NIM : 080810101001 TUGAS MANAJEMEN PEMASARAN Bagaimana China keluar dari keterpurukan ekonomi sampai pada perekonomian yang lebih maju? Bagaimana salah satu produk china ( mainan anak-anak ) mempengaruhi sektor-sektor yang lain?
Reformasi, Politik Pintu Terbuka, dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada akhir tahun 1970-an, pemerintah China memformulasikan strategi modernisasi yang disusun dalam tiga tahap: Pertama, Gross Domestic Product (GDP) China harus di-dua-kali- lipatkan pada tahun 1980an sehingga masyarakat China akan lepas dari kemiskinan; Kedua, kue ekonomi China harus di-empat-kali-lipatkan pada akhir abad ke-20 sehingga China akan menjelma menjadi masyarakat sejahtera, dan; Terakhir, membawa China sebagai negara medium-developped yang sejahtera dan demokratis pada pertengahan abad ke-21. Dengan demikian, sejak tahun 1970-an, China mulai menapak jalan panjang ke arah modernisasi, di mana manajemen perekonomiannya diletakkan di atas prinsip-prinsip kapitalisme. Selama 30 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi GDP China mencapai rata-rata 9,3%, yang berarti jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi rata-rata yang dicapai dunia dan bahkan Jepang serta negara-negara ekonomi industri baru di Asia (Taiwan, Korea Selatan, Singapura) selama masa take-off mereka. Sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi yang super- cepat tersebut, GDP China pada tahun 2009 mencapai 13.651,5 milyar Yuan RMB, pendapatan perkapita mencapai 1200 US$, dan lebih dari 200 juta masyarakat China berhasil lepas dari status miskin. Namun demikian, ditengah capaian ekonomi yang luar biasa tersebut, China masih masuk pada kategori negara yang berpendapatan perkapita rendah. Sebagai gambaran, nilai GDP China hanya sepersepuluh dari Amerika Serikat dan GDP Perkapitanya hanya senilai 3% dari GDP perkapita negara-negara maju secara keseluruhan. Di China sendiri, terdapat disparitas yang menyolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Hal tersebut memberi gambaran kepada kita bahwa China sesungguhnya baru mencapai tahap awal modernisasi, meskipun dengan capaian-capaian yang pantas membuat iri negara- negara berkembang lainnya. Singkat cerita, kesuksesan pembangunan ekonomi yang dicapai oleh China, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahnya, yaitu kebijakan reformasi dan pintu terbuka yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat. Reformasi ekonomi telah memberi semacam great impetus terhadap ekonomi China dan menjadikan perusahaan-perusahaan China menjadi lebih kompetitif. Strategi “membuka pintu” telah memberi China kesempatan untuk mempelajari teknologiteknologi maju serta manajemen modern yang membantu integrasi ekonomi China secara bertahap kepada perekonomian dunia. Reformasi Ekonomi China Sebelum reformasi, China mengadopsi sistem perencanaan ekonomi pra-Uni Soviet, di mana institusi negara mengontrol secara ketat perekomian nasional melalui cara-cara tertentu, dari sejak tahap perencanaan, pengadministrasian, hingga pelaksanaannya. Dengan adanya perkembangan sosial ekonomi, ketidakefektifan sistem lama tersebut mulai terlihat jelas. Salah satu persoalan yang timbul adalah kesulitan yang dialami oleh pemerintah pusat dalam menerapkan kontrol ketat yang secara serius telah menghambat kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh otoritas lokal serta membatasi ruang gerak perusahan-perusahaan swasta. Masalah serius lainnya adalah kesulitan untuk mengintegrasikan secara smooth antara pelaku ekonomi dengan birokrat pemerintah yang mengakibatkan macetnya proyek-proyek pembangunan nasional. Kenyataan inilah yang melatarbelakangi diterapkannya reformasi ekonomi China pada tahun 1978. Reformasi tersebut di susun dalam 4 tahap. Tahap pertama (1978-1984) merupakan tahap permulaan sekaligus penerapan secara parsial prinsip-prinsip ekonomi pasar dengan penekanan pada wilayah pedesaan. Tahap kedua (1984-1992) merupakan eksplorasi penuh sistem ekonomi pasar dengan penekanan di wilayah perkotaan. Pemerintah pusat mendesentralisasikan sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah lokal dan perusahaan-perusahaan swasta. Pada periode ini, harga-harga pasar secara bertahap disesuaikan menurut hukum penawaran dan permintaan, meskipun kebijakan tersebut pada saat itu masih terkesan tanpa arah karena sistem ekonomi pasar yang diterapkan masih bercampur aduk dengan sistem perencanaan terpusat. Tahap ketiga (sejak 1992) dimulai ketika China secara tegas menyatakan bahwa target reformasi adalah untuk membangun sistem ekonomi pasar sosialis yang baru, melalui mana target reformasi market-oriented di segala bidang disusun secara jelas. Tahap terakhir (2003) dimulai ketika Komisi Sentral Konggres (CPC) mengeluarkan keputusan “Penyempurnaan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis”, di mana dinyatakan bahwa kesempurnaan sistem tersebut akan dicapai pada tahun 2020. Secara konsep, kesempurnaan tersebut diletakkan pada lima pilar, yaitu: titik berat pada wilayah perkotaan dan pedesaan secara bersama-sama; pembangunan wilayah lokal, pembangunan sosial dan ekonomi, keseimbangan antara pembangunan manusia dan alam, peningkatan pembangunan internal dan kerjasama internasional. Strategi membuka pintu Kebijakan membuka diri terhadap dunia internasional telah memainkan peran yang sangat penting terhadap proses modernisasi China. Modernisasi China memerlukan input dalam jumlah besar, meliputi modal, teknologi, prasarana dan manajemen modern yang lebih maju. Cara terbaik untuk menyerap semua itu adalah dengan membuka diri. Pada akhir tahun 1970an, Jepang dan beberapa Negara Industri Baru di Asia harus bersaing serta melakukan berbagai penyesuaian akibat naiknya harga faktor produksi. Mereka perlu melakukan relokasi industri-industri padat karyanya ke negara-negara berkembang guna memangkas ongkos produksi. Menyambut perkembangan tersebut, China menyatakan diri siap menampung relokasi industri-industri tersebut dan menawarkan insentif guna menarik berbagai investasi asing langsung (FDI). Semakin banyak investor datang ke China oleh karena faktor kekayaan sumber alam, upah buruh yang murah, serta potensi pasar yang besar. China dengan cepat menjadi lahan yang subur bagi FDI di Asia, khususnya bagi industri- industri padat karya. Hongkong juga memainkan peran tersendiri terhadap kebijakan membuka diri China. Sebagai pelabuhan bebas terbesar dan pusat finansial internasional di Timur jauh, Hongkong telah menjadi lorong utama yang menghubungkan China dengan pasar dunia. Lebih dari sepertiga ekspor China dijalankan oleh perusahaan-perusahaan Hongkong, dan hampir setenggah FDI dibawa dari dan melalui Hongkong. Investor-investor yang berasal dai Taiwan, Jepang, AS, negara-negara Eropa mayoritas memperoleh jalan mereka ke China melalui Hongkong. Mengakhiri tulisan ini, kita dapat memperoleh paling tidak empat poin penting dari manajemen perekonomian China yang kiranya layak untuk dijadikan pelajaran, yaitu: 1. Pembangunan ekonomi sebagai tugas utama dan pertama pemerintah Selama 30 tahun sebelum 1978, terdapat banyak sekali faktor yang menyebabkan kegagalan perekonomian China, diantaranya yang terutama adalah bahwa pemerintah tidak memfokuskan perhatiannya pada pembangunan ekonomi. Sejak tahun 1978 Pemerintah China berketetapan bahwa China harus memajukan pembangunan ekonomi. Komitmen tersebut ditunjukkan Pemerintah China dengan secara konsisten menerapkan kebijakan yang difokuskan pada pembangunan ekonomi, meskipun di tengah situasi politik domestik dan internasional yang tidak menentu di akhir era 80an. 2. Kebijakan dan tahap-tahap membuka diri dengan memperhitungkan situasi serta karakter asli Bangsa China Membuka diri di bidang perekonomian selalu bersifat relatif dan kondisional di tiap-tiap negara berkembang. Pemerintah manapun harus bersikap hari- hati dalam mengambil kebijakan semacam itu dengan mempertimbangkan timing, action dan dampaknya. Disamping itu, kebijakan tersebut haruslah sesuai dengan dinamika keunggulan komparatif negara yang bersangkutan, daya saing industri lokal, dan kapasitas kontrol makro-ekonomi, sehingga tidak membahayakan kepentingan nasional. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 yang nyaris tidak menyentuh sama sekali perekonomian China menjadi pejaran berharga dalam hal ini. Salah satu alasan utama mengapa China tidak terimbas krisis adalah karena pasar finansial China tidak dibuka bagi investor asing sementara Pemerintah China justru membuka lebar-lebar sektor-sektor lainnya. Tujuan dari reformasi China adalah untuk mencari jalan baru sosialisme dengan mengadopsi karakter China. Dengan kata lain, China ingin belajar sebanyak mungkin dari pengalaman dan kemajuan negara-negara lain namun tetap mempperhatikan kondisi unik dan karakter asli bangsa China. Ketika mengadopsi pengalaman bangsa-bangsa lain tersebut, China memodifikasinya sehingga sesuai dengan kondisi spesifik bangsanya. 3. Melakukan transformasi secara gradual ke arah ekonomi pasar. Reformasi ekonomi yang dimulai sejak tahun 1970an merupakan proses panjang yang kompleks. Mengingat tak seorangpun dapat menjamin keberhasilan selama proses reformasi, pilihan terbaik adalah melakukan reformasi secara bertahap. Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru, reformasi di China dijalankan dengan resiko terkecil pada tahap awal, yaitu dengan diterapkannya contractual land reform diwilayah pedesaan pada tahun 1978. Para petani yang selama 30 tahun lebih terkekang kebebasannya dalam mengelola tanah menyambut dengan antisias reformasi tersebut hingga kebijakan tersebut akhirnya menuai sukses besar (output pertanian, kesejahteraan petani, dan pasokan pangan meningkat tajam). Reformasi di bidang-bidang yang lain diterapkan secara sangat hati- hati dan bertahap, seperti reformasi perburuhan, perbankan, investasi, finansial, dsb. 4. Menjaga keseimbangan antara reformasi, pembangunan dan stabilitas Reformasi ekonomi China merupakan revolusi mendasar karena kebijakan tersebut telah membawa dampak luar biasa bagi kehidupan masyarakatnya. Guna mensukseskan pekerjaan besar tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas politik yang menopang struktur kehidupan negara dan masyarakat. Oleh karenanya, selama 20 tahun terakhir, pemerintah China terlihat sangat hati-hati dalam menerapkan kebijakan serta melakukan penyesuaian-penyesuaian reformasi yang ia jalankan. Setiap kebijakan diambil dengan memperhatikan berbagai dampak sosial yang mungkin timbul, tanpa harus meninggalkan reformasi itu sendiri.
Produk China (Mainan Anak-anak) dan pengaruhnya terhadap sektor lain.
JAKARTA, kabarbisnis.com : Sebulan pasca kesepakatan pemberlakuan perdagangan bebas Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), bagaikan air bah yang menyerbu dan membanjiri secara bebas, tanpa batas. Berbagai ragam produk Made in China, kini semakin menyerbu dan membanjiri sejumlah pusat perbelanjaan hingga pasar tradisional di Ibukota. Mainan anak dari negeri Tirai Bambu, harganya memang bersaing. Bahkan lebih murah dibandingkan produk Indonesia, sehingga mampu mempengaruhi dan mengoyang harga pasaran mainan anak. Malah, sejak awal Maret 2010, harganya turun lagi karena jumlah pasokan grafik semakin melonjak. "Harga sejumlah mainan anak relatif menurun dalam dua pekan ini. Harga yang termurah seperti robot kecil cuma Rp2.500, mobil-mobilan Rp20 ribu, pistol mainan hanya Rp 15.000, boneka saja Rp 5.000 dibandingkan produk lokal bisa dua kali lipatnya," ungkap Gultom, pedagang mainan anak di Pasar Tanah Abang kepada Kabarbisnis.com di Jakarta, Ahad (14/3/10). Kekhawatiran, kecemasan pelaku bisnis dengan maraknya produk China dengan harga yang lebih murah dan tanpa memperlihatkan kualitas produknya, sudah tak bisa dielakkan lagi. Kondisi ini jelas terus menghantui pelaku bisnis, dan bila dibiarkan berlarut-larut banyak industri Indonesia terancam gulung tikar. Karenanya kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan, diantaranya mengalihkan kapal dari China yang masuk tidak melalui pelabuhan utama namun dialihkan ke pelabuhan kecil di wilayah Indonesia Bagian Timur, tujuannya pelabuhan itu semakin ramai, tingkat pendapatan masyarakat sekitar meningkat dan harga barang semakin mahal untuk dikirim lagi ke pusat perekonomian di Jakarta dan sekitarnya. Juga antisipasi lain yang perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Yang tak hanya bergelut ngurusi di dunia politik saja, namun bagaimana memikirkan dampak perdagangan bebas ACFTA yang sudah mengancam dunia industri, mengancam tenaga kerja, mengancam perekonomian. Dan yang paling penting, bagaimana pelaku bisnis Indonesia bisa bermain lebih hebat lagi di pasar internasional. Ini butuh uluran dan pemikiran pemerintah.