Anda di halaman 1dari 5

Wisata Sejarah Supersemar

Peristiwa Gerakan 30 September mempunyai dampak sejarah yang penting.


Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Soekarno sekaligus
bermulanya masa kekuasaan Soeharto. Sampai saat itu Soekarno merupakan
satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka selama dua
dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin revolusi lain,
Mohammad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia.

Pembunuhan terhadap sejumlah jendral TNI AD yang dilakukan oleh


komplotan G-30S di malam jahanam itu telah membangkitkan kemarahan
nasional pada PKI. Muncullah demontrasi-demontrasi yang menuntut
pembubaran atas PKI yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian
tersebut. Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa terus berjalan bahkan pada
bulan Maret 1966 semakin meningkat intensitasnya.

Presiden Soekarno terpaksa mengadakan sidang kabinet untuk


membicarakan tuntutan mahasiswa dan situasi politik yang semakin
tegang Melihat gelagat tidak baik dengan adanya “pasukan liar“
mengepung Istana Negara, Presiden Soekarno segera pergi
meninggalkan sidang diikuti Subandrio dan Chaerul Saleh menuju
Istana Bogor.

Akhirnya Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi, M Yusuf, Amir


Machmud dan Basuki Rachmat untuk meyakinkan Presiden Soekarno
memberi wewenang pada Mayor Jendral Soeharto. Akhirnya, Presiden
Soekarno menyerah dengan menandatangani surat pelimpahan kekeuasaan
kemanan pada Soeharto, yang sebagai Pangkostrad berwenang mengurusi
masalah keamanan setelah Ahmad Yani sebagai KSAD meninggal.

Saat itu Soekarno masih tetap menjadi Presiden, tetapi sebenarnya


kekuasaan eksekutif secara riil setelah penandatangan Supersemar telah
berpindah tangan Mayor Jendral Soeharto. Pada bulan Juni diadakan sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan maksud
mendapatkan dukungan konsitusional terhadap Surat Perintah Sebelas Maret
dari Soekarno yang secara hukum sebenarnya dapat dicabut sewaktu-waktu.
Kemudian Surat Perintah Sebelas Maret dimasukkan sebagai salah satu
ketetapan MPRS.

1
Lubang Buaya

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat


( Menpangad) Letnan Jendral Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya
diculik dari rumah-rumah mereka di Jakarta, dan dibawa dengan truk ke
sebidang areal perkebunan di selatan kota. Para penculik membunuh Yani
dan dua jendral lainnya pada saat penangkapan berlangsung . Tiba di areal
perkebunan beberapa saat kemudian pada pagi hari itu , mereka membunuh
tiga jendral lainnya, dan melempar enam jasad mereka ke sebuah sumur
mati.

Rumah AH Nasution

Ketika pasukan penjemput memasuki rumah Jendral AH Nasition di Jalan


Teuku Umar dengan mendobrak pintu. Ny Nasution yang mendengar pintu
rumahnya dibuka dengan paksa, membuka pintu kamar untuk melihat apa
yang terjadi . Kaetika ia melihat sekelompok tentara berada di ruang
tamunya, ia segera menutup pintu kamar dan menguncinya, seraya berteriak
agar suaminya menyelamatkan diri. Ia mendorong suaminya keluar dari
pintu samping. Pada saat yang sama, kelompok tentara yang berada di ruang
tamu melepaskan tembakan ke arah pintu kamar. Jendral AH Nasution
berhasil melarikan diri dengan melompati pagar di belakang rumahnya, dan
bersembunyi di halaman rumah Duta Besar Irak. Namun , putrid bungsunya,
Ade Irma Suryani yang berusia 5 tahun tertembak. Ade Irma Suryani
meninggal setelah lima hari dirawat di RSPAD.

Kelompok tentara yang menjemput Jendral AH Nasution kemudian


memangkap Lettu Pierre Tendean , ajudan Jendral AH Nasution , yang
tinggal di paniliun. Karena keadaan pada sar itu gelap , pasukan penjemput
mengira yang mereka tangkap adalah Jendral AH Nasution.

Rumah Ahmad Yani

Di rumah Letjen Ahmad Yani di Jalan Karakatau – Jalan Lembang,


Menteng, terjadi peristiwa yang tak terduga. Ketika Letjen Ahmad Yani
meminta waktu untuk mengganti baju dulu, prajurit yang menjemputnya
mengatakan , sebaiknya tidak usah, dan mendresak Letjen Ahmad Yani
untuk segera berangkat. Bahkan prajurit itu menambahkan, gantinya nanti

2
saja di toilet di Istana. Pernyataan prajurit yang dianggap tidak sopan itu
membuat Letjen Ahmad Yani berang. Ia langsung menempeleng prajurit
tersebut, serta meninggalkan ruangan lewat sebuah pintu kaca dan segera
menutupnya. Prajurit-prajurit yang menjempunya panik. Mengira Ahmad
Yani akan meloloskan diri, prajurit-prajurit itu langsung melepaskan
tembakan ke arah pintu kaca tersebut. Beberapa anak peluru , menembus
punggung Letjen Ahmad Yani berikut pecahan kaca pintu tersebut, dan ia
tewas di tempat. Para prajurit itu kemudian membawa pergi jenazahnya.

Istana Jakarta

Pada tanggal 11 Maret 1966 sidang kabinet lengkap berlangsung di Jakarta.


Mahasiswa kembali turun ke jalan menghalangi lalu-lintas dan mengepeskan
ban-ban mobil di sekitar istana, tetapi walaupun ada gangguan tersebut
semua menteri dapat hadir. Yang secara menyolok tidak hadir hanyalah
Soeharto yang dikatakan sakit tenggorokan ringan. Sementara Presiden
Soekarno berpidato salah seorang dari ajudannya menyela dan menyerahkan
selembar nota. Segera setelah menerima nota tersebut, kemudian Soekarno
mengumumkan bahwa ia bermakasud meninggalkan pertemuan barang
sebentar. Dimintanya Leimena untuk menggantikan memimpin sidang dan
setelah itu ia segera meninggalkan ruangan. Ketika Subandrio dan Chaerul
Saleh mengetahui isi nota yang diserahkan kepada presiden, mereka juga
kabur meninggalkan sidang. Nota itu sendiri berisi informasi bahwa
sekelompok pasukan tak dikenal telah menduduki posisi mengepung depan
istana. Pasukan–pasukan tersebut meninggalkan segala tanda pengenal
mereka sehingga identitasnya tak diketahui. Setelah meninggalkan istana
Presiden Soekarno menuju ke helikopternya dan ketika berangkat disusuli
Subandrio dan Chaerul Saleh yang juga gelisah ketakiutan. Lalu mereka
bersama-sama terbang menuju istana presiden di Bogor.

Rumah Soeharto

Setelah Presiden Soekarno meninggalkan sidang kabinet dan menuju ke


Istana Bogor. Mayor Jendral Amir Machmud, Mayor Jendral Basuki
Rachmat dan Brigadir Jendral M. Jusuf bermaksud pergi ke Bogor untuk
melakukan pembicaran bersama Presiden Soekarno sehingga Presiden
Soekarno tidak merasa ditinggal oleh Angkatan Darat. Sebelum mereka
berangkat, mereka melapor kepada Pangkostrad Soeharto di rumahnya di

3
Jalan Haji Agus Salim saat ia sedang istirahat. Mereka bercerita mengenai
apa yang terjadi di Istana, dan bertanya jika ada yang harus disampaikan
kepada Soekarno. Kemudian Soeharto mengutus ketiga jendral itu untuk
menyampaikan kepada Soekarno kesiapsiagaannya dalam mengatasi
keadaan apabila Presiden Soekarno memberi tugas dan kepercayaan penuh
kepada dirinya.

Istana Bogor

Ketiga Jendral itu kemudian berangkat ke Bogor, di mana pada senja hari
mereka dapat bertemu dengan presiden yang didampingi oleh tiga dari
empat Wakil Perdana Menteri - Subandrio, Chaerul Saleh dan Leimena –
dan salah satu dari istrinya, yaitu Hartini. Putusan yang dihasilkan dari
pembecaraan mereka adalah “Surat Perintah 11 Maret“, di mana di
dalamnya presiden “memerintahkan “Soeharto untuk“ membangil segala
tindakan yang dianggapnya perlu untuk menjamin keamanan,
ketenangan n, stabilitas pemerintahan dan revolusi., serta juga menjamin
keselamatan pribadi serta kewibawaan Presiden /Panglima Tertinggi
/Pemimpin Besar Revilusi /Mandaratis MPRS demi kesatuan Republik
Indonesia dan untuk meneruskan segala ajaran Pemimpin Besar
Revolusi “. Selanjutnya Soeharto juga diperintahkan untuk melaporkan
segala hal sehubungan dengan pelaksanaan tugas-tugas tersebut kepada
presiden. Setelah merampungkan misi mereka, ketiga jendral tersebut
kemudian membawa pulang surat itu dan menyerahkannya kepada
Soeharto di Jakarta. Di sana surat itu kemudian terkenal dengan nama :”
Supersemar .”

4
5

Anda mungkin juga menyukai