Anda di halaman 1dari 13

PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID

( Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawy Al-Azady Al-Baghdady)

Oleh :
MUSTOFA ANWAR

A.      PENDAHULUAN
Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam pada dasarnya
merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-
politiknya. Oleh karena itu, produk pemikiran yang ada sebenarnya bergantungan kepada
lingkungannya. Pendekatan ini memperkuat alasan dengan menunjuk kepada kenyataan
sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu
sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan
ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum
Islam itu pada tempat seharusnya; kedua, untuk memberikan tambahan keberanian
kepada pemikir hukum Islam sekarang untuk tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan
perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa
umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar
dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah itu.
Makalah ini mencoba menganalisis sebuah Kitab fikih.
Seperti dikatakan oleh A. Dzazuli, bahwa Kitab fiqih dapat dipilah menjadi
beberapa bidang yaitu: ibadah, ahwal syakh shiyyah, mu’amalah, jinayah,aqliy,uh,
siyasah. Pembidangan hukum Islam ini sejalan dengan perkembangan pranata sosial
sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan
individual dan kolektif. Karenanya semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin
beragam pula pranata sosial sehingga menuntut perkembangan pemikiran fiqih dan
pembidangan hukum Islam. Berkaitan dengan hal ini melahirkan apa yang disebut fiqih
pendidikan, fiqih lingkungan dan lain-lain, yang oleh Ali Yafie disebut sebagai "Fiqih
Sosial". Fiqih sosial ini merupakan respon pemikir hukum Islam dalam memberi makna
Islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia.

1
Makalah ini berusaha menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al
Amwal karya Abu Ubaid, Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran
hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka Kitab ini
dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan "Fiqh Ekonomi". Hal ini karena
pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa Qur'an dan Hadist
untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa
pengembangan institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini. Tentu
saja dalam tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu Ubaid,
Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya.

B. Pembahasan
1.       Biografi Singkat dan Karya Abu Ubaid
Nama lengkap beliau adalah Abu Ubaid al-Qosim bin Salam bin Miskin bin
Zaidhi al-Azdhi. Beliau dilahirkan di kota Bahra (Harat) di propinsi Khurasan pada tahun
154 H dan wafat tahun 224 H di Makkah.1
Beliau belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah,
Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fikih
(tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah
campuran). Setelah kembali ke Khurasan, la mengajar dua keluarga yang berpengaruh.
Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid
untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qadi di Tarsus sampai 210 H. Kemudian
ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di
Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan, di
antara Syafi'i, Ahmad Ibnu Hambal, Ishaq, dan Abu Ubaid, maka Syafi'i adalah orang
yang paling ahli di bidang fiqih (faqih), Ibnu Hambal paling wara (hati-hati), Ishaq paling
huffadz (kuat hafalannya) dan Abu Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)".
Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: "kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia
1
DR. Euis Amalia, M. Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga
Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2010, hal. 144

2
tidak memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang
yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu Bakar bin Al-Anbari, Abu
Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat
malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih
utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut lshaq, Abu
Ubaid itu yang terpandai diantara aku, Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Dari pendapat-
pendapat tersebut terlihat bahwa Abu Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi
yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam
besar sekaliber Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abu Ubaid
menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab
tertentu.
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaidah, Fiqh,
Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang
Fikih. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang
keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari
paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman ( compendium)
tradisi nash (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi'in tentang masalah
ekonomi.Dalam bukunya tersebut Abu `Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat
orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

2.       Latar Belakang dan Pendekatannya


Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abu Ubaid, tetapi dari beberapa
literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari
Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini
ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu
Ubaid (w.224/834 H), Imam Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi
Asad al Muhasibi (165-243 11/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama
ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain
fuqaha juga filosuf dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia

3
Islam atau masa renaisance. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu,
penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-
Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun
dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, untuk membeli "Manuscript". Pada
mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu
pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Abu Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang
ekonomi dalam hal ini aturan keuangan public. Ia juga banyak menangani berbagai
kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan
kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang
dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan
bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut (Jottschalk,'' pemikiran `Abu
Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran `Abu Amr `Abdurrahman Ibn
Amr al Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kata Amr dalam al-Amwal, serta
dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama ia menjadi pejabat di
Tarsus.
Awal pemikirannya dalam Kitab al-Amwal dapat ditelusuri dari pengamatan
yang dilakukan Abu Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi
administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda
dengan Abu Yusuf ; Abu Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan
penanggulangannya. Namun, Kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari Kitab al-
kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum
berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat. tubi 'in, serta tabi ' at-tabi’in. Abu
Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada

4
membicarakan sarat-sarat etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid
lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada
penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih
membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan
spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan
manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar
itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III
hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian
adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya
dengan berdasarkan al Qur’an dan al Hadist. Dengan kata lain, umpan balik dari teori
sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci,
al-Qur’an dan Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat
pada pemikirannya.

3.      PANDANGAN EKONOMI ABU UBAID


a.       Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan
tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya,
pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi
dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang
kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual
berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan
publik.2
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-
tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial
dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay"
2
Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2004, hal. 273

5
(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima
Muslim. Pasukan Muslim atau karayan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non
Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan
oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan
tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu
Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi
muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya
itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk
menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh
menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban
finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya
diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran
terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori
oleh khalifah umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan
ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir
bahwa Abu Ubaid mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan
waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman
tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui
suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.

2. Dikotomi Badui (masyarakat desa) – Urban (masyarakat kota)


Abu Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban
atau perkotaan: l ) ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi
kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat
pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan
pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan
sunnah dengan penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi

6
terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud
(prescribed finalties); 5 ) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat
berjamaah pada waktu Jum'at dan Id.3
Disamping keadilan, Abu Ubaid juga mengembangkan suatu negara Islam
yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta.
Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui
biasanya tidak meyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum
urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai seperti kaum urban, mereka
tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak
klaim sementara terhadap penerimaan. fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis
seperti saat invasi atau penyerangan rnusuh, kekeringan yang dahsyat, dan
kerusuhan sipil.
Abu Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan
pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama
dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari
pendapatan,fai yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai
penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abu
Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah yang bukan
tunjangan.
Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari
universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding
kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat
mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja
(division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan
dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa
Abu Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas
sejauh ini dapat terbukti bahwa Abu Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara
hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
3
Ibid., hal. 275

7
3. Kebijakan Impor
Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan telah
dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa pengecualian. Sebab,
kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan impor atas harta
mereka, apabila masuk ke dalam negeri mereka. Dari Ab durrahman bin Ma’qil, ia
berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ziyad bin Hudair, ‘Siapakah yang telah
kalian pungut cukai barang impornya? Ia berkata, ‘Kami tidak pernahme ngenakan
cukai atas Muslim dan Mu’ahid’. ‘Saya bertanya, ‘Lantas, siapakah orangyang telah
engkau kenakan cukai atasnya?’ Ia berkata, “Kami mengenakan cukai atas para
pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka telah memungut barang impor kami
apabila kami masuk dan mendatangi negeri mereka”.
Hal tersebut diperjelas lagi dengan suratsurat Rasulullah, dimana beliau
mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain,
Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah memeluk agama Islam. Isi surat tersebut
adalah “Binatang ternak mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor
mereka tidak boleh dipungut cukai atasnya”.
Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk surat kepada ‘Adi bin Artha’ah
yang isinya adalah “Biarkanlah bayaran fidyah manusia. Biarkanlah bayaran makan
kepada umat manusia. Hilangkanlah bayaran cukai barang impor atas ummat
manusia. Sebab, ia bukanlah cukai barang impor. Akan tetapi ia merupakan salah
satu bentuk merugikan orang lain, sebagaimana firman Allah, ‘Dan janganlah kamu
merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan
di bumi dengan berbuat kerusakan’ (Huud:85).
Dari uraian diatas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai
merupakan adapt kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliah.
Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah
dan agama Islam. Lalu, datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak
seperempat dari ‘usyur (2.5%).

8
Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Saya telah dilantik Umar menjadi petugas
bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor dari
para pedagang kafir harbi sebanyak ‘usyur (10%), barang impor pedagang ahli
dzimmah sebanyak setengah dari ‘usyur (5%), dan barang impor pedagang kaum
muslimin seperempat dari ‘usyur (2.5%)”. Yang menarik, cukai merupakan salah
satu bentuk merugikan orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut
perdagangan bebas (free trade), bahwa tidak boleh ada tarif barrier pada suatu
negara. Barang dagangan harus bebas masuk dan keluar dari suatu negara.
Dengan kata lain, bea masuknya nol persen. Tetapi, dalam konsep Islam,
tidak ada sama sekali yang bebas, meskipun barang impor itu adalah barang kaum
muslimin. Untuk barang impor kaum muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2.5%.
Sedangkan non muslim, dikenakan cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah
melakukan perdamaian dengan Islam) dan 10% untuk kafir harbi (Yahudi dan
nasrani). Jadi, tidak ada prakteknya sejak dari dahulu, bahwa barang suatu negara
bebas masuk ke negara lain begitu saja.
Cukai Bahan Makanan Pokok Untuk minyak dan gandum yang merupakan
bahan makanan pokok, cukai yang dikenakan bukan 10% tetapi 5% dengan tujuan
agar barang impor berupa makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah
sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari
ayahnya, ia berkata, “Umar telah memungut cukai dari kalangan pedagang luar;
masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran cukai sebanyak
setengah dari ‘usyur (5%).
Hal ini bertujuan supaya barang impor terusberdatangan ke negeri madinah.
Dan dia telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak ‘usyur
(10%)”. Ada Batas Tertentu untuk Cukai Yang menarik, tidak semua barang
dagangan dipungut cukainya. Ada batasbatas tertentu dimana kalau kurang dari
batas tersebut, maka cukai tidak akan di pungut.
Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi (dia adalah petugas cukai di
perbatasan Mesir pada saat itu) bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat

9
kepadanya, yang isinya adalah, “Barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli
zimmah, maka pungutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua
puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang
dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia
mencapai sepuluh dinar. Apabila barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar,
maka janganlah engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat
pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap
diberlakukan sehingga sampai satu tahun”.Jumlah sepuluh dinar adalah sama
dengan jumlah seratus dirham di dalam keten tuan pembayaran zakat.
Seorang ulama Iraq, Sufyan telah menggugurkan kewajiban membayar
cukai apabila barang impor ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirham. Menurut
Abu Ubaid, seratus dirham inilah ketentuan kadar terendah pengumpulan cukai atas
harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.

4.      Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian


Abu Ubaid rnengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena
pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas
secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid
secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah
gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau
tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai
insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika
dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian
akan dialihkan kepemilikannya oleh Imam.

10
Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid
adalah terdiri dari :
a.  Iqtha' yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk
menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
b.  Ihya' al-Mawat yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak
terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya,
mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih – benih kehidupan
pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut
dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk
kemaslahatan umat.
c.  Hima (perlindungan) yaitu lahan yang tidak berpenduduk yang dilindungi negara
untuk tempat mengembala hewan-hewan ternak. 4

5.      Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang
berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang
berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima
zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi ( ceiling) terhadap
penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui
kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-
orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak
memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain
yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu
standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki
200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada
kewajiban zakat terhadap orang tersebut.

4
DR. Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik
Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata Publishing, 2005, hal. 152-154

11
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio
ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang
terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga
tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan
dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara
umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut
kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara
mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'",
pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya
(pengelola) atas kebijakan Imam.

6.       Fungsi Uang


Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai
intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan
sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan
ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang
logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan
perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan
sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal
tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang
harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu
Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai ( store of 'value) dari emas dan
perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

C.      KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa :

12
1.     Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan Rasulullah, wawasan
pengetahuannya serta isi, format, dan metodologi kitab Al-Amwal, Abu Ubaid pantas
disebut sebagai pemimpin dari “Pemikir Ekonomi Mazhab Klasik”.
2.      Pandangan-pandangan Abu Ubaid merefleksikan perlunya memelihara dan
mempertahankan hak dan kewajiban masyarakat, menjadikan keadilan sebagai
prinsip utama dalam menjalankan roda kebijakan pemerintah, serta menekankan rasa
persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu Ubaid juga secara tegas
menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar kehidupan yang
layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
3.      Abu Ubaid mengatakan bahwa penerimaan negara ( fai', khumus, dan shadaqah
(zakat) wajib di kelola negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2008.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok : Gramata Publishing. 2005.
Dzazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Indonesia, Bandung: Orba Shakti, 1991.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1973), cet.
ke-4,
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya , Jakarta: UI Press, 1985, jilid lI, Jakarta
HM. Atho Mudzar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam , Artikel pada
Mimbar Hukum, Jakarta: Departemen Agama, 1992.
Karnaen Perwataatmadja, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah pada Fakultas
Syari'ah, Jakarta, 2000/2001,1993.

13

Anda mungkin juga menyukai