkan calon-calonnya untuk
menduduki jabatan-jabatan publik.
Mark N. Hagopian → partai politik adalah
suatu organisasi yang dibentuk untuk
mempengarui bentuk dan karakter
kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-
prinsip dan kepentingan kepentingan ideologis
tertentu melalui praktek kekuasaan secara
langsung atau partisipasi rakyat dalam
pemilihan.
R. H. Soltau → parpol adalah sekelompok warga
negara yang sedikit banyak terorganisir, yang
bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk
memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
Miriam Budiardjo → parpol adalah suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-
anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik dengan cara konstitusional
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Sekumpulan orang yang terorganisir.
Memiliki tujuan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan.
Untuk merealisir tujuan ini, parpol berupaya
memperoleh dukungan seluas-luasnya dari
masyarakat melalui pemilu
Memiliki prinsip-prinsip yang disetujui
bersama oleh semua anggota partai politik.
Dari sekian banyak definisi yang diungkapkan
oleh para ilmuwan politik, batasan definisi di
atas sangat menarik, di mana terlihat sangat
kentara bahwa basis sosiologis suatu partai
adalah ideologi dan kepentingan yang
diarahkan pada usaha untuk memperoleh
kekuasaan.
Tanpa kedua elemen politik, yakni ideologi
dan kepentingan rakyat, partai tampaknya
akan mengalami kesulitan dalam
mengidentifikasi dirinya, apalagi mampu
memberikan solusi atas berbagai ketimpangan
sosial-politik suatu negara.
Partai politik pertama lahir di negara-negara
eropa barat yang berkembang dari gagasan
bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu
diperhitungkan serta diikutsertakan dalam
proses politik.
Pada awal perkembangannya, akhir abad 18 di
negara-negara barat seperti Inggris dan Perancis,
kegiatan politik terpusat pada kelompok-
kelompok politik dalam parlemen yang bersifat
elitis dan aristokratis. Tetapi kemudian dengan
meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga
berkembang di luar parlemen.
Kegiatan politik di luar parlemen itu kemudian
terorganisir dan berkembang menjadi
organisasi-organisasi masa dan pada akhirnya
lahirlah partai politik pada abad 19 yang
menjadi penghubung antara rakyat dan
pemerintah.
Teori Kelembagaan → melihat adanya hubungan
antara parlemen dan timbulnya partai politik. Partai
politik dibentuk oleh kalangan legislatif dan eksekutif
karena ada kebutuhan para anggota parlemen untuk
mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina
dukungan dari masyarakat. Setelah partai politik
terbentuk dan menjalankan fungsinya kemudian
muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan
masyarakat. Partai ini dibentuk oleh kelompok kecil
dalam masyarakat yang sadar politik berdasarkan
penilaian bahwa partai politik yang dibentuk
pemerintah atau parlemen tidak mamu menampung
dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Teori Situasi Historik → timbulnya partai politik
sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi
krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat.
Teori ini menjelaskan krisis situasi historis terjadi
manakala sustu sistem politik mengalami transisi
karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional
yang berstuktur sederhana menjadi masyarakat modern
yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi
berbagai perubahan, seperti pertambahan penduduk,
perluasan pendidikan, perubahan pola pertanian dan
industri, partisipasi media, ekonomi berorientasi pasar,
peningkatan aspirasi dan harapan baru dan munculnya
gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan itu
menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi,
integrasi dan partisipasi.
Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat
mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari
legitimasi kewenangan pihak yang memerintah,
menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan
masyarakat sebagai suatu bangsa dan mengakibatkan
timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta
dalam proses politik. Partai politik yang berakar kuat
dalam masyarakat diharapkan dapat mengendalikan
pemerintahan sehingga terbentuk semacam pola hubungan
kewenangan yang berlegitimasi antara pemerintah dan
masyarakat. Partai politik yang terbuka bagi bernagai
kalangan masyarakat diharapkan dapat berperan sebagai
pengintegrasi bangsa. Partai politik yang ikut serta dalam
pemilu sebagai sarana konstitusional untuk mendapatkan
dan mempertahankan kekuasaan diharapkan dapat
berperan sebagai saluran partisipasi politik masyarakat.
Teori Pembangunan → melihat partai politik sebagai
produk modernisasi sosial ekonomi. Teori ini melihat
modernisasi sosial ekonomi seperti pembangunan
teknologi komunikasi berupa media massa dan
transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan,
industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara
(birokratisasi), pembentukan berbagai kelompok
kepentingan dan profesi dan peningkatan kemampuan
individu yang mempengaruhi lingkungan melahirkan
suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang
mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai
aspirasinya. Jadi partai politik merupakan produk logis
dari modernisasi sosial ekonomi.
Teori ketiga memiliki kesamaan dengan
teori kedua bahwa partai politik berkaitan
dengan perubahan yang ditimbulkan oleh
modernisasi. Perbedaan kedua teori ini
terletak pada proses pembentukannya.
Teori kedua mengatakan perubahan
menimbulkan tiga krisis dan partai politik
dibentuk untuk mengatasi krisis tersebut
sedangkan teori ketiga mengatakan
perubahan-perubahan itulah yang
melahirkan kebutuhan adanya partai politik
Pertama, di awal abad ke-19, partai muncul
sebagai kelompok yang terdiri dari Dewan
Perwakilan. Untuk partai-partai ini, ideologi
sering dikaitkan dengan nama partai tertentu
seperti Liberal, Konservatif, Republik,
Demokrat dan nama-nama populer untuk
partai lainnya. Ciri-ciri pada fase, partai masih
terbatas pada label atau nama untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok partai.
Pada tahap ini juga kegiatan-kegiatan dan
simbol masih sangat terbatas dan kaku.
Pada fase ke dua, yang terjadi di pertengahan
abad ke-19, perkembangan ini identifikasinya
dapat dilihat dari mulai adanya perluasan
daerah lingkup pemilihan yang diaplikasikan
di negara Amerika Serikat, Jerman dan negara-
negara di Eropa Barat di tahun 1830-an.
Fase ketiga, perkembangan partai-partai terjadi
pada sebelum dan sesudah abad ke-19. Pada
fase ini mulai dikenal partai-partai di luar
parlemen (ekstra parlementary parties), di mana
cikal bakal organisasi tersebut sumbernya
berasal dari perorangan atau pihak yang tidak
senang pada parlemen dan dari pihak yang
ingin keluar dari parlemen.
Fase keempat, terjadi setelah Perang Dunia II, semua
Partai Politik di dunia Barat dan negara-negara maju
mulai menampakkan karakteristik baru, yakni
menjadi semacam “pedagang perantara” (broker)
dari berbagai kelompok kepentingan.
Dari uraian fase-fase perkembangan partai di atas
bisa dilihat bahwa partai-partai politik sebagaimana
negara mengakui fase evaluasi dari mulai model
yang sangat sederhana sampai yang paling modern
seperti yang tersistem dewasa ini. Karakteristik
ideologis yang pernah melekat pada fase-fase awal
perekembangan partai saat ini mulai pudar, seiiring
modernisasi dan globalisasi politik. Partai yang
memiliki karakteristik ideologis pada akhirnya
mulai bermetamorfose menjadi political broker dari
berbagai interest groups dan stake holders politik
negara lainnya.
1) Partai Kader
Pada awalnya muncul sebelum diterapkan
sistem hak pilih secara luas bagi rakyat
sehingga sangat bergantung pada kelas atas
yang memiliki hak pilih.
keanggotaannya terbatas.
Tidak memperluas jumlah pendukung.
Tidak memiliki program propaganda untuk
rekruitmen anggota.
Bersifat tertutup.
Walaupun anggotanya kecil tetapi mempunyai
pengaruh kuat di masyarakat.
Bersandar pada suatu asas atau ideologi seperti
Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen
(Gereja), atau Islam.
Disiplin partai ketat.
Pimpinan partai biasanya sangat sentralitas
menjaga kemurnian doktrin politik yang
dianut dengan jalan mengadakan saringan
terhadap calon anggotanya dan memecat
anggoa yang menyimpang dari garis partai
yang telah ditetapkan.
Partai ini mempunyai pandangan hidup yang
digariskan dalam kebijakan pimpinan dan
berpedoman pada disiplin partai yang ketat
dan mengikat
Pendidikan kader sangat diutamakan.
Terhadap calon anggota diadakan saringan,
sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan
disyaratkan lulus melalui beberapa seleksi.
Untuk memperkuat ikatan batin dan
kemurnian ideologi, dipungut iuran secara
teratur dan disebarkan organ-organ partai
yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-
keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.
Lahir dari respon politis dan organisasional
dari perluasan hak-hak pilih serta pendorong
bagi perluasan lebih lanjut hak pilih tersebut.
Pada awalnya partai massa merupakan bagian
dari lahirnya sosialisme yang berfungsi
memberikan pendidikan politik bagi kelas
pekerja dan buruh.
Perhatian partai bukan pada kaum elit tetapi
diprioritaskan pada massa.
Dalam praktiknya hanya mengutamakan
kemenangan dalam pemilihan umum, diluar
masa itu biasanya kurang aktif
Partai sering tidak memiliki disiplin partai
yang ketat dan pemungutan iuran tidak terlalu
dipentingkan.
Partai mengutamakan kekuatan berdasarkan
keunggulan jumlah anggota.
Anggota/pendukungnya berasal dari berbagai
aliran politik dalam masyarakat, yang sepakat
untuk bernaung dibawahnya untuk
memperjuangkan suatu program tertentu.
Program partai biasanya luas dan agak kabur
karena harus memperjuangkan terlalu banyak
kepentingan yang berbeda-beda
Partai tidak pandang bulu.
Gabungan dari partai kader dan massa.
Menampung sebanyak mungkin kelompok-
kelompok sosial untuk dijadikan anggota.
Tujuan utama partai ini adalah memenangkan
pemilu dengan cara menawarkan program-
program kerja dan keuntungan bagi anggotanya
sebagai pengganti ideologi yang kaku.
Cenderung menyesuaikan diri dengan gaya
saingannya yang berhasil karena mengharapkan
keuntungan atau takut kalah dalam pemilu
Aktivitas partai ini berkaitan erat dengan
kelompok kepentingan dan kelompok penekan
A. Berdasarkan Asas dan Orientasi
Partai Pragmatis → partai yang mempunyai program
dan kegiatan yang tidak terikat kaku pada suatu doktrin
dan ideologi tertentu. Perubahan waktu, kegiatan dan
kepemimpinan akan mengakibatkan perubahan pada
program, kegiatan dan penampilan partai tersebut.
Penampilan partai ini merupakan cerminan dari
program-program yang disusun oleh pemimpin
utamanya dan gaya kepemimpinan sang pemimpin.
Partai ini biasanya terorganisasikan secara agak longgar.
Partai pragmatis biasanya muncul dalam sistem dua
partai. Contohnya Partai Republik dan Partai Demokrat
di Amerika
Partai Doktriner → partai yang memiliki sejumlah program
dan kegiatan kongkret sebagai penjabaran ideologi. Ideologi
tersebut adalah seperangkat nilai politik yang dirumuskan
secara kongkret dan sistematis dalam bentuk program-
program kegiatan yang pelaksanaannya diawasi secara ketat
oleh aparat partai. Pergantian kepemimpinan mengubah
gaya kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak
mengubah prinsip dan program dasar partai karena ideologi
partai sudah dirumuskan secara kongkrit. Partai ini
terorganisasikan secara ketat. contohnya partai komunis.
Partai Kepentingan → partai yang dibentuk dan dikelola
atas dasar kepentingan tertentu, seperti, petani, buruh, etnis,
agama atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin
berpartisipasi dalam pemerintahan. Contohnya Partai Hijau
di Jerman, Partai Buruh di Australia, Partai Petani di Swiss.
B. Berdasarkan Komposisi dan Fungsi Anggota
Sistem Kepartaian
Multi-member Constituency/
Sistem Proporsional
Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil
Satu wilayah kecil (distrik pemilihan) memilih satu wakil
tunggal atas dasar suara terbanyak.
Didasarkan atas kesatuan geografis.
Setiap satuan geografis (distrik)memperoleh satu kursi
dalam parlemen.
Negara dibagi dalam jumlah distrik yang jumlah
penduduknya sama.
Satu distrik hanya berhak satu kursi dan kontestan yang
memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal,
walaupun selisih suara dengan kontestan lainnya kecil.
Suara yang mendukung konstestan yang kalah dianggap
hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk
menambah jumlah suara di distrik lain.
Sistem distrik sering dipakai di negara yang
menerapkan sistem dwi partai seperti di Inggris,
India, Malaysia, dan Amerika.
Dalam sistem distrik yang berhak membentuk
suatu pemerintahan dan membentuk kabinet
adalah partai yang memperoleh suara terbanyak.
Pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan
kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh
suatu partai secara nasional dan jumlah kursi yang
diperoleh partai tersebut.
Menguntungkan partai besar dan merugikan
partai kecil karena banyak suara dari partai kecil
yang dinyatakan hilang.
Satu wilayah besar (daerah pemilihan) memilih
beberapa wakil.
Satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan
dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah
suara yang diperoleh oleh para kontestan secara
nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Misalnya dalam suatu wilayah dipakai sistem
proporsional,wilayai itu yang bisa berbentuk kesatuan
administratif (misalnya provinsi) dianggap sebagai
kesatuan yang keseluruhannya berhak atas sejumlah
kursi yang telah ditentukan.
Jumlah suara yang diperoleh secara nasional oleh
setiap partai menentukan jumlah kursi di
parlemen, artinya persentase perolehan suara
secara nasional dari setiap partai sama dengan
persentase perolehan kursi dalam parlemen.
Misalnya suatu wilayah telah ditentukan jumlah
kursinya adalah 10 kursi, Partai A memperoleh
60% suara akan memperoleh 6 kursi dalam
parlemen. Partai B memperoleh 30% suara akan
memperoleh 3 kursi dan partai C memperoleh 10%
suara akan memperoleh 1 kursi di parlemen.
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-
partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam
setiap distrik pemilihan hanya satu, hal ini akan
mendorong partai-partai untuk menyisihkan
perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan
kerjasama khususnya menjelang pemilu.
Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk
partai baru dapat dibendung, malahan sistem ini bisa
mendorong ke arah penyederhanaan partai secara
alami tanpa paksaan.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih
dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan
dengan konstituen lebih erat. Dengan demikian si
wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan
kepentingan distriknya.
Bagi partai besar sistem ini menguntungkan
karena melalui distrotion effect dapat meraih suara
dari pemilih-pemilih lain sehingga memperoleh
kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai
pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan
parlemen.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai
kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga
tidak perlu lagi diadakan koalisi dengan partai
lain. Hal ini mendukung stabilitas nasional.
Sistem ini sederhana dan mudah untuk
dilaksanakan.
Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai
kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-
golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
Sistem ini kurang representatif, artinya partai yang
calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang
telah mendukungnya. Hal ini artinya ada sejumlah suara
yang tidak diperhitungkan sama sekali atau terbuang sia-
sia. Jika banyak partai yang mengadu kekuatan, maka suara
yang hilang akan sangat besar.
Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakan
yang plural.
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih
memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya
daripada kepentingan nasional.
Dianggap lebih representatif karena persentase
perolehan suara setiap partai sesuai dengan
persentase perolehan kursinya diparlemen.
Tidak ada distorsi antara perolehan suara dengan
perolehan kursi.
Setiap suara dihitung dan tidak ada suara yang
hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi
kesempatan untuk menempatkan wakilnya di
parlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen
dan pluralis lebih tertarik pada sistem ini.
Kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi
satu sama lain, malah sebaliknya cenderung
mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat
proses integrasi diantara berbagai golongan
masyarakat yang pluralis. Hal ini mempermudah
pragmentasi dan berdirinya partai baru yang pluralis.
Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan
konstituennya, tetapi lebih erat dengan partainya
(termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai
lebih menonjol daripada kepribadian seorang wakil
rakyat. Akibatnya sistem ini memberi kedudukan kuat
kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya
di parlemen melalui stelsel daftar.
Banyak partai yang bersaing mempersulit satu
partai untuk mencapai mayoritas di parlemen.
Dalam sistem pemerintahan parlementer, hal
ini mempersulit terbentuknya sistem
pemerintahan yang stabil karena harus
mendasarkan diri pada koalisi
Ichlasul Amal, 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik,
PT Tiara Wacana, Jogjakarta.
Hans-Dieter Klingemann, dkk, 2000, Partai, Kebijakan,
dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara
Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta.
Rusli Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik di Indonesia,
Rajawali, Jakarta.
T.J. Pempel, 1990, The One-Party Dominant Regimes,
Cornell University Press, Itaca.
Giovanni Sartori, 1976, Parties and Party systems,
Cambridge University Press.